Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd, dikabarkan memanfaatkan laporan intelijen Pemerintah Inggris dan Amerika Serikat (AS), tentang sejumlah pemimpin negara Asia, termasuk Presiden SBY, dalam pertemuan puncak G20 di London, Inggris pada 2009.
Presiden SBY Berjabat tangan Dengan Barack Obama Pada Pertemuan KTT G-20 |
Menurut pemberitaan The Age, laporan itu kemudian digunakan Kevin untuk mendukung tujuan diplomatik Australia termasuk kampanye untuk memenangkan kursi di Dewan Keamanan PBB.
''[Perdana Menteri] Rudd sangat tertarik dengan laporan intelijen para pemimpin Asia-Pasifik, diantaranya Yudhoyono, [Perdana Menteri India] Manmoham Singh, dan [mantan presiden Cina] Hu Jintao," ujar seorang sumber di intelijen Australia, yang minta dirahasiakan namanya, Minggu (28/7/2013).
"Tanpa dukungan intelijen yang disediakan oleh AS, kami tidak akan dapat memenangkan kursi," ujar pihak Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia dalam kondisi rahasia.
Dokumen intelijen yang sifatnya sangat rahasia itu, pertama kali dikirim ke Fairfax Media di bawah undang-undang kebebasan informasi, dan sempat juga disinggung oleh whistleblower intelijen AS Edward Snowden.
Snowden mengatakan, bahwa saat itu intelijen Inggris dan Amerika mentargetkan para pemimpin asing dan pejabat yang menghadiri pertemuan G20 2009 di London.
Mantan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard juga telah diinformasikan mengenai informasi tersebut.
Kepala Divisi Pertahanan, Intelijen dan Berbagi Informasi Australia, Richard Sadleir pada 17 Juni 2013, bertemu dengan Gillard untuk melaporkan bahwa dokumen yang dibocorkan oleh Snowden merupakan bukti bahwa Markas Komunikasi Pemerintah Inggris (GCHQ), mengoperasikan Pemecah kemampuan intelijen untuk mencegat komunikasi.
Kemampuan pengumpulan intelijen GCHQ di pertemuan G-20 itu di antaranya dapat menembus sistem keamanan smartphone BlackBerry delegasi untuk memantau email dan panggilan telepon.
Selain itu mendirikan warung internet yang memiliki program intersepsi email dan program mata-mata pasword akses dunia maya para delegasi. (Tribun)
Tanggapan Istana Kepresidenan RI
Media Australia memberitakan bahwa rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah disadap saat menghadiri KTT G20 di London, Inggris, pada April 2009 lalu. Apa tanggapan pihak Istana?
"Kalaulah hal tersebut benar terjadi, penyadapan bukanlah sesuatu tindakan yang etis dalam kehidupan antar dua negara bersahabat," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada detikcom, Minggu (28/7/2013).
Faiza mengatakan pemerintah juga sudah mengetahui sinyalemen tindakan penyadapan yang dilakukan intelijen Inggris itu melalui pemberitaan media asing. Namun sepengetahuan Faiza belum ada pernyataan dari pihak Ingggris yang membantah informasi tersebut.
"Begitu pula belum ada yang membenarkannya," imbuh Faiza yang pada 2009 masih menjadi Jubir Kementerian Luar Negeri (Kemlu) ini.
Menurut Faiza mengetahui sinyalemen itu melalui media bukan berarti benar terjadi. Oleh karena itu saat itu pemerintah tidak melakukan konfirmasi atas informasi tersebut.
"Mengetahui sinyalamen media bukan berarti benar terjadi. Mekanisme hubungan antar negara kan ada dalam berbagai modalitas, ada yang bersifat diplomatik ada juga kerjasama antara instansi intelijen," tutupnya.
Sebelumnya Media Australia itu mengutip sumber anonim dari intelijen dan Kementerian Luar Negeri di benua kangguru itu.
Media yang memberitakan adalah kelompok Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald, seperti dikutip dari dua media itu yang ditulis pada Jumat (26/7/2013).
Australia dalam hal ini hanya menerima keuntungan dari hasil sadapan itu. Sementara yang melakukan penyadapan disebutkan adalah intelijen AS dan Inggris.
"PM Kevin Rudd menerima keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris pada Presiden SBY pada KTT G20 tahun 2009 di London," demikian menurut sumber intelijen dan Kemenlu Australia. (Detik)
"Kalaulah hal tersebut benar terjadi, penyadapan bukanlah sesuatu tindakan yang etis dalam kehidupan antar dua negara bersahabat," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada detikcom, Minggu (28/7/2013).
Faiza mengatakan pemerintah juga sudah mengetahui sinyalemen tindakan penyadapan yang dilakukan intelijen Inggris itu melalui pemberitaan media asing. Namun sepengetahuan Faiza belum ada pernyataan dari pihak Ingggris yang membantah informasi tersebut.
"Begitu pula belum ada yang membenarkannya," imbuh Faiza yang pada 2009 masih menjadi Jubir Kementerian Luar Negeri (Kemlu) ini.
Menurut Faiza mengetahui sinyalemen itu melalui media bukan berarti benar terjadi. Oleh karena itu saat itu pemerintah tidak melakukan konfirmasi atas informasi tersebut.
"Mengetahui sinyalamen media bukan berarti benar terjadi. Mekanisme hubungan antar negara kan ada dalam berbagai modalitas, ada yang bersifat diplomatik ada juga kerjasama antara instansi intelijen," tutupnya.
Sebelumnya Media Australia itu mengutip sumber anonim dari intelijen dan Kementerian Luar Negeri di benua kangguru itu.
Media yang memberitakan adalah kelompok Fairfax Media yang membawahi The Age dan The Sydney Morning Herald, seperti dikutip dari dua media itu yang ditulis pada Jumat (26/7/2013).
Australia dalam hal ini hanya menerima keuntungan dari hasil sadapan itu. Sementara yang melakukan penyadapan disebutkan adalah intelijen AS dan Inggris.
"PM Kevin Rudd menerima keuntungan dari kegiatan mata-mata Inggris pada Presiden SBY pada KTT G20 tahun 2009 di London," demikian menurut sumber intelijen dan Kemenlu Australia. (Detik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar