Minggu, 04 Desember 2011

Memperkuat Undang-Undang KPK


Memperkuat Undang-Undang KPK
Roby Arya Brata, ANALIS ANTIKORUPSI, HUKUM, DAN KEBIJAKAN
Sumber : KORAN TEMPO, 3 Desember 2011

Bagian Kedua / Terakhir



Bagian terakhir tulisan ini mengatasi kelemahan desain kebijakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002 sebagaimana telah dianalisis dalam tulisan sebelumnya. Revisi UU KPK haruslah memperkuat efektivitas dan akuntabilitas organisasi, serta fungsi pencegahan dan penindakan KPK. Sepuluh isu krusial yang menjadi agenda kebijakan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan revisi UU KPK (Koran Tempo, 26 Oktober 2011) juga akan dibahas dalam tulisan ini.

Penguatan Organisasi

Masalah krusial yang harus segera diatur dalam revisi UU KPK adalah memperkuat mekanisme akuntabilitas KPK, baik akuntabilitas internal maupun eksternal. KPK harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusannya. Mekanisme akuntabilitas harus didesain, sehingga KPK tidak menyalahgunakan atau bertindak di luar kewenangannya (ultra vires).

Penguatan akuntabilitas demikian perlu segera dilakukan, lebih-lebih dengan sistem
rekrutmen pemimpin, penyidik, dan penuntut KPK seperti sekarang ini. Pemimpin, penyidik, dan penuntut KPK yang ditentukan atau berasal dari institusi yang akan menjadi “korban”KPK tentu saja rawan terhadap bias dan konflik kepentingan. Dengan melakukan lima bentuk utama penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebutkan dalam tulisan pertama, pemimpin, penyidik, dan penuntut demikian dapat melemahkan KPK dari dalam.

Inilah yang harus dicegah. Mekanisme checks and balances dengan menciptakan
kekuatan penyeimbang (balancing forces) yang efektif haruslah dirancang untuk mengawasi penggunaan kekuasaan KPK yang besar itu.

Di sinilah urgensi pembentukan pengawas eksternal yang independen. Sebenarnya pembentukan komisi pengawas atau inspektur eksternal independen untuk mengawasi penyalahgunaan wewenang atau pembusukan internal oleh oknum pemimpin dan pegawai KPK pernah saya usulkan (lihat Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, dan Vivanews, 4 Januari 2010). Sekarang ini sudah ada Komite Pengawas KPK yang dibentuk oleh masyarakat antikorupsi dan Dewan Etik ad hoc, tapi itu tidaklah cukup.

KPK akuntabel dalam setiap tindakan dan keputusannya terhadap komisi pengawas ini. Anggota komisi ini terdiri atas para tokoh masyarakat yang kompeten dan kredibel. Komisi pengawas dapat melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran etik dan penyalahgunaan kewenangan oleh pemimpin dan pegawai KPK. Komisi dapat memberikan sanksi dari yang ringan sampai pemecatan. Apabila ditemukan bukti pelanggaran pidana oleh pemimpin KPK, komisi ini dapat merekomendasikan dilakukan proses pidana terhadap mereka.Komisi ini juga dapat memberikan rekomendasi agar pemimpin KPK tertentu tidak dipilih lagi karena integritas dan kinerjanya yang buruk.

Komisi atau inspektur pengawas independen semacam inilah yang telah berhasil memperbaiki dan menjaga reputasi, kredibilitas, dan kepercayaan publik kepada Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong dan New South Wales
(Australia). Untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika, ICAC Hong Kong, misalnya, akuntabel dan diawasi oleh Chief Executive/Executive Council, Legislative Council, Independent Judiciary, Media,Advisory Committees, ICAC Complaints Committee, dan Internal Monitoring. ICAC Complaints Committee (independen dan eksternal) menangani pelanggaran nonpidana, sedangkan Internal
Monitoring mengusut pelanggaran pidana oleh pemimpin dan staf ICAC.

Pencegahan

Strategi manakah yang lebih utama bagi KPK untuk memberantas korupsi: pencegahan
(prevention) atau penindakan (law enforcement)? Strategi yang paling efektif adalah dengan penggunaan yang seimbang (balanced approach), sinergis, serta terintegrasi
antara strategi pencegahan dan penindakan. Terlalu berfokus pada strategi penindakan adalah ibarat membersihkan lantai yang basah dan kotor tanpa menutup atau memperbaiki genting yang bocor. Sistem dan proses pemerintahan yang “bocor” atau memberi peluang terjadinya korupsi haruslah juga diperbaiki. Sebaliknya, dari modus-modus korupsi hasil proses investigasi akan diketahui (lessons learned) mengapa sistem dan proses pemerintahan itu bocor, dan kemudian diperbaiki.

Karena itu, gagasan agar KPK hanya berfokus pada strategi pencegahan atau penindakan harus ditolak. Kedua pendekatan ini saling mengisi, sinergis, terintegrasi, dan hanya akan efektif bila dilakukan oleh satu institusi. Fungsi pencegahan dan penindakan dilakukan juga oleh ICAC Singapura, Hong Kong, dan Australia (NSW). Kunci keberhasilan ICAC Hong Kong, misalnya, adalah menggempur korupsi dari tiga sisi (three-pronged approach), yaitu mencegah, menindak, dan mendidik. Pencegahan, penindakan, atau perang terhadap korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat, juga  pejabat publik, dididik agar malu dan membenci perilaku korup. Karena itu, agar berfokus dan efektif, pemimpin KPK cukup tiga orang yang membidangi ketiga strategi ini.

Bidang pencegahan inilah yang masih lemah atau belum optimal dilakukan oleh KPK. Dari hasil penelitian saya, terutama wawancara saya dengan Ketua KPK periode I, Taufiequrachman Ruki, banyak rekomendasi KPK terhadap perbaikan sistem manajemen pemerintahan diabaikan oleh pemimpin lembaga pemerintah.

Hal ini ternyata di antaranya disebabkan oleh lemahnya kewenangan KPK dalam bidang pencegahan korupsi. Karena itu, penguatan kewenangan pencegahan ini harus
didesain agar KPK memiliki kemampuan dan kewenangan yang kuat untuk mendeteksi serta mencegah korupsi secara dini, dan “memaksa” birokrasi pemerintahan memperbaiki sistem manajemennya. Misalnya, setiap birokrasi pemerintah diwajibkan
miliki grand design strategi pencegahan korupsi dan wajib melaporkan pelaksanaannya
kepada KPK. Apabila pemimpin birokrasi publik tidak melaksanakan rekomendasi KPK tanpa argumentasi yang dapat diterima atau gagal memperbaiki sistem administrasi yang korup, KPK dapat memberikan rekomendasi agar pemimpin tersebut dicopot dari jabatannya. Bentuk punishment lainnya adalah publikasi, pengurangan remunerasi, penundaan pangkat dan promosi, serta sanksi administratif lainnya.

Penindakan

Kelemahan mendasar pelaksanaan fungsi penindakan KPK tidak hanya terletak pada kelemahan UU KPK, tapi juga pada peraturan perundang-undangan terkait lainnya, terutama UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ibarat menjala ikan (koruptor) yang begitu banyak, peraturan perundang-undangan ini hanya memberi KPK jala yang kecil dan mudah sobek. Perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan antikorupsi harus terus dilakukan.

Kekeliruan dalam penindakan tipikor adalah terlalu menekankan aspek kerugian negara. Hal ini tentunya tidak lepas dari penekanan unsur kerugian negara dalam
definisi korupsi dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Akibatnya, banyak koruptor yang dibebaskan karena unsur kerugian negara tidak atau sulit dibuktikan. Padahal dampak korupsi bersifat multidimensi, bukan hanya kerugian negara. Karena itu, undang-undang antikorupsi di Australia, Hong Kong, dan Singapura lebih menekankan hal “abuse of office for personal gain”.

Penguatan fungsi penindakan harus diarahkan agar KPK dapat dengan mudah dan efektif mendeteksi, mengungkap, dan membuktikan korupsi.Kecepatan adalah faktor kunci keberhasilan dalam membuktikan kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat victimless crime dan konspiratif.  Karena itu, penyadapan, penyitaan, penggeledahan, dan penangkapan tersangka korupsi tidak perlu izin pengadilan terlebih dulu. Pasal 10C undang-undang antikorupsi Hong Kong tidak mensyaratkan search warrant untuk menyita, menggeledah, dan menangkap tersangka korupsi.

Hanya, KPK hendaknya yang berwenang menangani kasus korupsi, baik petty maupun
grand corruption. Hal ini karena kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan dalam mengusut korupsi telah runtuh. Grand corruption tidak (hanya) dapat dilihat dari jumlah uang yang dikorup, tapi lebih pada dampaknya. Jual-beli pasal, korupsi kebijakan, state capture, korupsi (calo) anggaran, dan politik uang dalam pemilihan umum adalah bentuk grand corruption, meskipun dalam beberapa kasus jumlah uang dalam transaksi korup ini tidak besar.

Selain itu, untuk menghindari konflik kepentingan dan efektivitas pemberantasan korupsi di institusi penegak hukum, KPK harus berwenang merekrut penyidik serta penuntut di luar kepolisian dan kejaksaan. Pembuktian terbalik harus diberlakukan dan pejabat publik yang tidak melaporkan harta kekayaannya dianggap melakukan korupsi sampai dibuktikan sebaliknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar