Kupang : Peraih Civil Justice Award Nasional 2013 dari Aliansi Pengacara Australia Ferdi Tanoni mengatakan Australia telah melanggar kedaulatan NKRI ketika menghalau masuknya sebuah perahu yang mengangkut sekitar 45 orang imigran gelap pada Senin (6/1).
"Ada tiga kapal perang AL Australia dan enam buah kapal cepat (speed boat) Australia menghalau para imigran tersebut sampai menggiring mereka masuk ke wilayah perairan Indonesia di dekat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Ini sebuah bentuk pelecehan yang harus diambil tindakan tegas oleh Jakarta," katanya di Kupang, Selasa.
Mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu mengatakan sebagai bangsa yang bermartabat, Australia sepatutnya menghormati kedaulatan NKRI, bukan menciptakan permusuhan dengan tingkah laku arogan dan menganggap Indonesia sebagai bangsa yang tidak ada artinya apa-apa di depan mata Australia.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan pemerintahan koalisi Australia pimpinan PM Tony Abbott perlu menciptakan suasana persahabatan yang saling menghormati terhadap hak kedaulatan masing-masing negara, dengan membangun sebuah kerja sama komplementer yang saling melengkapi guna mensejahterakan rakyatnya masing-masing.
Ia juga mengharapkan Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) Kupang meningkatkan misi operasinya ke wilayah Laut Timor untuk melindungi nelayan Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan tersebut, sekaligus mencegah tindakan arogan Australia yang memasuki wilayah perairan Indonesia dengan semena-mena.
Aksi kapal perang AL Australia yang memasuki wilayah perairan Indonesia secara semena-mena itu, setelah Kepolisian Resor Rote Ndao di Pulau Rote, sekitar 40 mil dari Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur mengamankan 45 imigran gelap asal Timur Tengah yang terdampar di Dusun Kakaek, Desa Lenupetu, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao di Pulau Rote, Senin (6/1).
Menurut keterangan Yusuf Ibrahim (28), salah seorang imigran kepada aparat kepolisian di Mapolres Rote Ndao, kapal yang mereka tumpangi itu digiring oleh tiga kapal perang AL Australia dan enam buah kapal cepat (speed boat) yang digunakan Marinir Australia, sampai ke wilayah perairan Indonesia di dekat Pulau Rote.
Yusuf Ibrahim kemudian menunjukkan bukti pelanggaran kedaulatan NKRI tersebut berupa JPS yang menunjukkan bahwa kapal perang AL Australia tersebut telah memasuki wilayah perairan Indonesia, sekitar tujuh mil dari daratan Pulau Rote.
"Kami sempat ditahan selama satu setengah hari di perbatasan perairan RI-Australia tanpa diberi makan oleh patroli AL Australia. Ada empat orang rekan saya, malah disiksa dengan memegang knalpot mesin kapal saat digiring masuk ke dalam ruang mesin, sehingga membuat tangan mereka terluka," katanya mengisahkan.
Kapolres Rote Ndao AKBP Hidayat yang dihubungi secara terpisah mengatakan para imigran tersebut berangkat dari Pulau Kendari di Sulawesi Tenggara pada 21 Desember 2013 dan tiba di Australia pada 1 Januari 2014, namun langsung dihadang dan digiring keluar oleh patroli AL Australia dengan menggunakan tiga buah kapal perang tersebut.
"Para imigran tersebut tiba di perairan Pulau Rote pada 6 Januari 2014 sekitar pukul 02.00 Wita pada Senin dini hari, namun baru diketahui oleh warga Desa Lenupetu di Kecamatan Pantai Baru pada pukul 06.00 Wita. Warga langsung melaporkan kasus tersebut, dan kami langsung mengambil tindakan pengamanan," kata Hidayat.
Para imigran tersebut terdiri dari 36 laki-laki dan sembilan orang perempuan. Dari jumlah tersebut, tercatat yang berkewarganegaraan Somalia sebanyak 28 orang, Sudan sembilan orang, Mesir tiga orang, Nigeria dua orang serta Yaman, Ghana dan Libanon masing-masing satu orang.
Kepala Imigrasi Kupang Silvester Sili Laba yang dihubungi secara terpisah mengatakan para imigran tersebut akan ditampung sementara di bekas Kantor Imigrasi Kupang, karena rumah detensi Imigrasi Kupang telah penuh dengan para imigran yang memiliki misi yang sama untuk mencari suaka di Australia.
Pengamat hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa mengatakan tindakan yang dilakukan oleh patroli AL Australia tersebut harus disikapi secara tegas oleh Jakarta dengan cara melayangkan surat protes kepada PM Australia Tony Abbott atas tindak yang tidak menghargai kedaulatan negara lain itu.
"Saya sependapat dengan Pak Ferdi Tanoni, bahwa Jakarta harus segera mengambil tindakan tegas agar tidak dipandang enteng oleh Australia. Kita adalah bangsa besar yang patut dihormati oleh bangsa lain di dunia ini. Jika ada negara lain tidak mau menghargai kita, kita juga perlu mengambil tindakan tegas atas tindakan tidak menghormat itu," katanya.
Menurut dia, Australia sudah berulang kali melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Indonesia lewat skandal penyadapan beberapa waktu lalu, kini kembali berulah dengan melanggar wilayah kedaulatan NKRI saat mengusir pulang para imigran yang hendak mencari suaka di negeri Kanguru itu.
Ia menambahkan pemerintahan PM Australia Tony Abbott harus menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas tindakan AL Australia tersebut, karena bukanlah sebuah persoalan sepeleh dalam membangun hubungan persahabatan antarbangsa.
Ia juga meminta TNI-AL meningkatkan operasi pengamanan di wilayah perairan Laut Timor yang kaya akan minyak dan gas bumi tersebut agar tindakan nakal patroli AL Australia tersebut bisa dapat dicegah.
"Selama patroli AL Indonesia tidak kontinyu melaksanakan operasi pengamanan di wilayah Laut Timor dan sekitarnya, patroli AL Australia akan dengan leluasa memasuki wilayah perairan kita, karena jarak antara Pulau Rote dengan gugusan pulau pasir (ashmore reef) hanya ditempuh empat jam pelayaran dari pulau terselatan Indonesia itu," demikian Wilhelmus Wetan Songa.
"Ada tiga kapal perang AL Australia dan enam buah kapal cepat (speed boat) Australia menghalau para imigran tersebut sampai menggiring mereka masuk ke wilayah perairan Indonesia di dekat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Ini sebuah bentuk pelecehan yang harus diambil tindakan tegas oleh Jakarta," katanya di Kupang, Selasa.
Mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu mengatakan sebagai bangsa yang bermartabat, Australia sepatutnya menghormati kedaulatan NKRI, bukan menciptakan permusuhan dengan tingkah laku arogan dan menganggap Indonesia sebagai bangsa yang tidak ada artinya apa-apa di depan mata Australia.
Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan pemerintahan koalisi Australia pimpinan PM Tony Abbott perlu menciptakan suasana persahabatan yang saling menghormati terhadap hak kedaulatan masing-masing negara, dengan membangun sebuah kerja sama komplementer yang saling melengkapi guna mensejahterakan rakyatnya masing-masing.
Ia juga mengharapkan Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) Kupang meningkatkan misi operasinya ke wilayah Laut Timor untuk melindungi nelayan Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan tersebut, sekaligus mencegah tindakan arogan Australia yang memasuki wilayah perairan Indonesia dengan semena-mena.
Aksi kapal perang AL Australia yang memasuki wilayah perairan Indonesia secara semena-mena itu, setelah Kepolisian Resor Rote Ndao di Pulau Rote, sekitar 40 mil dari Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur mengamankan 45 imigran gelap asal Timur Tengah yang terdampar di Dusun Kakaek, Desa Lenupetu, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao di Pulau Rote, Senin (6/1).
Menurut keterangan Yusuf Ibrahim (28), salah seorang imigran kepada aparat kepolisian di Mapolres Rote Ndao, kapal yang mereka tumpangi itu digiring oleh tiga kapal perang AL Australia dan enam buah kapal cepat (speed boat) yang digunakan Marinir Australia, sampai ke wilayah perairan Indonesia di dekat Pulau Rote.
Yusuf Ibrahim kemudian menunjukkan bukti pelanggaran kedaulatan NKRI tersebut berupa JPS yang menunjukkan bahwa kapal perang AL Australia tersebut telah memasuki wilayah perairan Indonesia, sekitar tujuh mil dari daratan Pulau Rote.
"Kami sempat ditahan selama satu setengah hari di perbatasan perairan RI-Australia tanpa diberi makan oleh patroli AL Australia. Ada empat orang rekan saya, malah disiksa dengan memegang knalpot mesin kapal saat digiring masuk ke dalam ruang mesin, sehingga membuat tangan mereka terluka," katanya mengisahkan.
Kapolres Rote Ndao AKBP Hidayat yang dihubungi secara terpisah mengatakan para imigran tersebut berangkat dari Pulau Kendari di Sulawesi Tenggara pada 21 Desember 2013 dan tiba di Australia pada 1 Januari 2014, namun langsung dihadang dan digiring keluar oleh patroli AL Australia dengan menggunakan tiga buah kapal perang tersebut.
"Para imigran tersebut tiba di perairan Pulau Rote pada 6 Januari 2014 sekitar pukul 02.00 Wita pada Senin dini hari, namun baru diketahui oleh warga Desa Lenupetu di Kecamatan Pantai Baru pada pukul 06.00 Wita. Warga langsung melaporkan kasus tersebut, dan kami langsung mengambil tindakan pengamanan," kata Hidayat.
Para imigran tersebut terdiri dari 36 laki-laki dan sembilan orang perempuan. Dari jumlah tersebut, tercatat yang berkewarganegaraan Somalia sebanyak 28 orang, Sudan sembilan orang, Mesir tiga orang, Nigeria dua orang serta Yaman, Ghana dan Libanon masing-masing satu orang.
Kepala Imigrasi Kupang Silvester Sili Laba yang dihubungi secara terpisah mengatakan para imigran tersebut akan ditampung sementara di bekas Kantor Imigrasi Kupang, karena rumah detensi Imigrasi Kupang telah penuh dengan para imigran yang memiliki misi yang sama untuk mencari suaka di Australia.
Pengamat hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang Wilhelmus Wetan Songa mengatakan tindakan yang dilakukan oleh patroli AL Australia tersebut harus disikapi secara tegas oleh Jakarta dengan cara melayangkan surat protes kepada PM Australia Tony Abbott atas tindak yang tidak menghargai kedaulatan negara lain itu.
"Saya sependapat dengan Pak Ferdi Tanoni, bahwa Jakarta harus segera mengambil tindakan tegas agar tidak dipandang enteng oleh Australia. Kita adalah bangsa besar yang patut dihormati oleh bangsa lain di dunia ini. Jika ada negara lain tidak mau menghargai kita, kita juga perlu mengambil tindakan tegas atas tindakan tidak menghormat itu," katanya.
Menurut dia, Australia sudah berulang kali melakukan tindakan tidak terpuji terhadap Indonesia lewat skandal penyadapan beberapa waktu lalu, kini kembali berulah dengan melanggar wilayah kedaulatan NKRI saat mengusir pulang para imigran yang hendak mencari suaka di negeri Kanguru itu.
Ia menambahkan pemerintahan PM Australia Tony Abbott harus menyampaikan permintaan maaf kepada Indonesia atas tindakan AL Australia tersebut, karena bukanlah sebuah persoalan sepeleh dalam membangun hubungan persahabatan antarbangsa.
Ia juga meminta TNI-AL meningkatkan operasi pengamanan di wilayah perairan Laut Timor yang kaya akan minyak dan gas bumi tersebut agar tindakan nakal patroli AL Australia tersebut bisa dapat dicegah.
"Selama patroli AL Indonesia tidak kontinyu melaksanakan operasi pengamanan di wilayah Laut Timor dan sekitarnya, patroli AL Australia akan dengan leluasa memasuki wilayah perairan kita, karena jarak antara Pulau Rote dengan gugusan pulau pasir (ashmore reef) hanya ditempuh empat jam pelayaran dari pulau terselatan Indonesia itu," demikian Wilhelmus Wetan Songa.
Sumber : Suarapembaruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar