Kamis, 28 Mei 2009

Pemuda dan Konstitusi

PEMUDA DAN KONSTITUSI
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Disampaikan sebagai bahan pengantar untuk Acara “Kampus Konstitusi” yang ditayangkan secara tunda melalui jaringan TV Jawa Pos Multimedia Corporation (JPMC) di JakTV, JTV, C-TV, Batam TV, dsb. pada 28-29 Mei 2009 Pukul 22.00 WIB.

Pendahuluan


Terbukanya pintu reformasi yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional membawa banyak perubahan dalam struktur dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu hal yang terlihat jelas yaitu terjadinya arus perubahan dalam memandang konstitusi sebagai paradigma baru dalam bernegara yaitu cita konstitusionalisme dengan menyinergikan antara konstitusi dengan demokrasi hingga membentuk konsep demokrasi konstitusi (constitutional democracy). Pensakralan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 pun akhirnya tumbang setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 melalui empat kali tahapan pada tahun 1999 sampai dengan 2002.

Walaupun dari segi nama tidak mengalami banyak perbedaan, namun dari sisi substansi UUD 1945 mengalami perubahan yang cukup mendasar. Konsep bernegara, struktur kelembagaan, dan penegasan terhadap perlindungan hak asasi manusia menjadi tiga hal utama yang menjadi tema sentral dalam proses amandemen tersebut. Hasilnya, 71 butir ketentuan yang ada sebelumnya telah bertambah menjadi 199 butir ketentuan.

Dengan demikian, sulit untuk dapat mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia telah memahami konstitusi (baru) secara baik dan benar. Oleh karena itu, agar masyarakat dapat lebih memahami secara mendalam terhadap konstitusinya sendiri yang dilandasi atas dasar konsensus bersama, maka konstitusi harus dapat lebih dibumikan sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Di tengah gencarnya arus perubahan, maka pemuda dan mahasiswa yang menyandang status selaku agent of change menjadi elemen penting yang dapat membantu melaksanakan amanah konstitusi tersebut. Apalagi jika mengingat kembali jarum jam sejarah, merekalah yang awalnya menjadi tombak terdepan dalam mengantarkan perubahan ini. Oleh karenanya, selain diharapkan mampu memahami konstitusi secara utuh, para pemuda Indonesia sejatinya juga diharapkan dapat mengawal sekaligus melaksanakan nilai-nilai ketentuan yang termaktub di dalamnya.

Hak dan Kewajiban Konstitusi


Ketentuan dan kepentingan yang terkait langsung antara aktivitas warga negara dengan Konstitusi terutama terletak dalam hal kewajiban dan hak konstitusinya (constitutional obligations and rights). Jauh pada saat penyusunannya di masa kemerdekaan, para pendiri negara Indonesia telah menempatkan “hak” sebagai unsur penting di dalam Konstitusi. Kata “hak” pertama kali langsung terbaca pada alinea pertama Pembukaan UUD yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa …”. Kekuatan dasar dari peletakan kata hak tersebut tidak saja dapat dimaknai sebagai hak bagi bangsa Indonesia, namun juga secara universal menjadi hak dari seluruh bangsa-bangsa yang ada dunia.

Apabila dicermati secara rinci, ketentuan perlindungan terhadap hak warga negara pasca amandemen UUD 1945 menjadi jauh lebih banyak jumlahnya daripada perintah untuk melaksanakan kewajiban bagi warga negara. Perubahan kedua UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 menghasilkan satu bab khusus yang mengatur tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perkataan “hak” dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I sejumlah 47 kata yang apabila dihitung penormaannya tentu jauh lebih besar lagi. Keseluruhan dari penempatan ketentuan norma hak tersebut semata-mata sebagai penguatan jaminan atas perlindungan terhadap hak konstitusional bagi segenap warga negara Indonesia.

Beberapa hak tersebut di antaranya, yaitu hak untuk hidup (Pasal 28A), hak untuk membentuk keluarga (Pasal 28B), hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 28C dan Pasal 31), hak dalam hal pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum (Pasal 28D), hak untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28E), hak untuk memperoleh rasa aman dan bebas dari penyiksaan (Pasal 28G), hak dalam jaminan sosial dan perlindungan terhadap milik pribadi (Pasal 28H), dan hak-hak mendasar lainnya.

Lebih lanjut, UUD 1945 juga menentukan hak baik bagi lembaga negara, Presiden, maupun Pemerintah Daerah guna menjalankan tugas dan kewenangannya. Konstitusi turut pula menegaskan bahwa negara wajib mengakui hak-hak tradisional yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Sedangkan ketentuan “kewajiban” di dalam tubuh Konstitusi sebenarnya lebih menekankan pada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara. Namun demikian, warga negara juga tetap memiliki kewajiban yang tidak bisa diindahkan, seperti misalnya kewajiban warga negara untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan (Pasal 27), kewajiban sekaligus hak untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 dan Pasal 30), kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain (Pasal 28I), serta kewajiban bagi warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dengan catatan bahwa pemerintah pulalah yang wajib membiayainya [Pasal 31 ayat (2)].

Intergenerasi Konstitusi


Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah banyak bermunculan segudang para ahli, pakar, dan pengamat hukum tata negara Indonesia pada zamannya masing-masing. Setidaknya terdapat empat generasi yang membawa pengaruh terhadap pertumbuhan konstitusionalisme di Indonesia. Pertama, pada masa awal dan pra-kemerdekaan, hadir tokoh-tokoh nasional seperti Muhammad Yamin, Soepoemo, dan kawan-kawan. Kedua, pada masa orde lama menuju ke orde baru, hadir Djokosoetono, Padmo Wahyono, Sri Soemantri, Oemar Seno Adji, hingga Ismail Sunny. Ketiga, para begawan konstitusi yang turut membidani peralihan dari masa orde baru ke masa reformasi, seperti misalnya Jimly Asshiddiqie, Harun Al-Rasyid, Bagir Manan, Moh. Mahfud MD., dan Yusril Ihza Mahendra, serta para anggota Forum Konstitusi. Keempat, generasi terakhir pada saat ini yang turut membangkitkan gairah kehidupan konstitusi, seperti misalnya Satya Arinanto, Denny Indrayana, Saldi Isra, dan puluhan pakar tata negara lainnya pasca berdirinya Pusat Studi Konstitusi (PKK) di 34 perguruan tinggi di Indonesia.

Tentunya masing-masing pihak memilik versi dan pandangan yang berbeda mengenai generasi konstitusi di Indonesia, termasuk pula nama-nama lain yang belum tersebutkan di atas. Akan tetapi, dalam konteks ini yang hendak dikemukakan adalah bahwa generasi tersebut tentunya memiliki pandangan dan pemikiran yang beraneka ragam terhadap konstitusi dan konstitusionalisme di Indonesia. Garis perbedaan tersebut setidaknya terlihat pada cara pandang terhadap konstitusi yang awalnya bersifat tertutup menjadi semakin lebih terbuka dan progresif. Kajian terhadap konstitusi semakin hari di antara generasi menjadi semakin berkembang sebagaimana sifat asli dari konstitusi itu sendiri yaitu hidup mengikuti zamannya. Terlebih lagi, perkembangan sistem ketatanegaraan dan perbandingan konstitusi dari negara lain kini telah menjadi salah satu referensi yang diikutsertakan, sehingga objek studi dan kajiannya pun menjadi lebih luas dan beragam.

Mencermati pentingnya suatu konstitusi yang kokoh dan mampu mengikuti kebutuhanya zamannya, maka pembangunan masyarakat, khususnya generasi muda, untuk lebih memahami dan menyadari akan nilai-nilai konstitusi menjadi suatu keniscayaan. Untuk itu diperlukan pembinaan secara umum terhadap masyarakat dan penekunan secara khusus bagi para penerus dan pemikir-pemikir konstitusi yang telah ada. Sehingga, tidak akan lagi terjadi sedikit pun kevakuman berpikir terhadap konstitusi sebagaimana sempat tercipta pada masa orde baru yang lalu

Penutup

Memahami konstitusi beserta isinya baik secara sepintas maupun secara menyeluruh adalah suatu keharusan bagi setiap warga negara, tidak terkecuali bagi para pelajar dan mahasiswa yang berlatar belakang non-hukum. Hal demikian menjadi penting karena konstitusi memuat aturan tentang sistem penyelenggaraan bernegara dan perlindungan terhadap hak-hak dasar bagi warga negaranya (constitutional basic rights). Tidak ada satu pun dari negara demokratis yang tidak meletakan konstitusi sebagai pilar dasar dari kehidupan berbangsa dan bernegaranya.

Pemuda Indonesia yang pada saat ini jumlahnya mencapai sekitar 80 juta jiwa, menjadi amat penting sebagai subyek utama dan pertama yang harus memahami dan membumikan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi. Sebagai generasi yang berada di tengah-tengah, pemuda dapat menjadi katalisator dan akomodator sejumlah gagasan-gagasan segar baik dari generasi sebelumnya maupun dari generasi selanjutnya. Dengan demikian, perkembangan konstitusi diharapkan akan dapat terus berjalan sebagaimana mestinya melalui pembinan dan regenerasi pemahaman konstitusi yang berkesinambungan, sistematis, dan stabil.

Apalagi, pasca reformasi dan perubahan UUD 1945, konstitusi dan hukum ketatanegaraan bukan lagi sekedar objek teoritis. Akan tetapi dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi, implementasi teori dan upaya hukum tata negara telah memperoleh ladang praktik yang subur. Pelaksanaan nilai-nilai yang terkandung di dalam konstitusi menjadi lebih hidup dan berkembang. Oleh karenanya, konstitusi kini bukan lagi menjadi lantunan pasal-pasal mati yang pada umumnya selalu dijadikan sebagai pemanis kebijakan dan formalitas belaka.

* Penulis adalah pemerhati hukum dan konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar