Selasa, 19 Agustus 2008

Tanggapan Diskusi Online (1): IndoBlawgger

Berikut merupakan tanggapan saya atas diskusi yang sedang berkembang dalam Milis Blogger Hukum Indonesia (indoblawgger) terhadap Putusan Pengujian KUHP terhadap UUD 1945 dalam kaitannya tindak pidana penghinaan. Semoga tanggapan ini dapat menjadi bahan diskusi lebih lanjut pada pengamat, pakar dan mahasiswa hukum dimana pun berada.

PENANGGAP I, Sdr. ANGGARA (KUASA HUKUM PEMOHON):

Jumat, 15 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan dalam KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945 begitu pula pidana penjara juga dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu pula Pejabat Negara memiliki reputasi dan kehormatan.

Putusan MK tersebut saya pandang, sebuah hadiah memilukan bagi Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Mahkamah ternyata lebih memikirkan perlindungan pribadi tanpa memikirkan kepentingan umum yang lebih luas. Terlepas dari itu semua, saya memiliki beberapa catatan tentang putusan yang dalam pandangan saya tidak bijak tersebut

Secara prosedural justice, saya melihat dalam putusan setebal 289 halaman tersebut memuat berbagai keterangan/tanggapan tertulis dan kesimpulan tertulis pemerintah dan para ahli, namun kami selaku kuasa hukum dari Para Pemohon malah tidak pernah memperolehnya, saya heran, bagaimana mungkin kami dapat mempersiapkan dengan baik seluruh pembelaan, jika kami tidak pernah mendapat keterangan-keterang an dari pihak yang lain? Yang ada dan tersimpan di kami hanyalah risalah sidang dan keterangan dari Pak Mudzakkir yang nota bene saya minta sendiri. Saya pikir dari titik sini, saya secara pribadi merasa hak saya telah dilanggar secara sewenang-wenang. [Paragraf 1]

Dari substansi, MK telah sempat menyatakan bahwa Permohonan dari Para Pemohon adalah masuk dalam ranah Constitutional Complaint, suatu hal yang tidak dimiliki kewenangannya oleh MK. Namun dari sisi hukum, ketika mereka tidak punya kewenangan untuk memeriksa Constitutional Complaint, seharusnya sejak semula MK harusnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (NO), bukannya terus diperiksa dan malah ditolak. [Paragraf 2]

Lalu yang ketiga, soal kedudukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yang rasa kewenangannya terlampau berlebihan. Dalam putusan tersebut dibuat logika hukum yang menurut saya agak aneh dan bertentangan dengan Pasal 28 UU 24/2003 yaitu putusan tersebut dikonstruksikan telah diputus dalam RPH yang dihadiri oleh 9 Hakim Konstitusi dan ditandatangani dan diucapkan oleh 8 Hakim Konstitusi dalam sidang pleno. Pertanyaan lebih lanjutnya kewenangan manakah yang lebih tinggi dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum atau dalam RPH yang tertutup? Dalam pandangan saya sih tentunya yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum ya dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum. [Paragraf 3]

TANGGAPAN SAYA:

Untuk lebih fokus pada arah pembahasan, maka tanggapan saya akan ditujukan untuk setiap paragraf yang telah saya berikan catatan di atas agar siapapun dapat memahami pertanyaan dan jawaban/tanggapan lebih mudah.

[Paragraf 1]:

Sepanjang sepengetahuan saya memantau persidangan di MK, biasanya setelah pembacaan keterangan dari Pihak Pemerintah atau DPR, pihak-pihak tersebut telah menyiapkan salinannya sekitar 9 rangkap untuk langsung dibagikan oleh Petugas pada saat sidang kepada Hakim, Pemohon dan pihak lainnya yang hadir. Kecuali tidak dibuat salinannya, maka cara untuk memperolehnya adalah dengan meminta kepada bagian Administrasi Perkara dan Persidangan.

Karena pada saat persidangan perkara ini saya tidak memantau, maka dalam hal ini yang harus kita telaah adalah: (1) Apakah Mahkamah dengan sengaja tidak memberikan atau mempersulit pengambilan salinan tersebut? (2) Apakah Mahkamah tidak mengambil inisiatif pertama untuk memberikan keterangan yang disampaikan kepada Pihak Pemohon? Atau (3) Apakah Pemohon harus mengambil langkah inisiatif apabila dalam sidang tidak dibuat salinannya oleh Pihak Pemerintah, DPR atau ahli.

Sedangkan untuk keterangan pihak terkait, kekuatannya hanyalah sebatas bahan tambahan dan pertimbangan yang tidak mengikat mutlak untuk hakim.

Dari kondisi-kondisi tersebut akan membawa implikasi yang berbeda-beda. Untuk itu patut kita jernihkan terlebih dahulu duduk persoalannya. Misalnya, menanyakan kembali kepada petugas yang bersidang atau melihat risalah sidang yang telah memuat secara lengkap acara persidangan; dan cara-cara lainnya.

Jika seandainya memang terjadi pelanggaran hak dalam hal ini, maka sudah seharusnya dicarikan solusi dan mekanisme yang tepat untuk penanganan kasus yang demikian. Sehingga tidak lagi terjadi persoalan yang serupa di kemudian hari.

[Paragraf 2]:

Sebelum Mahkamah memutus perkara dengan putusan NO (niet ontvankelijk verklaard), maka akan mempertimbangkan 2 (dua) hal yang cukup penting, yaitu perihal Kewenangan dan Legal Standing (kedudukan hukum).

1. Perihal Kewenangan

Sebagaimana telah diuraikan secara jelas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 bahwa salah satu kewenangan MK adalah “menguji undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945”.

Sesuai maksud dan tujuan permohonananya, para pemohon datang untuk menguji KUHP (dalam hal ini merupakan UU) terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Oleh karena itu jelas bahwa Mahkamah telah diberikan kewenangan dalam mengadili, memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan (Lihat juga Putusan Perkara No. 066/PUU-II/2004).

2. Perihal Legal Standing (Kedudukan Hukum)

Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa yang dapat menjadi Pemohon yaitu:
1. Perorangan warga negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum publik atau privat; atau
4. lembaga negara.
Lebih lanjut disebutkan bahwa Pemohon tersebut merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Untuk menentukan apakah Pemohon mempunyai mempunyai Legal Standing, maka ada dua hal yang harus kita perhatikan: (1) Pemohon mampu membuktikan kedudukannya, in casu sebagai perorangan WNI, dan (2) dapat menjelaskan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana saya sebutkan di atas.

Dalam permohonan disebutkan bahwa para pemohon prinsipal yaitu Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis yaitu perorangan WNI, maka poin pertama sudah terbukti jelas. Kemudian, untuk membuktikan bahwa pemohon memenuhi poin kedua, maka harus pula memenuhi 5 (lima) syarat yang sudah menjadi yurisprudensi Mahkamah, yaitu:
1. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
2. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
3. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
5. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Setelah dijelaskan dan dianalisa panjang lebar (vide hal 251-253), Pemohon dinyatakan telah memenuhi semua persyaratan tersebut. Oleh karena telah jelas kewenangan dan kedudukan hukum pemohon, maka persidangan biasanya akan langsung menuju pokok perkara. Sebaliknya, jika seandainya tidak dapat dibuktikannya bahwa Mahkamah mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan/atau pemohon tidak mempunyai legal standing, maka biasanya Mahkamah tidak perlu sampai membahas pokok perkara, artinya putusan besar kemungkinan akan jatuh dengan amar permohon tidak dapat diterima (NO).

Namun demikian, berdasarkan perkara-perkara yang ada sebelumnya, tidak jarang Mahkamah harus sedikit masuk ke dalam pokok perkara guna mengetahu lebih jelas apakah ada-tidaknya kerugian konstitusional sang Pemohon. Sehingga harus pula kita mencermati substansi permohonan secara case by case.

3. Constitutional Complaint

Lalu bagaimana dengan Constitutional Complaint? Constitutional Complaint atau Pengaduan Konstitusional harus pula dibedakan dengan pengujian undang-undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutional review). Jika UUD 1945 dan UU MK telah jelas memberikan kewenangan constitutional review kepada MK, namun tidak ada satu pun dasar hukum yang secara verbal memberikan kewangan Pengaduan Konstitusional kepada Mahkamah. (Lebih lanjut mengenai Constitutional Complaint lihat tulisan saya dengan judul “Menabur Benih Constitutional Complaint, “Human Rights Protection dan Constitutional Review”, dan beberapa artikel sejenis lainnya).

Secara singkat, saya berikan gambaran bahwa Pengaduan Konstitusional ini cakupannya lebih luas daripada pengujian undang-undang (PUU). Jika PUU obyek pengujiannya hanya terbatas pada UU, maka Pengaduan Konstitusional dapat memasuki ranah apapun yang dianggap melanggar hak-hak konstitusional sang Pemohon, termasuk pada penerapan norma ataupun keputusan yang dijalankan oleh pejabat negara. Artinya, constitutional protection secara total menjadi ruh dalam kewenangan ini. Maka dapat dikatakan, semua pengujian UU besar kemungkinan bersinggungan dengan pengaduan konstitusional, namun tidak semua pengaduan konstitusional akan bersinggungan dengan pengujian UU

Dalam perkara yang sedang kita bahas ini, seandainya Mahkamah mempunyai wewenang Pengaduan Konstitusional, maka kemungkinan permohonan dapat dikabulkan bisa saja terjadi, walaupun pembuktiannya akan lebih mendalam dan spesifik. Sebab ternyata permohonan yang diajukan lebih condong kepada constitutional complaint.

Kesimpulannya: Dikarenakan Mahkamah mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan pemohon telah memenuhi syarat kedudukan hukum maka tidak mungkin Mahkamah memutus NO. Sedangkan mengenai Pengaduan Konstitusional haruslah dipahami sebagai cara berpikir untuk membentuk suatu konstruksi hukum yang baru sebagai mekanisme di masa yang akan datang untuk lebih memberikan perlindungan konstitusional kepada setiap warga negara.

Mengenai substansi perkara dan pokok permohonan belum saya tanggapi dalam kesempatan ini, karena menunggu ada pihak-pihak yang ingin melakukan diskusi lebih lanjut dalam koridor akademis dan diseminasi publik yang terarah.

[Paragraf 3]:

Dalam tanggapan ini muncul penyebutan tiga frasa yang berbeda, yaitu “kedudukan”, “kewenangan”, “kekuatan” yang masing-masingnya mempunyai pengertian berbeda satu sama lain. Oleh karenanya, perlu kiranya bagi saya untuk memberikan penjelasan lebih lanjut yang mungkin dimaksudkan oleh sang penanggap.

Bagi saya pribadi, Pasal 28 dan Pasal 45 UUMK sebenarnya merupakan pasal yang justru menjadikan kerancuan. Sebab, pembuat UU kurang memberikan pengertian penggunaan istilah “sidang” dan “sidang pleno”. Oleh karena itu, dibuatlah PMK No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang untuk memberikan lebih lanjut tentang “Pleno”. Dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa Pleno adalah “alat kelengkapan Mahkamah dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.”

Sedangkan dalam Pasal 45 UUMK disebutkan bahwa putusan diambil secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno hakim konstitusi. Jika dibaca secara utuh sepuluh ayat yang tercantum di Pasal 45 tersebut, maka yang dimaksud dalam “sidang pleno” di sini sebenarnya adalah suatu pertemuan (RPH) untuk mencapai konsensus akhir putusan.

Oleh karena itu, hemat saya, dalam hal ini RPH hanya mempunyai kewenangan untuk memutuskan rancang akhir putusan terkait dengan substansi dan amar (vide Bab VII PMK No.06). Sulit untuk membayangkan apabila, sebelum dibacakan dalam persidangan belum diputuskan oleh 9 (sembilan) hakim konstitusi. Besar kemungkinan akan terjadi chaos perdebatan di depan publik untuk menentukan isi dan arah putusan.

Sedangkan untuk dapat memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat semua pihak, maka Putusan tersebut memang harus dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Jika tidak, maka putusan tersebut tidak akan mempunyai kekuatan hukum apapun. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam Pasal 47 UUMK yang berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.

Apabila terjadi pembetulan putusan pada saat diucapkan dalam persidangan, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada kesalahan penulisan huruf, angka, kata dan/atau kalimat setelah mendapat perintah Ketua Mahkamah berdasarkan kesepakatan Hakim Konstitusi. (vide Bab III PMK No. 13 Tahun 2008 tentang Pedoman Penulisan Putusan MK).

PENUTUP

Demikian tanggapan dan cara konstruksi berpikir saya pribadi tanpa mewakili unsur atau institusi manapun, semata-mata untuk dapat berpartisipasi dalam diskusi online yang mengedepankan nilai-nilai pengembangan hukum dalam koridor informal-akademis. Oleh karena itu, apa yang saya sampaikan di sini tentunya belum tentu mutlak kebenarannya dan masih perlu diperdalam lebih lanjut. Semoga hal ini dapat memacu rekan-rekan lainnya untuk turut serta dalam diskusi. Terima kasih.

[PMF]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar