Rabu, 09 Desember 2009

Resensi Buku: Menelusuri Jejak Judicial Review di Indonesia

Judul Buku : Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Penulis : Dr. Zainal Arifin Hoesein, S.H., M.H.
Penerbit : PT. RajaGrafindo Persada
Tahun : 2009;
Tebal
: xviii + 340 hlm.

MENELUSURI JEJAK JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

One stop reading! Demikian kesan yang akan kita peroleh ketika membuka lembar demi lembar buku hukum karya Zainal Arifin Hoesein tentang “Judicial Review”. Bagaimana tidak, berbeda dengan buku-buku yang sudah ada sebelumnya, karya ini mampu mengupas tuntas berbagai hal seputar sejarah, konsepsi, pengaturan, dan pelaksanaan rill sistem judicial review di Indonesia.

Dengan menyelami buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri tiga periode penting terkait dengan perkembangan sistem judicial review di Indonesia. Pertama, masa awal penyusunan UUD 1945 hingga tahun 1970. Pada masa ini, judicial review hanyalah sebatas gagasan dan wacana yang tidak pernah terwujud; Kedua, masa saat mulai dirumuskannya UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hingga tahun 1999. Inilah kali pertama judicial review dibahas secara mendalam dan diperdebatkan secara terbuka, sekaligus menjadi tonggak awal diterapkannya mekanisme tersebut; dan Ketiga, masa terjadinya perubahan UUD 1945 hingga tahun 2003. Dalam kurun waktu ini terjadi proses perubahan sistem politik dan kekuasaan negara, termasuk terbentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Perubahan dan perkembangan sistem judicial review tersebut menurut penulis setidaknya disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu faktor normatif dan faktor politis. Secara gamblang dijelaskan bahwa pada saat itu Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD, sebab selain UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak mengenal dan tidak mengatur tentang judicial review, sistem kekuasaan yang dianut Indonesia adalah distribusi kekuasaan yang mengarah pada supremasi parlemen (parliament supremacy). Dalam prinsip tersebut, maka tidak dibenarkan di antara lembaga kekuasaan negara saling menilai atau mengontrol satu dengan lainnya, kecuali dari lembaga kekuasaan yang memberikan atau mendelegasikan kekuasaan itu sendiri.

Kedua faktor tersebut ternyata sangat berkorelasi terhadap tinggi-rendahnya perkara pengujian peraturan perundang-undangan yang masuk ke Mahkamah Agung. Akibatnya, banyak sekali produk hukum yang tidak tersentuh oleh kontrol normatif. Bandingkan, jumlah gugatan dan permohonan yang diregistrasi selama kurun waktu 28 tahun (1970-1998) hanyalah berjumlah 12 (dua belas) perkara. Sementara itu, jumlah perkara pengujian selama kurun waktu 4 tahun (1999-2003) sebanyak 130 (seratus tiga puluh) perkara atau apabila dihitung rata-rata pertahunnya, jumlahnya mencapai tujuh puluh kali lipat! Mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Penulis merekam bahwa momentum 1999 terjadi setelah diterbitkannya Perma Nomor 1 Tahun 1999 yang mengubah prosedur judicial review. Pada masa itu terjadi pula pergeseran sistem politik yang mengarah pada ’demokrasi’ dan berubahnya sistem kekuasaan negara dalam UUD 1945 dari pola ’distribusi kekuasaan’ (distribution of power) menjadi ’pemisahan kekuasaan’ (separation of power), serta dikuatkannya prinsip ’checks and balances’ dalam sistem ketatanegaraan.

Guna menyempurnakan sistem judicial review di Indonesia, penulis di akhir pembahasannya menyuguhkan 2 (dua) rekomendasi utama. Pertama, diperlukan suatu lembaga yang berfungsi sebagai penyelaras, penilai, dan pemutus untuk menghindari terjadinya pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi hanya untuk penguatan kekuasaan, sekaligus untuk memperkecil adanya konflik norma secara vertikal; Kedua, secara kelembagaan, segala bentuk pengujian undang-undang perlu disentralisasi dalam satu lembaga negara agar fungsi pengujian peraturan tersebut dapat dijalankan secara efektif dan efisien serta untuk menghindarkan konflik hukum, khususnya terkait dengan pengaturan objek dan subjek pengujian yang berbeda.

Buku ini tentu sangat baik untuk dijadikan referensi utama bagi para penggiat hukum, terutama para hakim, akademisi, dan praktisi. Sebab, tulisan yang ada di dalamnya telah memperoleh sertifikasi kesahihannya karena berasal dari penelitian akademis sebagai Disertasi Ilmu Hukum sang penulis ketika menempuh studi program doktoral di Universitas Indonesia. Bahkan demi memperkaya buku ini, penulis juga melakukan eksaminasi dan telaahan terhadap beberapa kasus judicial review yang telah diputus oleh Mahkamah Agung.

Sayangnya, karena penelitian ini hanya berlangsung hingga tahun 2004 awal, maka praktik judicial review yang kini berkembang begitu cepat tidak dapat ikut terekam dalam buku ini. Namun demikian, sebagaimana harapan penulis, tentunya buku ini setidak-tidaknya dapat dijadikan pedoman dasar bagi siapa saja yang berminat untuk melanjutkan atau menajamkan subyek penelitian terkait dengan konsepsi judicial review kontemporer di Indonesia. (*)

* Pan Mohamad Faiz, Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi Nomor 34, November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar