Senin, 19 November 2007

Pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia

EMBRIO DAN PERKEMBANGAN PEMBATASAN HAM DI INDONESIA*
Oleh: Pan Mohamad Faiz

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam konstitusinya.

Namun demikian, pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi (constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadap non-derogable rights (Pasal 28I) dan ketentuan mengenai human rights limitation (Pasal 28J). Benarkah dalam UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi ”...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapat the 2nd founding parents serta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.

Rujukan Dasar

Rujukan yang melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa hak asasi manusia bukan tanpa batas.

Dikatakan pula bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Jika kita menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

Konstitusionalisme Indonesia

Dalam perkara yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;

2. Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;

3. Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;

4. UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas;

Sejalan dengan pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):

1. Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi Manusia” yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal 1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya”, namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut, “Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

2. UU HAM dalam Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4 ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut, “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.

Selain itu, putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh Pemohon Abilio Jose Osorio Soares

Sebagaimana dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara harfiah dirumuskan sebagai “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak.

Oleh karena hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam rumusan “hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” dapat dibatasi, maka secara prima facie berbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

Kesimpulan

Adanya tafsir resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut, apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.

Namun demikian, Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai “Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.

Terlepas dari semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali ia dikatakan sebagai a living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang. Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang telah tersedia, misalnya dengan menempuh constitutional amandmend, legislative review, judicial review, constitutional conventions, judicial jurisprudence, atau pengembangan ilmu hukum sebagai ius comminis opinio doctorum sekalipun.

* Disampaikan sebagai Bahan Pengantar "Online Discussion" di salah satu Forum Hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar