Kamis, 01 Desember 2011

Memperkuat Undang-Undang KPK


Memperkuat Undang-Undang KPK
Roby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber : KORAN TEMPO, 2 Desember 2011

Bagian Pertama



Ketidakmampuan Komisi Pemberantasan Korupsi menangani kasus korupsi akbar (grand corruption), seperti kasus Bank Century, cek pelawat, dan Wisma Atlet, secara
adil, tuntas, serta obyektif terus menuai sinisme publik. Apabila hal ini dibiarkan, kepercayaan publik (public trust), yang krusial bagi eksistensi dan efektivitas kinerja KPK, akan terus menurun. Tanpa tindakan yang strategis dan komprehensif, masyarakat suatu saat nanti akan memandang KPK tidak berbeda dengan institusi
penegak hukum lain yang korup, tidak memiliki kredibilitas, dan tidak berdaya memberantas korupsi.

Tapi ketidakberdayaan KPK tersebut sesungguhnya (sebagian) disebabkan oleh kelemahan kebijakan (policy defects) Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002.
Karena itu, revisi dalam arti penguatan undang-undang itu adalah suatu keniscayaan.
Sebagai perbandingan, undang-undang yang mendirikan Komisi Independen Antikorupsi (Independent Commission Against Corruption atau ICAC) Hong Kong, yang
menjadi model komisi antikorupsi di banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami beberapa kali perubahan. Begitu juga dengan ICAC Act 1988, yang mendirikan ICAC New South Wales (Australia).

Tulisan ini mengusulkan revisi untuk memperkuat UU KPK. Bagian pertama membahas kelemahan (Undang-Undang) KPK. Bagian terakhir mendiskusikan mekanisme akuntabilitas, penguatan fungsi pencegahan, dan penindakan KPK (preventive and investigative power).

Kelemahan

Kelemahan mendasar KPK, sebagaimana tersirat dalam diktum menimbang UU KPK, adalah sifat ad hoc dari KPK itu sendiri. KPK didirikan karena “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”. Artinya, KPK tidak diperlukan lagi atau dibubarkan bila lembaga pemerintah itu, dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, sudah berfungsi dengan efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.

Hal ini tentu saja membuka peluang bagi kekuatan korup menggalang kekuatan politik
di eksekutif ataupun legislatif untuk membubarkan KPK kapan saja. Mereka bisa saja beralasan KPK tidak diperlukan lagi, karena kepolisian dan kejaksaan telah “berfungsi dengan baik”, atau beralasan KPK justru telah “mengganggu berfungsinya sistem peradilan pidana dalam suatu negara hukum”. Sifat ad hoc KPK juga dapat menimbulkan ketidakpastian masa depan dan ketidaktenangan pegawai KPK dalam bekerja.

Karena itu, dalam berbagai tulisan saya berdasarkan pengalaman berbagai negara yang berhasil memberantas korupsi, saya mengusulkan agar KPK ditetapkan sebagai
institusi independen permanen dalam pemberantasan korupsi, meskipun kepolisian dan kejaksaan telah berfungsi dengan baik.

Bahkan, dalam tulisan saya,“(Sekali Lagi) Menyelamatkan KPK!”(Koran Tempo, 26 Agustus 2011), karena peran KPK yang sangat besar dan strategis bagi berfungsinya
demokrasi dan pemerintahan, the rule of law, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan serta eksistensi bangsa dan negara, saya berpendapat KPK hendaknya ditetapkan menjadi lembaga konstitusional (constitutional body) seperti halnya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dengan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 menjadi UUD antikorupsi, seperti UUD Thailand, KPK dengan fungsinya yang strategis seperti penyidikan dan penuntutan, termasuk penyadapan, hanya dapat dibubarkan dengan referendum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar