Minggu, 04 Desember 2011

Membangun “Mindset Problem Solver”


Membangun “Mindset Problem Solver”
Puspita Zorawar, EXPERTISE PERSONAL DEVELOPMENT INDONESIA
Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Desember 2011



Pernahkah Anda mendengar istilah superkeeper? Dalam terminologi Lance A Berger & Dorothy R Berger (Best Practices on Talent Management, PPM 2008), superkeeper adalah karyawan yang mampu menghasilkan kinerja unggul, yang memberi inspirasi kepada karyawan lainnya untuk menghasilkan kinerja unggul juga.

Mereka adalah karyawan yang membentuk dan mewujudkan kompetensi inti organisasi/perusahaan. Mereka adalah para model peran keberhasilan. Biasanya jumlah mereka hanyalah 3-5 persen dari seluruh anggota organisasi.

Tentu saja para profesional di organisasi/perusahaan yang termasuk dalam kategori superkeeper ini akan menjadi key person dalam organisasi. “Hilangnya” atau absennya mereka akan berpengaruh pada kinerja dan pertumbuhan organisasi, karena kapasitas mereka sangat berdampak pada kinerja organisasi saat ini ataupun di masa yang akan datang.

Mengenai superkeeper di dalam perusahaan Microsoft, Bill Gates mengatakan, ”Take our 20 best people away from us and I can tell you that Microsoft would be an unimportant company." Orang-orang yang tergabung dalam superkeeper adalah orang-orang yang selalu menjadi problem solvers, dapat mengatasi masalah dan mendapatkan solusi bagi kemajuan perusahaan.

Orang-orang superkeeper yaitu yang menjadi key person di perusahaan, tentu saja tidak menjadi superkeeper dengan tiba-tiba, namun melalui sebuah proses yang tidak sebentar.

Namun, “proses yang tidak sebentar juga” terjadi pada kelompok yang hasil kinerjanya jauh dari yang diharapkan, yang disebut kelompok misfit, yang jumlahnya dapat lebih dari 70 persen dari jumlah SDM yang ada di dalam perusahaan.

Pernahkah kita berpikir apakah perbedaan antara kelompok superkeeper (orang-orang yang berhasil menjadi problem solvers dan mencapai kinerja unggul di atas yang diharapkan) dengan kelompok misfit (orang–orang menjadi problem bagi perusahaan, yang kinerjanya jauh di bawah yang diharapkan)? Perbedaannya sering hanya pada sebuah mindset.

Mindset sebagai jumlah total dari keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap, kebiasaan, opini, dan pola pikir, tentang diri kita, juga tentang orang lain, dan bagaimana kita memaknai hidup kita.

Pengertian mindset yang lain dalam American Heritage Dictionary adalah: “a fixed mental attitude or disposition that predetermines a person’s responses to and interpretation of situation” (suatu sikap mental yang menentukan respons dan interpretasi seseorang terhadap situasi yang dihadapinya.

Orang-orang yang termasuk dalam kelompok superkeeper memiliki mindset selalu ingin maju, selalu ingin tahu dan belajar sesuatu yang baru, selalu ingin menambah ilmu, memiliki rasa sense of belonging terhadap apa yang ditugaskan kepadanya, sangat bisa diandalkan, dan memiliki rasa tanggung jawab dan yang tidak kalah penting adalah mereka memiliki mindset menjadi problem solvers (selalu mencari solusi dari setiap masalah yang dihadapi), sehingga menjadi key person dalam perusahaannya.

Pada suatu pelatihan, Pak Anton curhat bahwa bosnya-yang usianya lebih muda dan pendidikan formalnya lebih tinggi, sebetulnya tidak menguasai lapangan. Menurut Pak Anton, bosnya hanyalah mengerti dan menguasai hal-hal yang bersifat office matters.
Situasi ini kurang menggembirakan untuk Pak Anton, karena Pak Anton sudah bekerja sangat lama di perusahaan tersebut, sudah sangat menguasai lapangan, namun diperintah oleh seorang atasan yang lebih muda dan tentu saja lebih besar gajinya.
Rasanya kok tidak fair ya... keluh Pak Anton selanjutnya. ”Kalau saya mengambil sekolah lagi, tentu saja saya tidak sanggup karena faktor usia,” Pak Anton meneruskan curahan hatinya.

Sore itu pada saat coffee break, saya mendapat kesempatan bercerita kepada Pak Anton secara one on one. Saya teringat seorang peserta dalam sebuah pelatihan kami yang terdahulu, sebut saja Pak Imam. Pak Imam adalah seorang yang kira-kira usianya tidak jauh beda dengan Pak Anton, juga level pendidikan Pak Imam kira-kira juga sama dengan Pak Anton.

Pak Imam adalah seorang yang tekun bekerja dan sangat menguasai lapangan. Pak Imam sangat mencintai pekerjaannya dan selalu menjadi motivator bagi timnya sehingga tim Pak Imam dapat mencapai kinerja yang bagus.

Pak Imam selalu berusaha mencari solusi dalam setiap masalah yang timbul dalam pekerjaannya. Karena selalu menjadi problem solvers, bos Pak Imam malahan sering tidak ikut campur lagi dalam rutinitas kerja tim Pak Imam. Walau demikian, Pak Imam selalu melaporkan pekerjaannya sesuai prosedur yang ada.

Cerita tentang Pak Imam berlanjut, pada suatu ketika, bos Pak Imam memanggil Pak Imam ke ruangannya dan menyampaikan suatu berita bahwa bos Pak Imam telah mempromosikan Pak Imam untuk mengambil kesempatan masuk dalam tim manajerial.
Tentu saja hal ini sangat membuat Pak Imam terharu karena sebetulnya Pak Imam merasa bahwa pendidikannya tidak cukup tinggi untuk masuk dalam level manajerial.

Namun, karena dukungan bos Pak Imam – yang juga lebih muda, lebih tinggi pendidikan formalnya, Pak Imam dengan penuh antusias menerima tawaran tersebut.
Karena dukungan bosnya, Pak Imam pada akhirnya, beberapa tahun kemudian, berhasil masuk dalam kelompok superkeeper di dalam perusahaannya. Sekali lagi karena ada seseorang yang sangat mendukungnya, yaitu mantan bosnya sendiri.

Situasi yang dihadapi Pak Anton dan Pak Imam sama. Mereka sama-sama ahli di lapangan. Mereka sama-sama mendapat bos yang lebih muda usianya, namun lebih tinggi level pendidikan formalnya.

Namun, Pak Anton dan Pak Imam ternyata memiliki mindset yang berbeda dalam menghadapi situasi yang sama. Pak Imam tidak merasa malu belajar dari yang lebih muda dan bisa menjadi good team player dalam tim besar yang dipimpin seorang muda tersebut, namun hal ini tidak terjadi di Pak Anton.

Perbedaan mindset membawa kita kepada hasil proses yang berbeda. Milikilah mindset problem solvers dalam setiap tantangan kehidupan kita. Persoalan hari ini mungkin akan berbeda dengan persoalan esok hari. If you only have a hammer, you tend to see every problem as a nail (Abraham Maslow).

Jika kita hanya memiliki sebuah palu saja, kita akan selalu melihat persoalan sebagai sebuah paku saja, padahal tidak! Seseorang yang sukses adalah seorang problem solvers dalam setiap persoalan yang dihadapi. There's no use talking about the problem unless you talk about the solution. (Betty Williams). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar