Sabtu, 31 Agustus 2013

Prajurit TNI Kontingen Garuda di Lebanon Terima Medali PBB

Sebanyak 1.169 Prajurit TNI yang tergabung dalam satgas Kontingen Garuda pada misi perdamaian di Lebanon menerima medali penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Prajurit TNI Kontingen Garuda di Lebanon Terima Medali PBB

PBB memberikan penghargaan itu karena TNI dinilai berhasil mengemban misinya sebagai penjaga perdamaian di Lebanon dibawah payung United Nations Interim Force In Lebanon (UNIFIL), kata Perwira Penerangan Satgas Konga XXIII-G/UNIFIL, Lettu Sus Sundoko, melalui pesan elekronik yang diterima ANTARA, di Jakarta, Sabtu.

Ia mengatakan upacara penyematan medali PBB itu dilaksanakan dalam suatu upacara militer, dengan Inspektur Upacara Deputy Force Commander Brigadir Jenderal Phatric Phelan dan Komandan Upacara Wadansatgas Indobatt Mayor Inf Pio L Nainggolan, bertempat di Lapangan Soekarno, Markas Indonesia Battalion, Adshid al Qusayr, Lebanon Selatan, Jumat (30/8).


Penyematan Medali PBB dilaksanakan secara simbolis oleh Brigadir Jenderal Phatric Phelan kepada para Komandan jajaran Konga, yaitu Komandan Satgas FHQSU Konga XXVI-E1 yang juga sebagai Komandan Kontingen Indonesia 2013 Kolonel Inf Karmin Suharna, Wadan Sektor Timur Kolonel Inf Rizerius, Komandan Satgas Indobatt XXIII-G Letkol Inf Lucky Avianto.

Selain itu, Komandan Satgas SEMPU XXV-E Letkol Cpm Subiyakto, Komandan Satgas FPC Konga XXVI-E2 Letkol Inf Yuri Eliyas, Komandan Satgas CIMIC Konga XXXI-C Letkol Inf Ilyas, Komandan Satgas MCOU Konga XXX-C Mayor Inf Nasrul dan Komandan Satgas Level 2 Hospital Konga XXIX-E Letkol Kes dr. Paulus Supriyono.

Deputy Force Commander Brigadir Jenderal Phatric Phelan dalam amanatnya mengatakan, Kontingen Indonesia merupakan kontingen terbesar yang sejak 2006 hingga saat ini terus dipercaya oleh PBB melalui payung UNIFIL.

PBB sebagai organisasi tertinggi dunia juga menilai prajurit TNI di Lebanon tersebut dinilai berhasil dalam menjaga dan memelihara stabilitas perdamaian di wilayah tersebut, banyak hasil dan prestasi yang dihasilkan oleh Kontingen Indonesia selama penugasannya, sehingga pantas menerima medali dari PBB.

"Agar Kontingen Indonesia dapat terus mempertahankan prestasi yang sudah di raih dan jalin terus hubungan baik dengan masyarakat sekitar bahkan dengan kontingen lain, sehingga Indonesia tetap terus dikenal oleh masyarakat dunia," kata Phatric.

Ia mengatakan kedekatan Kontingen Garuda dengan Angkatan Bersenjata Lebanon (LAF /Lebanon Armed Force) dan masyarakat sekitar yang menjadi kunci sukses dalam mengimplementasikan Resolusi DK PBB 1701 agar tetap dipertahankan, khususnya dalam membantu LAF mengambil beberapa langkah dan upaya pertahanan di sepanjang perbatasan Lebanon Selatan.

"Upaya yang ditempuh oleh Kontingen Garuda, sejak eksistensinya bulan Nopember 2006, telah menunjukkan sikap positif dan aktif dalam perannya sebagai peacekeeper yang berupaya tidak berpihak kepada pihak mana pun yang sedang bertikai. Hal ini merupakan salah satu wujud komitmen UNIFIL untuk berbuat terbaik demi terciptanya perdamaian abadi di Lebanon Selatan," ujarnya.

Seementara itu, upacara militer diisi dengan berbagai kegiatan demonstrasi keterampilan prajurit, yaitu beladiri militer, reog ponorogo, tari kecak dan musik angklung, serta parade dan defile.

Hadir dalam acara tersebut, antara lain Dubes RI untuk Lebanon Dimas Samodra Rum, Atase Pertahanan RI untuk Timur Tengah Kolonel Mar Ipung Purwadi, para Pejabat Teras UNIFIL maupun LAF, Komandan Satgas Sektor Timur maupun Sektor Barat, pejabat sipil pemerintah Lebanon, tokoh masyarakat, tokoh agama di Lebanon Selatan, masyarakat Indonesia serta penduduk lokal Lebanon Selatan.  (Antara)

Thailand Jajaki Seragam Militer Buatan Sritex

Kemampuan PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dalam melayani pembuatan seragam militer dari berbagai negara terutama dari anggota Nato tampaknya mendorong tentara Thailand untuk mengikuti jejak dan memesan seragam militer di pabrik tekstil yang berlokasi di Kabupaten Sukoharjo itu.

Thailand Jajaki Seragam Militer Buatan Sritex

Untuk mengetahui pabrik tekstil, proses produksi, kualitas produk, serta tata cara order,  rombongan militer Thailand berkunjung ke Sritex. Mereka yang dipimpin Letnan Jenderal Jirasak, Chomprasop Comander of 2nd Army Area, Royal Thai Army (RTA) Thailand itu langsung diterima Daputy President Director Iwan Kurniawan Lukminto.


Mereka juga diajak berkeliling pabrik, selain menanam pohon di kawasan sekitar pabrik. "Kita baru sebatas penjajakan. Siapa tahu (pertemuan) ini menjadi awal yang baik untuk rencana bisnis selanjutnya," kata Iwan, Jumat (30/8).

Menurut Iwan, setiap tahun atau dalam kurun waktu tertentu negara-negara yang membeli seragam militer di Sriteks terus membuat kontrak baru untuk perpanjangan kontrak pembelian atau pemesanan. Di samping itu, hampir setiap tahun ada negara negara yang datang ke Sritex.

"Ada yang hanya sebatas berkunjung dan bartanya ke sana ke ke sini, ada pula yang ditindaklanjuti dengan pemesanan," tandasnya.

Sesudah itu lembaga pertahanan nasional atau Lemhanas juga berkunjung ke Sritex. Dalam kesempatan itu, rombongan yang dipimpin MayJend TNI Syafriil Mahjudin itu juga melihat proses produksi seragam militer di pabrik. (Suara Merdeka)

Obama To Seek Congressional Vote On Syria




Obama To Seek Congressional Vote On Syria Strike



President Barack Obama said on Saturday he has decided he should order a limited military strike against Syria, but in a move laden with political and diplomatic implications, he agreed in an about-face to solicit authorization for the mission from Congress.


Mr. Obama's announcement in a Rose Garden statement brought an unusually sudden halt to a military mobilization that for days had appeared on the cusp of a bombardment of Syria as punishment for its alleged use of chemical weapons on Aug. 21 that killed more than 1,400 people—including more than 400 children.
It also marked a jarring shift as president for Mr. Obama, whose senior aides have been saying that he would not seek congressional authorization and that he had the legal right to order the start of military strikes.


Mr. Obama said legislative leaders have agreed to hold a debate and a vote on the issue as soon as Congress returns, which currently is scheduled to be Sept. 9. Leaders in the Senate, where Democrats hold the majority, considered calling the chamber back to session before then.
The move places the president's Syria policy on an unknown course, subjecting it to a certain showdown on Capitol Hill where lawmakers are deeply divided on the issue and even more so over Mr. Obama himself.

By agreeing to a congressional debate, Mr. Obama faces some amount of risk that he will be handed a defeat by legislators, like that suffered by British Prime Minister David Cameron over Syria this past week.
By assuming that risk, Mr. Obama also faces the possibility of some consternation from U.S. allies, who have been pressed by the administration for support for its aims in Syria.
In Israel, President Obama's decision to postpone military action until after congressional approval was received with skepticism. Analysts on Israeli television blasted the president for making the U.S. appear weak in the region. An Israeli official warned that U.S. hesitation could embolden Iran's nuclear ambitions.






President Barack Obama was ready to order a military strike against Syria, with or without Congress' blessing. But on Friday night, he suddenly changed his mind.

Senior administration officials describing Obama's about-face Saturday offered a portrait of a president who began to wrestle with his own decision - at first internally, then confiding his views to his chief of staff, and finally summoning his aides for an evening session in the Oval Office to say he'd had a change of heart.


The ensuing flurry of activity culminated Saturday afternoon in the White House Rose Garden when Obama stood under a sweltering sun, his vice president at his side, and told the American public the U.S. should launch a military strike to punish Syrian President Bashar Assad for a chemical weapons attack the U.S. says killed more than 1,400 people last week.

But first, he said, he'll ask permission from Congress.






Russia dramatically escalated its denunciations of American threats to attack Syrian military targets on Saturday, with President Vladimir Putin saying it would have been “utter nonsense” for the Syrian government to use chemical weapons as the Obama administration alleges.

The Foreign Ministry, in a statement issued before President Obama said he would seek congressional authorization before ordering strikes on Syria, said a U.S. attack would be a “gross violation” of international law.

Speaking out for the first time since an apparent chemical weapons attack near Damascus on Aug. 21, Putin called on President Obama to find a nonviolent way out of the crisis.
“I would like to address Obama as a Nobel Peace Prize laureate: Before using force in Syria, it would be good to think about future casualties,” Putin told Russian news agencies in Vladivostok during a tour of the country’s flood-stricken Far East.

“Russia is urging you to think twice before making a decision on an operation in Syria,” he said.
The White House argued Friday that intelligence shows more than 1,400 people died from exposure to chemical weapons in an attack carried out by the Syrian military.

Putin said he was sure the attack was the work of rebels trying to provoke international — and especially American — involvement in the Syrian conflict. The government of Bashar al-Assad, he said, would have had no reason to use chemical weapons at a time when it had gained the upper hand in the fighting.

Doing so, he said, would have been “utter nonsense’’ – with the clear implication that that is how he would characterize the American allegations.

On top of that, he said, the Obama administration’s “claims that proof exists, but is classified and cannot be presented to anybody, are below criticism. This is plain disrespect for their partners.”

Putin’s comments were soon underlined by a stern statement from the Foreign Ministry. After U.S. Ambassador Michael McFaul had finished a meeting with Deputy Foreign Minister Sergei Ryabkov on Saturday, the ministry declared, “Russia has expressed its conviction that any forceful action against Syria that the U.S. could carry out in circumvention of the U.N. Security Council would be an act of aggression and a gross violation of international law.”







Other than clarifying that Congress would vote on US military involvement in Syria, US President Barack Obama’s last-minute announcement Saturday left viewers and pundits alike with more questions than answers.

Obama’s decision to put the vote to Congress virtually ensures victory — for the president, at least. If Congress rejects military action, he retains the moral high ground of intending to help, and of agreeing to legislative oversight, without facing the critique for the outcome of intervention. If Congress approves, he will have demonstrated moral and political leadership, and may even create an environment of improved Hill-White House relationships in the weeks before the looming budget and debt ceiling debates.

If the Republican leadership put the nail in the coffin of an early vote, it is unclear if the delay will benefit or harm the president’s case. But that, of course, depends on what the president’s real agenda is.
Obama emphasized in his address that Congress would hold a debate and vote on military action in Syria immediately after the legislature reconvenes. The scheduled date for the Congressional session to begin is September 9, a date that critics have already noted gives Syrian President Bashar Assad’s regime an additional 10 days to hunker down before airstrikes.

His approval rating on how he has handled the issue of intervention in Syria is even worse – a grim 35 percent, according to the same NBC poll released Friday. Part of his real agenda must be to change that — but in what direction, given the 50% approval/disapproval rate for military intervention?
What he means to do depends largely on how his advisers have “read” his chances of getting the vote on intervention through both houses of Congress. If his advisers believe that the partisan politics of the capital city will take over, and the GOP will reject involvement, it could be that he is banking on the Republicans taking the fall for blocking an attack that he doesn’t want to carry out in the first place.
Obama has refused to answer questions about whether he will continue with plans for intervention if his resolution fails on the Hill, leaving a final note of ambiguity in an already hard-to-read political situation.





Satu Anggota Kopassus Gugur dalam Baku Tembak TNI dan OPM di Puncak Jaya

Aksi baku tembak antara personil TNI dengan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Goliat Tabuni kembali terjadi di Puncak Jaya, Papua, Sabtu, 31 Agustus 2013.


Satu Anggota Kopassus Gugur dalam Baku Tembak TNI dan OPM di Puncak Jaya

Baku tembak terjadi di Distrik Tingginambut sekitar pukul 14.00 WIT. Distrik Tingginambut selama ini dikenal sebagai markas OPM. Akibat insiden baku tembak itu satu anggota TNI tewas dan senjatanya dirampas.

Dari data yang berhasil dihimpun, kontak senjata terjadi secara sporadis, anggota sipil bersenjata itu menyerang Pos TNI Tingginambut secara tiba-tiba. Anggota TNI berupaya bertahan sehingga kontak senjata pun berlangsung.

Satu orang prajurit, Pratu Andry yang bertugas di Pos TNI tertembak di bagian perut dan meninggal dunia ditempat. Kelompok sipil bersenjata yang diperkirakan sekitar delapan hingga belasan orang dipimpin Goliat Tabuni dan Terius Tabuni berhasil merampas senjata Pratu Andry yang berasal dari kesatuan Kopassus. Kelompok sipil bersenjata itu lalu melarikan diri kembali masuk hutan.

Juru Bicara Kodam 17 Cenderawasih Kolonel Lismer Lumban Siantar saat dikonfirmasi membenarkan kejadian itu. "Benar satu anggota TNI dari batalyon Infantri 753 AVT Nabire tewas tertembak dalam insiden itu," kata Lismer.

Saat ini, kata dia, proses evakuasi terhadap Pratu Andry sedang berlangsung. "Korban langsung di evakuasi menuju RS Mulia. Namun karena cuaca buruk tidak bisa dievakuasi ke Jayapura dengan pesawat. Kemungkinan Minggu besok baru dilaksanakan proses evakuasi," ujarnya

Mengenai kronologis aksi baku tembak, Luman Sintar masih enggan membeberkannya. 

VivaNews

Lengkapi Apache AH-64 Indonesia Kembangkan Helikopter Serang Gandiwa

Kementerian Pertahanan akan mendorong PT Dirgantara Indonesia (DI) untuk mengembangkan helikopter serang, menyusul rencana pemerintah Indonesia membeli delapan unit helikopter serang Apache AH-64 dari Amerika Serikat untuk TNI Angkatan Darat.

Model Helikopter Serang Gandiwa yang dikembangkan PT Dirgantara Indonesia
Model Helikopter Serang Gandiwa yang dikembangkan PT Dirgantara Indonesia

"Yang dibutuhkan satu skuadron helikopter serang atau sebanyak 16 unit," kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, yang ditemui sesaat setelah peluncuran buku yang ditulis anggota Komisi I DPR Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati berjudul "Komunikasi dalam Kinerja Intelijen Keamanan" di Jakarta, Jumat (30/8) malam.

Ia lantas menjelaskan,"Kalau kita beli delapan unit helikopter Apache, berarti baru setengah skuadron. Mungkin ada kombinasi, seperti halnya pesawat tanpa awak (UAV), setengah skuadronnya merupakan buatan dalam negeri."

Pengembangan helikopter serang yang dibangun oleh PT DI, kata dia, diharapkan spesifikasi dan kemampuannya tak jauh berbeda dengan helikopter Apache.

"Mungkin spesifikasinya masih di bawah Apache, tetapi kemampuannya tak begitu jauh," kata Menhan.

Purnomo mengatakan bahwa pihaknya telah mengutus Sekjen Kemhan Budiman, yang saat ini telah dilantik menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD), ke Amerika Serikat untuk mengetahui secara pasti detail spesifikasi helikopter serang Apache itu.

"Spesifikasi teknologinya harus jelas betul, yang dibeli seperti apa. Terakhir yang berangkat ke AS adalah Sekjen Kemhan yang saat ini menjadi KSAD," katanya.

Menurut Purnomo, sistem persenjataan sebuah alat tempur sangat memengaruhi harga. Suatu peralatan tempur yang dilengkapi dengan sistem deteksi radar tentu lebih mahal daripada yang tidak ada.

Ia menegaskan bahwa pembelian helikopter Apache merupakan rencana pertahanan jangka panjang. Oleh sebab itu, kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar diharapkan tidak akan berpengaruh banyak terhadap rencana pembelian itu. (Antara)

UN Weapons Inspectors Leave Syria: Syria Expecting U.S. Strike At Any Moment





Fasten your seatbelts - It looks like the U.S. Strike will happen this weekend. The aftermath is what will make this whole scenario interesting from a prophetic perspective. 







The 13 inspectors, led by Ake Sellstrom, brought forward their departure from 7am on Saturday to 4am, despite travel being considered dangerous around that time.
Their departure has opened a window for a possible US strike after President Barack Obama on Friday gave his clearest indication yet that a military intervention was imminent.
He said his administration was looking at the possibility of a "limited, narrow act", while stressing no final decision had been taken on whether to unleash military strikes against Bashar al-Assad's regime.
Meawhile, Syria said Saturday morning it was expecting a military attack "at any moment" after the last of the inspectors left Damascus.
A Syrian security official told AFP: "We are expecting an attack at any moment. We are ready to retaliate at any moment."

The experts are due to report straight back to United Nations chief Ban Ki-moon and detail their conclusions on whether a poison gas attack actually did take place on August 21, based on samples collected on site.
However, the results from testing of alleged chemical weapons in Syria could take up to two weeks.
John Kerry, the US secretary of state, yesterday dismissed any findings of the inspectors as essentially irrelevant because, he said, their mandate was restricted to determining only if chemical weapons had been used, not who launched the attack.








Syria is expecting a military strike “at any moment,” a security official said on Saturday, only hours after U.N. inspectors left the country after investigating the aftermath of suspected chemical weapons attacks said to be perpetrated by Syrian President Bashar al-Assad’s regime.
“We are expecting an attack at any moment. We are ready to retaliate at any moment,” an unnamed Syrian security official told AFP news agency.
The departure of the U.N. inspectors has given the United States an opportunity to carry out a military strike, after President Barack Obama on Friday indicated that military intervention was pending.
The U.S. president said that his administration was looking at the possibility of a “limited, narrow act,” while emphasizing that no final decision had yet been made on possible military strikes against the Syrian regime.







Russian President Vladimir Putin has declared ‘utter nonsense’ the idea that the Syrian government has used chemical weapons on its own people and called on the US to present its supposed evidence to the UN Security Council.
Putin has further called the Western tactic a ‘provocation.’
Washington has been basing its proposed strategy of an attack on Syria on the premise that President Bashar Assad’s government forces have used chemical agents, while Russia finds the accusations unacceptable and the idea of performing a military strike on the country even more so. Especially as it would constitute a violation of international law, if carried out without the approval of the UN Security Council. 
Further to this, Putin told Obama that he should consider what the potential fallout from a military strike would be and to take into consideration the suffering of innocent civilians. 
The Russian president has expressed certainty that the strategy for a military intervention in Syria is a contingency measure from outside and a direct response to the Syrian government’s recent combat successes, coupled with the rebels’ retreat from long-held positions. 






But now there is concern that bombing other sites could accidentally release dangerous chemical weapons that the U.S. military didn't know were there because they've lost track of some of the suspected nerve agents.
Bombing stockpiles of chemical weapons - purposely or accidentally - would likely kill nearby civilians in an accidental nerve agent release, create a long-lasting environmental catastrophe or both, five experts told The Associated Press. That's because under ideal conditions - and conditions wouldn't be ideal in Syria - explosives would leave at least 20 to 30 percent of the poison in lethal form.
"If you drop a conventional munition on a storage facility containing unknown chemical agents - and we don't know exactly what is where in the Syrian arsenal - some of those agents will be neutralized and some will be spread," said Daryl Kimball, executive director of the Arms Control Association, a nonprofit that focuses on all types of weaponry. "You are not going to destroy all of them."




Take a look at the following paragraphs and consider Isaiah 17:




"It's a classic case of the cure being worse than the disease," Kimball said. He said some of the suspected storage sites are in or near major Syrian cities like Damascus, Homs and Hama. Those cities have a combined population of well over 2 million people.






There is one precedent for bombing a chemical weapons storehouse. In 1991, during the first Persian Gulf War, the U.S. bombed Bunker 13 in Al Muthanna, Iraq. Officials figured it contained 2,500 artillery rockets filled with sarin, the same nerve gas suspected in Syria. More than two decades later the site is so contaminated no one goes near it even now.
That bunker is a special problem for inspectors because "an entry into the bunker would expose personnel to explosive, chemical and physical hazards," says a 2012 report by the Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons, which implements the international chemical weapons convention.
Pentagon planners are also worried about accidentally triggering a nerve agent attack by hitting weapons stores that have been moved by the government to new locations.










After Secretary of State John Kerry’s melodramatic speech on Friday, August 30, it is clear that it was intended to prepare Americans for an attack on Syria by U.S. forces, presumably missiles and excluding the use of troops. The navy would take the lead, but what Americans are likely unaware of is the fact that Russian-made surface-to-ship missiles could retaliate and, if U.S. aircraft are also involved, surface-to-air missiles would come into play.


President Obama has left himself with few options because he cannot go to the United Nations Security Council where any effort to condemn Syria or give its blessings to an attack would be vetoed by Russia. After members of Congress saw the British parliament vote against participation in an attack, they are not likely to want to cast votes authorizing one. There’s no coalition of nations supporting Obama though France has said it would be willing. Even the War Powers Act, as squishy as it is, assumes a response to an attack on the homeland.

This observer thinks Obama will launch an attack on Syria and it might well come on Sunday. I also think that a Syrian attack on Israel in retaliation will get little U.S. support because nothing Obama has said (his word is dirt) or done demonstrates any fondness for Israel.

A President who can turn his back on a longtime ally like Egypt’s Hosni Mubarak is not likely to feel any concern about Bibi Netanyahu’s little nation. Israel, however, is the only ally in the region with the capability of attacking Iran and damaging its nuclear capabilities.


If a Syrian missile should hit one of our ships, the U.S. will be “all in” whether we want to be or not. Our “allies” in Syria would be a variety of terrorist groups such as al Qaeda and the Muslim Brotherhood.

Conducting a war in such a manner is idiotic, but Obama does not want to go to the up-coming G-20 meeting in Europe looking like a wimp who will not back up his earlier warnings to Assad and will do nothing given the use of poison gas. The “message” he is sending will be for Iran, not Syria.

Iran has been at war with America since 1979 when American diplomats were seized and held hostage. We are the “great Satan” and Israel is the “little Satan.”  As Iran moves closer to acquiring nuclear capabilities, its leaders feel emboldened.

That’s how big wars begin.








The key to figuring out who is really behind the push for war is to look at who will benefit from that war.  If a full-blown war erupts between the United States and Syria, it will not be good for the United States, it will not be good for Israel, it will not be good for Syria, it will not be good for Iran and it will not be good for Hezbollah.  The party that stands to benefit the most is Saudi Arabia, and they won't even be doing any of the fighting.  

They have been pouring billions of dollars into the conflict in Syria, but so far they have not been successful in their attempts to overthrow the Assad regime.  Now the Saudis are trying to play their trump card - the U.S. military.  If the Saudis are successful, they will get to pit the two greatest long-term strategic enemies of Sunni Islam against each other - the U.S. and Israel on one side and Shia Islam on the other.  In such a scenario, the more damage that both sides do to each other the happier the Sunnis will be.
For the United States, there really is no good outcome in Syria.
If we attack and Assad stays in power, that is a bad outcome for the United States.
If we help overthrow the Assad regime, the rebels take control.  But they would be even worse than Assad.  They have pledged loyalty to al-Qaeda, and they are rabidly anti-American, rabidly anti-Israel and rabidly anti-western.
So why in the world should the United States get involved?
This war would not be good for Israel either.  I have seen a number of supposedly pro-Israel websites out there getting very excited about the prospect of war with Syria, but that is a huge mistake.
Syria has already threatened to attack Israeli cities if the U.S. attacks Syria.  If Syrian missiles start landing in the heart of Tel Aviv, Israel willrespond.
And if any of those missiles have unconventional warheads, Israel will respond by absolutely destroying Damascus.
And of course a missile exchange between Syria and Israel will almost certainly draw Hezbollah into the conflict.  And right now Hezbollah has70,000 rockets aimed at Israel.
If Hezbollah starts launching those rockets, thousands upon thousands of innocent Jewish citizens will be killed.






And below another very strange, disconcerting story which reveals the times in which we are living:






[You can't make stuff like this up]



If your political goal is to murder as many of the unborn as is humanly possible, no one should be surprised that you’re constantly taking the rhetoric to new depths.


Today’s sick twisting of religion comes to us from a pro-abortion rally in Iowa.  There, Des Moines activist Midge Slater delivered one of the creepiest prayers you’re ever going to hear.
In attendance were Iowa Democrat gubernatorial candidates Jack Hatch and Tyler Olson.  We can only presume that their grasp on religion is tenuous at best, since they apparently support praying for things like this:

"We give thanks, or Lord, for the doctors, both current and future, who provide quality abortion care."

“We pray for increased financial support for low-income women to access contraception, abortion and childcare.”



“Today, we pray for women in developing nations, that they may know the power of self-determination. May they have access toemployment, education, birth control and abortion.”



Just ...wow.  Obviously, we get that the left loves to mock the faithful and warp Christian beliefs into a derisive weapon, but this is pretty vile stuff.  The fact that two major Democrat candidates were willing to stand there, fold their hands, and bow their heads speaks volumes about how low they’re willing to sink.

Video of the complete “prayer” appears below.






Video Peluncuran Roket R-HAN Berdaya Jangkau 100 Kilometer


Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) berhasil meluncurkan sejumlah roket dengan daya jelajah hingga 100 kilometer. Peluncuran dilakukan di Kawasan Cilautereun, Garut, Jawa Barat.

Video Peluncuran Roket Lapan Berdaya Jangkau 100 Kilometer
 
Dalam tayangan Liputan 6 Terkini SCTV, Kamis (30/8/2013), roket-roket dengan daya jangkau 30 dan 100 kilometer ini berhasil mengangkasa dengan baik.

Roket berjenis R-Han ini merupakan karya para ahli Indonesia dengan seluruh materialnya dari dalam negeri. Roket khusus ini diciptakan untuk memperkuat pertahanan dalam menjaga kedaulatan negara.


Roket berhasil diciptakan berkat kerja sama para ahli dari Lapan, PT Pindad, serta Kementerian Riset dan Teknologi yang tergabung dalam Konsorsium Riset dan Teknologi Roket Nasional.

Rencananya kemampuan roket akan ditingkatkan hingga memiliki daya jangkau 150 kilometer.  (Liputan6)


Video Youtube

Jumat, 30 Agustus 2013

TNI AL Akan Terima Tawaran 10 Kapal Selam Rusia

TNI sangat serius dalam melakukan penguatan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI. Setelah TNI AD membeli MBT Leopard 2A6 dan helikopter serang Apache, TNI AU membentuk satu skuadron Sukhoi dan F-16, kali ini TNI AL bakal memperkuat armadanya.

TNI AL Akan Terima Tawaran 10 Kapal Selam Rusia

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah Republik Indonesia (RI) mendapat tawaran dari Rusia berupa bantuan 10 kapal selam. Saat ini, TNI AL hanya memiliki dua kapal selam yang terbilang berumur. Hingga tiga tahun ke depan, TNI AL bakal kedatangan tiga kapal selam baru hasil kerja sama dengan Korea Selatan.
 

Untuk mempercepat pencapain kekuatan pokok minimum (MEF), Purnomo tertarik untuk bekerja sama dengan pemerintahan yang dipimpin Vladimir Putin itu. Meski begitu, Purnomo tidak merinci apakah kapal selam yang ditawarkan itu berbentuk hibah atau pembelian baru.

Terkait spesifikasi juga ia mengaku kurang tahu lantaran baru tawaran awal dan perlu dilakukan kajian mendalam. Yang pasti, kata dia, kapal selam yang dijajakan ke Indonesia relatif baru.

“Kami akan kirim tim ke Rusia, terdiri Kemenhan, Mabes TNI, dan TNI AU untuk tahu lebih lanjut. Pak Marsetio (KSAL) pimpinan delegasinya,” kata Purnomo usai peluncuran buku ‘Komunikasi Dalam Kinerja Intelijen Keamanan’ di Jakarta, Jumat (31/8) malam.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Marsetio mengakui bakal berkunjung ke Rusia untuk melihat langsung galangan tempat bersandarnya kapal selam. Hal itu dilakukan agar kapal selam yang dibeli cocok dengan kondisi perairan Indonesia. Ia belum bisa menjelaskan secara detail lantaran belum melihat langsung barangnya.

“Yang Rusia belum. Harus disesuaikan dengan geografis Indonesia, apakah termasuk kapal selam samudera atau kapal selam kelas negara archipelago? Idealnya kapal selam kita memiliki kekhususan dan kekhasan dengan melihat kedalaman dan kontur laut,” ujar Marsetio. (ROL)

Penuhi Pesanan 16 Pesawat CN-295 PT DI Beli Peralatan Produksi Baru

TNI Angkatan Udara akan kembali menerima dua pesawat C-295 bulan September 2013, sehingga jumlah yang diterima dari Spanyol menjadi 4 pesawat. Mulai pesawat ke lima, ke enam dan ke tujuh, akan dikustomisasi di Indonesia. Sedangkan pesawat ke delapan dan ke sembilan sepenuhnya dirakit oleh PT DI.

Penuhi Pesanan 16 Pesawat CN-295 PT DI Beli Peralatan Produksi Baru

Menteri BUMN Dahlan Iskan menargetkan pada tahun 2014, PT DI mulai merakit C-295 dan TNI AU pun akan terus menambah pesawat jenis C-295 hingga berjumlah 16 buah untuk memenuhi kebutuhan skuadron dua TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta.


Untuk menyambut produksi yang lebih besar, PT DI terus membeli mesin baru untuk produksi, sekaligus merevitalisasi mesin mesin di PT DI yang telah berumur 30 tahun.

“Saat ini telah ada 8 mesin baru yang beroperasi dan lima unit lainnya dalam proses pengiriman”, ujar Juru Bicara PT DI Rakhendi Triyatna. Mesin ini dibeli PT DI untuk keperluan: komputerisasi, bubut, bor, cetak metal, silinder dan lain sebagainya. Beberapa mesin yang dibeli: CNC (Computerized Numerical Control), Quaser MV 18C, Haas VF6-50, Haas VR Deckel Maho DMU serta Mesin Gantry Matec Jobs LINX30. Mesin mesin berteknologi tinggi ini didatangkan dari beberapa pabrik di Jerman, Italia dan Taiwan.

Menurt Rakhendi, kemampuan mesin CNC yang handal serta pengalaman yang dimiliki PT DI membuat mereka dapat memenuhi komponen pesawat produk PT DI serta menyuplai banyak komponen yang dipesan Airbus, Boeing dan Bombardier.

“Seperti yang sering kami katakan, PT DI merupakan single supplier untuk bagian tengah, depan dan wing dari A380, pesawat yang sangat populer di dunia. Saat ini PT DI memiliki 100 unit mesin CNC dan TNC. Mesin mesin yang telah ada sebelumnya bekerja sangat produktif dan rata rata beroperasi 15 jam/hari untuk memenuhi target produksi yang terjadwal sangat ketat”, tambah Rakhendi.

Dengan tambahan peralatan baru ini PT DI sangat percaya diri untuk menggarap CN-295 di Bandung- Jawa Barat. Apalagi CN-295 merupakan hasil peningkatan dari C-235 dengan penambahan panjang badan pesawat (sekitar 3 meter), penguatan landing gear dan penambahan tenaga pesawat. Bahkan untuk menyambut perakitan CN-295 nanti, PT DI telah menyiapkan badan pesawat yang lebih panjang dan sedang dikerjakan. PT DI ingin memberi nilai lebih dengan CN-295 yang nantinya mereka rakit. (JKGR)

PT. DI Buat Helikopter Anti Kapal Selam Untuk TNI-AL

PT dirgantara Indonesia (PT DI) terus mendapatkan kepercayaan dari Kementerian Pertahanan dan militer Indonesia. Tentu hal ini tidak terlepas dari semangat pemerintah yang mendorong penggunaan alutsista dalam negeri. Dan memang seperti itulah seharusnya, jika Indonesia yang besar ini mau mandiri .

Eurocopter AS565 MB Panther
Eurocopter AS565 MB Panther

TNI AL akhirnya memesan 11 unit helikopter jenis Anti-Kapal Selam (AKS) kepada PT DI. Pembelian ini sekaligus menepis kemungkinan pembelian Heli AKS Seasprite yang memang menuai kontroversi.


Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Marsetio berharap 11 helikopter AKS untuk memperkuat alutsista TNI Angkatan Laut telah ada paling lambat tanggal 5 Oktober 2014. TNI AL telah menyiapkan skuadron khusus untuk menerima 11 helikopter AKS buatan PT DI dengan nama Skuadron 100 AKS.  Helikopter AKS dibutuhkan TNI AL untuk membentuk kekuatan tempur Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) pada tahun 2014 nanti.  Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) ini mellibat unsur Kapal Perang, Pesawat Udara, Koprs Marinir dan Pangkalan.

Berdasarkan keterangan Asisten Direktur Utama PT DI, Sonny Ibrahim Saleh, PT DI akan menggarap 11 unit helikopter AKS  TNI AL serta delapan helikopter serang TNI AD.

    “Untuk anti kapal selam jenisnya adalah Superpuma karena faktor peralatan pendukung sedangkan untuk tujuan serang bukan lagi NBO-105 tapi kemungkinan Ecureuil,” tandasnya di Bandung – Jawa Barat.

Dari penjelasan Juru Bicara PT DI itu,  dapat disimpulkan helikopter AKS yang dipesan PT DI adalah Eurocopter varian  AS332 Super Puma atau versi lebih baru AS565 MB Panther. Sedangkan heli serang untuk TNI AD juga buatan Eurocopter, AS350 Ecureuil atau varian  AS555 Fennec.

Sebelumnya PT DI  memang telah menandatangani kerjasama dengan Eurocopter untuk produksi sejumlah jenis helikopter, termasuk Fennec dan Ecureuil.

Di saat yang sama, PT DI  juga memenuhi pesanan 7 unit helikopter Eurocopter jenis lain. Enam diantaranya untuk TNI AU. Jenisnya adalah EC-725 Cougar varian Combat SAR and Personal Recovery. Pengerjaan tersebut di luar jumlah pesanan atas heli angkut personil Bell 412 EP untuk kepentingan TNI. (JKGR)

Rahman Fauzi, Pilot Pertama yang ke Rusia Tanpa Pengalaman Terbang di Sukhoi

Letnan Satu Penerbang Rahman Fauzi, 28 tahun, tiba-tiba mendapat tugas baru di kesatuannya, tugas belajar ke Rusia menerbangkan pesawat tempur Sukhoi. Tahun 2012 itu, ia baru saja mengantongi jam terbang 200 jam di pesawat jet tempur F-16 dan masih terdaftar dalam Skuadron III Lanud Iswahyudi, Madiun.

Letnan Satu Penerbang Rahman Fauzi
Letnan Satu Penerbang Rahman Fauzi | Detik.com - Hardani Tri Yoga

Tapi perintah atasan itu pantang ditolak. Ia pun berangkat tanpa sempat ada latihan konversi dari pesawat tempur F-16 ke jet tempur Sukhoi. “Yang pertama kali ke Rusia tanpa pengalaman terbang di Sukhoi saya, kemudian ada adik saya angkatan 2008,” kata Fauzi saat ditemui detikcom di Terminal Haji Selatan, Lanud Halim Perdanakusuma, Sabtu pekan lalu.

“Kebetulan saya memang belum ada jam belajar di Sukhoi dan langsung belajar di Rusia. Saya belum tahu juga kenapa bisa seperti itu, saya hanya pelaksana,” ujar dia menambahkan.


Keheranan sempat melintas di benaknya. Sebab saat itu skema standar untuk jadi pilot Sukhoi harus punya pengalaman jam terbang minimal 350 jam setelah itu melewati masa konversi terlebih dulu di markas Sukhoi di Makassar.

Di Rusia, ia mengaku sempat merasa deg-degan luar biasa. Maklum, jet tempur F-16 buatan Amerika yang selama ini ia pegang tentunya punya spesifikasi yang berbeda dengan Sukhoi buatan Rusia.

“Waktu itu saya terbang malam pertama di Rusia, kan masih pesawat baru, pertama kali terbang malam di tempat yang asing, jadi panik banget. Tapi itu ya normal sih, namanya juga yang pertama, saat itu saya deg-degan tapi tak disangka ternyata bisa,” kata Fauzi mengenang.

Fauzi berlatih bersama Angkatan Udara Negeri Beruang Merah itu selama empat bulan pada Juni–September 2012 dengan sistem 2 bulan teori dan 2 bulan praktik terbang. “Senin–Sabtu teori, lalu kalau terbang empat hari sepekan setiap Senin, Selasa, Kamis, Jumat, satu hari bisa 3-4 kali terbang."

Keahliannya Membom Target Tepat Sasaran

Tak hanya latihan terbang dan membuat formasi, mereka juga dilatih bagaimana bertempur. Menurutnya, ada tiga kategori yang dilatih yakni pakai roket, senjata, dan bom. Ia menambahkan keahliannya membom juga mendapat nilai bagus karena tepat sasaran.

“Kita benar latihan ngebom di tempat untuk menjatuhkan sasaran berupa pesawat dan tank tak dipakai dan ditaruh di lapangan, jadi enggak latihan kering,” ujarnya. Selama di Rusia, Fauzi mengaku hampir tak ada kendala berarti, kecuali cuaca yang sangat ekstrim.

Kebetulan dia di sana pada saat musim panas menuju musim semi dan suhu saat ini bisa mencapai 2 derajat saat udara dingin di musim semi, dan bisa mencapai 40 derajat saat musim panas. “Sementara kita latihannya dari pagi siang malam, kadang jam 1 baru balik sementara besoknya kembali lagi latihan,” ungkapnya menjelaskan.

“Kalau kita naik lebih dari 5.000 kaki, suhu di kokpitnya sudah harus benar-benar dipanasin, di dalam itu ada pengatur suhu.” Lainnya, kata Fauzi, dia justru terbantu dengan visibility yang bagus sebab jarang ada awan dan kabut.

Selesai masa belajar, langsung ditempatkan di Skuadron XI dan makin sering menerbangkan pesawat tempur itu baik dalam latihan maupun saat operasi hingga ia sudah mengantongi jam terbang 500 jam di Sukhoi dan F-16.

Saat di kedua skuadron itu, Fauzi mengaku sudah beberapa kali terlibat dalam misi seperti patroli menjaga pulau-pulau Indonesia. “Kita pernah ke Ambalat patrol, ke Bima, dan juga ke pulau-pulau terluar, itu rutin dilaksanakan tapi ada jangka waktunya sesuai komando,” ujar dia. (Detik)

Habibie Ungkap Penyebab Pencopotan Prabowo dari Pangkostrad

Situasi kekacauan di Indonesia pada 1998 sangat genting. Jika terlambat ditangani bisa timbul konflik horizontal. Bahkan, kata presiden Republik Indonesia (RI) ketiga BJ Habibie, keadaan yang menimpa Indonesia bisa lebih parah dari konflik yang terjadi sekarang di Mesir.

Habibie Ungkap Penyebab Pencopotan Prabowo dari Pangkostrad

Beruntung, berbagai jurus dan langkah taktis yang dikeluarkannya mampu mengembalikan stabilitas ekonomi dan keamanan hingga Indonesia tidak mengalami pertikaian berdarah. Ini lantaran ia terus bekerja secara maraton guna menekukan solusi terbaik bagi bangsa ini.

“Waktu 1998 lebih gawat dari Mesir. Kita bangkrut, PHK banyak, orang hidup itu susah. 1.001 macam saya harus selesaikan itu dulu sebelum perang saudara terjadi,” kata Habibie dalam peringatan HUT 19 Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, Kamis (30/8) malam.


Habibie mengenang, ketika sedang menyiapkan Kabinet Reformasi Pembangunan di rumahnya, datang tamu spesial, Pangkostrad Letjen Prabowo. Ia hanya mendengarkan segala saran Prabowo sambil lalu lantaran tengah menyelesaikan pekerjaan.

Pada  22 Mei 1998 di Istana Merdeka, Habibie mendapati Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang ingin bertemu dengannya. Waktu itu, Habibie ingin mengumumkan kabinetnya sehari setelah diangkat menggantikan Soeharto.

Dijelaskan Wiranto, kata dia, ada gerakan pasukan Kostrad dari berbagai daerah masuk ke Jakarta tanpa sepengetahuannya. Beberapa pesawat militer yang mengangkut prajurit Kostrad terdeteksi menuju bandara. Hal itu dianggap Wiranto berbahaya karena di luar komando resmi.

Mendapati itu, Habibie segera memerintahkan Wiranto untuk mencopot Prabowo sebelum matahari terbenam. Wiranto yang kaget mendengar instruksi tersebut balik bertanya kepada Habibie perihal siapa yang pantas menjabat Pangkostrad. “Terserah Pangab. Mohon kepada Pangkostrad baru untuk mengembalikan semua pasukan ke pangkalan masing-masing,” kata mantan menteri Riset dan Teknologi itu.

Akhirnya, lanjut Habibie, Prabowo menyerahkan jabatannya kepada Pangdiv I Kostrad Mayjen Johny Lumintang menjelang Maghrib. Sebenarnya, Wiranto ingin agar posisi itu diduduki Pangdam III Siliwangi Mayjen Siliwangi Djamari Chaniago. Lantaran terkendala geografis dan harus melantik Pangkostrad baru, pilihan akhirnya jatuh kepada Johny Lumintang yang berada di Jakarta.

Namun ia hanya menjabat Pangkostrad selama 17 jam lantaran keesokan harinya, Johny Lumintang harus merelakan posisinya untuk diserahkan kepada Djamari Chaniago. Cepatnya pergantian jabatan itu, kata Habibie, lantaran Wiranto ingin mentaati perintah Presiden. “Saya tidak kenal mereka semua. Kalau pergantian dilakukan malam, apa pun bisa terjadi. Saya tidak bisa mengontrol pasukan.” (ROL)


Reporter : Erik Purnama Putra  
Redaktur : Fernan Rahadi