Sabtu, 03 Desember 2011

Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS


Pangkalan Militer Darwin dan Politik Hegemoni AS
Tjipto Subadi, DOSEN FKIP DAN PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 2 Desember 2011


Pernyataan Presiden AS Barack Obama di depan Parlemen Australia di Canberra, Kamis (17/11) lalu, yang akan menjadikan wilayah Asia Pasifik menjadi prioritas utama politik luar negeri dan pertahanan AS menjadi kekhawatiran tersendiri bagi wilayah damai tersebut. Apalagi, setelah Presiden Obama mengatakan militer AS akan menyebar di Asia, terutama Asia Tenggara, di mana AS akan membangun pangkalan militer di Darwin, Australia, yang disusul dengan mendatangkan pasukan marinir, kapal perang, dan pesawat tempur yang dimulai tahun depan. Meskipun, Obama berdalih pangkalan militer di Darwin dimaksudkan hanya untuk operasi bantuan kemanusiaan, bukan operasi militer.

Tahun depan baru 250 marinir yang ditempatkan di Darwin, namun pada 2016 jumlah tersebut naik 10 kali lipat menjadi 2.500 marinir. Padahal, jarak Darwin dengan Nusa Tenggara Timur hanya 820 km, yang bisa dicapai oleh pesawat tempur kurang dari satu jam. Sedangkan, perusahaan tambang raksasa AS Freeport Mc Moran memiliki tambang emas terbesar di dunia, PT Freeport Indonesia, di Timika, Papua Barat, yang hanya "selemparan batu" dari Darwin.

Tentu saja rencana AS untuk mendirikan pangkalan militer di Darwin mengkhawatirkan Cina, meski AS sudah mempunyai pangkalan militer di Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Sementara itu, bekas pangkalan udara  Clark dan laut Teluk Subik di Filipina ternyata masih sering digunakannya untuk melakukan operasi antiteroris di Asia Tenggara.

Cina khawatir sebab merasa negara kuning itu selama ini paling berkuasa di Laut Cina Selatan, tempat gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly yang kaya akan minyak bumi sedang diperebutkan Cina, Vietnam, Filipina, Brunei, Malaysia, dan Taiwan. Keenam negara itu mengklaim ratusan pulau kecil di gugusan Paracel dan Spratly adalah milik mereka. Sehingga, dapat menimbulkan konflik bersenjata. Kehadiran AS di kawasan itu tentu saja membuat Cina khawatir, sebab politik hegemoninya akan mendapat saingan berat dari politik hegemoni AS.  

AS selalu berdalih bahwa negara adidaya itu termasuk negara Pasifik karena mempunyai wilayah di Hawaii dan Guam yang masuk kawasan Pasifik. Jadi, sah-sah saja jika AS memiliki perhatian geopolitik dan geostrategis terhadap wilayah Asia Pasifik, termasuk Australia dan Laut Cina Selatan. Apalagi, hampir 100.000 pasukan AS ditempatkan di Jepang, Korsel, Taiwan, Singapura, dan Thailand, bahkan masih tersisa di Filipina, yang kesemuanya berada di kawasan Asia.

Asia Pasifik
Sebagaimana dikatakan Presiden Obama, AS mulai berpaling ke Asia Pasifik seiring perang yang sudah berakhir. Jelas yang dimaksud Presiden Obama adalah berakhirnya perang di Irak dan rencana penarikan pasukan AS dan NATO secara menyeluruh dari Afghanistan pada 2014 nanti.

Sebenarnya, AS telah gagal dalam membangun politik hegemoninya di Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam kasus Irak, AS mengalami kegagalan total untuk menguasai Negeri Seribu Satu Malam itu setelah melakukan invasi untuk menggulingkan Saddam Husein pada 2003 lalu. Sedangkan, di Afghanistan, meski dibantu pasukan NATO, AS juga gagal mengusai negara bergolak tersebut. Bahkan, hampir 2.500 nyawa prajurit terbaiknya hilang di Afghanistan. Boleh dikatakan Taliban saat ini masih menguasai sebagian besar wilayah Afghanistan ketika malam hari, namun ketika siang hari digantikan oleh pasukan NATO dan Afghanistan.

Kegagalan politik AS di Timur Tengah semakin nyata setelah rezim Mubarak, Ben Ali, dan Ali Abdullah Saleh yang selama ini menjadi pendukung kuatnya bertumbangan satu persatu dan digantikan rezim yang kurang bersahabat dengan AS dan Israel. Bahkan, Partai An Nahdhah yang memenangkan Pemilu Parlemen di Tunisia jelas anti-Israel, sementara kekuatan partai pendukung Ikhwanul Muslimin yang tergabung dalam Aliansi Demokrat dan Aliansi Islam Partai Nour diprediksi akan memenangkan Pemilu Parlemen Mesir yang akan digelar pada Senin (28/11) nanti. Jika kedua aliansi kekuatan politik Islam itu menang, tamatlah sudah pengaruh AS dan Israel di Mesir. 
      
Meski politik hegemoni AS di Timur Tengah semakin goyah, namun AS tetap berusaha menguasai berbagai sumber minyak di wilayah Timur Tengah dengan mengandalkan sekutu setianya, Arab Saudi. Sebab, bagi AS, tersedianya pasokan minyak secara aman dan lancar dari Timur Tengah sangat vital bagi kehidupan negara superpower yang berpenduduk 320 juta orang tersebut. Krisis minyak di AS pascaperang Timur Tengah pada 1973 lalu menjadi pelajaran sangat berharga akan pentingnya persediaan minyak bumi bagi negara adidaya itu.    

Apalagi, negara-negara Islam di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, UEA, Qatar, Bahrain, dan Libya saat ini menguasai 75 persen cadangan minyak dunia yang mencapai 685,6 miliar barel. Sedangkan, cadangan minyak lainnya ada di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan (98,6 miliar barel), Eropa dan Eurasia (97,5 miliar barel), Afrika (77,4 miliar barel), Amerika Utara, termasuk AS dan Kanada (49,9 miliar barel), dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia (38,7 miliar barel). 

Strategi AS untuk menguasai cadangan minyak dunia adalah dengan berusaha mengooptasi geopolitik dan geostrategis sumber-sumber minyak di Timur Tengah. Semua cara dilakukan AS untuk menguasai negara-negara Islam penghasil minyak dunia itu, seperti operasi intelijen, pengintaian, penyusupan melalui pasukan khusus, hingga invasi militer dalam skala penuh, seperti Afghanistan dan Irak.

Sementara itu, di Asia Selatan, para geolog AS sudah lama mengetahui melalui pengamatan satelit, jauh dibawah bumi Afghanistan yang terlihat tandus dan gersang itu terdapat cadangan minyak bumi luar biasa besarnya yang diperkirakan tidak kalah dengan Arab Saudi. Jika AS mampu menguasai Afghanistan dengan mengalahkan para pejuang Taliban, ke depannya Afghanistan akan menjadi rebutan berbagai perusahaan minyak raksasa AS. Sementara, perusahaan minyak Eropa hanya akan mendapat sebagian kecil meski negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO turut mengirim pasukannya ke Afghanistan.  

Selain itu, untuk melanggengkan penguasaannya atas cadangan minyak dunia yang sangat strategis, sampai 2003 tercatat AS telah menempatkan 75 persen kekuatan militernya yang total berjumlah 1,5 juta pasukan pada 730 basis militernya di lebih dari 50 negara di dunia, dan yang terbaru yaitu di Darwin Australia tahun depan.

Penempatan basis-basis militer tersebut memang disengaja tidak jauh dari sumber-sumber minyak, terutama di Timur Tengah dan wilayah strategis di Asia Pasifik. Untuk itu, dari tahun ke tahun AS terus menambah anggaran militernya. Sementara, anggaran tahun ini mencapai tiga triliun dolar.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kiblat politik luar negeri AS semakin diarahkan ke kawasan Asia Pasifik? Pertama, jelas untuk membendung kekuatan militer Cina yang semakin dominan di kawasan strategis itu. Kedua, AS merasa gagal dengan politik hegemoninya di Timur Tengah untuk membendung pengaruh Iran yang semakin kuat secara militer dan diplomasi. Ketiga, AS memiliki banyak pasukan dan pangkalan militer strategis di kawasan Asia Pasifik, bahkan Asia Tengah.

Selain membendung pengaruh Cina, AS diam-diam juga berusaha menghalangi pengaruh Rusia yang kembali bangkit pascaruntuhnya komunisme awal 1990 lalu. Keempat, perhatian AS terhadap Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia semakin besar. AS memandang Indonesia yang kaya akan barang tambang secara geopolitik dan geostrategi semakin penting untuk mendukung politik hegemoninya di kawasan Asia Pasifik, terutama untuk menghadapi pengaruh Cina yang diprediksi akan menjadi negara superpower baru pada pertengahan abad ini menggantikan AS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar