Bergurulah kepada Humor Hitam
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN; TINGGAL DI YOGYAKARTA
Sumber : Kompas, 2 Desember 2011
Mau jadi pemimpin di negeri ini? Gampang! Siapkan duit banyak dan atur lobi. Lalu, jangan lupa: teruslah berlatih mengucapkan kata prihatin sefasih-fasihnya.
Strategi yang disebut terakhir ini penting. Itu karena negeri kita adalah negeri bencana, baik bencana alam, bencana politik, bencana sosial, bencana ekonomi, maupun bencana hukum. Juga bencana teknis ataupun bencana sistemik. Wujudnya bisa macam-macam: jembatan ambrol, busung lapar, konflik horizontal, pengangguran, korupsi, hingga pelayanan kesehatan dan pendidikan yang sangat buruk.
Dengan kata prihatin itulah Anda akan dapat empati publik meski setelah mengucapkan kata itu Anda tidak berbuat apa-apa. Manfaatkan masyarakat yang pemaaf dan mengidap penyakit lupa. Bahkan jika gagal mengemban tugas sosial pun, Anda jangan sekali-kali menyatakan mundur. Itu tindakan yang tidak lazim.
Anekdot berupa ”nasihat” semacam itu kini tumbuh subur di masyarakat. Kita bisa menganggapnya sekadar guyonan. Namun, sangat mungkin anekdot itu serius. Bukankah di tengah kesumpekan sosial, guyonan atau anekdot politik adalah kanal pelepasan bahkan
perlawanan yang diam. Itu bukan hanya terjadi di negeri totaliter, juga di negeri yang (mengaku) demokratis.
Masyarakat kita sangat kreatif, terutama jika dalam tekanan. Kepahitan hidup mereka olah jadi humor hitam yang cerdas.
Maka, jika kebetulan Anda bagian dari penyelenggara negara, jangan sekali-kali menganggap humor hitam sebagai hiburan ketika mendengar guyonan mereka. Bisa jadi itu sindiran untuk
mengukur seberapa tinggi Anda memiliki kepekaan atau rasa malu sebagai birokrat, teknokrat, wakil rakyat, dan penegak hukum.
Penggelinciran Makna
Humor hitam bukan banyolan vulgar seperti dalam tayangan komedi di televisi. Humor semacam itu tak lebih dari komoditas. Humor hitam bukan barang dagangan, melainkan renungan keprihatinan yang memiliki daya kritis. Ia mengoreksi keadaan bukan dengan
caci-maki, sumpah serapah yang penuh tanda seru, melainkan melalui refleksi simbolik yang subtil.
Logika yang digunakan adalah logika terbalik (negatif), semacam penggelinciran atas makna realitas yang dikontruksi negara. Humor hitam memandang bahwa negara merupakan rezim pemaknaan atas realitas yang harus dikritik. Itu karena negara bisa melakukan korupsi
semantik, misalnya melalui eufemisme atau kebohongan terhadap publik, demi
melanggengkan kekuasaan.
Pemimpin yang baik selalu menolak kebenaran tunggal, berbeda dengan penguasa yang selalu jadi pemborong kebenaran. Untuk itu, pemimpin yang baik selalu rendah hati membuka diri terhadap pelbagai tafsir atas realitas. Dari sana, ia mendapatkan pencerahan. Oleh karena itu pula, Soekarno, Sjahrir, Bung Hatta, Tan Malaka, dan pemimpin sejati lainnya selalu membaca karya sastra dan filsafat. Oleh karena itu, Bung Hatta dan Ali Sadikin selalu menyaksikan pementasan Bengkel Teater-nya Rendra.
Mereka adalah pemimpin yang tumbuh dalam tradisi intelektual yang kental. Bukan jenis pemimpin pop yang gemar membuat album lagu sentimentil. Mereka adalah pemimpin yang punya cita-cita ideal atas negara-bangsa. Bukan jenis pemimpin yang manja dan selalu menuntut pelayanan dari negara.
Degradasi kepemimpinan secara nasional telah melahirkan pelbagai anomali politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Negara tidak terepresentasi secara normal (konstitusional), tetapi cenderung menjadi semacam koloni para penakluk dan petualang politik yang hanya berpikir soal kekuasaan dan pemilikan.
Membangun Kesadaran
Dalam negara yang gelap dan pengap, humor-humor hitam pun muncrat dengan sangat deras. Ini terjadi seiring kurang efektifnya kritisisme pelbagai komunitas demokratik untuk mengubah keadaan. Ternyata, rezim berkuasa sangat imun terhadap kritik. Rezim punya cara jitu untuk
meredam kritik, yakni membiarkan kritik itu berbiak di masyarakat. Rezim percaya kritik akan padam dengan sendirinya karena para pengkritik akan kelelahan dan putus asa. Sikap ndableg ternyata efektif dan murah untuk meredam kritik.
Humor hitam mungkin juga akan bernasib sama dengan kritik yang muncul dari kekuatan komunitas demokratik. Namun, ia akan terus membangun kesadaran sehingga akan tercipta resistensi publik atas rezim yang dipandang abai. Kepercayaan pun diam-diam menguap.
Pemimpin sejatinya mestinya mau rendah hati untuk berguru kepada humor hitam: di sana ada penilaian yang jujur atas realitas. Namun, masih adakah pemimpin sejati di negeri ini, di tengah melimpahnya tawaran kemewahan dan hedonisme? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar