Kamis, 01 Desember 2011

Negosiasi Durban

Negosiasi Durban
Fachruddin Mangunjaya, KANDIDAT DOKTOR PROGRAM STUDI LINGKUNGAN IPB
Sumber : KORAN TEMPO, 2 Desember 2011



Tidak ada konvensi internasional paling krusial sifatnya yang setiap tahun membawa banyak negara beserta para negosiator dan aktivis lingkungan, kecuali konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim (UNFCCC). Pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang diadakan pada 28 November hingga 9 Desember 2011, diikuti oleh 20 ribu peserta dan peninjau yang datang dari minimal 194 penanda tangan konvensi serta negara lainnya.

UNFCCC sesungguhnya telah hampir menjadi sebuah konvensi universal yang diikuti oleh mayoritas negara di muka bumi. Mereka yang tergabung dalam konvensi tersebut adalah pemerintah negara yang berkomitmen untuk: pertama, mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca, kebijakan nasional, dan praktek terbaik yang mereka lakukan; kedua, berkomitmen membuat strategi nasional untuk mengatasi emisi gas rumah kaca dan dalam rangka mitigasi perubahan iklim serta—tentu saja termasuk—pemberian dukungan keuangan dan teknologi untuk negara-negara berkembang. Ketiga, bekerja sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang akan terus
meningkat.

Adapun COP merupakan pertemuan tertinggi antarnegara anggota untuk menilai kemajuan dalam berurusan dengan perubahan iklim.Tahun ini ada dua agenda penting dalam negosiasi tersebut yang diperdebatkan. Pertama, perjuangan mereduksi emisi yang selama ini berbasis pada kesepakatan antarbangsa (global accord) Protokol Kyoto akan berakhir pada 2012, sehingga langkah berikutnya akan membahas apakah protokol ini akan diganti atau diperpanjang menjadi Protokol Kyoto II. Kedua, bagi negara berkembang —termasuk Indonesia—adalah agenda penting mengikutkan agar skema REDD+ mendapat pengakuan legal dari dunia, sehingga kredit karbon akan didapatkan guna menjamin mekanisme finansial untuk tetap mempertahankan hutannya. Beberapa praktisi—termasuk banyak NGO—berupaya dan mendesak supaya hal ini bisa diwujudkan dengan kesepakatan yang mengikat (legally binding).

Sebab, bagaimanapun mempertahankan hutan yang ada sama dengan berupaya secara preventif mencegah kerusakan yang lebih parah.

Kerja Sama Global

Upaya negosiasi untuk mencapai penurunan emisi karbon di tiap negara sudah tentu sulit dilakukan tanpa adanya kerja sama antarnegara yang berkomitmen menurunkan
jumlah emisinya dan bantuan pasti untuk menahan laju kerusakan hutan. Diperkirakan sumber emisi global yang berasal dari kebakaran hutan serta pembukaan lahan dan hutan adalah 20- 25 persen emisi global. REDD+ memerlukan kesepakatan internasional yang mengikat (legally binding international agreement), dengan penurunan target emisi yang akan mendorong skema kredit karbon dalam upaya menurunkan pembukaan lahan dan hutan di negara berkembang.

Beberapa skema sukarela telah dilakukan untuk mencoba REDD+ di lapangan,
termasuk upaya pemerintah Indonesia berniat menurunkan 26 persen emisinya.
Karena itu, Indonesia telah mendapatkan komitmen bilateral dari Norwegia dan berbagai partisipasi tidak mengikat lainnya dari berbagai pemerintah untuk mencoba
REDD+ di lapangan.

Banyak kemajuan dan juga uji coba kesiapan REDD+ sudah dilakukan, debat publik sering terjadi—di mailing list lingkungan —terutama dalam upaya penerapan insentif bagi masyarakat yang ada di pinggiran hutan, di antaranya bahwa REDD+ sesungguhnya tidak dikehendaki mengulang kapitalisasi hutan menjadi keuntungan para elite pengusaha hutan yang “berganti baju investasi” menjadi penjaga hutan dengan mengambil rente karbon yang dimilikinya tanpa dapat mengubah keadaan masyarakat pinggiran hutan. Disadari pula bahwa selama ini pengusahaan hutan produksi dan pembukaan lahan untuk pertambangan ternyata tidak mampu mengentaskan masyarakat miskin di sekitar hutan yang bahkan hanya mendapat bencana ketika hutan ditinggalkan, seperti sisa lahan yang tercemar tambang dan tidak lagi subur, banjir, tanah longsor, kekeringan, serta kekurangan air bersih.

Bagi keuntungan global, sesungguhnya cost and benefit sebuah hutan alam yang
produktif: dari segi penyerap karbon, layanan ekosistem, penahan kesuburan lahan,
penyedia plasma nutfah, penghasilan langsung masyarakat dari hasil hutan bukan kayu, sesungguhnya dapat dihitung dalam jangka panjang.Kebijakan jangka pendek tentu tidak akan dapat menolong hutan kita. Sebab, sudah pasti kebutuhan akan kayu, bahan tambang, dan hasil yang instan akan lebih menarik serta terlihat menguntungkan. Di sinilah diperlukan pemilihan pemimpin yang mempunyai wawasan ke depan, yang tidak hanya memikirkan kantong pribadi, partai, atau kelompoknya, tapi memikirkan masa depan anak-cucunya dan masa depan bumi.

Demikian pula sesungguhnya adaptasi dapat dilakukan dengan upaya mempertahankan alam—hutan dan penataan ruang yang tepat—sebagai barier alami atas perubahan iklim. Misalnya, tanpa disadari pemerintah Indonesia telah menghabiskan jutaan dolar untuk membangun jalan ke Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk mengatasi kenaikan genangan air laut (rob)—ketika terjadi banjir besar—tapi
lupa bahwa kawasan tersebut dulu merupakan hutan mangrove yang telah diubah menjadi lahan gudang, pabrik, dan perumahan.

Bagaimanapun upaya mempertahankan lingkungan harus dapat mengubah perilaku kebijakan dengan berbagai upaya dan pendekatan. Perubahan iklim memerlukan kesadaran kolektif dari tingkat individu (warga negara) hingga kebijakan negara. Karena itu, tumpuan perubahan perilaku (gaya hidup) hendaknya tidak hanya dilakukan dalam negosiasi global, juga dalam skala nasional, lokal, tingkat organisasi kolektif masyarakat (misalnya organisasi kemasyarakatan), bahkan tingkat perusahaan. Misalnya, perusahaan—yang telah berkomitmen untuk go green—perlu mendorong karyawan mempunyai kebanggaan moral, bahkan memberi insentif, jika mereka bisa menggunakan sepeda ke kantor dalam upaya mereduksi emisi karbon individual mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar