UU Kementerian Layak Diuji
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 5 Desember 2011
Ada LSM mengajukan permohonan uji materil Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK).Pasal 10 itu bunyinya: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.
Pemohon menganggap norma pasal ini tidak sejalan dengan norma konstitusi,yakni Pasal 17 UUD 1945 yang mengatakan, presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”. UUD 1945 tidak menyebutkan keberadaan wakil menteri,sehingga pemohon berpendapat Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu bertentangan dengan UUD 1945.Pemohon minta MK membatalkan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Permohonan uji materil di atas memang menarik.
Sekiranya MK mengabulkan, sertamerta 19 wakil menteri yang diangkat SBY dalam KIB II akan rontok seketika,karena jabatan itu inkonstitusional. Saya sependapat dengan permohonan LSM itu. Secara iseng, hal ini pernah saya lontarkan kepada teman-teman dan pernah dimuat di Facebook saya. Saya katakan demikian, karena teman-teman itu ada yang dongkol dengan moratorium napi korupsi, gagasan Wakil Menkumham Denny Indrayana. Ada yang mau demo agar Denny dipecat saja.
Saya katakan kepada mereka, “Jangankan Denny. Kalau Pasal 10 UU Kementerian Negara itu kita uji ke MK dan dikabulkan,semua wakil menteri SBY itu akan rontok.” Teman-teman heran dan bertanya mengapa saya tak mengujinya ke MK,seperti dulu saya menguji UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Jawab saya,saya tidak punya “legal standing” untuk mengajukan perkara.Tidak ada kerugian konstitusional apa pun pada diri saya dengan berlakunya Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.
Lain dengan UU Kejaksaan. Hendarman menetapkan saya jadi tersangka korupsi,sementara saya anggap dia tidak berwenang,karena kedudukannya tidak sah.“Jaksa Agung gadungan masak bisa menetapkan saya tersangka, terang saja saya lawan,” kata saya kepada mereka. Kebijakan moratorium Denny Indrayana tidak menimbulkan kerugian konstitusional apa pun kepada saya, karena saya bukan napi korupsi.
Mereka yang punya “legal standing” adalah para napi korupsi yang jadi korban kebijakan Denny. Sayang, mereka tidak memberi kuasa kepada saya sebagai advokat.Padahal, mereka bisa berargumen, hakhak konstitusional mereka dirugikan dengan kebijakan Wakil Menkumham. Sementara jabatan Wakil Menkumham itu inkonstitusional. Problema “legal standing” itu juga yang tampaknya bakal menggoyahkan permohonan LSM tersebut di MK.
Walaupun argumen mereka untuk menyatakan bahwa Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 17 UUD 1945 masih bisa diperkuat, seperti yang dipertanyakan hakim panel MK dalam sidang pendahuluan,“ legal standing” LSM itu tidak kokoh. Sebagai pemohon, mereka harus menguraikan dengan jelas hak-hak konstitusional mereka yang diberikan UUD 1945, yang dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.
Hakhak konstitusional yang dirugikan itu tidak bisa bersifat hipotetis, tetapi benar-benar bersifat konkret,aktual,dan nyata terjadi.Kalaupun kerugian itu belum nyata, mereka harus mampu mendalilkan bahwa dengan penalaran yang wajar, kerugian itu sangat mungkin akan terjadi dengan berlakunya norma dimaksud. Tanpa “legal standing” yang kokoh, MK akan menolak permohonan LSM tersebut.
Secara Historis
Bagi saya, pengujian terhadap UU Nomor 39 Tahun 2008 mestinya tidak terbatas pada keberadaan wakil menteri itu.Pengujian sebenarnya dapat dilakukan terhadap keseluruhan UU Nomor 39 Tahun 2008 itu, baik formil maupun materil. Pengujian formil dilakukan terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Uji materilnya dilakukan terhadap UUD 1945.
Argumentasinya ialah bahwa seluruh norma dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tersebut bertentangan dengan apa yang diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Norma yang berisi perintah dalam Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 itu mengatakan: “Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undangundang”. Secara historis,norma pasal di atas muncul pada Amendemen Ketiga UUD 1945 Tahun 2002.
Ketika amendemen terjadi, kementerian negara sudah ada, bahkan sudah ada sejak 1945.Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara sebelum amendemen itu cukup dilakukan presiden dengan mengacu pada Pasal 17 dan Penjelasan UUD 1945 (ketika masih ada), sejalan dengan konsep prerogatif presiden dalam membentuk kabinet.Konvensi pembentukan kabinet pun telah terbentuk dalam sejarah ketatanegaraan kita sejak awal kemerdekaan.
Penambahan pasal ini ke dalam UUD 1945 dilatarbelakangi oleh pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian yang terjadi sesuka hati di zaman Gus Dur jadi presiden. Karena itu, secara historis, Pasal 17 UUD ayat (3) UUD 1945 itu harus dipahami dalam kontekssepertiitu, kecualikitamau jadi ahistoris. Kalau demikian pemahamannya, undangundang yang harus lahir dari Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 bukanlah Undang-Undang tentang Kementerian Negara dengan segala tetek-bengeknya,melainkan Undang-Undang tentang“ Pembentukan,PengubahandanPembubaranKementerian Negara”.
Pendapat saya ini sejalan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan bahwa salah satu sebab lahirnya undangundang ialah karena diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar. Jadi, Undang-Undang “Kementerian Negara” yang mengatur tetek-bengek kementerian negara begitu rinci adalah “lain disuruh, lain dikerjakan”.
Inisiatif UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara datang dari Badan Legislasi DPR tahun 2005. Pemerintah ketika itu tengah menyiapkan RUU tentang “Pembentukan, Penggabungan, dan Pembubaran Kementerian Negara” seperti diperintahkan Pasal 17 ayat (3) UUD 1945. Saya, selaku mensesneg waktu itu, diperintah Presiden SBY untuk mewakili beliau membahas RUU Inisiatif DPR itu.
Pandangan saya bahwa DPR salah kaprah memahami Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 dengan RUUKementerianNegarayang mereka susun,telah saya kemukakan dalam Rapat Pembahasan RUU tersebut, yang dipimpin Agun Gunandjar. DPR bersikeras. Memang,harus banyak kompromi dengan DPR dalam membahas RUU.
Sayangnya, saya tidak selesai membahas RUU itu.Pada 7 Mei 2007 saya diberhentikan sebagai mensesneg. Pembahasan RUU itu dilanjutkan Hatta Rajasa dan Andi Mattalata. Maka jadilah UU Kementerian Negara seperti sekarang ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar