Minggu, 04 Desember 2011

Kebijakan Utang Global

Kebijakan Utang Global
Achmad Maulani, PEMERHATI MASALAH SOSPOL, ALUMNUS UNIVERSITAS PADJADJARAN, BANDUNG
Sumber : SUARA MERDEKA, 5 Desember 2011


Krisis utang Eropa yang saat ini memburuk diprediksi makin memburuk beberapa waktu ke depan, dan mencapai klimaksnya pada pertengahan 2012. Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah memperingatkan bahwa krisis utang yang kini menggurita di sejumlah negara zona euro bukan hanya berdampak buruk di tataran regional melainkan dapat menyebar ke seluruh dunia.

Krisis utang global ini harus menjadi pelajaran serius bagi pemerintah kita untuk mengoreksi kembali kebijakan utang. Bahkan, kalau perlu harus menerapkan moratorium atau menyetop sementara pembayaran kewajiban utang guna meningkatkan kapasitas APBN. Langkah mengoreksi kebijakan utang atau bahkan moratorium perlu diambil karena jika terus mengandalkan utang untuk menutup defisit anggaran, Indonesia kian rawan dengan dampak krisis global.

Sampai Oktober 2011, total utang Indonesia Rp 1.768 triliun, ekuivalen dengan 25,6% dari produk domestik bruto (PDB). Dari sisi volume, jumlah itu dalam batas ambang aman, namun dari sisi penggunaannya, ternyata lebih dari 81% dimanfaatkan untuk pembiayaan sektor non-tradable yang tak banyak menyerap tenaga kerja.

Perinciannya, 48,6%digunakan sektor perbankan, 15% sektor jasa, 11% sektor properti, 5% sektor air, gas, dan air bersih, serta 2,1% dipakai sektor transportasi dan komunikasi. Untuk sektor tradable, yang sesungguhnya menyerap tenaga kerja banyak, penggunaan utang tidak lebih dari 18%.

Dari data itu kita bisa memahami mengapa keputusan berutang banyak mengundang kontroversi. Artinya, kebijakan berutang yang tidak diimbangi dengan efektivitas alokasi utang jelas takkan mampu mendorong sektor tradable dan memacu pertumbuhan ekonomi berkualitas. Indikator paling nyata akan ketidakefektifan penggunaan utang dapat dilihat dari lemahnya daya serap tenaga kerja.

Lantas, engapa kita terus berutang? Secara teoritis dan dalam tataran ideal, utang masih dapat dibenarkan ketika bertujuan mendorong output nasional melalui peningkatan kapasitas produksi. Dengan demikian, utang dapat diibaratkan keuntungan masa depan yang dimanfaatkan sebagai modal saat ini atau investment multiplier.

Persoalannya alasan ideal itu seringkali justru tidak berlaku. Utang baru yang banyak diserap pemerintah ternyata lebih banyak dialokasikan menutupi beban utang masa lalu. Lingkaran defisit anggaran ini sudah berjalan lama, dan pemerintah sepertinya tetap menganggap utang merupakan satu-satunya jalan keluar agar terbebas dari impitan defisit. Padahal impitan defisit tidak akan pernah selesai jika alokasi utang tetap tidak efektif.

Agenda Terselubung

Sesungguhnya dibutuhkan sebuah politik anggaran yang berpihak pada rakyat banyak, yakni kebijakan anggaran yang menjamin ketersediaan lapangan kerja, pemenuhan hak atas pendidikan, dan penyediaan jaminan sosial. Semua cita-cita besar itu hanya menjadi jargon kosong jika politik anggaran pemerintah, yang tercermin dalam penyusunan APBN, masih tersandera oleh beban utang yang sangat besar.

Dari semua itu, setidaknya ada dua hal yang dapat disimpulkan terkait implikasi kebijakan utang. Pertama; implikasi terampasnya kesejahteraan masyarakat. Utang yang besar jelas berimplikasi atas pembayaran, baik pembayaran bunga maupun cicilan pokok, dan itu artinya pemerintah harus merogoh kocek APBN dalam jumlah besar.

Tahun 2011, pemerintah merencanakan menambah alokasi pembayaran utang hingga Rp 249.727 triliun. Angka itu jauh lebih besar dari total belanja modal —yang sesungguhnya punya implikasi langsung atas kesejahteraan masyarakat— yang hanya Rp 136.877 triliun. Jika kondisi ini terus dibiarkan akibat lebih jauh adalah penyusunan APBN akan disandera penambahan utang-utang baru.

Implikasi kedua; kebijakan utang tanpa perencanaan matang hanya akan menyebabkan ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju. Faktor ini sering diabaikan oleh pengambil kebijakan karena disilaukan potensi yang bakal diperoleh dari penggunaan utang. Padahal seringkali di balik utang, ada agenda terselubung yang berdampak panjang, baik ekonomi maupun politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar