MENANTI NEGARAWATI DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.*
Oleh: Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L.*
Belum lama ini, Panitia Seleksi Calon Hakim Konstitusi bentukan Presiden SBY telah mengumumkan 16 (enam belas) nama calon hakim konstitusi. Atas dasar kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 yang dituangkan secara terperinci melalui Pasal 18 ayat (1) UU MK, Presiden kemudian akan memilih 3 (tiga) orang untuk duduk sebagai Hakim Konstitusi RI untuk masa periode 2008-2013.
Terdapat hal yang menarik dalam penyeleksian hakim konstitusi kali ini. Panitia Seleksi yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution menjanjikan bahwa satu dari tiga hakim konstitusi yang akan dipilih oleh Presiden, nantinya akan berasal dari kalangan perempuan. Apabila kita mencermati daftar nama calon hakim konstitusi yang ada -- dan seandainya janji tersebut benar-benar dilaksanakan --, maka tentunya pilihan tersebut akan jatuh kepada salah satu dari empat calon hakim konstitusi perempuan yang telah terdaftar, yaitu Maria Farida Indrati (Universitas Indonesia), Harkristuti Harkrisnowo (Dirjen HAM Departemen Hukum dan HAM), Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), atau Andayani Budisetyowati (Universitas Tarumanegara).
Tentunya rencana yang cukup visioner ini akan membawa angin segar pada dinamika ketatanegaraan Indonesia yang berarena di persidangan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, enam hakim yang telah terpilih lebih dahulu dari DPR dan Mahkamah Agung, tidak satu pun berasal dari kalangan perempuan. Perdebatan antara ada-tidaknya perwakilan perempuan sebagai hakim konstitusi, memang tidak seyogyanya menjadi diskursus yang justru menimbulkan sikap resistensi terhadap perjuangan melawan diskriminasi atas peran antara perempuan dan laki-laki di ranah publik. Sebab, mengawal Konstitusi Indonesia bukan sekedar ditentukan dari keterwakilan jenis kelamin saja, namun juga dibutuhkan pengetahuan hukum dan ketatanegaraan yang luas serta mendalam terkait dengan pelbagai disiplin bidang ilmu.
Namun demikian, kehadiran hakim konstitusi dari kalangan perempuan sangatlah diharapkan untuk dapat membawa keputusan-keputusan yang memuat perspektif jender. Terlebih lagi, produk perundang-undangan yang ada saat ini maupun yang akan disahkan di kemudian hari oleh lembaga legislatif, akan banyak bersinggungan dengan pelaksanaan hak-hak konstitusional kaum perempuan (constitutional rights of women), seperti misalnya, UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, RUU KUHP, ataupun RUU Pornografi dan Pornoaksi. Oleh karenanya, adanya hakim konstitusi perempuan setidaknya dapat memberikan keseimbangan dalam nuansa persamaan hak dan kewajiban atas dasar perlindungan konstitusi (constitutional protection).
Tren Internasional
Tren yang saat ini terjadi di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa lembaga publik diharapkan mampu memberikan kuota tersendiri bagi perempuan. Berbagai konvensi dan seminar internasional yang mengusung pencapaian kuota 30% untuk meningkatkan partisipasi perempuan pada pengambilan kebijakan dan keputusan, telah nyata memberikan sinyalemen kuat di mata masyarakat internasional bahwasanya partisipasi aktif dari kalangan perempuan akan sangat menentukan arah kebijakan yang berdampak positif bagi pemenuhan hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya bagi perempuan itu sendiri.
Lebih dari itu, perkembangan konstitusionalisme baru di beberapa negara telah memperlihatkan tempat yang terhormat bagi perempuan sebagai hakim konstitusi pada mahkamah konstitusinya masing-masing. Untuk menyebut beberapa di antaranya yang dikenal telah memiliki reputasi internasional pada setiap putusannya, yaitu Dr. Christine Hohmann-Dennhardt, Prof. Dr. Gertrude Lübbe-Wolff dan Prof. Dr. Lerke Osterloh dari Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht); Brigitte Bierlein, Lisbeth Lass, Eleonore Berchtold-Ostermann, dan Claudia Kahr dari Mahkamah Konstitusi Austria (Verfassungsgerichtshof); serta Yvonne Mokgoro, Bess Nkabinde-Mmono, dan Kate O'Regan dari Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan.
Tidak ketinggalan dengan negara-negara lainnya, Mahkamah Konstitusi Belarus juga telah memilih empat hakim konstitusi perempuan dari total dua belas hakim konstitusinya, Mahkamah Konstitusi Ukraina menempatkan dua hakim konstitusi perempuan dari total lima belas hakim konstitusinya, dan Mahkamah Konstitusi Romania (curtea constituţională) menetapkan satu dari sembilan hakim konstitusinya dari kalangan perempuan, serta sejumlah contoh negara lainnya yang telah menerapkan kebijakan yang sama.
Negarawati Indonesia
Kiranya apabila Presiden SBY juga menelaah adanya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, maka seharusnya tidak ada lagi keraguan untuk memilih dan menetapkan hakim konstitusi perempuan sebagai pelaksanaan dari hak prerogratifnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, baik untuk saat ini maupun di masa mendatang, hakim konstitusi terpilih dari kalangan perempuan bukan saja hanya satu jumlahnya, tetapi bisa dua atau lebih, selama mereka memang mampu dan memenuhi kualifikasi sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 16 UUMK, yaitu berpengalaman di bidang hukum, mampu bersikap adil, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan kenegaraan.
Dari keempat nama calon hakim konstitusi perempuan tersebut di atas, apabila kita melihat dari kacamata pengalaman dan keahliannya masing-masing di bidang hukum, sepertinya tidak perlu lagi adanya rasa sanksi di antara kita. Oleh karenanya, siapapun yang nantinya terpilih sebagai Hakim Konstitusi, mereka pun harus siap menyandang dan mempertanggungjawabkan gelarnya sebagai seorang negarawati Indonesia (Indonesian Stateswomen).
* Penulis adalah Staf pada Mahkamah Konstitusi RI. Alumnus Faculty of Law, University of Delhi (India) pada program pascasarjana Comparative Constitutional Law.
Keterangan Foto: Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.Hum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar