Sabtu, 03 Desember 2011

Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?


Suku Jawa dan Tionghoa Mengapa Berkurang?
Jousairi Hasbullah, ANALIS STATISTIK SOSIAL BPS
Sumber : Kompas, 2 Desember 2011


Hasil Sensus Penduduk 2010, yang secara rinci baru saja dipublikasikan BPS, dibandingkan dengan hasil Sensus 1930 pada zaman Belanda, mengalami penurunan signifikan persentase suku Jawa dan Tionghoa di Indonesia. Gejala positifkah?

Persentase suku Jawa di Indonesia jauh berkurang. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan angka 40,22 persen, bandingkan hasil Sensus 1930 yang 47,02 persen di seluruh Indonesia. Persentase suku Tionghoa menurun lebih tajam, yaitu dari 2,04 persen pada tahun 1930 tinggal 1,20 persen tahun 2010.

Angka absolut kedua suku tersebut tidak berkurang. Suku Jawa pada tahun 1930 berjumlah 27,8 juta jiwa dari 60 juta penduduk Indonesia waktu itu dan tahun 2010 menjadi 95, 2 juta dari total 237 juta penduduk Indonesia. Sementara orang Tionghoa pada tahun 1930 sebanyak 1,2 juta jiwa dan kini 2,8 juta jiwa.

Menentukan suku bangsa seseorang biasanya dilakukan dengan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan antropologis yang didasarkan garis keturunan dan pendekatan etnodemografis yang didasarkan dari pengakuan yang bersangkutan. Pendekatan antropologis yang jauh lebih rumit sangat tidak memungkinkan diterapkan dalam sensus yang berskala masif, dengan varian kemampuan petugas yang sangat heterogen. Sebaliknya, pendekatan etnodemografis lebih praktis, mudah, dan memungkinkan digunakan dalam sensus.

Seorang migran yang telah menetap cukup lama di daerah lain dan budaya setempat: tradisi, bahasa, nilai, dan norma telah mewarnai perilaku kesehariannya, dapat saja menyatakan sebagai anggota suku tempat dia berada. Petugas sensus akan mencatat sesuai dengan pengakuan yang bersangkutan. Inilah yang disebut pendekatan etnodemografis.

Mengapa Menurun?

Penurunan persentase suku ini dapat saja direspons negatif. Beberapa anggota kelompok suku biasanya lebih suka melihat persentase yang meningkat sebagai tanda bahwa nilai-nilai, budaya, dan bahasa suku masih dominan. Biasanya sangat penting untuk berbagai keperluan, termasuk kepentingan politik.

Di sisi lain, penulis memandang penurunan persentase suku Jawa dan Tionghoa sebagai hal positif. Pertama, pada suku Jawa ataupun Tionghoa tingkat fertilitasnya di bawah rata-rata orang Indonesia.

Rata-rata anak yang dilahirkan oleh perempuan Indonesia (2010) sebanyak 2,15 anak, di provinsi yang didominasi oleh suku Jawa jauh lebih rendah. Di Jawa Tengah 1,99 anak dan di Yogyakarta hanya 1,39 anak. Pada suku Tionghoa, kemungkinan angka fertilitasnya juga jauh 
lebih rendah. Akibatnya laju pertambahan populasi orang Jawa dan orang Tionghoa berlangsung lebih lamban dibandingkan dengan suku-suku lain di Indonesia.

Kedua, migrasi suku Jawa telah berlangsung sejak lama ke berbagai penjuru Nusantara, baik melalui jalur force migration (kuli kontrak, transmigrasi) maupun migrasi spontan sebagai pengaruh dari chain migration (migrasi berantai), yaitu mengikuti famili yang telah pindah ke daerah lain. Mereka yang telah turun-temurun berbaur bukan hanya secara fisik melalui jalur perkawinan antarsuku, juga secara budaya—termasuk dengan nilai-nilai lokal setempat, kemungkinan tak lagi mengaku sebagai suku Jawa melainkan sebagai anggota suku tempat mereka berada.

Fenomena yang sama tampaknya terjadi pada suku Tionghoa. Orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya, yang telah beberapa generasi tinggal menyatu dengan suku-suku lokal setempat, sebagian di antara mereka tak lagi mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa, tetapi sebagai orang suku setempat.

Jika saja data yang dikemukakan didasarkan atas hasil sensus penduduk pada masa pemerintahan Soeharto, barangkali pengakuan tersebut dapat dipertanyakan tingkat kesukarelaannya, apakah karena memang merasa sebagai suku setempat atau karena rasa takut. Namun, ketika pengakuan itu datang pada tahun 2010, saat kebebasan dirasakan oleh semua orang, pengakuan tersebut adalah pengidentifikasian diri yang memang diyakini apa adanya.

Ketiga adalah fenomena Jakarta dan sekitarnya. Orang-orang Jawa dan Tionghoa yang telah hidup di lingkungan Betawi dalam beberapa generasi kemungkinan besar tak lagi menganggap diri mereka orang Jawa atau orang Tionghoa, tetapi orang Betawi. Indikasi ini sangat nyata dengan pertambahan anggota suku Betawi yang luar biasa selama 80 tahun terakhir. Pada tahun 1930 jumlah orang Betawi baru 1,66 persen dari total penduduk Indonesia, saat ini meningkat menjadi 2,87 persen. Tahun 1930 suku Betawi menempati urutan ke-8 suku terbesar di Indonesia, saat ini menempati posisi lima besar nasional.

Semangat Multikultural

Hasil sensus, di mana pun, membatasi kajiannya pada fakta umum dan makro. Untuk merinci lebih jelas mengapa suatu fenomena terjadi, butuh kajian ilmiah yang lebih mendalam. Namun, dari kecenderungan umum ini kita mendapatkan hipotesis berharga bahwa suku Jawa dan suku Tionghoa, yang menurun persentasenya, selain telah berkontribusi positif pada pembatasan kelahiran juga dan yang utama memiliki semangat pembauran yang tinggi. Begitu juga dengan suku Betawi yang terbuka terhadap pendatang.

Dapatkah kita mengatakan bahwa ketiga suku tersebut, tanpa banyak diketahui selama ini, telah menjadi pelopor dari semangat multikultural yang positif untuk persatuan Indonesia. Suatu tantangan untuk dikaji lebih mendalam bagi kelangsungan Indonesia sebagai negara-bangsa pada masa mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar