Meskipun dalam konteks yang berbeda, ketentuan dalam pasal 10 (Bendahara adalah Pejabat Fungsional) dan pasal 70 (Jafung Bendahara dibentuk selambat-lambatnya setahun sejak UU diberlakukan) UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juga telah memposisikan Depkeu (baca: DJPBN) sebagai instansi yang “tidak melaksanakan amanat UU No.1/2004”. Membentuk Jafung Bendahara untuk memenuhi amanat UU tersebut kini ibarat menegakkan sebuah benang basah. Mengapa demikian? Karena Menpan selaku regulator Jafung telah sekian kali menyatakan bahwa Bendahara tidak memenuhi syarat sebagai Jafung. Konon alasannya karena kegiatan Bendahara tidak dapat dikelompokkan secara berjenjang yang diperlukan untuk kebutuhan jenjang karier Bendahara. Ringkasnya, Bendahara dinilai tidak layak untuk dijadikan sebagai jabatan karier. Sementara itu Jafung Pengelola Perbendaharaan (JFPP) yang dimaksudkan sebagai pengganti Jafung Bendahara pun sampai saat ini masih belum berhasil dibentuk dan bahkan mempunyai peluang yang sangat kecil untuk berhasil dibentuk.
Pertanyaan yang cukup menarik adalah mengapa para pembuat UU No.1/2004 berpendapat bahwa Jafung Bendahara perlu dibentuk dan mengapa kemudian para pejabat di lingkungan DJPBN sepakat untuk membentuk JFPP sebagai pengganti Jafung Bendahara?
Saya kira amanat pembentukan Jafung Bendahara dalam UU No.1/2004 tidak dapat dipisahkan dari (1) bentuk apresiasi kita terhadap pentingnya peran Bendahara dalam pengelolaan uang negara dan (2) upaya pembentukan Jafung Bendahara yang pada saat itu (2003-2004) sedang dilakukan oleh Depkeu (BAKUN).
Sebagaimana kita ketahui UU No.1/2004 menyatakan bahwa Bendahara wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (yang notabene secara struktural merupakan atasan Bendahara) apabila persyaratan yang diperlukan tidak dipenuhi (pasal 21 ayat 4). Selain itu, Bendahara bertanggungjawab secara fungsional kepada Kuasa BUN atas uang negara yang dikelolanya (pasal 53 ayat 1) dan Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya (pasal 21 ayat 5). Ketentuan UU No.1/2004 terkait dengan fungsi Bendahara tersebut mengisyaratkan tentang (1) perlunya dijaga independensi Bendahara terhadap kemungkinan intervensi dari Kuasa Pengguna Anggaran yang mengarah pada praktek KKN, (2) perlunya diberikan imbalan/insentif kepada Bendahara agar ia dapat bekerja secara profesional (tidak tergoda oleh praktek KKN dan mampu bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilakukannya) dan (3) perlunya pembinaan secara fungsional (oleh Kuasa BUN) terhadap Bendahara.
Apresiasi terhadap peran Bendahara yang terkait dengan tuntutan kemandirian, insentif (reward) dan profesionalitas tersebut sebenarnya sejalan dengan ide tentang pembentukan Jafung Bendahara. Kegiatan pembinaan terhadap Bendahara yang sesuai tupoksi organisasi pada saat ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara sebenarnya juga sejalan dengan dan termasuk dalam program kerja pembentukan Jafung Bendahara yang waktu itu periode pembahasannya dengan Menpan bersamaan waktunya dengan periode pembahasan UU No.1/2004. Barangkali titik temu ide antara mereka yang menyusun UU No.1/2004 dan mereka yang membentuk Jafung Bendahara itulah yang telah mendorong ditetapkannya pembentukan Jafung Bendahara di dalam UU No.1/2004. Sementara itu penetapan Jafung Bendahara di dalam UU, termasuk target waktu pembentukannya, juga dimaksudkan untuk mendesak dan meyakinkan Menpan agar menyetujui pembentukan Jafung Bendahara. Pertanyaannya, mengapa proses pembentukan Jafung Bendahara akhirnya dihentikan dan diganti dengan pembentukan JFPP?
Sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa Jafung Bendahara gagal dibentuk karena nilai angka kredit hasil ujipetik Jafung Bendahara yang dilaksanakan di sejumlah lokasi tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk pembentukan sebuah Jafung. Konon menurut hasil evaluasi Menpan hal tersebut terjadi karena Bendahara tidak mempunyai jenjang kegiatan yang cukup memadai yang diperlukan dalam pembentukan suatu Jafung. Lalu, apakah pembentukan JFPP dapat memenuhi amanat yang tersurat dalam pasal 10 UU No.1/2004 tentang Jafung Bendahara?
Satu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun Jafung Bendahara tidak berhasil dibentuk tetapi Bendahara bisa menjadi Pejabat Fungsional apabila JFPP berhasil dibentuk karena Bendahara merupakan bagian dari JFPP. Dengan kata lain, peluang untuk memenuhi amanat UU No.1/2004 masih terbuka walaupun istilah Jafung Bendahara pada pasal 70 dan penjelasan pasal 10 UU No.1/2004 perlu diralat atau ditafsirkan menjadi Jafung Pengelola Perbendaharaan (JFPP). Kenyataan bahwa pembentukan JFPP masih menggunakan pasal 10 UU No.1/2004 sebagai dasar hukum, sebagaimana dapat dilihat pada naskah akademis JFPP, membuktikan bahwa pembentukan JFPP memang merupakan kelanjutan dari pembentukan Jafung Bendahara dan dalam rangka memenuhi amanat pasal 10 UU No.1/2004.
Ada alasan lain mengapa pada saat itu para pejabat DJPBN menyetujui pembentukan JFPP. Pertama, masalah kurang mencukupinya jenjang kegiatan dalam pembentukan Jafung Bendahara diharapkan tidak akan terjadi lagi dalam proses pembentukan JFPP. Untuk diketahui bahwa ruang lingkup bidang tugas JFPP sangat luas, meliputi fungsi pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, pengelolaan piutang, pengelolaan utang dan risiko, pengelolaan kekayaan negara, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Dari sisi jenjang keahliannya, terdapat kegiatan-kegiatan JFPP dari mulai kelompok jenjang Terampil yang pada umumnya berada di Satker (Kuasa Pengguna Anggaran) dan KPPN (Kuasa BUN) sampai dengan kelompok jenjang Ahli yang pada umumnya berada di Kantor Pusat DJPBN.
Kedua, Bendahara bukan merupakan satu-satunya pegawai di Satker yang harus bekerja secara profesional dan perlu mendapatkan insentif yang memadai untuk memelihara profesionalitasnya. Para pegawai lainnya yang tupoksinya terkait dengan pengelolaan keuangan negara seperti Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen juga harus bekerja secara profesional dan berhak untuk mendapatkan insentif sesuai dengan bobot pertanggungjawabannya. Kesadaran terhadap peran penting kerjasama antar semua unsur yang terlibat dalam pengelolaan uang negara di Satker, dari mulai perencanaan/penyusunan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran, nampaknya telah “menempatkan kembali peran dan posisi Bendahara secara lebih proporsional”. Apresiasi terhadap peran penting pejabat perbendaharaan di Satker (K/L) tersebut dapat kita lihat antara lain dalam ketentuan tentang pemberian honor kepada mereka yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (PMK No. 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum TA 2009). Pertanyaan menarik berikutnya adalah apakah untuk menjadi profesional maka mereka harus mendapatkan insentif (reward) atau remunerasi yang memadai?
Dalam dunia olahraga kita semua tahu bahwa yang dimaksud olahragawan profesional, berbeda dengan yang amatir, adalah mereka yang berkompetisi dalam pertandingan/turnamen olahraga demi untuk mendapatkan uang. Tetapi adalah suatu hal yang menyesatkan apabila dalam suatu organisasi pemerintah, atau bahkan juga swasta, kita definisikan seorang pegawai yang profesional adalah mereka yang berorientasi (hanya) pada uang. Dari beberapa sumber referensi yang bisa diperoleh melalui internet, kita mendapatkan informasi bahwa ciri-ciri utama pegawai yang profesional adalah (1) ahli atau kompeten dalam bidang tugasnya, (2) berorientasi pada pencapaian kinerja untuk kepentingan stakeholders (organisasi dan/atau masyarakat) yang dilayani, dan (3) berpedoman pada suatu kode etik profesi yang antara lain mengatur tentang apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan.
Tentu seorang pegawai yang profesional berhak untuk mendapatkan imbalan/remunerasi (reward) atas jasa yang telah mereka berikan. Meskipun berapa persisnya remunerasi yang layak diterima oleh seorang pegawai profesional masih bisa diperdebatkan, kita semua tentu sepakat bahwa semakin profesional ia melaksanakan pekerjaannya maka semakin tinggi pula remunerasi yang seharusnya ia terima. Kalau kita sepakat dengan ciri-ciri utama profesionalitas sebagaimana disebutkan dimuka, maka untuk menetapkan grading remunerasi/penghasilan seorang pegawai kita harus mampu mengukur atau menilai sejauhmana kompetensi, kinerja dan integritas (moralitas) pegawai yang bersangkutan.
Tingkat remunerasi yang memadai memang diperlukan agar seorang pegawai dapat bekerja secara profesional. Meskipun demikian, pengalaman perbaikan remunerasi di lingkungan pegawai Departemen Keuangan sejak bulan September 2007 lalu memperlihatkan kepada kita bahwa sama sekali tidak ada jaminan para pejabat/pegawai yang telah menerima tingkat remunerasi yang cukup tinggi akan bekerja secara profesional. Sebagai contoh adalah kasus suap hasil inspeksi mendadak KPK di Kantor Pelayanan Umum Tanjung Priok pada tanggal 30 Mei 2008 lalu, hasil kajian lapangan KPK di 33 KPPN yang dilakukan sejak 1 Februari 2008 hingga 16 Mei 2008 (Media Indonesia, 1 Desember 2008), dan kasus beberapa pejabat eselon II Departemen Keuangan yang tidak profesional (terancam penalti didemosikan) yang dilindungi oleh Dirjennya sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu (Kompas, 18 Oktober 2008). Untuk menjadi seorang pegawai yang profesional, sebagaimana telah disebutkan dimuka, ia dituntut untuk mampu memperlihatkan kompetensinya, komitmen terhadap pencapaian kinerjanya, dan kepatuhan terhadap kode etik profesinya.
Pertanyaan kita selanjutnya, apakah pembentukan JFPP merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas para pengelola perbendaharaan di negara kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar