Selasa, 26 November 2013

Benarkah Intelijen Indonesia bantu Intelijen China Sadap Australia?

Isu penyadapan Australia terhadap Indonesia yang memantik ketegangan diplomatik kedua negara, belum usai. Media Australia ramai memberitakan bukan hanya Negeri Kanguru yang menyadap, tapi juga Indonesia. Bila Australia menggandeng sekutu dekatnya, Amerika Serikat, dalam memata-matai Indonesia, maka Indonesia menggandeng China untuk menyadap Australia.

Benarkah Intelijen Indonesia bantu Intelijen China Sadap Australia?

Selamat datang di dunia mata-mata. Di permukaan, hubungan antarnegara memang menekankan praktik diplomasi untuk mencapai kesepakatan dan memelihara perdamaian. Namun di balik itu, intelijen bergerak mengumpulkan informasi untuk memastikan keamanan pemerintah mereka masing-masing. Ini kisah tentang perang intelijen dan aksi sadap-menyadap yang melibatkan banyak negara.


News.com.au, 25 November 2013, melansir sebuah sumber intelijen yang menyatakan Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS) telah menyadap telepon seluler warga Australia dan memberikan hasil penyadapan itu ke China. Kedua negara disebut mengincar diplomat Australia, perusahaan Australia, sampai warga sipilnya.

Mengutip situs jurnal Intelligence Online, news.com.au menulis RI-China menyepakati operasi spionase bersama ketika Kepala Angkatan Udara China Jenderal Ma Xiaotian berkunjung ke Jakarta, Maret 2011, untuk menghadiri pameran pertahanan dan keamanan Asia Pasifik.

“China tertarik pada masalah birokrasi, gosip bisnis tentang kontrak sumber daya, dan aktivitas militer Australia. Ada daftar panjang soal isu-isu apa yang menarik bagi mereka,” kata sumber intelijen Austalia kepada News Corp.

Penyadapan ponsel hanya sebagian kecil dari operasi spionase RI-China. Indonesia juga disebut memata-matai Australia melalui sebuah mobil van yang memiliki teknologi pengintai buatan China. Teknologi pengintai itu diduga mencontek teknologi Barat yang dicuri China, kemudian diberikan kepada Indonesia oleh Departemen III Tentara Pembebasan Rakyat (PLC) China yang merupakan mitra BAIS.

Departemen III PLA membidangi intelijen dan siber China. Operasi mata-mata China disebut menggunakan sistem yang berbeda dari Australia dan AS. China menggunakan sistem KGB – intelijen Uni Soviet. Model ini memakai metode saturasi yang lebih sulit dilacak untuk mengumpulkan informasi.

Jurnal pertahanan Jane’s Defence Weekly melaporkan, China menawarkan pembangunan radar laut untuk Indonesia di titik-titik vital jalur pelayaran dunia. Tawaran itu disampaikan ketika Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Beijing Maret 2013.

Meski rincian mengenai radar laut China itu tidak diketahui persis, diyakini jaringan radar tersebut ditawarkan untuk dibangun di Lombok, Selat Sunda, Kalimantan Barat, dan Sulawesi.

Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, TNI belum bisa memberikan penjelasan. “Itu hanya dugaan-dugaan. Kami akan dalami dulu. Mari kita menunggu data-data yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Iskandar Sitompul kepada VIVAnews.

Sementara itu, Selasa 26 November 2013, mutasi besar-besaran terjadi di level perwira tinggi TNI. Mereka yang dimutasi sebagian besar duduk di posisi strategis Badan Intelijen Strategis (BAIS).

Namun Markas Besar TNI membantah mutasi besar ini terkait isu penyadapan Australia terhadap Indonesia. “Ini hal biasa dalam rangka penyegaran prajurit TNI. Kebetulan saja pada rotasi ini ada beberapa pejabat BAIS,” kata Kapuspen TNI Iskandar Sitompul.

Singapura, Korsel, Jepang bantu Australia

Sydney Morning Herald menulis, Australia tidak hanya bermitra dengan AS dalam meyadap Indonesia, tapi juga dengan Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Bersama-sama, mereka menyadap jaringan telekomunikasi bawah laut di seluruh Asia.

Dalam dokumen yang dibocorkan Edward Snowden, AS dan mitra-mitranya menyadap kabel optik fiber berkecepatan tinggi di 20 lokasi di seluruh dunia. Operasi ini melibatkan kerjasama pemerintah beberapa negara dan perusahaan telekomunikasi. Lewat operasi ini, AS dan sekutunya dapat melacak siapapun di manapun dan kapanpun.

Harian Belanda NRC Handelsblad menyatakan AS mencengkeram kuat jalur komunikasi di kawasan Trans-Pasifik. Mereka membangun fasilitas penyadapan di pantai barai AS, Hawaii, serta Guam. Fasilitas ini membuat AS dapat menyadap semua lalu-lintas komunikasi di Samudera Pasifik.

Di sinilah Singapura memegang peran penting. Singapura disebut sebagai pihak ketiga dan mitra kunci operasi intelijen ‘Lima Mata’ AS dan sekutu-sekutunya. Fairfax melaporkan Badan Intelijen Australia (DSD) bermitra dengan intelijen Singapura untuk menyadap kabel SEA-ME-WE-3 yang tertanam dari Jepang melalui Singapura, Djibouti, Suez, dan Selat Gibraltar menuju utara Jerman.

Sumber di DSD mengatakan, Kementerian Pertahanan Singapura bekerja sama dengan DSD dalam mengakses dan berbagi informasi mengenai komunikasi yang melintas di dalam kabel SEA-ME-WE-3. Mereka juga berbagi informasi tentang komunikasi dalam kabel SEA-ME-WE-4 yang ditanam Singapura menuju selatan Prancis.

Untuk bisa mengakses informasi dari kabel tersebut, butuh izin perusahaan milik pemerintah Singapura – SingTel. Perusahaan ini menjadi elemen kunci dalam perluasan operasi intelijen Australia dengan Singapura.

SingTel sejak lama memiliki hubungan dekat dengan intelijen Singapura. Salah satu dewan direksi perusaaan itu, Peter Ong, menjabat sebagai Kepala Pelayanan Sipil Singapura yang bertanggung jawab atas keamanan nasional dan koordinasi intelijen dengan kantor Perdana Menteri Singapura.

Operasi penyadapan kabel optik bawah laut itu telah berlangsung selama 15 tahun terakhir. Pakar intelijen dari Australian National University, Des Ball, mengatakan kemampuan sinyal intelijen Singapura adalah yang terkuat di kawasan Asia Tenggara.

Intelijen Korsel juga berperan menyadap telekomunikasi yang melintas melalui China, Hong Kong, dan Taiwan. Badan Intelijen Korsel (NIS) sudah 30 tahun bekerjasama dengan CIA, NSA, dan DSD. Sementara Jepang dalam operasi spionase ini berperan melalui fasilitas penyadapannya di pangkalan udara Misawa.

Berkenaan dengan itu, Presiden SBY telah memerintahkan Kementerian Luar Negeri untuk memanggil Duta Besar Singapura, Anil Kumar Nayar dan Duta Besar Korea Selatan, Kim Young Sun.

Pemanggilan dubes tersebut untuk meminta klarifikasinya soal isi pemberitaan media yang menyebut kedua negara sahabat Indonesia itu turut membantu Badan Intelijen Australia (DSD) dalam menyadap telekomunikasi beberapa negara Asia, termasuk RI.

Hal itu disampaikan Presiden SBY dalam jumpa pers yang digelar di Istana Negara, pada Selasa 26 November 2013.

"Saya sudah instruksikan Menlu kita untuk meminta penjelasan dari para duta besar negara-negara itu. Itu yang dapat saya respon sekarang ini berkaitan dengan berita yang baru itu," kata SBY.

Surat Abbot

Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi surat balasan dari Perdana Menteri Australia Tony Abbott. "Tepat pada 23 November, Sabtu lalu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengantarkan surat ke saya dan telah saya baca pada saat saya di Bali," ujar Presiden.

Dari surat balasan itu, Presiden SBY melihat ada tiga hal yang disampaikan Perdana Menteri Tony Abbott.

"Pertama, keinginan Australia menjaga dan melanjutkan hubungan bilateral kedua negara yang dewasa ini semakin kuat dan berkembang," katanya.

Kedua, lanjut SBY, komitmen PM Australia Tony Abbott bahwa tidak akan melakukan sesuatu yang mengganggu dan merugikan Indonesia di masa depan.

"Ketiga, Perdana Menteri Tony Abbott setuju pendapat saya untuk menata kembali kerjasama bilateral menyusun protokol," katanya.

Menanggapi surat itu, Presiden SBY memaparkan enam langkah Indonesia.  Inti dari keenam langkah yang disampaikan Presiden SBY yaitu, dibentuknya kode etik dan protokol yang mengatur kesepakatan hubungan kedua negara paska dilanda ketegangan hubungan diplomatik akibat skandal penyadapan oleh Badan Intelijen Australia (DSD).

Langkah pertama, Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa atau utusan khusus akan membicarakan isu-isu yang sensitif untuk membicarakan kerjasama dengan Negeri Kanguru paska krisis diplomatik ini.

"Ini merupakan pra syarat bagi pembentukan protokol yang telah disetujui oleh Australia," ujar SBY.

Langkah kedua, lanjut SBY, setelah adanya pemahaman bersama maka ditindaklanjuti dengan pembahasan mengenai protokol dan kode etik secara mendalam. Langkah ketiga, SBY akan memeriksa sendiri isi protokol dan kode etik yang akan diteken oleh kedua negara.

"Saya akan memeriksa apakah isi protokol dan kode etik sudah sesuai dengan keinginan Indonesia," kata dia.

Langkah keempat, setelah kode etik dan protokol disiapkan, maka pengesahan dokumen tersebut akan disaksikan oleh pemimpin kedua negara dalam hal itu Presiden SBY dan Perdana Menteri Tony Abbott.

"Tugas kedua negara selanjutnya yaitu memastikan protokol tersebut akan dijalankan," kata SBY.

Komitmen untuk menjalankan protokol dan kode etik di antara kedua negara, menjadi langkah kelima. Sementara langkah terakhir, kerjasama yang sempat dibekukan akan kembali dilaksanakan setelah kepercayaan dan kode etik dijalankan secara konsisten.

Kerjasama yang dimaksud, yaitu di bidang militer, pertukaran informasi di bidang intelijen, pencegahan aksi teror, penanggulangan isu penyelundupan manusia dan kerjasama polisi.

"Kerjasama bilateral yang bermanfaat bagi kedua negara dapat segera dijalankan kembali," kata SBY.

Kode etik dan protokol ini merupakan niat baik untuk berkomitmen dalam membangun kehidupan bertetangga dan saling menguntungkan.

SBY menyebut setelah aksi ini dilakukan, masih akan ada proses lebih lanjut. "Kami akan terus melakukan pembicaraan yang komprehensif dan diplomatis," kata dia. (VivaNews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar