Kamis, 19 Desember 2013

Ini Dia Sumber Dana Modernisasi Alutsista TNI

Keinginan pemerintah untuk kembali menjadi Macan Asia, tampaknya bukan ucapan di mulut saja. TNI AD memodernisasi alutsista ke tingkat yang lebih tinggi seperti: MBT Leopard, Meriam Caesar 155mm, Howitzer tarik 155mm KH 179, Heli Serang Apache AH 64 Guardian, Roket Lapan dan sebagainya. Begitu pula dengan TNI AU dengan pesawat tempur heavy fighter SU 27/30 dilengkapi rudal-rudalnya.


Ini Dia Sumber Dana Modernisasi Alutsista TNI
Modernisasi Alutsista TNI

TNI AL tidak ketinggalan dengan membeli Rudal Yakhot serta kapal selam Kilo dan Amur dilengkapi rudal berdaya jangkau 300km. Semua angkatan berupaya meningkatkan daya gempur dan daya jelajah mereka, layaknya suara auman macan yang menggentarkan.


Platform utama TNI AL adalah kapal permukaan. Seperti yang disampaikan Bung Palapa, TNI AL tertarik dengan frigate Talwar Class Rusia, untuk meningkatkan kemampuan operasional. Sementara Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan TNI tertarik membeli pesawat tempur SU-35, namun sedang dipikirkan  pembiayaan/ sumber dananya.


Berbicara modernisasi dan peningkatan kualitas alutsista tidak terlepas dari dana yang tersedia. ”Joke” dalam bahasa Jawa adalah: Wani Piro ?.

Dari mana dana untuk mempercepat modernisasi alutsista TNI ?. Perhatikan tabel di bawah ini !.





Perolehan pajak Indonesia hingga akhir Desember 2013, diperkirakan Rp 900 sampai Rp 950 triliun. Agak meleset  dari target Rp 1000 triliun. Hal ini tidak terlepas dari lesunya ekonomi di tahun 2013 dengan tingkat pertumbuhan 5,8 %/ tahun. Sementara tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,2 %.

Meski prosentase pendapatan pajak tahun 2013 berkurang namun secara jumlah meningkat. Dari Rp 835 triliun (tahun 2012) menjadi Rp 950 triliun tahun 2013.

Pendapatan pajak pada tahun 2014 ditargetkan sekitar Rp 1100 triliun. Kemungkinan tercapai dengan kondisi:





 

Apakah angka pendapatan pajak itu masih bisa ditingkatkan ?. Sangat bisa. Sediakan 10.000 ribu lulusan S-1 berlatar belakang ekonomi, maka tambahan dana Rp 200 hingga Rp 300 triliun/tahun, tidak susah untuk didapat.

Lihat baik-baik jumlah wajib pajak dibandingkan dengan petugas pemeriksa pajak Indonesia, seperti diagram di bawah ini:



Dari tahun 2009 hingga tahun 2012, jumlah wajib pajak Indonesia terus meningkat dari 15,9 juta wajib pajak, menjadi sekitar 24,8 juta wajib pajak (tahun 2012). Sementara jumlah pemeriksa pajak yang sejak dulu kurang, hanya naik tipis. Akibatnya pada tahun 2012, satu petugas pemeriksa pajak, harus memeriksa 5758  wajib pajak. Pertanyaannya adalah, mungkinkah seorang pemeriksa pajak menangani sekitar 6000 wajib pajak ?. Tidak mungkin. Dengan demikian sangat banyak penduduk Indonesia yang belum membayar pajak.

Analoginya, jika ada 6000 mobil parkir liar, mungkinkah satu kolektor memungut uang dari 6000 pengendara mobil itu ?. Tidak mungkin.  Bisa mengumpulkan uang dari 100 pemilik mobil saja, sudah hebat.

Seorang pemeriksa pajak tidak mungkin mem-blast satu pesan SMS ke 6000 wajib pajak dengan pesan: “Pajaknya dibayar ya !”. Tidak akan didengar. Wajib pajak harus didatangi. Kalau perlu ditakut-takuti akan masuk penjara jika tidak bayar pajak. Di Eropa orang akan sangat patuh membayar pajak, karena mereka sadar, akan masuk penjara jika tidak membayarnya. Di Indonesia orang sadar petugas pemeriksa pajak sangat sedikit, sehingga jika tidak membayarnya. Tidak ada petugasnya.

Dengan sedikitnya jumlah pemeriksa pajak, lalu wajib pajak yang seperti apa yang mereka sasar ?. Sudah pasti yang besar-besar yang diutamakan: Asing dan Local Big Name. Bagaimana dengan wajib pajak di tingkat menengah dan kecil ?. Ya lolos.  Siapa yang mau memeriksa ?. Petugasnya tidak ada. Dalam bahasa sederhana, kalau saja negara memiliki petugas pemeriksa pajak dam jumlah mencukupi, maka mereka bisa mendatangi  satu persatu toko di Tanah Abang, Jakarta. Ratusan miliar rupiah akan  tertampung oleh negara dalam setiap bulan.  Itu baru Tanah Abang.



Potensi uang yang berputar di kelas kecil- menengah justru besar sekali, namun tidak bisa ditangani karena terbatasnya petugas pajak. Strategi menggarap market kelas kecil menenga, sukses dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kini laba yang diraih oleh BRI telah melewati pendapatan BNI. Padahal dulu BRI dianggap oleh BNI sebagai small bank. Satu yang menjadi penyesalan BNI adalah melepas nasabah kelas kecil -menengah/UKM dan fokus di nasabah kelas atas. Kisah sukses BRI  menunjukkan betapa besarnya potensi pajak yang sebenarnya bisa digarap oleh Dirjen Pajak

Perbandingan Pegawai Pajak antar Negara.


Tabel di atas menunjukkan rasio perbandingan pegawai pajak dengan jumlah penduduk. Jerman yang demikian modern dan memiliki 80 juta penduduk, memiliki perbandingan 1 : 727 penduduk. Sementara Indonesia 1 : 7700 penduduk.



Orang cenderung tidak akan membayar pajak jika tidak diperintah atau diancam. Untuk itu, petugas pajak adalah kolektor yang harus mendatangi para wajib pajak. Hal ini khusus untuk wajib pajak kecil menengah. Wajib pajak kelas berat, rata rata telah memiliki laporan keuangan yang transparan karena telah listing di bursa, sehingga susah untuk menutupi laporan keuangan mereka.

Kondisi diperparah lagi dengan jumlah kantor yangmasih minim. Yang ada, masyarakat sulit untuk menemukan kantor pajak, apalagi untuk membayar pajak. Ironi bukan. Negara ini hidupnya sebagian besar dari pajak, namun jumlah pegawainya sangat minim. Jumlah pemeriksanya 4300 orang untuk memeriksa 240 juta wajib pajak. Bagaimana mau mendapatkan duit.

Jika jumlah pegawai pajak ditambah sebanyak 10.000 orang, mengumpulkan uang tambahan 300- 400 triliun / tahun bukanlah perkara sulit. Selain dana untuk alutsista, tambahan pendapatan pajak Rp 300 triliun/ tahun bisa digunakan untuk menggarap berbagai mega proyek, sehingga tidak perlu meminjam ke luar negeri.



BankK BRI bisa berkembang dan menggarap nasabah UKM dengan cara menambah pegawai hingga puluhan ribu dan menyebar kantor-kantornya. Pihak BRI bisa sesuka hati menambah pegawainya. Sementara Dirjen Pajak, penentuan jumlah pegawai ditentukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, bukan di bawah Menteri Keuangan. Yang paling susah adalah jikan Menpan, tidak paham kebutuhan orang pajak.

Ironi lainnya adalah, orang pajak/Dirjen pajak tidak bisa mengetahui rekening wajib pajak (WP). Padahal bila orang pajak bisa memeriksa rekening wajib pajak, maka sangat besar uang pajak yang bisa diperoleh. Dari rekening itu, akan terbaca pola keuganan WP, apakah pura-pura tekor untuk menghindari pajak atau sebenarnya untung berlimpah.

Di Malaysia, petugas pajak bisa datang sesuka hati ke Bank dan membuka/memerika rekening wajib pajak, dengan cara tinggal menunjukkan bedge petugas pajak mereka. Jangan tanya di Jepang dan Jerman. Indonesia sangat tertinggal untuk urusan yang satu ini. Kuncinya ada di DPR. Apakah DPR  mengijinkan petugas pajak memeriksa rekening para wajib pajak ?. Butuh komitmen politik yang tinggi.

(Sumber Anggota Warjag, Palapa dan Data Dirjen Pajak Semester III 2013/ JKGR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar