Kamis, 27 Oktober 2011

Dilema Etis Kebebasan Media


Dilema Etis Kebebasan Media
Agus Sudibyo, ALUMNUS MAGISTER FILSAFAT, SEKOLAH TINGGI DRIYARKARA JAKARTA, ANGGOTA DEWAN PERS
Sumber : Koran Tempo, 28 Oktober 2011




 Etiskah seorang pejabat yang belum terbukti melakukan korupsi telah disebut-sebut namanya alam pemberitaan tentang korupsi, tanpa adanya klarifikasi yang memadai? Adilkah seseorang yang belum tentu bersalah harus menghadapi opini yang negatif tentang dirinya—terlibat dalam korupsi, menyalahgunakan jabatan, dan melakukan tindakan asusila—akibat pemberitaan media yang tidak berimbang dan cenderung menghakimi?

Pertanyaan ini layak diajukan karena prinsip keberimbangan, keakuratan, dan kehati-hatian sering dinafikan dalam praktek jurnalisme kita belakangan ini. Demi mengejar aktualitas berita, beberapa media sering mengesampingkan kebutuhan melakukan verifikasi dan uji informasi. Demi memberikan kontribusi terhadap upaya memerangi korupsi, mereka begitu bersemangat menampilkan berita tentang korupsi sehingga menafikan hak setiap orang untuk mendapatkan pemberitaan yang fair dan berimbang. Guna menarik perhatian publik, media sering mengabaikan asas praduga tak bersalah dalam memberitakan pejabat-pejabat yang belum tentu melakukan pelanggaran atau penyimpangan.

Jurnalisme hit and run! Begitu istilah untuk tren yang saat ini marak di Indonesia. Jurnalisme yang serba menekankan aktualitas, kecepatan penyampaian informasi, dengan menomorduakan kelengkapan dan kelayakan jurnalistik. Jurnalisme yang lebih mengedepankan tujuan secara umum dengan mengesampingkan kebenaran proses. Perkembangan terbaru ini menarik untuk diteropong dari sudut pandang etika. Dengan tren yang lebih mengedepankan aktualitas, kecepatan transmisi pesan, dan tujuan secara umum itu, pers Indonesia tampaknya bertolak dari pendekatan etika yang bersifat teleologis-konsekuensialis. Etika yang diperkenalkan Aristoteles
ini menyatakan bahwa baik-buruknya suatu tindakan bergantung pada tujuan atau dampak yang ditimbulkan. Nilai moral suatu tindakan tidak ditentukan oleh prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar, tapi oleh observasi atas dampakdampak tindakan. Jika dampaknya baik, baik pula tindakan itu, meskipun dilakukan dengan mengabaikan prinsip tindakan yang benar.

Dalam jurnalisme, prinsip tindakan yang benar itu termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan: pemberitaan media harus bertolak dari keharusan verifikasi, konfirmasi, uji informasi, kehati-hatian, dan penghargaan terhadap kepentingan pribadi. Data penyelesaian masalah di Dewan Pers menunjukkan prinsip-prinsip ini semakin lazim diabaikan. Namun perlu digarisbawahi pengabaian ini sering berlandaskan alasan yang sangat rasional. Dalam berita tentang korupsi, misalnya, jika media harus menunggu hasil verifikasi, bisa jadi seorang koruptor keburu kabur ke luar negeri atau keburu main mata dengan penegak hukum. Jika tidak diberitakan secara besar-besaran, bisa jadi sebuah skandal korupsi akan dibiarkan begitu saja oleh penegak hukum atau diselesaikan dengan cara manipulatif.

Pemberitaan pers tentang skandal M. Nazaruddin dapat menjadi contoh. Jika dicermati dengan teliti, banyak berita tentang skandal ini yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik serta merugikan Anas Urbaningrum dan lain-lain. Namun harus diakui, berkat pemberitaan pers pulalah, KPK dan pemerintah serius menangani skandal ini.Tanpa pemberitaan pers, sangat mungkin kontroversi tentang Nazaruddin akan “layu sebelum berkembang”, berakhir dengan antiklimaks. Sedikit menengok ke belakang, situasi serupa juga terjadi dalam kasus kriminalisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sangat jelas pembelaan pers terhadap KPK dalam kasus ini. Cukup jelas pula pemberitaan pers saat itu sering kurang fair terhadap Kepolisian RI. Namun, apa boleh buat, dengan cara itulah pers turut menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan yang sistematis.Tanpa pemberitaan intensif pers, kasus “cicak vs buaya”niscaya akan benar-benar berakhir dengan pemidanaan Bibit-Chandra.

Pendek kata, pers Indonesia berusaha memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan menerapkan pendekatan etika pers yang mementingkan tujuan dan dampak pemberitaan, dengan menomorduakan kebenaran proses. Persoalannya, etika teleologis-konsekuensialis ini tidak hanya mengabaikan asas-asas jurnalistik yang baku, tapi juga tidak kompatibel dengan prinsip keadilan. Padahal prinsip keadilan sangat fundamental bagi ruang kehidupan bersama. Dan ruang publik media adalah sebentuk ruang kehidupan bersama pula.

Maka selalu perlu diproblematisasi, adilkah seseorang yang belum tentu bersalah dihakimi oleh pemberitaan media? Apakah kepentingan satu-dua orang dapat dikorbankan demi kepentingan banyak orang untuk mendapatkan informasi media? Dan apakah upaya pemberantasan korupsi dapat membenarkan media untuk mengesampingkan imperatif ruang publik media: berimbang, komprehensif, proporsional, akurat, serta memisahkan fakta dan opini?

Pada titik inilah Kode Etik Jurnalistik secara universal merumuskan etika yang bersifat deontologis atau etika kewajiban. Etika deontologis menegaskan kewajiban verifikasi dan uji informasi mutlak dilakukan tanpa memperhatikan dampak apa pun semata-mata karena kewajiban ini baik pada dirinya sendiri. Sebab, kebenaran jurnalistik tak lain adalah kebenaran verifikasi. Tanpa verifikasi, berita akan merosot menjadi sekadar informasi sepihak, gosip, dan rumor.Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme itu sendiri.

Merujuk pada imperatif kategoris yang dirumuskan Emanuel Kant, sang pencetus etika deontologis, barangkali dapat dirumuskan imperatif jurnalisme sebagai berikut:                         (1) perlakukanlah semua orang secara adil, baik sebagai obyek berita, sumber berita, maupun sebagai khalayak; (2) sajikanlah berita sebaik mungkin sehingga berita itu menjadi kebenaran yang dapat dirujuk semua pihak untuk membuat penilaian atau keputusan yang tepat.

Inilah rigorisme moral dalam etika jurnalistik. Rigorisme moral ini bukannya tanpa kelemahan. Karena para jurnalis hanya terpaku untuk menaati kewajiban-kewajiban etis, jurnalisme dapat menjadi hambar dan kurang menarik. Jurnalisme harus senantiasa disterilkan dari gosip, syak wasangka, dan spekulasi yang selama ini justru menjadi daya magnetik diskursus media di hadapan khalayak. Namun, perlu digarisbawahi, rigorisme itu pulalah yang menandai jurnalisme sebagai suatu “isme”, suatu disiplin ilmu yang menuntut ortodoksi metodologis dalam mencari, mengolah, dan menyajikan fakta. Suatu disiplin ilmu yang harus dipraktekkan dengan sungguh-sungguh, serta tidak main-main dan sembrono, agar masyarakat tetap memandang pers dengan sikap segan dan respek.

Beberapa kondisi menyebabkan kesenjangan antara jurnalisme di lapangan dan jurnalisme di dalam teks. Namun esensi jurnalisme sendiri sesungguhnya tidak lekang oleh waktu. Perkembangan teknologi informasi hanya mengubah cara media dalam mengejar informasi, mengembangkan liputan, dan mentransmisikan pesan, tapi belum sampai mengubah hukum besi
bahwa jurnalisme adalah perkara kebenaran verifikasi.Tantangannya bagi pers Indonesia sekarang adalah bagaimana tetap memberikan kemaslahatan buat publik, tetap memberikan kontribusi berarti bagi pemberantasan korupsi, tapi tanpa mengesampingkan fundamen jurnalisme itu sendiri.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar