Minggu, 03 Februari 2008

Judicial Review di Indonesia

KONSEP JUDICIAL REVIEW DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA

Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan. Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht, seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Sebelum Penulis membahas secara khusus mengenai hal ini, ada baiknya Penulis sampaikan diskusi singkat mengenai judicial review terkait dengan praktik ketatanegaraan RI pasca amandemen UUD 1945.

Berikut ini merupakan petikan diskusi antara Penulis dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam salah satu artikelnya.

Pembuka Diskusi dari Penulis


Assalamualaikum Bang Yusril,

Berhubung postingan artikel kali ini menyinggung sedikit banyak tentang Konstitusi, maka saya ada beberapa pertanyaan yang hingga saat ini belum memperoleh jawaban yang pasti, meskipun saya sudah sempat berdiskusi kepada beberapa 2nd Founding Parents dan ahli hukum ketatanegaraan lainnya. Semoga respons atas diskusi ini bisa lebih memberikan pencerahan bagi saya khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.

Pertama, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia menganut gagasan supremasi Konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament, i.e. UK). Oleh karena itu, dengan mengikuti pola pemikiran dari Kelsen’s Grundnorm theory, segala peraturan yang berada di bawah UUD tidaklah boleh bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945 -red). Menjadi pertanyaan saat ini, saya menemukan bahwa terdapat celah kekosongan mekanisme pengujian konstitutional (constitutional review) dari seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga mekanisme constitutional review kita masih dianggap sangat lemah. Untuk saat ini (sebelum kemungkinan terjadinya amandemen UUD atau UU MK/MA) adakah jalan lain untuk melakukan uji konstitusionalitas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dianggap bertentangan dengan UUD? Sebab, UUMK dan UUMA belum mengatur hal demikian.

Kedua, terkait dengan legal standing perorangan warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusinya (constitutional rights of citizen), hemat saya memang sudah sepatutnya diberikan. Sebab, dengan menggunakan teori yang sama, segala sesuatu yang bertentangan dengan UUD haruslah dinyatakan inkonstitusional, sekalipun ia melanggar pihak-pihak yang berada pada kelompok kecil atau minoritas tertentu. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana pendapat Abang mengenai mekanisme constitutional complaint („Verfassungsbeschwerde“) yang dipraktikan di Jerman, Korea dan beberapa negara lainnya, apabila mekanisme yang sama diterapkan pula di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

Di lain sisi, ketika kita masih memperdebatkan apakah legal standing perorangan sebaiknya diperbolehkan atau tidak, maka di dalam praktik ketatanegaraan lain, seperti misalnya India, legal standing perorangan pun dapat diberikan walaupun permohonan diajukan oleh pihak ketiga tanpa harus adanya persetujuan dari pemohon yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita mengenal mekanisme Public Interest Litigation, hal mana juga mempunyai batasan dan beberapa persyaratan yang cukup ketat, seperti misalnya hanya untuk lingkup perlindungan terkait dengan fundamental rights warga negara bukan untuk motif ekonomis, politis dan lain sebagainya. Kiranya di masa mendatang, dalam koridor akademis, konsep ini dapat dikaji lebih mendalam lagi semata-mata guna melindungi hak konstitusional warga negara, khususnya bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai “jangkauan” untuk menggapai sistem hukum modern ini, terlebih untuk mereka yang tinggal di berbagai pelosok tanah air.

Ketiga, menambahkan pertanyaan terkait dengan apa yang telah disampaikan oleh Sdr. Darmadi Aries Wibowo, menurut Abang siapakah pemegang tafsir resmi UUD 1945 saat ini? Apakah diberikan kepada MK selaku pengadilan Ketatanegaraan RI, MPR selaku lembaga yang berwenang untuk mengubah UUD 1945, atau lembaga negara lainnya. Jika saya boleh meminjam konsep “Politik Hukum” dari Gus Mahfud MD, artinya saat ini penafsiran yang diputuskan oleh Mahkamah adalah penafsiran yang harus kita ikuti terlepas apapun hasil penafsiran yang dikeluarkannya. Namun demikian, ketika saya berdiskusi dengan Bpk. Patrialis Akbar, beliau menyampaikan bahwa penafsiran Konstitusi di Indonesia harus berada di tengah-tengah, artinya tidak ada lembaga tunggal yang bisa menafsirkan Konstitusi secara sepihak. Benarkah kita tidak mengenal pola “penafsir tunggal” UUD 1945 dalam sistem Ketatanegaraan RI? Mohon pencerahannya.

Saya kira tiga pertanyaan ini dahulu yang dapat saya sampaikan guna memulai diskusi dalam artikel kali ini. Sebab, saya juga tidak ingin menyita banyak waktu dari Abang untuk dapat melakukan aktivitas lainnya yang tidak kalah pentingnya.

Kirainya Allah SWT selalu memberikan cahaya jalan kebenaran bagi kita semua. Amien.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Hormat Saya,

Blawgger Indonesia
New Delhi

Tanggapan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra:

Kalau kita mengikuti teori Hans Kelsen memang demikianlah adanya. Semua peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada grundnorm. Apa saja yang bertentangan dengannya harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam teori maupun praktik di negara kita, kita mengakui adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang. Pengakuan terhadap hirarki itu dimulai pada saat kita menyusun draf rancangan peraturan perundang-undangan. Undang-undang disusun mengacu kepada UUD. Peraturan Pemerintah mengacu kepada UU. Sebab itulah uji materil terhadap UU dilakukan terhadap UUD dan kewenangan itu ada pada Mahkamah Kosntitusi.


Oleh karena Peraturan Pemerintah disusun untuk melaksanakan UU — jadi tidak mengacu langsung kepada UUD — maka pengujian terhadap PP dilakukan terhadap UU, yang kewenangannya ada pada Mahkamah Agung. Pengakuan terhadap hirarki inilah yang tidak memungkinkan adanya uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU, langsung kepada UUD. Pengakuan terhadap hirarki bukannya tidak menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan Peraturan Presiden.

Secara hirarkis, menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Presiden berada di bawah Peraturan Pemerintah. Namun mengingat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, maka dalam praktiknya Peraturan Presiden dapat merujuk langsung baik Peraturan Pemerintah, Undang-Undang maupun UUD. Sementara pengujian materi Peraturan Presiden — karena hirarkinya berada di bawah UU — menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Sementara MA tidak dapat menguji peraturan yang berada di bawah UU dengan UUD.



Problema ini membawa implikasi bahwa tafsiran terhadap Pasal 4 UUD 1945 harfuslah dipersempit pada penetapan Keputusan Presiden yang bersifat “beschikking” dan berlaku “einmalig”, bukan pada Peraturan Presiden yang bersifat regulatif. Dalam hal ini, Pasal 11 UU No 10 Tahun 2004 telah benar, yang menegaskan bahwa materi Peraturan Presiden dikeluarkan untuk melaksanakan materi yang diperintahkan UU atau melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Mengenai lembaga penafsir UUD 1945, saya berpendapat tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kewenangan penuh untuk itu. MK hanya melakukan uji materil berdasarkan permohonan pihak yang mengajukannya. Jadi sifat MK dalam uji materil adalah pasif. MA dapat memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara yang memohonnya. Proses menafsiran UUD sebenarnya telah dimulai pada saat menyusun sebuah RUU. UU hakikatnya bukan hanya memerinci ketentuan UUD, tetapi sekaligus “menafsirkan” apa yang dimaksud UUD ketika mereka tuangkan ke dalam draf RUU.

Kalau dilihat dari sudut ini, maka Presiden dan DPR yang sama-sama memegang kekuasaan legislatif, adalah juga lembaga-lembaga yang menafsirkan UUD. Apakah tafsiran mereka itu benar sebagaimana mereka tuangkan dalam UU, MK dapat mengujinya. MPR yang kini tidak berwenang lagi mengeluarkan Ketetapan seperti zaman dahulu, tidak berada dalam posisi untuk menafsirkan undang-undang. Oleh MPR, Pimpinannya kini diberi tugas untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 pasca amandemen. Tentu dalam rangka sosialisasi itu, mereka juga akan “menafsirkan” UUD sebagaimana mereka pahami. Namun tafsiran itu haruslah dianggap sebagai suatu pemahaman saja, yang tidak mempunyai kekuatan tafsir yang mengikat.


Mengenai legal standing perseorangan dalam mengajukan permohonan uji materi terhadap UU ke MK, pada prinsipnya saya sependapat. Saya sendiri ikut mendraf UU MK seperti saya katakan, dan mewakili Presiden membahas RUU tsb di DPR hingga selesai. Demikian pula UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perturan Perundang-Undangan.

Sementara ini, demikianlah penjelasan saya. Terima kasih atas pertanyaannya, yang sekaligus juga merupakan masukan amat berharga bagi saya (YIM)

Tanggapan akhir dari Penulis

Assalamualaikum Wr. Wb.

Terima kasih sebelumnya atas tanggapan yang disampaikan begitu cepat. Saya sangat memberikan apresiasi tinggi terhadap perkembangan diskusi yang demikian. Berikut tanggapan akhir saya atas jawaban yang telah diberikan.

Mengenai jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua telah memberikan pengetahuan baru dan perspektif tambahan bagi saya. Namun untuk pertanyaan pertama, saya sepertinya masih perlu diberikan pencerahan. Secara das sein memang sistem judicial review kita seperti yang telah Abang jelaskan, namun saya berpandangan bahwa secara das sollen sebaiknya seluruh peraturan perundang-undangan, mulai dari UU hingga Peraturan Daerah, dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD secara langsung. Sebab dalam suatu perundang-undangan bisa saja kondisi tidak terjadinya penyimpangan substansi terhadap peraturan di atasnya, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara.

Walaupun kita menganut sistem Civil Law, ada baiknya juga kita melakukan analisa perbandingan hukum pada negara-negara Common Law, di mana Supreme Court mereka sangat memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap apapun itu bentuk peraturan perundangan-undangan dan kebijakan negaranya. Dan hal tersebut kini mulai dipraktikan di negara-negara Eropa Barat yang sebagian besar juga menganut sistem hukum yang sama dengan kita. Namun demikian, bisa saja cara berpikir saya yang kurang tepat, oleh karena itu mohon pencerahan dari Abang dan rekan-rekan lainya.

Demikian tanggapan saya kali ini. Semoga diskusi ini dapat memberikan pewacanaan terhadap sistem ketatanegaraan kita di masa yang akan datang. Jika terdapat hal yang kurang berkenan mohon dibukakan pintu maaf. Sukses selalu untuk Abang dan rekan-rekan semua.

Jayalah Indonesia!

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Salam Hangat,

Pan Mohamad Faiz
New Delhi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar