Minggu, 21 Juni 2009

Jafung Bendahara : Solusi untuk atasi Korupsi?

Kelihatannya aneh, tetapi setidaknya itulah yang hingga kini saya pahami tentang mengapa Bendahara ditetapkan sebagai pejabat fungsional (pasal 10 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara).  Konon supaya Bendahara bisa mandiri, tidak dapat ditekan oleh kepala Satker selaku KPA, maka ia harus dijafungkan.  Bukankah jafung (jabatan fungsional) bersifat mandiri?

Kalau benar demikian logika yang mendasari perumusan pasal 10 UU No.1/2004, maka hal tersebut mungkin patut disesalkan.  Karena yang dimaksud “mandiri” dalam konteks pengertian jafung adalah mandiri dalam arti bahwa pelaksanaan tugasnya dilakukan secara mandiri, bukan secara tim (PP 16/1994).  Maksudnya supaya produk perorangannya bisa/mudah dihitung sehingga angka kreditnya bisa/mudah ditetapkan. Jadi pengertian “mandiri” dalam konteks jafung tidak sama dengan pengertian “mandiri” dalam konteks bahwa ia mempunyai kekuasaan yang otonom yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.  Sekarang, coba perhatikan kewenangan dan pelaksanaan tugas jafung-jafung yang ada di sekitar kita.  Apakah mereka “mandiri”, dalam arti mempunyai kekuasaan yang otonom yang tidak bisa diintervensi oleh pejabat struktural atasannya?

Mengapa pejabat/pelaksana yang menangani pengadaan barang dan jasa di Satker tidak dijafungkan, bukankah mereka juga bisa ditekan oleh atasannya selaku KPA sehingga memberikan peluang terjadinya praktek korupsi?  Nampaknya yang menjadi topik permasalahan adalah pembagian kewenangan antara K/L selaku PA dan Depkeu selaku BUN.  Apakah Bendahara  bertanggungjawab pada K/L (KPA) atau Depkeu (KBUN)?  Sebagaimana kita ketahui, Bendahara saat ini mengerjakan tugas kebendaharaan (comptable), namun berbeda dengan tugas kebendaharaan BUN/KBUN karena uang (persediaan) yang dikelola oleh Bendahara belum membebani anggaran dan harus dipertanggungjawabkan oleh Satker (KPA/Bendahara?) kepada BUN/KBUN.  Nampaknya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang peran dan kedudukan Bendahara tersebut diputuskan untuk mengambil “jalan-tengah” (win-win solution?).  Sebagaimana kita ketahui, dalam UU No. 1/2004 disebutkan bahwa Pejabat Perbendaharaan terdiri dari Pengguna Anggaran (/Barang), Bendahara Umum Negara/Daerah, dan Bendahara (Penerimaan/Pengeluaran).  Artinya, Bendahara bukan merupakan bagian (anak) dari Pengguna Anggaran ataupun bagian (anak) dari BUN/D.

Lain halnya dengan pejabat/pegawai pengadaan barang/jasa dimana nampaknya kita semua sepakat bahwa mereka melakukan pekerjaan teknis/administratif yang merupakan kewenangan K/L (KPB/Kuasa Pengguna Barang).          

Terkait dengan perkembangan penerapan Treasury Single Account (TSA), bukan tidak mungkin dalam waktu tidak lama lagi akan terjadi pergeseran peran dan pekerjaan Bendahara di Satker.  Mungkin pekerjaan utamanya akan bergeser ke arah penatausahaan dan pembukuan (akuntansi) cash-flow di Satker, atau mungkin mirip dengan pekerjaan state/public accountant di Perancis.  Lalu, bagaimana dengan riwayat UUDP/UYHD/UP yang dulu pernah menjadi bagian dari karya monumental DJA (lama)?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar