OWS: Orasi Warga Sedunia
Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN, WARTAWAN,
PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK DUAFA
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Desember 2011
Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu? Apakah kita tidak peduli lagi kepada ketidakadilan dan kehidupan masa depan yang lebih bermoral? Sejak 17 September 2011, sebagai warga dunia, kita menyaksikan puluhan ribu warga segala usia melakukan demonstrasi damai secara berkelanjutan di Taman Zuccotti, di distrik finansial Wall Street,Kota New York, Amerika Serikat.
Mereka menyebut diri “kami kaum 99 persen”. Itu merujuk pada jurang menganga di antara kaum 1 persen, yang menguasai kekayaan berlimpah, berbanding dengan kaum 99 persen dari populasi yang hidup dalam kemelaratan, tidak punya pekerjaan, tidak punya akses ke pendidikan dan kesehatan.
Puluhan hingga ratusan ribu warga negara adidaya itu mengecam ketidakadilan ekonomi, tingginya angka pengangguran, ketamakan dan korupsi yang merajalela, serta fakta bahwa pemerintahan pusat (Washington) ternyata tunduk belaka di bawah kaki para baron korporasi, khususnya para pengelola jasa keuangan di Wall Street.
Pemberdayaan Rakyat
Gerakan yang diilhami oleh aksi revolusioner “Musim Semi Arab”itu menamakan diri “Occupy Wall Street (OWS)”. Mereka menduduki dan berkemah di Taman Zuccotti sambil menyelenggarakan berbagai kegiatan: orasi, pentas ironi, rapat, diskusi dan pelatihan tentang demokrasi, hingga kelas yoga dan meditasi. Para aktivis grup Adbusters asal Kanada, melalui jejaring media sosial, menyerukan agar gerakan tanpa pemimpin itu diselenggarakan oleh
seluruh warga dunia yang senasib, dengan agenda acara yang sudah tersusun rapi hingga 2012.
Apakah Revolusi OWS akan mengubah tatanan demokrasi dan tatanan perekonomian dunia? Atau, apakah setelah komunisme runtuh, kini demokrasi dan kapitalismenya juga akan mengalami nasib serupa, justru dimulai dari jantung perekonomian Amerika Serikat? Apakah “demokrasi sosialis”-nya Hugo Chavez dari Venezuela akan menjadi alternatif?
Dalam situs resminya, para penggerak demo menulis: “Gerakan OWS memberdayakan rakyat sejati untuk menciptakan perubahan asasi dari bawah ke atas. Kami ingin melihat majelis umum ada di setiap pekarangan, di setiap pojok jalan, karena kami tidak butuh Wall Street dan tidak
butuh politikus untuk membangun masyarakat yang lebih baik.”
Ketika kepolisian Kota New York, 17 November lalu, mencoba membubarkan perkemahan kaum antikemapanan itu, aksi serupa sudah marak dilakukan di berbagai kampus di 30 kota di seluruh negara bagian. Mereka berkemah di taman-taman dan menduduki jembatan-jembatan yang dianggap sebagai simbol dari pengabaian oligarki yang menyebabkan terjadinya kerusakan di dalam kehidupan masyarakat. Seorang peserta aksi pembangkangan sosial tanpa kekerasan itu menyatakan, “Sistem politik kami harus melayani semua orang—bukan hanya kaum kaya dan berkuasa. Sekarang ini Wall Street menguasai Washington. Kami adalah kaum 99 persen, dan kami berada di sini untuk merebut kembali demokrasi kami.”
Demo yang merebak secara eskalatif di negeri yang mengaku sebagai contoh negara demokrasi terbaik bagi dunia itu justru dipicu oleh dasar moral utama yang menjadi alasan kenapa demokrasi harus diterapkan sebagai sebuah sistem: liberte, egalite, fraternite. Demokrasi gaya Amerika Serikat yang berporos pada sistem ekonomi kapitalis liberal—dengan jargon pasar bebas dan peran minimal pemerintah—ternyata hanya melahirkan oligarki konglomerasi yang luar biasa rakus dan tamak. Minoritas populasi menguasai lebih dari separuh pendapatan dan kekayaan negara berpenduduk lebih dari 308 juta jiwa itu. Sang 1 persen telah menjadi tiran bagi kaum 99 persen.
Ketidakadilan ekonomi itu, menurut ekonom Amerika Serikat pemenang Hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz, yang pernah duduk di Dewan Penasihat Ekonomi pemerintahan Bill Clinton dan Bank Dunia, terjadi akibat penerimaan informasi yang asimetris (para konglomerat mendapatkan informasi lebih lengkap ketimbang rakyat jelata). Sehingga, di Wall Street, misalnya, para elite pengelola perdagangan saham bisa melakukan berbagai kelicikan melalui penjualan saham perdana kepada publik, penggorengan harga saham melalui triktrik akuntansi yang rumit, insider trading, pemotongan pajak, patgulipat merger dan akuisisi, yang kesemuanya merupakan perampokan atas dana publik dan dana talangan pemerintah, yang hanya memperkaya para CEO dan komplotannya di perbankan, pemerintahan, Kongres, dan partai
politik. Ketika praktek-praktek busuk itu terbuka kepada publik, bangkrutlah korporasi energi Enron, korporasi telekomunikasi WorldCom, biro akuntansi Arthur Andersen, dan banyak lagi. Praktek-praktek semacam itu terjadi di seluruh dunia, terutama yang penguasanya takut dan tunduk kepada tekanan Amerika Serikat, termasuk Indonesia.
Revolusi Global
Demo serupa juga terjadi di berbagai negara, antara lain di Kanada, Jepang, Inggris, Spanyol, Jerman, dan Yunani. Dengan kalimat lain, OWS adalah sebuah revolusi kebudayaan yang niscaya menggelegak secara global.
Semangat suci kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dijanjikan oleh sistem demokrasi telah diinjak-injak oleh para penganjurnya yang zalim. Amoralitas para pelaku bisnis yang “berzina”dengan para politikus dan birokrat tidak hanya merusak fondasi demokrasi di dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Dengan bantuan Departemen Keuangan, Bank Dunia,
dan IMF, para gurita Wall Street itu menjulurkan belalai-belalai keserakahannya ke seluruh dunia, dengan jargon penuh kemunafikan: “demokrasi”dan “pasar bebas”—yang di Amerika sendiri diingkari secara terang-terangan!
Kemunafikan itu pun dikecam habis oleh Stiglitz. Adalah amoralitas dan kemunafikan kuartet Departemen Keuangan-Wall Street-Bank Dunia-IMF yang dituding dan dibuktikan oleh penelitian Stiglitz puluhan tahun, yang menjadi biang bagi ambruknya perekonomian Amerika
Serikat pada 1990-an, yang daya rusaknya berimbas ke seluruh dunia (terakhir Yunani dan Italia), termasuk Indonesia.
Di Indonesia, dampak dari kerusakan dan racun yang ditebarkannya (kerakusan dan korupsi serta “perzinaan”segitiga penguasa-politikus-pengusaha, dari pusat hingga daerah, dari kota hingga ke desadesa) terus berlangsung hingga kini secara epidemik dengan tingkat keparahan yang semakin menjadi-jadi.
Miliarder di Indonesia
Tidak mengherankan jika data distribusi simpanan nasabah bank-bank di Indonesia, yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada 22 Juli 2011 menunjukkan: jumlah rekening dengan nominal di atas Rp 5 miliar hanya 42.120 rekening, alias hanya 0,04 persen dari jumlah rekening keseluruhan (sekitar 100 juta rekening). Total simpanan pada segmen tersebut mencapai Rp 1.005,40 triliun (dari total simpanan Rp 2.494,71 triliun).
Jika para miliarder itu masing-masing memiliki dua rekening dari jumlah 42.120 rekening tadi—belum termasuk dana yang mereka simpan di luar negeri—itu artinya pemilik dana lebih dari seribu triliun rupiah itu hanya 21.060 orang! Merekalah para penguasa sebenarnya di negeri berpenduduk 237 juta jiwa ini. Dan mereka memamerkan kekayaannya, antara lain, dengan
kepemilikan rumah-rumah mewah dan mobil-mobil kinclong di jalan raya hingga ke lapangan parkir di gedung DPR-RI. Sementara itu, kaum 99 persen hanya bisa menjadi penonton di pinggir jalan atau dari dalam angkutan umum yang sumpek, berjubel, dan bercopet.
Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu? ●