Rabu, 30 November 2011

OWS: Orasi Warga Sedunia


OWS: Orasi Warga Sedunia
Yudhistira ANM Massardi, SASTRAWAN, WARTAWAN,
PENGELOLA SEKOLAH GRATIS UNTUK DUAFA
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Desember 2011



Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu? Apakah kita tidak peduli lagi kepada ketidakadilan dan kehidupan masa depan yang lebih bermoral? Sejak 17 September 2011, sebagai warga dunia, kita menyaksikan puluhan ribu warga segala usia melakukan demonstrasi damai secara berkelanjutan di Taman Zuccotti, di distrik finansial Wall Street,Kota New York, Amerika Serikat.

Mereka menyebut diri “kami kaum 99 persen”. Itu merujuk pada jurang menganga di antara kaum 1 persen, yang menguasai kekayaan berlimpah, berbanding dengan kaum 99 persen dari populasi yang hidup dalam kemelaratan, tidak punya pekerjaan, tidak punya akses ke pendidikan dan kesehatan.

Puluhan hingga ratusan ribu warga negara adidaya itu mengecam ketidakadilan ekonomi, tingginya angka pengangguran, ketamakan dan korupsi yang merajalela, serta fakta bahwa pemerintahan pusat (Washington) ternyata tunduk belaka di bawah kaki para baron korporasi, khususnya para pengelola jasa keuangan di Wall Street.

Pemberdayaan Rakyat

Gerakan yang diilhami oleh aksi revolusioner “Musim Semi Arab”itu menamakan diri “Occupy Wall Street (OWS)”. Mereka menduduki dan berkemah di Taman Zuccotti sambil menyelenggarakan berbagai kegiatan: orasi, pentas ironi, rapat, diskusi dan pelatihan tentang demokrasi, hingga kelas yoga dan meditasi. Para aktivis grup Adbusters asal Kanada, melalui jejaring media sosial, menyerukan agar gerakan tanpa pemimpin itu diselenggarakan oleh
seluruh warga dunia yang senasib, dengan agenda acara yang sudah tersusun rapi hingga 2012.

Apakah Revolusi OWS akan mengubah tatanan demokrasi dan tatanan perekonomian dunia? Atau, apakah setelah komunisme runtuh, kini demokrasi dan kapitalismenya juga akan mengalami nasib serupa, justru dimulai dari jantung perekonomian Amerika Serikat? Apakah “demokrasi sosialis”-nya Hugo Chavez dari Venezuela akan menjadi alternatif?

Dalam situs resminya, para penggerak demo menulis: “Gerakan OWS memberdayakan rakyat sejati untuk menciptakan perubahan asasi dari bawah ke atas. Kami ingin melihat majelis umum ada di setiap pekarangan, di setiap pojok jalan, karena kami tidak butuh Wall Street dan tidak
butuh politikus untuk membangun masyarakat yang lebih baik.”

Ketika kepolisian Kota New York, 17 November lalu, mencoba membubarkan perkemahan kaum antikemapanan itu, aksi serupa sudah marak dilakukan di berbagai kampus di 30 kota di seluruh negara bagian. Mereka berkemah di taman-taman dan menduduki jembatan-jembatan yang dianggap sebagai simbol dari pengabaian oligarki yang menyebabkan terjadinya kerusakan di dalam kehidupan masyarakat. Seorang peserta aksi pembangkangan sosial tanpa kekerasan itu menyatakan, “Sistem politik kami harus melayani semua orang—bukan hanya kaum kaya dan berkuasa. Sekarang ini Wall Street menguasai Washington. Kami adalah kaum 99 persen, dan kami berada di sini untuk merebut kembali demokrasi kami.”

Demo yang merebak secara eskalatif di negeri yang mengaku sebagai contoh negara demokrasi terbaik bagi dunia itu justru dipicu oleh dasar moral utama yang menjadi alasan kenapa demokrasi harus diterapkan sebagai sebuah sistem: liberte, egalite, fraternite. Demokrasi gaya Amerika Serikat yang berporos pada sistem ekonomi kapitalis liberal—dengan jargon pasar bebas dan peran minimal pemerintah—ternyata hanya melahirkan oligarki konglomerasi yang luar biasa rakus dan tamak. Minoritas populasi menguasai lebih dari separuh pendapatan dan kekayaan negara berpenduduk lebih dari 308 juta jiwa itu. Sang 1 persen telah menjadi tiran bagi kaum 99 persen.

Ketidakadilan ekonomi itu, menurut ekonom Amerika Serikat pemenang Hadiah Nobel, Joseph E. Stiglitz, yang pernah duduk di Dewan Penasihat Ekonomi pemerintahan Bill Clinton dan Bank Dunia, terjadi akibat penerimaan informasi yang asimetris (para konglomerat mendapatkan informasi lebih lengkap ketimbang rakyat jelata). Sehingga, di Wall Street, misalnya, para elite pengelola perdagangan saham bisa melakukan berbagai kelicikan melalui penjualan saham perdana kepada publik, penggorengan harga saham melalui triktrik akuntansi yang rumit, insider trading, pemotongan pajak, patgulipat merger dan akuisisi, yang kesemuanya merupakan perampokan atas dana publik dan dana talangan pemerintah, yang hanya memperkaya para CEO dan komplotannya di perbankan, pemerintahan, Kongres, dan partai
politik. Ketika praktek-praktek busuk itu terbuka kepada publik, bangkrutlah korporasi energi Enron, korporasi telekomunikasi WorldCom, biro akuntansi Arthur Andersen, dan banyak lagi. Praktek-praktek semacam itu terjadi di seluruh dunia, terutama yang penguasanya takut dan tunduk kepada tekanan Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

Revolusi Global

Demo serupa juga terjadi di berbagai negara, antara lain di Kanada, Jepang, Inggris, Spanyol, Jerman, dan Yunani. Dengan kalimat lain, OWS adalah sebuah revolusi kebudayaan yang niscaya menggelegak secara global.

Semangat suci kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dijanjikan oleh sistem demokrasi telah diinjak-injak oleh para penganjurnya yang zalim. Amoralitas para pelaku bisnis yang “berzina”dengan para politikus dan birokrat tidak hanya merusak fondasi demokrasi di dalam negeri Amerika Serikat sendiri. Dengan bantuan Departemen Keuangan, Bank Dunia,
dan IMF, para gurita Wall Street itu menjulurkan belalai-belalai keserakahannya ke seluruh dunia, dengan jargon penuh kemunafikan: “demokrasi”dan “pasar bebas”—yang di Amerika sendiri diingkari secara terang-terangan!

Kemunafikan itu pun dikecam habis oleh Stiglitz. Adalah amoralitas dan kemunafikan kuartet Departemen Keuangan-Wall Street-Bank Dunia-IMF yang dituding dan dibuktikan oleh penelitian Stiglitz puluhan tahun, yang menjadi biang bagi ambruknya perekonomian Amerika
Serikat pada 1990-an, yang daya rusaknya berimbas ke seluruh dunia (terakhir Yunani dan Italia), termasuk Indonesia.

Di Indonesia, dampak dari kerusakan dan racun yang ditebarkannya (kerakusan dan korupsi serta “perzinaan”segitiga penguasa-politikus-pengusaha, dari pusat hingga daerah, dari kota hingga ke desadesa) terus berlangsung hingga kini secara epidemik dengan tingkat keparahan yang semakin menjadi-jadi.

Miliarder di Indonesia

Tidak mengherankan jika data distribusi simpanan nasabah bank-bank di Indonesia, yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pada 22 Juli 2011 menunjukkan: jumlah rekening dengan nominal di atas Rp 5 miliar hanya 42.120 rekening, alias hanya 0,04 persen dari jumlah rekening keseluruhan (sekitar 100 juta rekening). Total simpanan pada segmen tersebut mencapai Rp 1.005,40 triliun (dari total simpanan Rp 2.494,71 triliun).

Jika para miliarder itu masing-masing memiliki dua rekening dari jumlah 42.120 rekening tadi—belum termasuk dana yang mereka simpan di luar negeri—itu artinya pemilik dana lebih dari seribu triliun rupiah itu hanya 21.060 orang! Merekalah para penguasa sebenarnya di negeri berpenduduk 237 juta jiwa ini. Dan mereka memamerkan kekayaannya, antara lain, dengan
kepemilikan rumah-rumah mewah dan mobil-mobil kinclong di jalan raya hingga ke lapangan parkir di gedung DPR-RI. Sementara itu, kaum 99 persen hanya bisa menjadi penonton di pinggir jalan atau dari dalam angkutan umum yang sumpek, berjubel, dan bercopet.

Apakah kita tengah mengabaikan sesuatu?

Naratologi Kekuasaan


Naratologi Kekuasaan
Acep Iwan Saidi, KETUA FORUM STUDI KEBUDAYAAN FSRD-ITB 
Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011


Tulisan ini diinspirasi dua narasi. Pertama, narasi Roland Barthes dalam bukunya, Mythologies, tentang berbagai adegan kekerasan dalam film gangster. Kedua, narasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perombakan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 beberapa waktu lalu. Terdapat dua hal yang mirip pada keduanya: soal bagaimana dunia dipersepsi para pelakunya.

Dalam film-film gangster, tulis Barthes, seorang perempuan cantik dapat dengan tenang meniupkan asap rokok ke wajah orang yang hendak menyerangnya. Istri seorang gangster bisa dengan terus merajut kain di tengah-tengah kekacauan, dalam kecamuk suara pistol yang, bagi penonton, sangat mengerikan.

Bagi para gangster, kekacauan adalah hal biasa. Realitas di luar diri adalah sesuatu yang terpisah. Dalam kegangsteran diri menjadi steril, tak ada masalah, semua bisa berjalan biasa-biasa saja.

Sementara itu, dalam narasi perombakan kabinet oleh SBY, melalui layar televisi setidaknya kita menonton empat adegan. Pertama, pemanggilan tokoh yang didefinisikan pemerintah sebagai ”yang kredibel” ke rumah pribadi SBY di Cikeas.

Kedua, pernyataan sikap beberapa calon menteri terpilih sehari sebelum diumumkan secara resmi. Ketiga, pembacaan pengumuman oleh Presiden SBY. Keempat, upacara pelantikan dan pengangkatan sumpah pejabat.

Keempat adegan itu mengalir dan mengalur dalam suasana yang sama: berlangsung dengan ceria. Pada adegan pertama, misalnya, tampil beberapa sosok dengan wajah penuh pesona, tersenyum, dan melambaikan tangan di ujung kamera. Pada adegan kedua, kecuali Dahlan Iskan, semua bahagia dan tentu saja mengucap syukur.

Pada adegan ketiga, Jero Wacik bahkan merasa perlu nonton bersama keluarga menyaksikan di depan kamera pengumuman untuk para pemenang kuasa sebelum kemudian bertempik sorak atas kemenangan dirinya. Terakhir, adegan keempat, adalah sebuah panorama tentang bagaimana roh kuasa ditiupkan di bawah panji keagungan Tuhan (kitab suci yang diangkat ke atas kepala pada sumpah jabatan). Seperti tiga adegan sebelumnya, adegan ini pun penuh senyum, tentu saja senyum lebih formal.

”Mal” Tanpa Jendela

Kecuali keceriaan sedemikian, tak ada yang luar biasa pada semua adegan itu. Semua berjalan indah, padahal lakonnya dipentaskan dalam situasi ”gawat darurat”. Ini berarti bahwa lakon itu berbanding lurus dengan film gangster. Keduanya sama-sama berada di dalam sebuah ”studio narasi” sehingga terpisah dari realitas.

Jika narasi gangster merupakan ”realitas baru” yang dilahirkan sebagai representasi dari realitas sebenarnya, narasi kuasa adalah realitas dalam ”mal” tanpa jendela, tempat di dalamnya orang lupa pada realitas di luar gedung.

Seperti dalam narasi gangster yang tokoh-tokohnya harus selalu bertempur, saling serang meniadakan lawan, narasi kuasa juga menempatkan pemangkunya terus-menerus dalam situasi bahaya. Perombakan kabinet kemarin pada hemat saya terjadi lebih karena ”kekacauan di dalam” akibat berbagai pertempuran hingga berujung pada keputusan: ada yang harus ”diselamatkan” di satu sisi dan ”dicelakakan” di sisi lain.

Sebagai penonton, yang tentu saja melihat dari arah depan layar, kita menyaksikan keanehan- keanehan yang dirasionalkan. Kita mengikuti jalan ceritanya sehingga dengan begitu kita bisa menerima—paling tidak untuk sementara—perasionalan itu.

Kita memaklumi dengan mengurut dada sebelum kemudian menarik simpulan: demikianlah, dalam narasi kuasa para tokoh harus memainkan perannya. Pertanyaannya, mengapa narasi penuh bahaya itu didambakan? Bagi sebagian orang, menjadi gangster adalah sebuah pencapaian. Tak semua orang berani dan bisa melakukannya. Menjadi gangster adalah prestasi tersendiri. Gangster adalah sebuah dunia tempat kekuasaan menunjukkan wujudnya dengan sangat eksplisit.

Hal ini lagi-lagi berbanding lurus dengan narasi kuasa: bagaimana kekuasaan dalam dunia politik memberikan posisi kepada para pelakunya. Kursi kuasa (jabatan politik) adalah representasi dari prestasi. Dipanggil untuk menduduki sebuah kursi kuasa berarti diposisikan sebagai yang mumpuni.

Ketika kursi kekuasaan dipersepsi sebagai pahala dari prestasi, jelas kekuasaan (jabatan) menjadi ruang lain yang berbeda dengan realitas. Jabatan adalah realitas prestasi yang ”dibendakan”. Itu sebabnya, para tokoh yang di- minta menduduki jabatan kuasa terjebak pada keyakinan bahwa jabatan yang diberikan kepada dirinya adalah untuk dirinya yang ”dianggap mumpuni” itu.

Kekuasaan telah menariknya dari ”realitas comberan”, khalayak yang tak berprestasi. Akibatnya, tak pernah ada yang menolak jabatan yang ditawarkan SBY. Ketimbang menolak, orang yang ditawari malah mensyukuri, menyambut dengan tepuk tangan anggota keluarga juga. Untuk orang tertentu, ketika musim pembentukan kabinet baru tiba, panggilan dari istana adalah sesuatu yang sangat ditunggu.

Naratologi Gangster

Padahal, kursi kuasa mestinya tak dipersepsi demikian, tetapi harus diposisikan sebagai ”jembatan” yang menghubungkan penguasa dengan rakyat banyak. Kursi kuasa harus berdiri di tengah-tengah khalayak sebagai perekam suara kompleksitas. Maka, kekuasaan adalah alat, bukan tujuan. Para pemangku kuasa harus menggunakan kekuasaan sebagai alat memfasilitasi suara bersama, bukan sebaliknya: diperalat kekuasaan menjadi budaknya sehingga ia hanya berpikir tentang diri sendiri, bukan kepentingan khalayak.

Dalam konteks itu, ketika seorang individu dipanggil dari kerumunan untuk menduduki sebuah jabatan, mestinya ia melakukan refleksi: mampukah ia menjadikan kekuasaan sebagai jembatan khalayak? Kemampuan ini tak bisa diukur diri sendiri, tetapi harus berdasarkan pertimbangan khalayak jua.

Itu berarti, ketika diangkat jadi menteri, misalnya, ia harus segera membuka diri dan ”bertanya kepada khalayak”. Walhasil, kursi kuasa yang diberikan bukan sebuah pahala yang harus disyukuri dengan segera, apalagi disambut tepuk tangan. Ia justru awal dari sebuah proses perjuangan menjadi ”jembatan”.

Jika lulus hingga di ujung jembatan, artinya mampu mengemban amanah sampai akhir jabatan, barulah ia berhak bersyukur. Jika tidak, di tengah jalan ia harus berani mengundurkan diri. Pengunduran diri pejabat yang diminta khalayak atau yang disebabkan oleh pengakuan diri adalah prestasi moral yang harus disyukuri juga.

Situasi itu tampaknya tak pernah terjadi dalam konstelasi politik dan kekuasaan di negeri ini. Di sini, sekali lagi, jabatan dipersepsi sebagai anugerah, penghargaan atas kemampuan diri. Kekuasaan berpusat pada diri, bukan khalayak. Alih-alih jadi corong khalayak, ia malah memperalat khalayak demi kelanggengan kuasanya. Walhasil, naratologi politik dan kekuasaan kita identik dengan naratologi gangster. ●

Ruang Etalase Politik


Ruang Etalase Politik
Yasraf Amir Piliang, DOSEN PADA PROGRAM MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Sumber : KOMPAS, 1 Desember 2011


Ruang politik bangsa akhir-akhir ini dirasuki semangat ”materialisme”, menyebarkan aroma kegusaran publik. Mulai dari gaya hidup hedonistis anggota DPR, dana kampanye politik yang seakan tanpa batas, kekayaan pejabat negara yang berlimpah, pesta ulang tahun atau pernikahan keluarga pejabat yang mewah, hingga kemewahan kamar tahanan bekas pejabat atau politisi.

Terjerat arus materialisme, para elite politik gagal mengusung ”nilai-nilai baik bersama” (common good) yang substansial bagi masa depan res-publica: kejujuran, kebenaran, loyalitas, keutamaan, kerja keras, dan keteladanan. Yang tumbuh justru ”nilai-nilai buruk bersama” (common bads): nilai-nilai memuja material, tampilan, hedonisme, simbol, gaya, dan gaya hidup, haus kedudukan, mental korup, jalan pintas, ketidakterpecayaan, kecurangan, dan kekerasan.

Karena ruang demokrasi didominasi para ”pemuja” material, simbol, dan gaya hidup, kekuatan politik direduksi menjadi ”kekuatan material” dan ”kekuatan citra” sebagai jalan pintas kekuasaan politik. Kombinasi ”industri politik” dan ”industri pencitraan”—dilengkapi aneka trik manipulasi media—menciptakan ”ruang etalase politik”, di mana relasi intersubyektivitas di antara elemen-elemen politik tak didasari oleh landasan nilai-nilai politik, tetapi ekses-ekses nilai mesin ”industrialisasi politik”.

Demokrasi Oligarkis

Sistem demokrasi yang terkontaminasi virus-virus ”komersialisasi” menyebabkan kekuasaan politik tak lagi dibangun oleh kekuatan intelektualitas, kecakapan, karisma, meritokrasi, atau kepemimpinan, tetapi oleh ”kekuatan materi” (the power of wealth), di mana kekayaan dikonversi menjadi kekuasaan. Dominasi kekuatan material mengubah watak res-publica, di mana kebaikan (atau malah keburukan) bersama (common good) merupakan efek perayaan material.

Seperti dikatakan Jacques Ranciere (Hatred of Democracy, 2006), sistem demokrasi hari ini didominasi bukan oleh para elite politik yang berjuang membangun nilai-nilai kebaikan bersama, melainkan oleh para ”individu egoistik” atau ”konsumer serakah” yang mengumbar hasrat-hasrat pribadinya atas nama kepentingan publik. Mereka memanipulasi ruang politik dan ruang publik demi akumulasi material, yang direinvestasi menjadi reproduksi kekuasaan.

Karena ”kutukan” material, ruang demokrasi kini menjadi ”ruang apolitik” (apolitical space) karena nalar, logika, dan argumen politik diambil alih kalkulasi ekonomi. Ruang politik menjadi semacam ”etalase ekonomi”, yaitu ranah pertarungan kekayaan untuk mendapatkan kekuasaan. Di sini, kekuatan politik satu-satunya adalah modal ekonomi (economic capital), menggusur modal budaya (pendidikan, kecakapan, kepemimpinan) dan modal simbolis (karisma, etnisitas, pamor).

Ruang politik demokratis menjelma menjadi ”industri politik”, di mana setiap proses, relasi, dan wacana politik hanya dapat dibangun melalui kekuatan modal ekonomi, media, dan pencitraan. Artinya, ”demokrasi” kini menjelma menjadi semacam ”oligarki”, di mana kekuasaan bukan di tangan ”rakyat”—seperti yang diyakini—melainkan di tangan segelintir orang kaya (oligarch). Melalui kekayaannya, para oligarch ini bahkan mampu ”membeli” rakyat, warga, atau publik dengan mengeksploitasi mereka sebagai obyek dan komoditas politik.

Dalam industri politik, ”konstituen politik” menjelma menjadi ”konsumer politik”. Mereka tak hanya ditawari aneka ”komoditas politik” menawan dan gemerlap (kampanye, iklan, slogan), tetapi mereka sendiri kini dikonversi menjadi ”komoditas”, yang dieksploitasi tenaga, pikiran, waktu, dan keterampilan mereka, demi kepentingan jangka pendek para elite politik, untuk kemudian ”dikecewakan” setelah kekuasaan didapat, semacam ”fetisisme komoditas” (commodity fetishism), seperti dikatakan Marx.

Demokrasi mengajarkan kebebasan memilih melalui ajang pemilihan umum, tetapi kekuatan modal (kampanye, pencitraan, polling) yang menggiring pilihan warga; demokrasi merayakan kebebasan pers, tetapi media (televisi) dikuasai oleh para ”taipan politik” yang mudah mengontrol opini publik; demokrasi membuka kebebasan berkumpul, berasosiasi, dan berdemonstrasi, tetapi semuanya kini menjadi ”komoditas” para elite politik untuk aneka kepentingan mereka.

Kondisi ”demokrasi oligarkis” macam ini yang menyebabkan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadi milik orang (atau partai) kaya. Ini pula yang mendorong lingkaran setan korupsi—baik individu, kelompok, maupun partai—karena hasrat akumulasi modal dalam waktu singkat sebagai jalan kekuasaan, diikuti hasrat mengembalikan investasi modal (dalam kampanye, iklan), plus ”keuntungan” (politik), layaknya hukum ekonomi.

Etalase Demokrasi

Dalam sistem demokrasi, khususnya di negara republik seperti Indonesia, menurut Iseult Honohan (Civic Republicanism, 2002), fondasi arsitektur masyarakat politik adalah kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebaikan bersama yang dikembangkan di dalamnya. Untuk itu, di dalamnya perlu dibangun budaya publik (public culture) yang sehat, yaitu aneka sikap, mentalitas, perilaku, makna, dan nilai-nilai yang membawa pada kebaikan bersama.

Di dalam arsitektur demokrasi-republikan, ”warga” (citizen) menjadi pilar komunitas politik, yang melaluinya dirangkai nilai kebaikan, keutamaan, imajinasi, utopia, dan cita-cita bersama. Keutamaan dan kebaikan bersama itu bukan warisan, melainkan disusun bersama melalui relasi intersubyektivitas dinamis di antara elemen-elemen politik berbeda (ideologi, kelompok, partai) dengan cara membangun ruang publik yang sehat, di mana nilai, keyakinan, dan ideologi dipertarungkan.

Akan tetapi, pada era globalisasi dan abad informasi kini kebaikan bersama itu kian sulit dirumuskan karena kondisi saling-pengaruh yang mencirikan masyarakat kontemporer.

Maka, kata Chantal Mouffe (The Return of the Political, 1993), yang kini harus dikejar bukan kebaikan bersama, melainkan kekuatan res-publica sendiri, yaitu praktik kewargaan, relasi intersubyektif antarwarga, atau ”hubungan sipil” (civil intercourse) kuat, dengan membangun bahasa pergaulan, norma, aturan main, dan nilai-nilai bersama dalam iklim perbedaan.

Kekuatan masyarakat demokratis bukan pada kebaikan bersama, melainkan pada ”ikatan bersama” (common bond), yang memungkinkan individu atau kelompok yang berbeda bertarung secara sehat, dengan saling menghargai eksistensi masing-masing, meskipun ”berseteru” dalam ideologi politik. Res-publica, dengan demikian, adalah artikulasi ”kepentingan bersama”, yaitu memberikan ruang untuk segala kepentingan, tujuan, keinginan, dan keyakinan, tetapi dalam bingkai saling menghargai eksistensi.

Akan tetapi, karena demokrasi telah menjelma menjadi ”demokrasi oligarkis” dan ruang politik menjadi ”industri politik”, ”ikatan bersama” dan ”nilai bersama” itu kini tumbuh dalam wajah buruk, yaitu wajah ”apolitis”. Ikatan dan nilai bersama intersubyektif itu dibangun bukan untuk motif kebaikan bersama, melainkan lingkaran setan kekayaan-kekuasaan. Di dalamnya, kebaikan bersama dimanipulasi jadi ”citra kebaikan bersama”, untuk menutupi ”keburukan bersama”.

Dalam alam demokrasi oligarkis, para oligarch menggusur statesman, imagocraft menggantikan statecraft, res-oeconomicus meminggirkan res-publica. Ruang politik menjelma ruang window display politik karena yang ditampilkan di ruang publik adalah ”barang pajangan” politik, yang dikemas melalui strategi komunikasi, informasi, dan pencitraan abad informasi yang canggih, memukau, memesona, sekaligus menipu.

Akan tetapi, di balik etalase politik yang tampak memesona—dengan barang pajangan politik yang tampak menarik—disembunyikan segala keburukan, kelemahan, bahkan kejahatan politik (korupsi, manipulasi, mafioso). Dominasi motif kekuasaan plus kekayaan ketimbang motif menggali keutamaan publik, alih-alih mampu menciptakan ”kebaikan umum”, di dalam demokrasi oligarkis hanya menyisakan ”keburukan umum”. Keburukan umum itu kini yang menjadi ”keutamaan publik” kita. ●

HIV, Remaja, dan Media Sosial


HIV, Remaja, dan Media Sosial
Amrizal Muchtar, DOKTER, PRAKTISI KESEHATAN
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Desember 2011



Revolusi komunikasi telah terjadi dalam sekitar lima tahun terakhir. Revolusi ini ditandai
dengan munculnya media-media sosial di Internet, seperti Facebook,Twitter, blog, dan
Youtube, yang mengubah secara besar-besaran jalur komunikasi dunia. Dengan media-media sosial ini, manusia dengan mudah berbagi informasi yang bisa memberi dampak positif dan dampak negatif. Untuk kasus HIV sendiri, media sosial diindikasikan telah mendukung penyebaran HIV lebih cepat.

HIV adalah suatu virus penyebab AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Menurut Wikipedia, AIDS adalah sekumpulan gejala atau infeksi yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV (human immunodeficiency virus). HIV bekerja dengan melemahkan daya tahan tubuh manusia.
Orang yang terkena virus ini akan kehilangan daya tahan tubuh, sehingga akan terserang banyak penyakit. Bahkan penyakit flu, yang pada orang normal mudah sembuh sendiri dengan istirahat, akan berkepanjangan dan menjadi semakin parah.

Banyak sekali penyakit yang bisa menerpa penderita AIDS. Penyakit-penyakit tersebut terjadi akibat infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit yang dengan mudahnya menjangkiti mereka karena tidak ada reaksi perlawanan dari dalam tubuh. Beberapa penyakit tersebut adalah pneumonia pneumocystis,TBC, esofagitis, diare kronis, toksoplasmosis, meningitis, demensia, kelenjar getah bening, sindroma kaposi, dan masih banyak lagi.

Menurut Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, M. Subuh, dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat, 25 November 2011, jumlah pengidap HIV di Indonesia mencapai 2,4 persen dari total populasi atau sebesar 186 ribu orang. Jumlahnya bahkan mungkin lebih besar dari itu dan bisa mencapai lebih dari
200 ribu orang. Sungguh angka yang luar biasa besar untuk suatu penyakit yang mematikan. Kita bisa membayangkan bahwa di sekitar kita mungkin sudah lalu lalang
penderita HIV tanpa kita sadari. Kita bisa saja tertular kalau tidak berhati-hati dalam bergaul.

Jumlah besar ini setiap saat semakin meningkat mengingat tidak adanya kontrol dalam penyebarannya. Jumlah pemakai narkoba suntik makin lama makin bertambah. prostitusi juga semakin meningkat. Maraknya penggunaan media sosial malah meningkatkan praktek prostitusi secara online.

Booming media sosial di Indonesia telah terjadi dalam lima tahun terakhir. Saat ini Facebook menempati posisi tertinggi untuk pemakaian jaringan sosial, menyusul
Twitter. Di Indonesia, pemakaian Facebook dan Twitter telah mencapai 47 juta pengguna dari total penduduk Indonesia sebesar 245 juta. Data ini menempatkan
Indonesia di peringkat dua dunia dan peringkat satu Asia dalam hal pemakaian media sosial. Media sosial memang bisa membawa dampak positif bagi masyarakat. Mudahnya komunikasi menjadikan mudahnya seseorang mendapatkan banyak teman baru dan bercengkerama dengan kawan-kawan lama. Ini tentu saja bisa mendatangkan rezeki bagi banyak kalangan.

Tapi media sosial ternyata ibarat “pedang bermata dua”. Di sisi tajam yang satu, media sosial membawa dampak positif.Tapi di sisi yang lain, media sosial juga mengundang hal-hal negatif yang sudah terbukti sering terjadi. Salah satu contohnya adalah penyebaran HIV dengan perantaraan media online ini. Biasanya kasusnya melibatkan remaja-remaja yang tentu saja masih labil. Suburnya prostitusi online ini tentu saja membawa dampak besar terhadap penyebaran HIV.

Remaja yang terlibat biasanya masih sangat awam ihwal adanya HIV yang mengancam kehidupan mereka. Remaja tersebut biasanya cuma memikirkan bagaimana mereka bisa mendapatkan uang dengan cara yang mudah. Mereka tidak berpikir atau bahkan tidak tahu bahwa sudah banyak sekali penderita HIV di sekitar mereka. Bahkan orang yang “memakai” jasa mereka mungkin saja sudah terkena virus ini.

Mengapa banyak sekali remaja yang terlibat kasus prostitusi online? Ada beberapa penyebabnya.Yang pertama adalah berkembangnya pola pikir materialisme, di mana baik-buruknya manusia dinilai dari banyaknya harta yang dia miliki. Ini diperparah oleh gencarnya media-media televisi maupun media online yang menularkan gaya hidup hedonistik. Lama-kelamaan, tertanamlah dalam benak remaja bahwa kebahagiaan
hanya bisa diraih dengan uang.

Yang kedua, kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai etika, moral, serta agama kepada remaja. Remaja adalah sosok yang masih labil. Belum banyak pengetahuan tentang mana yang benar dan mana yang salah. Mereka masih membutuhkan bimbingan dari keluarga untuk menjalani hidup.Tanpa bimbingan yang
benar, remaja bisa saja terperosok mengikuti ajakan teman-temannya yang tidak benar. Hanya demi uang untuk membeli smartphone, membeli pakaian baru, akhirnya para remaja labil tersebut rela melakukan praktek prostitusi yang berujung pada penyebaran
HIV/AIDS. Pengetahuan mereka akan penyakit menular seksual sangat minim. Yang mereka tahu adalah bahwa mereka bisa mendapatkan segepok uang tanpa susah payah setelah melakukan transaksi.

Didorong oleh uang banyak dan didukung ketidaktahuan, mereka dengan gampangnya melakukan hubungan seksual tanpa pengaman dengan pelanggan yang positif mengidap HIV/AIDS. Akhirnya tertularlah mereka oleh penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya tersebut. Setelah itu, akan terjadi efek domino di mana remaja tersebut akan menularkan lagi virus HIV ini ke pelanggan yang lain. Hal itu berlanjut terus tanpa ada habisnya. Akhirnya, jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia pun semakin melonjak. Menurut statistik, sekitar 70 persen ODHA adalah remaja.

Kenyataan tragis ini tidak boleh diabaikan begitu saja. Tidak boleh kita mengatakan, “Saya tidak akan tertular karena saya ini orang baik-baik. Saya tidak berzina dan saya
tidak memakai obat-obatan terlarang.” Fakta menunjukkan bahwa sudah ribuan orang yang tidak bersalah tertular HIV.Dia tidak bersalah, tapi suaminya bersalah karena sudah memakai jasa prostitusi. Dia tidak bersalah, tapi dia tertular akibat kontaminasi darah pengidap HIV di rumah sakit. Dan masih banyak jalur lain yang membuat seseorang yang sangat tidak pantas menderita HIV akhirnya tetap bisa tertular.

Karena itulah, semua pihak, baik pemerintah, lembaga-lembaga kesehatan, LSM, maupun masyarakat kecil seperti kita, harus peduli terhadap penyebaran penyakit ini. Makin luas penyebarannya, makin besar pula risiko kita untuk kena. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk berpartisipasi. Mulailah dari yang kecil, misalnya menjaga keluarga kita agar selalu on the track.  Bekalilah keluarga kita dengan ilmu agama dan pendidikan moral yang cukup, sehingga bisa selalu terhindar dari bahaya negatif dunia maya.

Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah lawanlah serangan digital negatif media sosial dengan serangan digital positif. Harus ada inisiatif, baik dari LSM, pemerintah, maupun pribadi, untuk menyebarkan pesan-pesan digital positif ke dunia maya guna
mengingatkan kembali warga dunia maya ke arah yang benar. Kita berdoa semoga penanggulangan HIV di negara kita bisa menjadi lebih baik. Setidaknya, tingkat pengetahuan tentang HIV dan penyebarannya bisa menjangkau seluruh masyarakat sampai ke tingkat individu di negara kita tercinta.Ayo kita merenung apa yang kita bisa berikan di Hari AIDS Sedunia, 1 Desember 2011.