BELAJAR DARI SENGKETA PEMILUKADA JATIM
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Usai sudah pagelaran sidang sengketa perselisihan suara Pemilukada Jawa Timur antara pasangan Kaji vs. KPU Provinsi Jatim yang turut melibatkan kubu Karsa sebagai pasangan yang sebelumnya dinyatakan sebagai pemenang penghitungan suara putaran kedua. Namun demikian, ketukan palu Mahkamah Konstitusi (MK) ternyata belum menandai selesainya pesta demokrasi terbesar bagi rakyat Jawa Timur tersebut. Pasalnya, MK tidak lagi memutus hitam-putih seperti biasanya, yaitu alternatif amar putusan antara tidak menerima, mengabulkan, atau menolak permohonan. Kali ini, MK kembali menerapkan doktrin constitutional activism dengan memutus dan memerintahkan KPU Provinsi Jawa Timur untuk melakukan penghitungan dan pencoblosan ulang di beberapa Kabupaten di wilayah Jatim. Artinya, rakyat Jatim akan masih tetap disibukkan dengan sejumput agenda Pemilukada, khususnya mereka yang tinggal di wilayah Kabupaten Pemekasan, Bangkalan, dan Sampang, Madura.
Bukan Pengadilan Kalkulator
Putusan MK yang tidak terduga dan amat berani ini dianggap oleh beberapa pihak menerabas norma yang telah digariskan oleh undang-undang. Sebab, seyogyanya MK cukup memutus secara tegas terhadap hasil sengketa perselisihan suara Pemilukada saja. Namun ironisnya, justru dengan kewenangan yang limitatif tersebut MK seringkali dianalogikan sebagai “pengadilan kalkulator”, karena fungsinya hanya berkutat seputar angka-angka hasil penghitungan suara. Sedangkan, jikalau hanya berjibaku dengan angka-angka saja, alangkah terlalu remeh-temeh untuk kemudian kewenangan mulia tersebut dilimpahkan dari MA kepada MK. Padahal MK sengaja dibentuk untuk turut jua menjaga ruh demokrasi dengan berlandaskan nilai-nilai hakiki Konstitusi sebagaimana tercantum jelas dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Walhasil, putusan sengketa Pemilukada Jatim menjadi bukti ketatanegaraan bahwa MK bukan lagi sekedar menjadi pengadilan kalkulator semata. Sebab, kebenaran materil yang dicarinya turut disandingkan pula dengan prinsip-prinsip pelaksanaan demokrasi yang sehat sesuai dengan asas-asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Namun demikian, menjadi salah kaprah pula apabila di kemudian hari, pelanggaran pemilu baik itu yang bersifat administratif maupun pidana, kesemuanya langsung diserahkan bulat-bulat di atas meja merah MK. Tentunya, kita harus pula tetap mengikuti koridor penyelesaian pelanggaran pemilu berdasarkan ketentuan hukum yang ada, yaitu melalui Bawaslu, Panwaslu, dan Pengawas Pemilu Lapangan, dengan Penyidik Kepolisian dan Pengadilan Umum sebagai sarana awal dalam memperjuangkan hak-hak demokratik setiap peserta pemilu.
Terlepas dari adanya kelemahan perangkat pengawasan yang ada, maka bukan menjadi penghalang bagi para peserta pemilu untuk tetap mengikuti prosedur hukum yang sudah ditetapkan. Justru dengan ada-tidaknya tindakan yang diambil terhadap bukti-bukti pelanggaran yang telah diserahkan sebelumnya, maka akan menjadi nilai pertimbangan positif untuk menguatkan argumentasi para pemohon dalam mengajukan sengketa perselisihan suara di hadapan Majelis Konstitusi. Contohnya sudah dibuktikan dengan adanya putusan Pemilukada Jatim ini.
Laboratorium Pemilukada
Proses dua minggu berjalannya persidangan ternyata membuka sutra bening terhadap penguatan sistem dan proses demokratisasi di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa hal yang patut kita jadikan pelajaran berharga yang telah diwariskan dari sengketa Jatim ini, yaitu:
Pertama, sikap arif dan bijaksana yang diperlihatkan sejak awal oleh kedua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, yaitu Kaji dan Karsa, dengan menghimbau para pendukungnya masing-masing untuk menerima dengan tulus-ikhlas apapun putusan yang dikeluarkan oleh MK, menjadi pendidikan politik tersendiri tidak hanya bagi warga Jatim, namun juga seluruh rakyat Indonesia. Oleh karenanya amat patut kita contoh seraya melayangkan ucapan selamat kepada segenap warga pemilih pada Pemilukada Jatim yang lalu.
Kedua, dengan dibukanya kembali penghitungan dan pencoblosan ulang di beberapa Kabupaten di Jawa Timur, maka otomatis seluruh mata rakyat Indonesia akan menaruh perhatiannya ke wilayah tersebut. Artinya, baik KPU, Bawaslu, Panwaslu, maupun masing-masing pasangan yang kembali bertarung akan semaksimal mungkin mengawal berjalannya agenda perbaikan proses pemilukada tersebut dengan baik, bertanggung jawab dan penuh kejujuran. Jika tidak, maka bukan hal yang mustahil bahwa mereka yang merasa dirugikan haknya akan kembali menggugat Keputusan KPU ke hadapan MK.
Ketiga, berbagai bukti yang terungkap di persidangan telah membawa sinyal kuat kepada seluruh pihak, baik itu penyelenggara maupun peserta Pemilu di masa yang akan datang, bahwasanya segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan tindakan pelanggaran akan dengan mudah dibeberkan di persidangan yang terbuka untuk umum. Terlebih lagi, transparansi total terhadap proses persidangan di MK akan menjadi momok tersendiri bagi mereka yang berencana untuk menodai jalannya berbagai pemilihan umum di Indonesia. Sanksinya? Telah tegas tercantum, yaitu sanksi administratif, pidana penjara dan/atau denda hingga puluhan juta rupiah.
Keempat, sebaliknya bagi para peserta pemilu, baik itu parpol maupun perseorangan, akan semakin terpacu untuk lebih mempersiapkan dirinya dalam menyediakan para saksi dan tim “pemburu kejanggalan” proses pemilu di masing-masing daerah pemilihannya. Belum lagi bila digabungkan dengan unsur pemantau pemilu independen, maka akan semakin kecil kesempatan ruang untuk terjadinya berbagai kecurangan pemilu.
Akhirnya, kita pun berharap bahwa proses penghitungan dan pemilihan ulang di beberapa Kabupaten di Jawa Timur, khususnya Madura, dapat berjalan lancar dan memberikan resultante demokrasi yang terbaik. Sebab, masih segar diingatan kita bahwasanya kisruh pemilihan di beberapa wilayah Madura bukan saja terjadi pada kali ini, namun juga pada Pemilu legislatif pada tahun 2004 yang lalu. Putusan MK yang memerintahkan penghitungan ulang di beberapa Kabupaten di Madura terpaksa dilakukan di Jakarta melalui proses seadanya, karena beberapa isi kotak suara telah hilang tanpa diketahui sebab dan alasannya.
Untuk itu, dengan pengamanan yang memadai, sudah pasti dalam beberapa waktu ke depan Jawa Timur akan menjadi laboratorium baru bagi pembuktian ada-tidaknya perubahan dan penguatan proses demokrasi di Indonesia. Semoga keadilan akan selalu bersemayam pada mereka yang melaksanakan Pemilu dengan adil tanpa mencederai sedikit pun proses demokrasi yang tengah sama-sama kita bangun.
* Pemerhati Hukum dan Konstitusi
Keterangan: Unduh Putusan Lengkap (click)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar