Minggu, 04 Desember 2011

Tiga Pelajaran tentang Cinta


Tiga Pelajaran tentang Cinta
Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITÉ PLURIDISCIPLINAIRES PANTHÉON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011


Dua tokoh pemikir Barat, Plato dan Rousseau, yang buah pikirannya turut memengaruhi ”republik” sebagai bentuk negara dan ”demokrasi” selaku politik yang terkait dengan cara penataan dan penyelenggaraan republik, tidak lupa membahas cinta pribadi antara pria dan wanita.

Berdasar tulisan para pujangga mengenai ”cinta”, dapat diketahui bahwa hanya ada satu jenis cinta, tetapi jutaan kopinya yang berbeda. Ada sejumlah cinta sejati sesuai penampilan sejumlah rasa: setiap orang membicarakannya, tetapi tak semua melihatnya.

Cinta menyentuh semua bidang kesinambungan karena obyek cinta adalah keabadian. Aspirasi keabadian cinta ini tidak berasal dari spiritualisasi apriori, tetapi dari kenyataan bahwa orang yang bercinta berhasrat memiliki terus-menerus apa yang pener.

Pelajaran Pertama dan Kedua

Baik Plato maupun Rousseau sama- sama memberikan posisi sentral pada cinta dalam karya masing-masing, tetapi sulit menemukan dua erotika yang lebih berbeda kedua kesamaan itu. Hal pertama bersifat aristokratis dan sangat homoseksual, sedangkan yang kedua sangat terkait dengan ideal demokratis dan betul-betul heteroseksual.

Bagi sang pemikir Yunani, cinta tidak harus timbal-balik dan perbedaan antara yang mencintai dan yang dicintai tetap bertahan seperti apa adanya. Cinta yang dipikirkan Rousseau justru bermakna hanya berkait ketimbalbalikan tadi, di mana pengalaman percintaan dari yang mencintai adalah serba majemuk, sedangkan ia sungguh unik bagi yang dicintai.

Perbedaan juga melekat pada tujuan cinta yang ditetapkan oleh kedua sang pemikir. Dalam perspektif platonis, cinta menuntun ke kehidupan filosofis. Bagi Rousseau, cinta merupakan dasar keberahian yang tak terelakkan bagi kehidupan politik ke arah kebebasan.

Keunikan pemikiran Plato tecermin pada julukan ”cinta platonis”, yaitu sejenis cinta yang diagungkan, menjauhi realitas jasmaniah guna dikaitkan pada suatu keindahan yang lebih esensial. Suatu pelajaran cinta yang pasti sulit diterima oleh manusia ”modern” sekarang.
Plato bukan tidak mengakui daya tarik keindahan tubuh. Namun, bagi sang filosof, 
pelaksanaan cinta yang terbaik adalah suatu gerakan pengagungan berupa meningkatkan cinta pada keindahan tubuh hingga ke titik perenungan terhadap keindahan. Dengan kata lain, cinta platonis berada bukan pada penikmatan fisik, tetapi dalam pencarian perfeksi.

Keunikan pemikiran Rousseau adalah pengerahan ke sistem politik tiga hasrat: saling peduli, cinta, dan patriotisme. Percintaan suami istri menduduki posisi sentral, merupakan satu-satunya hasrat yang bisa mengaitkan kawula pada tanah airnya. Melalui perkawinan, dengan membangun sebuah keluarga, setiap orang tunduk pada kontrak sosial. Dalam formulasi dari kontrak ini, setiap pengontrak membawahkan kebebasannya pada kemauan umum yang dihasilkan oleh kontrak itu. Berkat formulasi ini terbentuk satu korps sosial tanpa menyinggung keberadaan sang pemimpin yang membawahinya.

Inilah keorisinalan Rousseau dalam tradisi kontraktualis: di sini para anggotanya yang terpisah-pisah tak menyatu di bawah otoritas seorang raja atau seorang kepala selaku pemimpin. Mereka menyatu sendiri, bergabung pada apa yang mereka bentuk. Kontrak ini bukanlah ”kontrak penaklukan”, tetapi ”penyerahan pada kolektivitas” yang diciptakan oleh kontrak itu sendiri, yaitu rakyat yang berdaulat: dengan membentuk diri selaku rakyat, rakyat ini tetap berkeadaan bebas.

Pelajaran Ketiga

Maka, saya anggap perlu menyampaikan pelajaran yang ketiga tentang cinta mengingat kita, rakyat Indonesia, perlu pemimpin. Natur dari pemimpin ini seharusnya sesuai bentuk negara seperti dikehendaki diktum kontrak politik kita, UUD 1945, dan dengan prinsip demokrasi seperti ditegaskan oleh para reformis.

Bentuk negara Indonesia adalah republik. Pemimpinnya dipilih rakyat, lalu ia dinobatkan jadi presiden. Demi pelaksanaan fungsi kepresidenan, dibentuk kabinet yang terdiri atas menteri-menteri selaku pembantunya. Pilihan menteri bisa berdasarkan kemampuan kerja dan/atau atas usulan parpol yang turut berkoalisi. Asas kekerabatan tentu tak pantas dipakai. 

Pertimbangan terakhir ini harus dielakkan karena bisa jadi preseden buruk dalam membangun kekuatan politik, lebih-lebih di kabinet, pemerintahan tertinggi dari republik yang maunya demokratis.

Namun, yang buruk dan tercela ini sudah terjadi di NKRI, walaupun secara tidak sengaja. Presiden dan Menko Perekonomian dari parpol yang berbeda menjadi berbesan sebagai akibat perkawinan anak-anak mereka. Akibat ini perlu secepat mungkin ditiadakan sebelum nasi telanjur jadi bubur, sebelum diam-diam terjadi koalisi parpol berdasar perbesanan. Pembenahan ”akibat” perlu karena ”sebabnya” tidak mungkin dibatalkan. Perkawinan Ibas-Aliya tak boleh diganggu gugat karena ia berdasarkan cinta murni.

Presiden tidak bisa diminta mengundurkan diri karena dia adalah hasil pilihan rakyat. Maka, Menko Perekonomian sebaiknya keluar dari jajaran kabinet, dengan lapang dada, demi mencegah penodaan terhadap asas republik dan citra demokrasi. La noblesse oblige! Sikap kesatria ini pasti bisa menjadi nilai tambah apabila dia mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu mendatang.

Bukan rahasia bahwa praktik parpol cenderung mengubah ”demokrasi” jadi ”aristokrasi”. Pengunduran diri Menko Perekonomian bisa menyetop pemelesetan ”republik” menjadi ”de facto monarki”. Bukankah bentuk-bentuk protokoler kenegaraan kita sudah menjurus ke arah ”republik feodal”?

Sistem kerajaan sudah biasa membuat perkawinan agung menjadi dasar pembentukan kekuatan politik dari penguasa negara. Dalam dunia bisnis lazim dilakukan perkawinan anggota keluarga demi pengukuhan kekuatan berbisnis. Hal ini tidak boleh terjadi di NKRI yang bersistem pemerintahan demokratis. Sebab, perkerabatan melalui perkawinan bisa menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan yang reasonable, apalagi dengan berlakunya kebiasaan ”rikuh pakewuh”.

Ajaran ketiga tentang cinta ini bukan dimaksudkan untuk menggurui, melainkan untuk mengingatkan agar politikus dan pejabat publik tidak bertindak semau gue. Sesekali bisikan nurani perlu didengar dan tidak terus-menerus menyalahgunakan ketidaktahuan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar