Aku Cinta Papua
Danny Tarigan, PENGAMAT MASALAH SOSIAL, LINGKUNGAN, DAN MARITIM
Sumber : SINAR HARAPAN, 3 Desember 2011
Penulis pertama kali menginjak bumi Papua pertengahan 1974, mendarat di Biak dalam perjalanan ke Pantai Karas antara Fakfak dan Kaimana.
Semalam menginap di Hotel Biak lalu melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat kecil berpenumpang empat orang, charter-an Gulf Oil Company yang sedang mengeksplorasi wilayah itu. Pesawat mendarat di tepi pantai yang sebelumnya telah dibersihkan dari sampah dan kayu yang terdampar.
Kesan pertama dari atas pesawat yang terbang rendah, kayu dan hutan yang terbentang terlihat tidak terlalu besar dan lebat.
Sebagai supervisor yang mengatur dan mengawasi buruh di base camp, penulis secara kelompok mengatur mereka membongkar logistik yang dibawa kapal kecil dari Fakfak, untuk pasokan kebutuhan hidup karyawan dan staf ahli yang umumnya berasal dari Amerika Serikat dan Australia.
Hari pertama bekerja, saya sempat tercengang saat sirene berbunyi pukul 12.00 tanda istirahat, buruh lokal yang sedang mengangkut perbekalan seketika meletakkan barang tersebut di mana pun mereka berada, dan melenggang ke barak untuk istirahat dan makan siang, tak peduli apakah gudang perbekalan yang dituju letaknya lebih dekat ketimbang dengan barak mereka.
Mungkin disiplin itu yang dulu diajarkan Belanda. Namun penulis hanya beberapa bulan bertahan di Karas dan Fakfak, karena tidak tahan melihat sikap dan perlakuan para ekspatriat dan pegawai perusahaan terhadap buruh lokal.
Sekolah Kedinasan
Sebagai staf di Badan Diklat Perhubungan tahun 1976, penulis kembali ke Papua melaksanakan program Pembibitan Putra Irian Jaya (PPIJ), 1979-1980. Misinya adalah merekrut para siswa SMA kelas 2 se-Papua dan mengumpulkan mereka di Jayapura bekerja sama dengan Pemda dan Kanwil Perhubungan.
Sejumlah 121 siswa terbaik itu kemudian disekolahkan di Bandung, Semarang, Purwokerto, Malang, dan Yogyakarta. Sebelumnya mereka mengikuti program matrikulasi atau bimbingan khusus agar dapat lulus SMA, lalu memasuki lembaga diklat di lingkungan Departemen Perhubungan.
Keberhasilan Persipura menjuarai kompetisi yang digelar PSSI saat itu menggoda banyak pihak di kota tempat mereka sekolah untuk mengundang mereka, memeriahkan berbagai pertandingan sepak bola karena postur kekar dan tinggi. Kegiatan itu mengganggu studi mereka.
Ada pula yang jatuh cinta dengan gadis setempat dan kawin sehingga putus sekolah. Namun, sebagian dari mereka berhasil dengan baik dan banyak yang kemudian menjadi pejabat di Papua di subsektor perhubungan darat, laut, maupun udara, pos dan telekomunikasi, pariwisata, dan BMG.
Dalam pengamatan penulis, program matrikulasi sangat membantu mereka mengejar ketinggalan dari daerah lain, dan dalam proses seleksi terpadu pun mereka diberi kredit poin agar hasilnya dapat menyamai nilai daerah lain di seluruh Indonesia dan masuk pendidikan kedinasan.
Sikap mereka yang terbuka, ceria, dan hormat kepada pembina sangat memudahkan mereka menjalin kerja sama dan persaudaraan yang erat. Sangat disayangkan program yang begitu baik menyiapkan SDM Papua dihentikan, padahal Papua butuh SDM yang andal.
Proyek Terbengkalai
Pada 2000-2003 penulis terlibat kembali di Papua melalui Yayasan Contpad (The Consultative Team for Papua Authonomy Development) yang dipimpin Laksdya TNI (Purn) Freddy Numberi.
Selain mempersiapkan SDM Papua melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan, Contpad meneruskan proyek Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yakni pembangunan Mamberamo Hydro Electric Power (MHEP). Proyek yang tertunda sejak 1996 itu nantinya akan menghasilkan listrik hingga 30.000 megawatt (MW) memanfaatkan di Sungai Mamberamo.
Bersamaan dengan itu sekaligus akan dikembangkan lahan 40.000 ha untuk delapan klaster industri berat di Waropen, serta pengembangan perkebunan 250.000 ha.
Kapasitas awal bendungan pertama sekitar 4.500 MW memenuhi kebutuhan listrik untuk Freeport sebesar 1.800 MW dan pertambangan lainnya 1.500 MW, serta kebutuhan rumah tangga di Papua 1.000 watt per keluarga secara gratis.
Konsep pembangunan SDM adalah mempersiapkan tenaga bawah dan menengah putra Papua di Balai Latihan Kerja selama tujuh tahun ke depan saat proyek industri mulai berjalan.
Pembangunan perkebunan plasma diarahkan pada relokasi penduduk yang terpencar di hutan, memberikan lahan perkebunan 2 ha per keluarga dan anak mereka diasramakan sejak SD hingga SMA/SMK secara gratis.
Hanya siswa berprestasilah yang diberi kesempatan ke perguruan tinggi untuk program S-1 hingga S-3 untuk menjadi tokoh masa depan Papua. Melalui program itu, diyakini dalam tempo 15 tahun Papua dapat diurus dengan baik oleh orang Papua yang juga akan menyejahterakan seluruh bumi Nusantara.
Kondisi itu sangat berlainan dengan kondisi di Freeport, meski sudah 40 tahun tapi putra-putri Papua bekerja terbatas sebagai tukang kebun, kebersihan, sopir, dan sejenisnya, namun masih sangat langka yang menduduki tingkat staf apalagi manajer. Khusus untuk tenaga pelaut, Contpad memberikan beasiswa dan menjalin kerja sama dengan STIP Jakarta dan STIP Hangtuah, Surabaya.
Namun program itu terhenti karena salah kelola, termasuk proyek MHEP, karena kurang dukungan dari pemerintah. Selain itu ada tudingan berbagai LSM bahwa lebih baik mempertahankan masyarakat ingenious/asli yang telanjang, hidup berkekurangan di atas bumi Papua yang kaya raya. Padahal, kawasan-kawasan lain di sekeliling Papua sudah sangat maju.
Kenapa tidak ditiru pola pendidikan, pelatihan, perkebunan, serta kesehatan seperti yang dilakukan Belanda ketika mendidik orang Batak, Jawa, Manado, dan suku-suku lainnya hingga maju? Sekarang tugas anak bangsa memajukan anak Papua. Apa sihsusahnya memajukan kurang dari 3 juta orang, dengan alam yang luas dan kaya?
Mari kita bangun Papua dengan cinta dan kasih. Jangan biarkan penduduk asli tergerus oleh penyakit HIV/AIDS, seolah Pemerintah Republik Indonesia merestui proses genosida, seperti yang dialami kaum Aborigin di Benua Australia tempo dulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar