Palgunadi, Satrio Berkarakter dari Nonformal
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : KORAN TEMPO, 31 Oktober 2011
Selamat datang di dunia pendidikan nonformal, yang barang kali saja ini adalah pendekatan normal, yang lebih membumi dengan kondisi di Indonesia. Bukan hanya karena biaya pendidikan sangat mahal dan tak terjangkau, bukan juga karena kita kecewa lantaran hasil pendidikan formal yang melahirkan para sarjana dan sujana —para ahli—yang justru dikaitkan dengan “kelompok berdasi”yang tak peduli terhadap masyarakatnya, sampai berbagai perkara korupsi. Ada Djaka Sembung alias tidak nyambung dalam kaitan dengan pendidikan dan hasil yang diharapkan. Pendekatan nonformal barangkali bisa dilihat dan dikembangkan.Terutama karena dalam pendidikan nonformal lebih berlangsung perubahan watak atau karakter (changing behavior) dibandingkan dengan pengalihan ilmu (transfer of technology). Kita bisa mendekati dari sudut lain, misalnya dalam dunia pertelevisian.
Dalam program pertelevisian dikenal dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal (classroom) dan nonformal (long life educations), sehingga pendekatan yang dilakukan berbeda satu dengan yang lainnya. Pengalaman pribadi yang saya lalui agaknya cenderung melewati nonformal. Sebab, saya hanya lulus sekolah menengah atas, itu pun dengan susah payah—pernah juga seeh jadi mahasiswa selama 3 bulan, lalu berusaha meneruskan hidup.Yang terbukti bahwa pekerjaan yang saya inginkan atau saya jalani tidak berkaitan langsung dengan ijazah sekolah.
Begitulah, sebagai anak janda miskin—suaminya pegawai negeri golongan II-C ketika meninggal dan tidak menikah lagi dengan konglomerat—bersama lima saudara-saudari, saya bertahan hidup dan tak ada jalan selain mencari makan. Ini bukan kisah istimewa karena banyak yang mengalaminya. Bahkan sampai sekarang potret kehidupan masyarakat kita masih seperti ini: putus sekolah di tengah jalan, tak punya modal dan akses, bekerja apa saja, belajar dari kehidupan. Realitas empiris di lapangan adalah ruang sekolahnya, gurunya bisa siapa saja, metodenya kadang nonlogis, dan waktunya tak terbatas. Karakter dibentuk dari sini, karakterisasi merupakan kristalisasi reaksi dengan keadaan sekitar.
Peran keluarga
Yang paling mempengaruhi proses pendidikan nonformal adalah keluarga. Dalam hal saya pribadi, ini berada pada figur ibu, yang sangat menentukan. Ibulah yang mengajarkan langsung atau tidak bahwa semua bisa mencari makan—ayam yang jarinya empat pun bisa, apalagi manusia yang berjari lima. Bahwa harapan itu selalu ada. Bahwa Gusti Allah ora sare—Tuhan
tidak tidur—asalkan kita berusaha dengan baik. Bahwa banyak tokoh besar lahir sebagai anak yatim. Bahwa cacat bukanlah kekurangan. Bahwa bakat adalah anugerah. Semua itu tidak dirumuskan dan diucapkan secara akademis, melainkan bisa dipahami oleh pendengarannya.
Komunikasi utama to whom I must speak today—dari sajak Walt Whitman—telah dipraktekkan
dengan nyata.
Inilah kunci utama—kalau tidak yang terutama dan satu-satunya—yang diperoleh dari keluarga. Classroom dan long life educations pertama-tama adalah keluarga.
Sebab, dari sinilah tata nilai dan tata krama, yakni menghormati orang tua, memaknai persahabatan, menghargai tetangga dan/atau lingkungan, serta cinta tanah air, disemaikan.
Peran lingkungan
Kunci kedua berasal dari lingkungan, yaitu menemukan kebanggaan, kelebihan, yang membuat rasa percaya diri tumbuh. Apakah dengan melukis, memanjat pohon, membetulkan jam rusak, atau apa saja yang menjadikan kita mempunyai add value dibanding teman seusia atau kelompok. Kebetulan, saat kecil, saya menyukai wayang dan bisa mendalang. Sebelum bersekolah, saya bisa membedakan tokoh Arjuna dengan Bimo atau puluhan karakter yang lain. Dengan demikian, saya dianggap sudah bisa membaca karena, dalam gambar umbul, ada gambar tokoh dengan teks di bawahnya, seolah saya sudah bisa membaca. Saya hafal rangkaian cerita dan memainkan wayang kardus ketika teman lain dikhitan. Saya tidak bisa nyaman berada dalam komunitas—untuk pertandingan sepak bola atau kasti saya dipilih terakhir, bahkan untuk menggulung benang layanglayang saja dianggap tidak becus—menemukan kekuatan, menjadi percaya diri, dan tidak malu atau mengasingkan diri. Aneh atau tidak, ini juga saya alami ketika berada di University of Iowa, Amerika Serikat, ketika saya mendapat beasiswa di sana. Saya jadi dalang—dan tak ada yang memprotes karena penontonnya “bule”. Sekarang kadang saya meyakini kemampuan atau bakat menulis saya berawal dari kepercayaan dan keberanian saya mendalang. Dan mendalang bukan satu-satunya yang ada dalam lingkungan kita.
Kunci ketiga adalah pergaulan. Dengan menampilkan diri sebagai dalang, teman yang berkumpul adalah mereka yang mempunyai minat atau hobi yang sama. Demikian juga kalau karakter sampingan kita sebagai pemain musik, pemain bulu tangkis, kutu buku, tukang bordir, pembuat makanan, yang datang dan kita datangi kurang-lebih sama. Peribahasa mengatakan, burung yang bulunya sama cenderung berkumpul. Juga kalau jejak awal kita memposisikan diri sebagai preman, tukang berantem, pemabukan. Lingkungan terdekat inilah yang mendewasakan sekaligus juga bisa mengerdilkan.
Kalau pendekatan ini bisa menjadi salah satu acuan pengembangan pendidik karakter*), bagi pembina program dan para pemangku program ini, mata rantai ini bisa dipertimbangkan. Baru dari sinilah program-program teknis lainnya menyertai.
Di Amerika Serikat, bahkan program nonformal mendapat perhatian lebih. Lahirnya acara televisi Sesame Street, yang kemudian bisa menjadi tayangan sukses The Muppet Show, berawal dari pemanjaan dari jenis pendidikan nonformal.
Peran budaya
Dalam kisah wayang, kita tahu bahwa Palgunadi lebih hebat ketimbang Arjuna, yang juga bernama Palguna, dalam soal panah-memanah padahal ia belajar nonformal dari Pendito Durno, yang bahkan tidak mengakuinya sebagai murid dan meminta memotong satu jarinya. Dalam hal karakter pun Palgunadi lebih bermartabat ketimbang tokoh yang dianggap hebat dan sakti. Palgunadi, yang nama aslinya Bambang Ekalaya (tapi karena nama itu Arjuna pun menambah namanya sebagai Palguna), yang selalu disebut pertama, adalah contoh gamblang bahwa tanpa melalui pendidikan “resmi”, tanpa diakui sebagai murid, pun hasil pendidikan seseorang bisa lebih cemerlang. Inilah sumbangan budaya yang ada di sekitar kita dengan segala cerita. Inilah sumbangan dunia pewayangan. Meskipun mungkin kita bertanya-tanya, anyhow who is Palgunadi? Atau bahkan bertanya apa hebatnya Bung Karno, Bung Hatta, atau Sutan Sjahrir dalam konteks pendidikan karakter atau kehadiran sebagai pemimpin? Atau siapa Rendra, Arifin C. Noer, dan Teguh Karya dalam kaitan dengan generasi artis muda kita? Atau juga Rudy Hartono dan Ivana Lie, yang demikian heroik menggetarkan dunia bulu tangkis, yang tak terkalahkan pada masanya—dan keberadaan olahraga membanggakan itu sekarang? Dan tokoh-tokoh jawara lahirbatin yang menjadi contoh nyata.
Dengan kata lain, untuk mengembangkan pendidikan karakter, kita tidak akan sukses tanpa berbicara masalah peran keluarga, budaya, serta unsur lingkungan yang menyemaikan pendidikan karakter. Ini sebuah program besar, mendasar, dan terus berkelanjutan. ●