DILEMA KEKOSONGAN KOMISIONER KOMISI YUDISIAL
Pan Mohamad Faiz
Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)
Pan Mohamad Faiz
Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)
(Dimuat dalam Kolom Opini Koran Seputar Indonesia pada Sabtu, 24 Juli 2010)
Satu persoalan krusial masih membelit praktik administrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Pasalnya, jabatan Komisioner Komisi Yudisial (KY) yang akan berakhir 2 Agustus mendatang diperkirakan akan mengalami kekosongan.
Setidaknya proyeksi demikian nampak terlihat dari keterlambatan proses penyeleksian calon anggota KY. Panitia Seleksi (Pansel) KY memang tidak dapat dipersalahkan serta merta. Selain mereka baru menerima mandat untuk bekerja pada 23 April 2010, di awal kinerjanya pun sempat terhambat akibat lambatnya pencairan anggaran dari Pemerintah. Padahal, Ketua KY sendiri telah mengirimkan surat kepada Presiden agar segera dibentuk Pansel sejak Februari 2010 yang lalu.
Berbeda dengan banyak UU yang lain, Pasal 28 UU KY menggariskan secara rinci tenggat waktu di tiap-tiap tahapan proses penyeleksiannya. Apabila dihitung secara ideal maka proses tersebut memerlukan waktu 165 hari atau sekitar 6 (enam) bulan. Salah satu alasan yang melandasi rincian waktu tersebut yakni adanya itikad agar tercipta tertib administrasi ketatanegaraan yang baik guna memperoleh hasil seleksi yang optimal.
Kini fakta berbicara lain. Pansel KY telah menyatakan ktidakmungkinannya untuk menyelesaikan tugas sebelum 2 Agustus. Alasannya, Pansel tidak ingin melanggar UU hanya sekedar untuk mengejar tenggat waktu penyeleksian. Apalagi proses ini juga akan melibatkan DPR untuk memilih dan menetapkan tujuh calon anggota yang diajukan oleh Presiden.
Oleh karenanya, besar kemungkinan Pansel hanya dapat memangkas sekitar 40 hari guna mempercepat proses penyeleksiannya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan status Komisioner KY pasca berakhirnya masa jabatan mereka? Sebab Pasal 29 UU KY secara tegas menyatakan bahwa Anggota KY memegang jabatan selama 5 (lima) tahun. Konsekuensi logisnya, lebih dari 5 (lima) tahun akan berpotensi melanggar UU.
Keppres atau Perppu?
Menghadapi kondisi dilematis yang demikian, muncul beragam pendapat agar masa jabatan Anggota KY saat ini diperpanjang hingga selesainya proses pengangkatan Anggota yang baru. Kekosongan jabatan di dalam tubuh KY tentu tidak boleh terjadi. Sebab, hal tersebut sedikit-banyak akan mengganggu kinerja KY yang kian hari kian berat. Dari data terakhir, KY masih harus menindakanjuti 7.700 pengaduan masyarakat dari 33 Provinsi se-Indonesia terkait dengan dugaan “hakim nakal”.
Tidak kalah pentingnya, KY pun kini tengah menuntaskan proses penyeleksian Hakim Agung. Kesepakatan untuk menyelamatkan KY dengan memperpanjang masa jabatan Komisioner saat ini dilihat sebagai jalan terbaik dari berbagai pilihan terburuk yang ada. Akan tetapi, apa landasan hukum yang mampu mewadahi keputusan tersebut? Pandangan terhadap hal ini terpecah menjadi dua, yaitu cukup dengan Keputusan Presiden (Keppres) atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Pemerintah tentu harus tepat untuk menentukan keputusannya sebab masing-masing mempunyai alasan dan implikasi yuridis yang berbeda. Secara yuridis, memperpanjang masa jabatan Anggota KY dengan Keppres sebenarnya cukup lemah. Keppres tidak dimungkinkan menerobos ketentuan masa jabatan yang telah ditetapkan dengan tegas oleh undang-undang.
Berdasarkan Pasal 7 UU 10/2004, Keppres juga tidak masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, derajat Keppres jauh lebih rendah dari UU yang sifatnya mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945. Pengangkatan atau pembehentian jabatan memang dapat menggunakan Keppres, tetapi tidak untuk memperpanjang masa jabatan yang telah diatur dengan undang-undang secara pasti.
Dibandingkan dengan Keppres, pilihan mengeluarkan Perppu tentu akan lebih relevan. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan hak konstitusional bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa (noodverordeningsrecht). Selain memiliki materi muatan yang sama, hierarki Perppu juga sederajat dengan UU. Perbedaannya terletak pada proses pembentukannya yang tidak melibatkan lembaga legislatif.
Perdebatan kemudian terjadi, apakah potensi terjadinya kekosongan jabatan KY dapat dinilai memenuhi unsur hal ihwal kegentingan yang memaksa? Memang tidak banyak literatur khusus yang dapat mengurai secara lengkap mengenai Perppu di Indonesia. Akan tetapi setidaknya kita dapat merujuk tafsir resmi Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
Dalam Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 tanggal 7 Juli 2005, MK menafsirkan bahwa hal ikhwal kegentingan yang memaksa tidak harus disamakan dengan adanya keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, militer, atau keadaan perang. Pada saat itu dinyatakan bahwa perihal ”kegentingan yang memaksa” menjadi hak subyektif Presiden untuk menentukannya yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang.
Namun belum lama ini, dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, MK memperjelas kembali bahwa unsur subyektifitas Presiden harus didasarkan atas keadaan objektif. Untuk itu ditentukan tiga syarat dalam menentukan paramater adanya kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, umdamg-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadai; Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Tentukan Pilihan
Melihat perbandingan alasan di atas, mengambil langkah dengan mengeluarkan Perppu tentu lebih kuat landasannya secara ilmu perundang-undangan, kecuali Pemerintah setuju menggunakan mekanisme lain. Misalnya seperti di Jerman yang menciptakan konvensi, yaitu kebiasaan praktik ketatanegaraan yang tidak tertulis. Dalam beberapa kasus penyelenggaraan pemerintahan di Jerman, kondisi demikian biasanya diselesaikan melalui perpanjangan masa jabatan dengan sendirinya.
Namun, hal tersebut harus didahului dengan persetujuan bersama dari Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya yang terkait. Kelemahannya, konvensi demikian lambat laun dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan public distrust terhadap administratur negara. Dalam masa injury time seperti sekarang ini, apabila tidak diambil langkah cepat maka dalam hitungan hari kita semua akan menjadi saksi hampanya Komisi Yudisial tanpa Komisionernya.
Membiarkan jabatan kosong memang akan nihil atas kesalahan produk hukum perpanjangan Komisioner. Akan tetapi, sengaja membiarkan suatu lembaga negara lumpuh dan menjadi tidak berfungsi juga tidak dibenarkan dalam praktik ketatanegaraan. Minimal hal tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran konstitusi melalui pembiaran (constitutional violation by omission).
Ini tentu menjadi pertanda sekaligus pelajaran berharga, baik bagi Pemerintah maupun DPR sebagai lembaga pengawas, betapa perhatian terhadap KY masih sangat kurang. Padahal, KY dibentuk dan menjadi organ konstitusi yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD 1945. Nasi memang sudah menjadi bubur, tetapi kini Presiden harus segera menentukan, mau jadi apa bubur itu sekarang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar