Rabu, 28 Agustus 2013

Embargo Militer dan Pembelian Helikopter AH-64E Apache

 

Dalam kunjungannya ke Jakarta awal pekan ini, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, melontarkan pengumuman istimewa: pemerintahnya merestui penjualan helikopter tempur canggih AH-64E Apache kepada Indonesia. Ini tanda hubungan kedua negara di bidang pertahanan kian erat, dan AS kini menjadikan Indonesia sebagai pasar strategis bagi produk-produk persenjataannya.

Embargo Militer dan Pembelian Helikopter AH-64E Apache
AH-64E Apache

"Menyediakan helikopter kelas dunia kepada Indonesia merupakan contoh komitmen kami untuk membangun kapabilitas militer Indonesia," kata Hagel usai bertamu ke Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro, di Jakarta 26 Agustus 2013.

Menhan Purnomo mengungkapkan pembelian heli tempur itu memodernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah tergolong usang. Hampir 20 tahun lebih, kata Purnomo, Indonesia belum membeli peralatan militer baru.


"Kami membelinya sebagai bagian dari upaya modernisasi peralatan perang militer Indonesia. Kami akui bahwa kualitas militer Indonesia masih rendah, oleh sebab itu akan terus diperbaiki," kata Purnomo.

Indonesia akan membeli Apache sebanyak delapan unit. Dalam satu paket, ungkap Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, delapan heli ini seharga US$500 juta (sekitar Rp5,4 triliun). Oktober 2014 sudah mulai tiba di Indonesia. "Pengiriman dilakukan bertahap. Lengkap dengan persenjataan dan suku cadang," kata Sjafrie.

Apache adalah helikopter tempur andalan Angkatan Darat AS. Seri AH64E yang dibeli Indonesia ini adalah varian terbaru yang mulai diproduksi pada 2012.

Dibuat oleh Boeing Co., helikopter ini memiliki sistem persenjataan dan pengintaian yang canggih, dan dilengkapi dengan radar Longbow Fire Control, perangkat lacak, dan sistem sasaran yang dibuat bersama dengan Northrop Grumman dan Lockheed Martin, ungkap harian The Wall Street Journal.

Selain mengumumkan penjualan helikopter Apache, Menhan Hagel pun mengutarakan pujian pemerintah AS atas membaiknya transparansi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. "Kita harus mengupayakan kemajuan berikut atas isu yang penting ini demi mewujudkan hubungan yang lebih baik dalam bidang pertahanan," ujar Hagel.

Dia pun mendukung kerjasama militer kedua negara, baik di bidang pelatihan bersama dan pendidikan perwira. Bahkan, Hagel pun mendukung saran pembentukan asosiasi anggota TNI yang pernah berkuliah dan berlatih di AS, begitu asosiasi tentara AS yang pernah berlatih dan menempuh pendidikan di Indonesia.

Sikap AS atas Indonesia soal kerjasama di bidang pertahanan dan militer ini sangat bertolak belakang dari dua puluh tahun lalu. Dulu AS menjatuhkan embargo jual beli senjata dan pelatihan tentara atas Indonesia, sebagai hukuman atas kekerasan TNI atas warga di Timor Timur - yang telah berubah menjadi negara Timor Leste - pada dekade 1990an.

Hukuman dari AS itu membuat Indonesia sempat tidak berdaya dalam upaya modernisasi alutsista. Banyak peralatan perangnya, termasuk jet F-16, dibeli dari Amerika namun tak bisa dimutakhirkan karena embargo dari Washington. Kesulitan ini diperparah oleh krisis moneter 1997-1998 yang membuat pemerintah RI harus berhemat untuk beberapa tahun.

Sikap AS mulai berubah saat presiden George W. Bush, mencabut embargo penjualan senjata atas Indonesia setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Korea Selatan pada November 2005. Di mata Bush, Indonesia mulai transparan dan menghormati HAM sekaligus menjadi salah satu mitra kunci kampanye perang melawan terorisme.

Lima tahun kemudian, 2010, AS membuka kembali kerjasama pelatihan dan pendidikan militer dengan Indonesia. Jual-beli alutsista AS dengan Indonesia belakangan ini kian intensif saat ekonomi RI sedang stabil dan Washington, sebaliknya, sedang berjuang mencari pendapatan yang banyak untuk mengatasi krisis anggaran. 

Selain menjual helikopter Apache, AS pun telah mengumumkan hibah 24 unit jet tempur F-16 bekas ke Indonesia. Namun, jet-jet itu perlu dimutakhirkan dan Indonesia tetap harus membayar. (VivaNews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar