"Yang jelas, untuk sementara atau saya meminta dihentikan dulu kerjasama yang disebut pertukaran informasi dan pertukaran intelijen di antara kedua negara," kata Presiden dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu 20 November 2013.
SBY menyatakan, semua latihan militer antara kedua negara apakah itu antara sesama angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara atau gabungan akan dihentikan. "Saya meminta dihentikan sementara coordinated military operation, yang untuk menghentikan people smuggling, di wilayah lautan," kata SBY. "Tidak mungkin kita melakukan itu jika ada penyadapan terhadap tentara atau terhadap kita semua," katanya.
Penghentian kerjasama ini merupakan poin kedua pernyataan resmi pemerintah Indonesia. Poin pertama berisi permintaan resmi pada Australia untuk menyikapi soal penyadapan yang dilakukan terhadap sejumlah pejabat termasuk Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Kemudian poin ketiga adalah, untuk kerjasama ke depan, Indonesia meminta ada protokol kode perilaku dan asas pedoman kemitraan di antara kedua negara untuk menghadapi isu penyelundupan manusia atau kerjasama militer dan intelijen. "Protokol code of conduct itu sifatnya mengikat, jelas dan dijalankan. Itulah tiga hal yang akan kita tempuh," kata SBY.
Kerugian Utama Bagi Australia
Indonesia mulai menurunkan derajat hubungannya dengan Australia setelah menarik duta besarnya dari Canberra. Pemerintah RI pun meninjau ulang seluruh kerjasama dengan Negeri Kanguru, termasuk di bidang pemberantasan terorisme yang selama ini berjalan amat baik.
Anggota Komisi Hukum DPR Eva Kusuma Sundari menilai langkah keras yang diambil Indonesia amat merugikan Australia, terutama di bidang penanganan terorisme yang selama ini menjadi perhatian utama Australia paska puluhan warganya tewas dalam tragedi Bom Bali 2002 dan 2005.
“Meskipun Australia memberikan bantuan pada Detasemen Khusus Anti-Teror 88, tapi mereka sangat butuh informasi dari RI. Jadi Indonesia tak perlu bernyali kecil,” kata Eva di Jakarta, Rabu 20 November 2013. Menurutnya, Australia bahkan bergantung pada Indonesia soal penanganan terorisme.
Eva berpendapat Indonesia sesungguhnya lebih ahli dalam hal pemberantasan terorisme, sebab Kepolisian RI sudah banyak menangani dan menangkap pelaku terorisme. “Di sini Australia hanya user, yang bergantung pada Indonesia untuk memperoleh informasi,” kata dia.
Selain soal terorisme, kerjasama dalam isu penyelundupan manusia juga kini dikaji ulang Indonesia. Padahal, ujar Eva, Australia sangat buruh Indonesia dalam menangani imigran gelap atau manusia peragu. “RI selama ini dipakai sebagai tanggul untuk menahan gelombang ribuan imigran yang hendak masuk ke Australia,” kata politisi PDIP itu.
Sebaliknya, Indonesia tak terlalu rugi bila menurunkan kualitas hubungannya dengan Australia. Dari segi bisnis, kata Eva, investor terbesar Indonesia masih berasal dari Jepang, Amerika Serikat, dan China. Oleh sebab itu pemerintah RI tak perlu khawatir.
“Jika impor daging dari Australia kita stop, itu bisa beralih ke India. Syukur apabila bisa menggenjot produksi dalam negeri. Realitanya RI tidak begitu bergantung pada Australia, tapi sebaliknya,” ujar Eva.
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa mengatakan pemerintah Indonesia telah mulai menurunkan derajat kemitraannya dengan Australia. “Ini sudah kami lakukan. Australia pun mulai merasakannya. Ibarat keran air, Indonesia sudah mengecilkan kucurannya sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Setiap langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia, menurut Marty, dilakukan secara terukur sesuai dengan tanggapan dan sikap dari Australia. (VivaNews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar