Imigran Ilegal, Visa, dan Keamanan Dalam Negeri
Suhartono Ronggodirdjo, MANTAN DIPLOMAT; PEMERHATI HUBUNGAN INTERNASIONAL
Sumber : KOMPAS, 3 Desember 2011
Pada teks berjalan di salah satu stasiun televisi nasional, 23 Oktober 2011, tertulis ”Puluhan imigran gelap dari Asia Selatan dan Timur Tengah masih berada di Karanganyar, Jawa Tengah”. Bagaimana ini bisa terjadi dan mengapa terjadinya di Karanganyar?
Sebetulnya berita ini tidak terlalu mengejutkan. Sudah sering diberitakan ada orang-orang asing yang tidak jelas statusnya berada di wilayah Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Ini fakta bahwa wilayah kita masih rawan kemasukan orang luar tanpa izin. Masih untung jika para imigran gelap itu tidak ada maksud jahat ke negara kita.
Indonesia memang negara yang sangat longgar bagi orang asing untuk masuk, baik yang legal maupun ilegal. Dengan alasan untuk meningkatkan kunjungan turis asing, sejak Mei 2007 pemerintah membuat kebijakan pemberian visa on arrival (VOA) kepada pengunjung dari 63 negara.
Sebelumnya VOA hanya diberikan kepada 52 negara, dengan biaya visa 10 dollar AS untuk kunjungan selama 7 hari dan 25 dollar AS untuk 30 hari. Selain itu, pemerintah juga memberikan kebebasan untuk masuk ke Indonesia tanpa visa kepada warga dari 11 negara.
Namun, yang kiranya perlu diperhatikan, apakah dengan kebijakan kelonggaran visa bagi warga dari negara-negara itu akan serta-merta meningkatkan kedatangan turis ke negeri kita?
Apakah jika tak ada kemudahan visa tersebut orang-orang dari negara-negara yang mendapat kemudahan itu enggan ke Indonesia karena harus mengurus visa? Atau apakah dengan adanya kemudahan visa tersebut hubungan kita dengan negara-negara itu menjadi lebih baik?
Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut. Terlepas dari itu semua, fakta yang ada di beberapa perwakilan kita di luar negeri, terutama di negara-negara maju, masih banyak warga setempat yang ingin mengurus visa ke kantor perwakilan kita ketika hendak bepergian ke Indonesia. Rupanya mereka merasa lebih nyaman jika ketika berangkat dari negaranya ke negara lain sudah mengantongi visa.
Sering masuknya imigran ilegal ke wilayah kita menandakan lemahnya pengamanan wilayah. Ini bisa dimengerti mengingat luasnya wilayah dan panjangnya garis pantai yang kita miliki, yang sering tidak terjangkau oleh aparat keamanan.
Di samping itu, tidak acuhnya penduduk dan ketidaktahuan mereka tentang keimigrasian menyebabkan orang-orang asing ilegal itu menjadi leluasa. Kondisi ini dimanfaatkan oleh warga negara asing yang ingin pergi ke negara lain tanpa melalui prosedur resmi.
Visa Sebagai Alat Kontrol
Pada masa Orde Baru tidak semua pemohon visa di perwakilan RI di luar negeri diberikan visa. Pemohon tidak perlu tahu alasannya karena masalah visa menyangkut wilayah kedaulatan suatu negara.
Contohnya, Pemerintah Amerika Serikat sangat berhati-hati dalam memberikan visa, terutama setelah peristiwa 11 September 2001. Dalam memutuskan pemberian visa oleh bagian visa tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Tentu mereka tidak mau ”kecolongan” dengan masuknya orang-orang asing yang ingin mengganggu keamanan dan ketenangan negaranya.
Perwakilan RI, khususnya bagian konsuler dan imigrasi, merupakan pintu pertama penyaring orang asing masuk. Setiap pemohon visa untuk setiap keperluan harus memenuhi syarat tertentu, yang sebenarnya cukup ketat. Namun, dengan adanya kebijakan VOA dan bebas visa, praktis penyaringan di perwakilan relatif tidak ada. Sementara itu, kita tidak tahu apakah kedatangan mereka ke Indonesia benar-benar tidak mempunyai agenda tersembunyi.
Negara tentu mempunyai dan mengutamakan kepentingan nasional, tetapi apakah kita tahu bahwa ada negara lain yang berkepentingan dengan kondisi Indonesia? Mungkin saja ada negara yang berkepentingan dengan adanya korupsi besar-besaran di Indonesia, dengan kapitalisme liberal yang kita anut, serta berkepentingan dengan banyaknya generasi muda kita yang rusak karena narkotika.
Tidak kalah penting adalah mereka yang berkepentingan dengan lepasnya sebagian wilayah kita dari NKRI. Apalagi jika wilayah itu sangat potensial dan strategis, baik dari segi ekonomi maupun keamanan. Kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan penduduk padat tentu menyulitkan polisi imigrasi—itu pun ”kalau ada”—untuk mengontrol keberadaan dan aktivitas orang-orang asing tersebut.
Cukup menarik untuk disimak pernyataan Duta Besar Australia di Kampus Universitas Indonesia, Depok, belum lama ini. Ketika menjawab pertanyaan mahasiswa, ia antara lain mengatakan, ”Australia tidak akan mendukung setiap gerakan yang berniat mengganggu integritas teritorial RI, termasuk Papua dan Papua Barat.”
Rasanya kita masih ingat bahwa Australia pernah berperan dalam proses lepasnya Timor Timur dari NKRI.
Turisme memang merupakan salah satu penghasil devisa, tetapi tentu kita juga tak boleh melupakan kemungkinan efek-efek samping yang tidak diinginkan. Semoga kebijakan memajukan kepariwisataan di Indonesia tidak mengorbankan kepentingan nasional yang lebih luas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar