Minggu, 07 Juni 2009

Sang "Markus" (Cerpen Bagian I)

SANG “MARKUS”
(Cerpen Bagian I)

Hari itu, Sabtu (16/5), suara dering SMS tiba-tiba membangunkan tidurku. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul, sambil berbaring aku menggapai sumber bunyi tersebut. Aku arahkan sentuhan jari pada Mini Mouse untuk membuka pesan singkat yang masuk. Click! Seketika itu juga pesan singkat terpampang pada layar HP-ku.

“Pak Faiz, klien gw ada yang nawarin utk bayar spy menang kasusnya di mk. Gw bilang jng percaya, siang ini gw akan ketemu klien gw utk bahas ini sekaligus cari tau soal ini. Gw mao cari tau siapa yg mau ambil keuntungan.”

Spontan saja hatiku langsung berteriak.

“Gila!! Belum juga ada seminggu, kok udah ada yang pengen ngerusak semuanya!”.
Tanpa pikir panjang, segera aku jawab pesan tersebut.

“Mana mungkin mereka bisa pastiin menang, pembuktiannya terbuka dan akses ke hakim juga terbatas. Kita koordinasi aja dulu, kl jelas kita ambil tindakan. Bisa jadi ini kelakuan pihak ketiga yg coba2 cari untung di tengah kesempatan, pas sidang pilkada kmrn juga ada yg jual nama-nama hakim”.

Tidak lama berselang, sinar matahari menembus jendela ruangan dan memaksa mataku menatap ke arah jam dinding yang berada tepat di atasnya. Saat itu waktu tengah menunjukan pukul 11.10 WIB.

“Wah, udah siang! Pasti sebentar lagi tamu-tamu mulai berdatangan”, sergaku di dalam hati sambil cepat-cepat bangkit dari kolong meja kerja.

Segera sajaku tinggalkan kasur lipat yang menemaniku sependek pagi ini. Kuraih peralatan mandi seadanya dan langsung berlari menuju ke arah kamar mandi.

Maklumlah, tamu-tamu setia MK yang kami tunggu biasanya mulai berdatangan setelah pukul 12 siang. Mereka berencana datang kembali untuk memperbaiki teknis penomoran alat-alat bukti permohonan.

Selama seminggu penuh, yakni sejak dibukanya meja permohonan pada tanggal 9 Mei yang lalu, Tim Penanganan sengketa Pemilu di MK (Tim 69) memang lebih banyak bermalam di kantor. Tim 69 sengaja dipersiapkan sejak 3 (tiga) bulan sebelumnya guna menerima dan memeriksa ratusan sengketa yang masuk .

Pendaftaran permohonan dibuka selama 3 x 24 jam non-stop. Mulai siang hingga larut malam biasanya menjadi waktu rutin berdatangannya gelombang permohonan. Sedangkan di waktu malam hingga beranjaknya sang surya menjadi masa dimana kami memilah dan memetakan permohonan tersebut.

Kala itu, kasus yang terpetakan baru berjumlah 492 kasus. Namun belakangan ini, setelah semuanya melewati persidangan pemeriksaan, ternyata teridentifikasi menjadi sekitar 623 kasus dari 70 perkara permohonan yang masuk. Sejumlah perkara tersebut diajukan oleh 42 partai politik dan 28 calon perseorangan anggota DPD.

Permasalahan utamanya, selain kesemuanya harus diputus tidak lebih dari 30 hari kerja, ternyata banyak bukti-bukti permohonan yang diajukan pada awal proses penerimaan yang masih kacau balau. Padahal, jumlahnya terus menggunung hingga mampu menutupi ruangan Cyang berukuran 16 x 28 meter persegi.

***

Selepas mandi, aku bergegas kembali ke ruangan dan langsung memeriksa telpon genggam sambil berharap ada balasan info penting lainnya yang aku terima terkait denan SMS sebelumnya. Akan tetapi, berdasarkan ketentuan yang telah disepakati, sebenarnya aku dan Tim 69 lainnya sejak awal tidak diizinkan untuk berhubungan dengan pihak luar yang memiliki keterkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa.

Agak berat bagiku memang, karena tidak biasanya aku menjaga jarak atau bahkan menutup komunikasi dengan orang lain, apalagi terhadap kawan sendiri. Semua jadi serba aneh dan seakan-akan dunia bersosialisasi yang menjadi rutinitas keseharianku perlahan mulai berubah. Tetapi memang demikianlah peran yang dituntut kepada kami untuk beberapa waktu ke depan. Awalnya, aku terima pembatasan itu sebagai bentuk komitmen bersama. Namun entah mengapa, kali ini nuraniku justru berbicara lain.

“Biarlah aku dimarahi atau dikenai sanksi. Toh, bukannya ini justru menjadi salah satu bentuk pengawalan dari proses pemeriksaan PHPU?", tanyaku pada hati kecil.

“Lagipula, aku kenal betul siapa yang sedang diajak berkomunikasi ini. Seorang aktivis LBH yang telah teruji integritasnya selama bertahun-tahun. Jadi sudah pasti, tentunya kami berdua tidak akan rela apabila MK kemudian terjangkiti para “Markus” (makelar kasus)”, gumamku meyakinkan diri sendiri.

Dua pertimbangan di ataslah yang memberanikan diriku untuk meneruskan komunikasi dengan salah satu kawan baikku tersebut. Lagipula, apa yang sedang dia tangani juga tidak ada sangkut pautnya dengan tugas-tugas langsungku. Dengan mengucap bismillahirahmanirrahim, ku bulatkan niat baik ini.

Pertentangan yang tengah terjadi pada batinku tiba-tiba terhenti. “Beep! Beep!” Pesan singkat kembali masuk ke telpon genggamku. Setelah kubuka, terbaca pesan singkat sebagai berikut.
“Ini salah satu sms ke klien saya: … Bpk Mahfud masih menunggu komitmen bapa utk di bantu,karna pesaing bapa telah melakukan kecurangan, itu menurut beliau terima kasih”.

Belum selesai ku cerna dengan baik tulisan tersebut, satu pesan singkat masuk kembali.
“Tp tunggu jelas dulu infonya ya pak faiz. Nanti gw kabari stelah bertemu”.

Hmm…, mungkin inilah yang namanya instinct pertemanan. Nampaknya ada kesamaan sikap antara aku dan dia yang sama-sama tidak mau tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Perlu adanya titik terang terlebih dahulu dari peristiwa yang mengagetkan di pagi itu.

Setelah beberapa kali berbalas SMS, akhirnya aku sudahi komunikasi kami dengan mengirimkan pesan singkat.

“Ok, ok. Sip, kita berburu bersama… Mereka jatuh pada orang yg salah!”


***

Sejak awal memang sudah diantispasi dan diduga bahwa selama proses pemeriksaan sengketa Pemilu, MK akan disusupi oleh para “Markus”. Hal ini setidaknya dapat terbaca berdasarkan pengalaman MK pada PHPU tahun 2004 dan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) lima bulan yang lalu.

Konon pada tahun 2004, baik para pihak yang berperkara maupun pihak ketiga di luar MK, disinyalir telah mencoba untuk menggoyahkan kemandirian institusi hukum yang berjuluk “pengawal konstitusi” ini. Serbuan komplotan “Markus” tersebut terus terendus ketika MK memeriksa perkara Pemilukada untuk Kabupaten Kerinci dan perkara Kabupaten Belu.

Melihat kondisi yang mulai meresahkan pada saat itu, melalui press conference tanggal 16 Januari 2009 yang lalu, Ketua MK Moh. Mahfud MD. menceritakan bahwa keluarganya sempat dihubungi oleh orang-orang tak dikenal yang mengaku telah membawa uang 2,5 miliar untuk para hakim MK. Mereka mengaku bernama Lopes dan Awiku yang sedang bermalam di Hotel Aryaduta (Kompas, 16/1).

Sontak saja perbuatan tersebut membuat berang seluruh Hakim MK dan sebagian besar pegawai MK. Pasalnya, kerja keras dan usaha mereka untuk mempertahankan reputasi MK sebagai pengadilan yang bersih dari praktik suap menjadi terusik.

Pertanyaannya, mengapa para “Markus” tiba-tiba bangun dari kuburnya tatkala MK menangani sengketa terkait dengan Pemilihan Umum? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Tiap kewenangan pemeriksaan yang dimiliki oleh MK disadari memiliki muatan perbedaan baik dari subyek pihak yang berperkara maupun obyek yang diperkarakan.

Pemeriksaan pengujian undang-undang pada dasarnya hanya melibatkan pihak-pihak dari Pemohon, Pemerintah, dan DPR. Materi persidangannya pun pasti bermuara pada konstitusionalitas keberadaan dari suatu undang-undang, baik itu secara materiil maupun formil. Artinya, kepentingan yang dipermasalahkan umumnya tidak memiliki keterikatan secara langsung pada individu yang berperkara (non-contentious). Akan tetapi, hal tersebut lebih menekankan pada institusi hukum dan objectum litis dari perkara yang sedang diperiksa.

Sedangkan, pemeriksaan sengketa Pemilu memiliki karakteristik khusus, yakni “win or lost” bagi para pihak yang berperkara. Kepentingannya pun langsung terletak pada keterpilihan seseorang untuk duduk sebagai Kepala Daerah. Apabila diperkarakan, maka keabsahan penyelenggaraan Pemilu untuk memastikan seorang menjadi Gubernur, Walikota, Bupati, atau anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kota/Kabupaten menjadi amat ditentukan pada persidangan di Mahkamah Konstitusi.

Putusannya pun sebenarnya akan mudah sekali ditebak. Sebab, proses pemeriksaan yang dilaksanakan tentunya hanya akan mengarah pada dua muara putusan dengan rumus 50%-50% (fifty-fifty), yaitu menang bagi Pemohon (permohonan dikabulkan) atau kalah bagi Pemohon (permohonan ditolak atau tidak diterima).

Di sinilah modus operandi para “Markus” subur bermain. Dengan atau tanpa mengatasnamakan para Hakim dan para pejabat lainnya di lingkungan MK, tanpa informasi sedikitpun para “Markus” dapat menjanjikan 50% kemenangan kepada Pemohon.

Liciknya, sang Markus akan menghubungi kedua belah pihak yang sedang berperkara, yaitu Pemohon selaku calon yang tidak terpilih dan Pihak Terkait selaku calon terpilih.

Seandainya saja para “Markus” tersebut menjanjikan kemenangan kepada kedua belah pihak yang sedang berseteru, maka sudah pasti 100% probabilitas kemenangan yang dibuat oleh sang “Markus” akan selalu tepat jatuh kepada salah satu pihak yang berperkara.

Celakanya, hingga hari ini masih banyak masyarakat yang menggantungkan harapan pada permainan suap dan jual-beli perkara di lingkungan MK. Akibatnya, (mungkin) masih ada pihak-pihak yang dengan mudah tertipu atau setidaknya tergiur pada tipu muslihat yang demikian!


***

Dua minggu sejak pertama kali aku menerima SMS mengenai “Markus”, nyatanya aroma praktik tersebut semakin terendus kuat. Tepat pada Selasa (2/6) pagi, salah satu atasan MK menghampiri dan memberikan lembaran kertas yang berisi semacam transkrip pembicaraan.

“Ini Faiz. Coba komentari”, tandasnya lugas.

Mataku langsung melayang dan membaca secara cepat transkrip dialog antara dua orang yang tertulis “Penelpon” dan “Pemohon” secara bergantian. Pikiranku langsung menyeruak,

“Markus??”.

Ternyata dugaanku benar. Lembaran yang sedang aku baca adalah hasil transkrip negosiasi yang dilakukan melalui telepon genggam. Dari pembicaraan tersebut diketahui bahwa Penelpon mengaku kenal dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD. Dirinya meminta sejumlah uang jikalau perkara yang diajukannya ingin dimenangkan.

Untuk meyakinkan Pemohon, sang “Markus” juga menyeret beberapa nama petinggi MK, yaitu Janedjri M. Gaffar (Sekretaris Jenderal) dan Zainal Arifin Hoesein (Panitera).

“Ada yang aneh!”, pikirku tajam.

Firasatku menduga bahwa sang Markus pastilah pihak ketiga di luar MK. Sebab, penyebutan nama dan status para petinggi MK tersebut adalah salah besar.

Pertama, sang Markus meminta agar Pemohon mentransfer Rp 50 juta ke rekening BCA Nomor 7600372216 atas nama Moh. Machfud.

“Pakai c yah namanya, pakai c..”, jelas sang Markus berulang kali sebagaimana tertulis pada transkrip pembicaraan tersebut.

Padahal, nama sesungguhnya dari Ketua MK adalah Moh. Mahfud MD., tanpa menggunakan satupun huruf “c”.

Kedua, sang Markus yang mengaku sebagai Sekretaris Jenderal salah menyebutkan nama dan jabatannya sendiri.

“Pak Jendri M. Jaffar, saya Sekjen dari Kepaniteraan MK”, pungkas sang Penelpon transkrip.

Bagi yang paham betul, tentunya akan tersenyum ketika membaca perkataan tersebut. Sebab, antara Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK adalah dua lingkup bidang kerja yang berbeda. Sekjen membawahi Sekretariat Jenderal, sedangkan Kepaniteraan dibawahi oleh Panitera. Keduanya tidak saling merangkap satu sama lainnya.

“Sekarang sedang dilangsungkan press conference di atas. Pak Ketua mencoba mengklarifikasi berita-berita itu”, jelas sang atasan memotong keseriusanku yang sedang mencermati lembar demi lembar transkrip di tangan.

“Oh, baguslah. Karena ini sama persis Pak dengan apa yang pernah saya laporkan kepada Bapak dua minggu lalu”, ungkapku.

Sejak menerima petunjuk tentang keberadaan para “Markus” yang mulai melancarkan aksinya, aku memang memberikan informasi tersebut hanya kepada kalangan terbatas, yaitu kepada mereka yang aku anggap mempunyai palu kebijakan utama untuk dapat menindaklanjuti.

Rupanya gayung bersambut. Semakin santernya berita tersebut ternyata mengharuskan Ketua Mahkamah Konstitusi untuk angkat bicara dan membeberkan praktik para “Markus” yang tengah beredar. Para “Markus” ibarat binatang buas dan liar ketika mengincar calon mangsanya yang tidak lain adalah para pihak yang sedang berperkara. Modus operandinya pun cukup terbilang lihai. Gerakannya juga tidak dapat terbaca riil. Lebih dalam lagi, mereka sangat selektif dalam memilih calon korban.

Berdasarkan keterangan para Pemohon, setidaknya sudah ada 3 (tiga) pihak yang sedang berusaha didekati oleh para “Markus”. Pertama, calon anggota DPD dari Maluku, Thamrin Elly; Kedua, calon anggota DPD dari Papua, Pdt. Ellion; dan Ketiga, calon anggota DPD dari Jawa Tengah, Natalie.

Dalam kesempatan press conference tersebut, Mahfud MD. sempat berseru keras,.

“Vonis di sini tidak akan bisa dibeli dengan harga semahal apapun. Semua bukti-bukti yang dikirim ke rumah saya dan hakim-hakim yang lain dengan maksud memenangkan perkara akan berakhir di kotak sampah!”, tegasnya.

Entah berapa banyak lagi korban atau calon korban yang mungkin terjerat oleh perangkap sang “Markus” ini. Himbauan yang didukung oleh pemberitaan hampir di seluruh media massa cetak sehari setelahnya (3/6) rupanya cukup membantu untuk mengingatkan publik bahwa berperkara di MK tidak dapat dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, para Pemohon diharapkan tidak sedikitpun terpancing dengan tawaran atau janji-janji surga terhadap perkara yang mereka ikuti.

Terhadap kejadian tersebut, pihak MK pun telah meneruskan laporan kepada pihak yang berwajib untuk dapat segera ditindaklanjuti. Sejatinya aku berkeyakinan bahwa dengan petunjuk yang telah ada, pelaku kasus ini dapat dengan mudah ditangkap, karena nomor telpon-nya pun ikut terlacak, yaitu 0817-1377XX. Namun nyatanya hingga hari ini (8/6), aku belum juga menerima kabar apapun.

“Mungkin pihak kepolisian memerlukan waktu lebih lama untuk dapat meringkus sindikat ‘Markus’ tersebut secara tepat dan menyeluruh”,
pikirku positif.

Dalam hati aku berdoa:

“Ya Allah, aku hanya minta satu hal. Hindarkanlah MK ini dari terpaan kasus-kasus yang bisa merusak legitimasi kepercayaan masyarakat kepadanya. Kami dan seluruh warga hukum lainnya amat merindukan kehadiran peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa. Jika saja akhirnya MK turut tumbang di kemudian hari, maka kiranya sulit bagiku untuk mengembalikan semangat keikhlasan dan pengabdian diri terhadap suatu institusi hukum negara di negeri tercinta ini.”


Fiuhh.., aku lalui hari itu dengan penuh tanya dan harap. Batinku kemudian berbisik,

“Hush Faiz, jangan berlarut-larut. Pekerjaan setumpuk permohonan sudah menunggu tuk diperiksa, tauk!”

***


… bersambung …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar