Senin, 29 Januari 2007

Otonomi Aceh

OTONOMI DAN PEMERINTAHAN ACEH *

A. Otonomi Daerah

Berdasarkan UUD 1945, negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sesuai ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan.

Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Sementara itu dalam pengaturan hubungan antara Pemerintah dengan daerah diatur dalam pasal 18 A ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
1. Hubungan wewenang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Konsekuensi dari kandungan pasal-pasal dalam UUD 1945 tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Presiden selaku kepala pemerintahan dapat melaksanakan dengan :
a. melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat pusat melalui asas dekonsentrasi;
b. menyerahkan sebagian kewenangan kepada daerah otonom melalui asas desentralisasi;
c. menugaskan sebagian kewenangan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa meialui asas tugas pembantuan; dan
d. melaksanakan sendiri.
2. Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, dibentuk pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan DPRD serta dibantu oleh perangkat daerah. Anggota DPRD dipilih melalui proses pemilihan umum, dan kepala daerah dipilih melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
3. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah memiliki hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya dengan pemerintah pusat.
4. Dalam melaksanakan hubungan tersebut Pemerintah melaksanakan fungsi pembinaan yang salah satu wujudnya dengan menetapkan norma, standar, kriteria dan prosedur; fasilitasi; supervisi; serta monitoring dan evaluasi agar otonomi daerah senantiasa dilaksanakan oleh pemerintahan daerah sesuai dengan tujuannya. Sebaliknya pemerintah daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta melaksanakan otonomi daerah berdasarkan standar, norma, kriteria, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. Berdasarkan hal ini maka pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota merupakan sub-ordinasi Pemerintah.
5. Kesimpulannya, walaupun Pemerintah memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah, pemerintahan daerah tetap merupakan sub-ordinasi Pemerintah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai amanat konstitusi Rl.

Secara filosofis, ada dua tujuan utama yang ingin dicapai dari penerapan kebijakan desentralisasi yaitu tujuan demokrasi dan tujuan kesejahteraan. Tujuan demokrasi akan memposisikan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang secara agregat akan menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara serta mempercepat terwujudnya masyarakat madani atau civil society. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.

Dari tataran filosofis di atas nampak bahwa pemerintahan daerah dituntut untuk mampu menyejahterakan masyarakat lokal secara demokratis. Proses demokrasi di tingkat lokal akan nampak dari diselenggarakannya pemilihan anggota-anggota DPRD melalui pemilu, pemilihan kepala daerah secara langsung, proses penyusunan peraturan daerah mengenai APBD, perencanaan pembangunan daerah dan kegiatan daerah lainnya yang melibatkan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, pemerintahan daerah harus mampu mengartikulasikan serta mengagregasikan kepentingan masyarakat, mengakomodasikan pluralitas sosial ke dalam perencanaan dan kegiatan pemerintahan daerah melalui penyediaan ruang untuk partisipasi publik, transparansi dan akuntabilitas.
Pemberian otonomi dari Pemerintah kepada daerah otonom pada dasarnya terdapat dua pola yang lazim diterapkan secara universal yaitu:
1. Pola otonomi terbatas; yakni kewenangan daerah hanya terbatas pada urusan-urusan pemerintahan yang ditetapkan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
2. Pola otonomi luas (general competence); yakni daerah diberikan kewenangan yang iuas untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang terkait dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut kecuali urusan pemerintahan yang ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah. Pengecualian yang lazim diberlakukan adalah urusan-urusan pemerintahan yang memiliki dampak nasional ataupun internasional seperti, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama.

Kedua pola ini sudah pernah diterapkan di Indonesia dengan berbagai implikasi yang melingkupinya.

Pada saat ini, sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945, pola yang dianut adalah otonomi seluas-luasnya. Ini berarti bahwa daerah diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang menjadi kepentingan masyarakat daerah, kecuali yang ditentukan menjadi kewenangan Pemerintah. Namun, secara empirik Pemerintah selain memiliki kewenangan pada enam urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, juga memiliki kewenangan lain yakni urusan pemerintahan yang bersifat lintas provinsi, nasional, bahkan lintas negara. Ini berarti bahwa selain keenam urusan yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah, terdapat juga bagian dari urusan yang bersifat "concurrent” atau urusan bersama.
Agar urusan pemerintahan yang bersifat “concurrent” dapat dibagi secara proporsional antar tingkatan pemerintahan maka sesuai dengan UU Pemerintahan Daerah telah diatur kriteria pembagian urusan "concurrent" tersebut dengan menggunakan tiga kriteria yaitu, eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dengan menerapkan ketiga kriteria tersebut, maka deskripsi urusan pemerintahan dari Pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota akan menjadi sebagai berikut:

1. Pemerintah:
a. Membuat aturan main dalam bentuk norma, standar dan prosedur untuk melaksanakan suatu urusan pemerintahan;
b. Menegakkan aturan main dalam bentuk monitoring, evaluasi dan supervisi agar urusan pemerintahan tersebut dilaksanakan dalam koridor norma, standar, prosedur yang dibuat Pemerintah;
c. Melakukan fasilitasi dalam bentuk pemberdayaan (capacity building) agar daerah mampu melaksanakan otonominya dalam norma, standar dan prosedur yang dibuat Pemerintah; dan
d. Melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdampak nasional (lintas Provinsi) dan internasional.

2. Pemerintah Provinsi:
Mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam skala provinsi (lintas kabupaten/kota) sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah.

3. Kabupaten/Kota:
Mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dalam skala kabupaten/kota sesuai norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah.

Uraian di atas memberikan gambaran umum tentang kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah secara nasional. Namun kebijakan desentralisasi terhadap daerah-daerah tertentu dapat diberlakukan asimetrik karena daerah tersebut bersifat istimewa atau khusus. Aceh sesuai dengan konstitusi termasuk dalam kategori daerah istimewa dan memiliki kekhususan. Oleh karena itu kebijakan terhadap Aceh diberlakukan lain dengan kebijakan desentralisasi secara umum sebagaimana diuraikan.

B. Elemen-Elemen Dasar Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Agar pemerintah daerah di Indonesia mampu melaksanakan otonominya secara optimal, maka kita harus terlebih dahulu memahami secara benar elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu kesatuan pemerintahan. Sedikitnya ada 7 (tujuh) elemen dasar yang membangun kesatuan pemerintahan daerah yaitu:

(1) Urusan Pemerintahan.
Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adaiah "urusan pemerintahan" yang berupa kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004 ada tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan pemerintahan yaitu eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Berdasarkan kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari setiap bidang atau sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 30 (tiga puluh) sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk menyeienggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan sektor unggulan.
Adapun urusan-urusan pemerintahan yang didesentralisasikan ke daerah sebanyak 30 (tiga puluh) bidang urusan, sebagai berikut:
1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan Umum;
4. Perumahan;
5. Penataan Ruang;
6. Perencanaan Pembangunan;
7. Perhubungan;
8. Lingkungan Hidup;
9. Pertanahan;
10.Kependudukan dan Catatan Sipil;
11.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
12.Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
13.Sosial;
14.Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
15.Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
16.Penanaman Modal;
17.Kebudayaan dan Pariwisata;
18.Pemuda dan Olah Raga;
19.Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
20.Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah,
Perangkat Daerah, Kepegawaian, dan Persandian;
21.Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
22.Statistik;
23.Arsip dan Perpustakaan;
24.Komunikasi dan Informatika;
25.Pertanian dan Ketahanan Pangan;
26.Kehutanan;
27.Energi dan Sumber Daya Mineral;
28.Kelautan dan Perikanan;
29.Perdagangan;
30.Perindustrian.

Desentralisasi urusan pemerintahan ini didasarkan pada urusan-urusan yang ada kelembagaannya di tingkat pusat baik dalam bentuk departemen atau LPND. Argumennya adalah jangan sampai "ada lembaga pusat" yang menangani urusan tersebut, tapi tidak ada kejelasan lembaga mana yang menangani urusan tersebut di daerah. Semestinya, kebijakan yang dibuat di tingkat pusat harus jelas lembaga mana yang mengoperasionalkannya di daerah. Namun tidak pula berarti semua urusan tersebut harus ada kelembagaannya di daerah, karena akan membengkakkan overhead cost daerah. Yang penting adalah "fungsi" tersebut ada yang bertanggung jawab melaksanakannya di daerah. Untuk efisiensi, maka perlu ada perumpunan terhadap urusan-urusan pemerintahan yang sejenis yang diakomodasikan dalam kelembagaan daerah.

(2) Kelembagaan
Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan daerah, yaitu kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD, dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor dan sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).

(3) Personel
Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya personel yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan kewenangan otonomi yang menjadi domain daerah. Personel daerah (PNS Daerah) tersebut pada gilirannya akan menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.

(4) Keuangan Daerah
Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan daerah adalah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip "money follows functions". Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai memungkinkan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

(5) Perwakilan Daerah
Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyatlah yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakii-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis wakil rakyat. Pertama, yaitu DPRD yang dipilih melalui Pemilu untuk menjalankan fungsi legislatif daerah. Kedua, adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif daerah. Dengan demikian, kepala daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih secara politis oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.

Dalam elemen perwakilan tersebut terkandung berbagai dimensi yang bersinggungan dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut adalah bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah; bagaimana hubungan keduanya dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka; pengakomodasian pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.

(6) Pelayanan Publik
Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan daerah adalah "pelayanan publik". Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya "goods and services" yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama pemerintahan daerah menghasilkan public goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolan, pasar, terminal, rumah sakit dsb yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, Pemerintah Daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan akta kelahiran, KTP, KK, IMB, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order} dalam masyarakat.
Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan pemerintah daerah dalam rangka menyejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal dan pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, and faster) serta akuntabilitas, akan menjadi isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(7) Pengawasan
Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah pengawasan. Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa "power tends to corrupt and absolute power will corrupt absolutely". Untuk mencegah hal tersebut, maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas, pengawasan eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif, dan juga pengawasan melekat (built in control).

C. Perjalanan Terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiiiki ketahanan yang tinggi. Ketahanan dan daya juang yang tinggi itu bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan Hidup yang berlandaskan syariat Islam itulah yang kemudian dijadikan dan diberlakukan sebagai tatanan hidup dalam bermasyarakat saat ini. Hal demikian kemudian menjadi pertimbangan penyelenggaraan keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999.

Namun, dalam implementasinya, UU tersebut dipandang kurang memberikan kehidupan di dalam keadilan atau keadilan di dalam kehidupan. Bagi masyarakat Aceh kondisi demikian belum dapat mengakhiri pergolakan masyarakat di Provinsi DI Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Respons Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelenggaraan persoalan Aceh, berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussaiam.

Dalam pelaksanaannya, undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya undang-undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh pada akhir Desember 2004, telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka NKRI.

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa penataan otonomi khusus di Aceh merupakan salah satu upaya meretas hadirnya sebuah keadilan dan pencapaian tujuan otonomi daerah dalam kerangka NKRI, yaitu mencapai kesejahteraan secara demokratis di Nanggroe Aceh Darussaiam. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, menjadi pintu pembuka bagi kedamaian di Aceh. Walaupun pada awalnya, penandatangan MoU sempat mendapat reaksi pro dan kontra dari berbagai macam elemen masyarakat, namun pada akhirnya dengan segala kelapangan dada semua sepakat, bahwa perdamaian abadi harus diwujudkan di Aceh.

Ada enam butir utama isi Nota Kesepahaman yang telah dicapai yaitu: penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; hak asasi manusia; amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; pengaturan keamanan; pembentukan Misi Monitoring Aceh (AMM) dan penyelesaian perselesihan. Setelah hampir semua butir-butir nota kepahaman dilaksanakan, maka penyusunan RUU Pemerintahan Aceh mendapat perhatian dari seluruh komponen masyarakat. Bagi masyarakat Aceh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah butir-butir yang terdapat dalam Nota Kesepahaman segera dapat ditindaklanjuti dengan undang-undang, sedang bagi masyarakat di luar Aceh akan melihat sejauh mana keistimewaan atau kekhususan yang diberikan kepada masyarakat Aceh.

Kalau kita kembali mencermati proses perjalanan penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) dengan jelas terlihat segala upaya telah dilaksanakan secara serius dengan memperhatikan seluruh aspirasi masyarakat, khususnya yang berada di wilayah Aceh. Terlepas masih adanya kekurangan, namun semangat yang mendasari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) iniiah yang patut menjadi acuan bersama, yakni membangun Aceh yang lebih berkeadilan, sejahtera, demokratis dan bermartabat.

UU Pemerintahan Aceh adaiah undang-undang yang unik dalam proses penyusunannya, karena melibatkan berbagai elemen masyarakat Aceh secara luas, bahkan menarik perhatian dunia. Pihak-pihak yang turut berpartisipasi meliputi masyarakat Aceh yang berasal dari pemerintah daerah, kalangan LSM, akademisi, wanita, ulama, dan anggota GAM. Sebagai sebuah produk hukum baru yang lahir dari konsekuensi adanya perubahan kebijakan politik antara Pemerintah RI dan GAM, maka RUU ini harus dapat mengakomodasi tuntutan kedua belah pihak secara adil.

Pada awalnya, tak kurang dari enam versi naskah RUU PA didiskusikan di Aceh, yaitu dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (DPRD NAD), Pemerintah Daerah (Pemda NAD), Universitas Syiah Kuala, Universitas Islam Negeri (IAIN) Arraniry, Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), dan dari GAM. DPRD NAD pun berinisiatif mengadakan serangkaian diskusi dan dialog dengan berbagai pihak untuk bersama-sama membicarakan RUU ini. Seluruh pihak yang mempunyai naskah RUU dan berkepentingan dengan RUU ini diundang untuk berdiskusi. Mulai dari kelompok ulama, sampai dengan organisasi perempuan di Aceh.

Melihat proses yang begitu dinamis dari berbagai pihak ini, timbul dorongan dari komponen masyarakat sipil untuk membentuk Tim Perumus Bersama yang terdiri dari berbagai komponen pemangku kepentingan dan bertugas menyepakati satu naskah bersama yang dapat mewakili berbagai elemen di Aceh untuk disampaikan ke Jakarta. Tanggal 22-30 November 2005 pun menjadi suatu fase penting dalam pembicaraan ini. Dalam kurun waktu seminggu tersebut terjadi perdebatan, tekanan, dan tarik menarik untuk mendorong adanya satu draf bersama dari Aceh. DPRD NAD dianggap sebagai pihak yang mempunyai kapasitas politik yang strategis untuk menjembatani proses partisipasi seperti ini, sehingga rapat paripurna DPRD NAD pun dijadikan momentum penting untuk menandai munculnya satu draf bersama ini. Pada malam 29 November 2005 terjadilah pembahasan yang intensif antara DPRD NAD, Pemda, berbagai komponen masyarakat sipil, dan GAM. Maka lahirlah draf keenam dari DPRD NAD yang secara maksimal berupaya mengakomodasi seluruh kepentingan peserta pembahas pada saat itu. Draf yang terdiri atas 38 Bab dan 209 pasal inilah yang diserahkan kepada Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada 30 November 2005. Setelah penyerahan secara resmi, diadakan pula berbagai diskusi formal dan informal antara berbagai lembaga dan komponen masyarakat di Aceh yang menyepakati RUU itu dengan berbagai lembaga politik di Jakarta untuk mendorong substansi yang telah disepakati bersama tersebut.

Sementara itu, ada tekanan yang tinggi mengenai batas waktu pembahasan. Pemerintah pada awalnya meminta agar ada naskah yang masuk pada Oktober 2005 agar tenggat waktu 31 Maret 2006 dapat dipenuhi. Namun, semua pihak tentu menyadari bahwa membuat suatu undang-undang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi karena undang-undang tersebut diharapkan mendorong terjadinya perubahan besar di Nanggroe Aceh Darussalam. Setelah dilakukan pembahasan di Depdagri dan pembahasan antar departemen, RUU PA menjadi 40 Bab dan 206 Pasal yang terdiri dari 1446 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Secara substantif RUU PA dapat dikatakan sebagai kekhususan yang menyangkut Pemerintahan Daerah Aceh, yakni:
• Kekhususan yang pertama, RUU PA akan menanggung beban sebagai turunan dari sebuah Nota Kesepahaman. Karena itu, hampir dapat dipastikan pembahasan substansi RUU ini akan berjalan alot apabila tidak ada langkah-langkah khusus yang menyertainya.
• Kekhususan yang kedua, sebagai bagian dari sebuah upaya perdamaian yang sekian lama dinantikan, proses yang inklusif menjadi prasyarat yang tak dapat ditolak lagi. Proses penyusunan dan pembahasan yang partisipatif dan transparan akan menjadi bagian dari proses perdamaian itu sendiri. Sebab, dalam proses itulah akan terkumpul masukan dan terjadi 'internalisasi' dan proses pemahaman substansi RUU, sehingga akan membantu masyarakat untuk memantau implementasi undang-undang itu nantinya. RUU PA juga menanggung beban sebagai bagian dari upaya membangun kembali Aceh, bukan hanya dalam arti fisik tetapi lebih jauh lagi, RUU ini juga akan menjadi sarana dalam membangun masyarakat (society) Aceh. Dan membangun Aceh di sini bukan hanya pasca-tsunami, tetapi membangun kembali masyarakat Aceh yang sudah sekian lama hidup dalam suasana represif.
• Kekhususan yang ketiga, RUU PA mempunyai jangka waktu penyusunan yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu hanya kurang lebih 6 (enam) bulan. Suatu jangka waktu yang singkat untuk sebuah RUU yang substansinya bahkan belum pernah dibicarakan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

Kekhawatiran banyak pihak akan terjadinya debat berkepanjangan dalam pembahasan RUU-PA tidak terbukti. Meski berjalan cukup alot, namun draft UU-PA telah dapat diselesaikan pada tanggal 7 Juli 2006 di tingkat Pansus.Yang membanggakan, bahwa sepanjang pembahasan di tingkat Pansus, kehadiran anggota DPR sekitar 82% dan di tingkat Panja sekitar 90%. Bahkan tidak ada satu masalah pun yang diambil secara voting. Ini menunjukkan pemahaman yang demikian tinggi setiap anggota DPR dalam pengambilan keputusan yang diambil.

Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dari semangat yang mendasarinya.

Undang-Undang ini memiliki 2 (dua) sifat pokok, yaitu:
1. Komprehensif, dalam arti mengatur hal ihwal penyelenggaraan pemerintahan di Aceh secara menyeluruh sehingga muatannya mencakup 40 Bab dan 273 Pasal.
2. Tuntas, dalam arti memuat pengaturan secara rinci dan detail sehingga hanya diperlukan 2 (dua) Peraturan Pemerintah dan 3 (tiga) Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan Undang-Undang, sedangkan daerah harus menyelesaikan 68 qanun.

UU Pemerintahan Aceh yang merupakan upaya maksimal dari proses politik, tentunya tidak adil kalau hanya dikritisi dari satu sisi yang tidak seluruhnya bisa diakomodasikan, tetapi akan adil bila melihat secara menyeluruh niat baik semua pihak yang ingin melihat Aceh menjadi lebih sejahtera. Perlu dicatat, bahwa beberapa kewenangan yang tidak ada dalam MoU maupun draf RUU PA usul DPRD, dimasukkan dalam UU ini. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik. Sejarah perjalanan hidup masyarakat Aceh yang ditandai dengan munculnya gerakan perjuangan menuntut kemerdekaan telah membawa dampak negatif berupa jatuhnya korban yang tidak berdosa. Masyarakat Aceh hidup dalam suasana yang mencekam di bawah ancaman keamanan. Kehidupan perekonomian menjadi tidak berkembang, menyebabkan semakin terpuruknya masyarakat Aceh dalam kesengsaraan.

Dalam hal ini terlihat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh dapat memberikan diskresi kewenangan yang cukup besar, baik di tingkatan pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota, terlebih jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Yang menjadi tantangan ke depan sesungguhnya adalah bagaimana Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota secara sinergis mampu mengoptimalkan segala peluang yang tergambar melalui diskresi kewenangan tersebut untuk dapat memakmurkan rakyat Aceh secara demokratis. Kita berharap dengan disahkannya UU-PA ini dapat mempercepat terwujudnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dalam perdamaian yang abadi. Masih diperlukan sebuah proses panjang untuk melaksanakan undang-undang ini, oleh sebab itu dibutuhkan partisipasi aktif dari seluruh komponen bangsa, khususnya rakyat Aceh.

Mengakhiri ulasan, ada suatu hal yang menarik dalam ‘penciptaan’ UU-PA ini karena rupanya angka “11” menjadi “angka keramat” bagi masyarakat Aceh. Dilihat dari bagaimana tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi masyarakat Aceh, di mana secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Pun ketika proses penomoran UU-PA, Sekretariat Negara “dibisiki” elemen masyarakat Aceh agar bila memungkinkan UU-PA diberi nomor “11” karena suatu alasan yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat Aceh. Dan secara kebetulan pula, hal itu dapat terwujud karena sesuai kondisi yang ada pada saat itu UU-PA memang sebagai undang-undang urutan yang ke-11 yang lahir pada tahun 2006. Hal lain yang kemudian menggunakan angka “11” adalah pelaksanaan Pilkada Aceh yang baru saja diselenggarakan pada tanggal 11 Desember 2006 lalu.

* Mengucapkan terima kasih kepada rekan Biromo Nayarko, Peneliti pada Setneg RI, yang telah menyelesaikan tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar