Jumat, 04 Mei 2007

Narkotika dan Hukuman Mati

PERDEBATAN KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI
* Pan Mohamad Faiz (India)
** Mohamad Mova Al’Afghani (Jerman)
Note: Dimuat pada Jakarta Post (04/05/07) --- Terjemahan.
Perdebatan mengenai hukuman mati kembali mengemuka ketika sekelompok terpidana hukuman mati mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) di hadapan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang memuat ketentuan hukuman mati di dalam UU Narkotika, di mana menjadi dasar hukum penjatuhan pidana terhadap mereka. Hampir sebanyak 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman mati, sementara sisanya, termasuk Indonesia, masih tetap menggunakannya.

Para Pemohon beragumentasi bahwa hukuman mati merupakan penyangkalan dari “hak untuk hidup” (right to life) sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 28A dan 28I UUD 1945. Berdasarkan instrumen hak asasi manusia internasional, seperti misalnya Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Indonesia merupakan salah satu negara anggota ICCPR, namun tidak ikut serta dalam protokol opsionalnya. Para kuasa hukum Pemohon mengemukakan bahwa UUD 1945 senantiasa mengikuti materi ICCPR, oleh karenya UUD 1945 harus ditafsirkan secara bersamaan dengan ICCPR.

ICCPR sendiri tidak melarang mengenai kemungkinan adanya penjatuhan hukuman mati, di mana hal ini berbeda dengan protokol opsionalnya. Dikarenakan Indonesia bukanlah negara anggota dari protokol opsional ICCPR, praktik hukuman mati diyakini tidak akan bertentangan dengan kewajiban internasional dalam ICCPR, selama perlakuan terhadap terdakwa hukuman mati dan pengeksekusiannya dilaksanakan berdasarkan standar internasional yang berlaku.

Menjadi permasalahan berikutnya mengenai interpretasi konstitusi (constitutional interpretation). Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi Pasal 28J ayat (2) menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang … sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Perdebatan berlanjut apakah penerapan Pasal 28I ayat (1) – dikarenakan adanya frase “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” – merupakan hal yang “non-derogable”, termasuk terhadap pengecualian pada Pasal 28J ayat (2).

Kuasa hukum terpidana berpendapat bahwa hak-hak yang termuat dalam Pasal 28I ayat (1) termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi, sekalipun dengan Pasal 28J ayat (2). Pemerintah di lain pihak berpendapat bahwa Artikel 28J ayat (2) dapat mengurangi ketentuan pada Artikel 28I ayat (1). Terhadap polemik ini, terdapat beberapa metode interpretasi yang dapat diaplikasikan.

Pertama, dengan menggunakan pendekatan secara harfiah (literal approach), dapat kita simpulkan bahwa pelarangan adanya hukuman mati tidak dinyatakan dimanapun dalam UUD 1945. Oleh karenanya, kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” berdasarkan Pasal 28I ayat (1), tidak dapat langsung diinterpretasikan sebagai pelarangan adanya hukuman mati. Perbandingan dengan Konstitusi Jerman dan Vietnam akan menunjukan bahwa pelarangan hukuman mati didukung secara tertulis dan terekspresikan secara harfiah dari Pasal-Pasal Konstitusinya. Dengan tidak adanya ketentuan demikian dalam Konstitusi Indonesia, hukuman mati sejalan dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945.

Kedua, dengan menggunakan pendekatan teleologi (teleological approach), dapat kita temukan melalui pembukaan UUD bahwa tujuan daripada Negara yaitu pertama kali yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sesuai laporan terakhir, Indonesia memiliki 3,2 juta pemakai narkotika dengan angka kematian sekitar 15.000 jiwa per tahun atau secara rata-rata mengakibatkan 41 kematian setiap harinya, dikarenakan overdosis ataupun penggunaan narkotika yang terkait dengan infeksi AIDS. Negara mempunya kewajiban konstitusional untuk mencegah terjadinya kematian massal ini dan mencegah kemungkinan hilangnya generasi (lost generation) masa depan. Dengan demikian, perlindungan warga negara oleh Negara merupakan hal yang terpenting dan bahkan dapat dikatakan menjadi kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya.

Ketiga, dengan menggunakan metode interpretasi sistematikal (systematical interpretation), maka akan jelas terlihat bahwa Pasal 28J ditempatkan dalam satu Bab dengan Artikel 28I, di mana merupakan hasil amandemen mengenai Bab tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menyakinkan bahwa Pasal 28J dibuat “dalam hubungannya dan kaitannya dengan” Pasal 28I. Kami tidak mempertimbangkan hal tersebut akan tepat bila diinterpretasikan bahwa restriksi terhadap pengimplementasian hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28J terkait dengan lingkup hak-hak selain daripada Pasal 28I.

Lebih lanjut, berdasarkan konstruksi perjanjian sosial (contract social), para pelaku tindak pidana telah dianggap melepaskan hak untuk hidup, yang dilindungi oleh perundang-undangan, dengan melakukan perbuatan yang menghasilkan hilangnya nyawa orang lain. Oleh karena itu, dengan “secara sadar” membunuh orang lain dan menyadari bahwa tindakannya dapat berhujung pada hukuman mati, secara tidak langsung mereka telah memberikan “persetujuan” untuk diancam pidana dengan hukuman mati.

Terdapat juga beberapa pendapat non-hukum yang mendukung adanya hukuman mati, khususnya mengenai “kejahatan sangat serius” (the most serious crime). Tidak terdapat perngertian yang sama di antara negara-negara anggota PBB mengenai hal ini. Walaupun demikian, kita dapat mengaitkannya dengan kesimpulan oberservasi pada Dokumen PBB CCPR/C/79/Add.25 1993, yang menyatakan bahwa “penjatuhan [hukuman mati] … terhadap kejahatan yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, dinyatakan bertentangan dengan Konvensi”.

Dewan Penasehat Forum Ahli Hukum Asia-Pasifik mempertimbangkan bahwa kejahatan yang demikian berlaku bagi kejahatan yang membawa kerusakan terhadap kehidupan manusia. Dalam buku “Internatioal Criminal Law and Human Rights (2003)”, Claire de Than and Edwin Shorts mendefiniskan ruang lingkup dari “kejahatan sangat serius” meliputi ancaman modern seperti misalnya perdagangan obat terlarang dan terorisme.

Kejahatan terkait dengan narkotika merupakan salah satu yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa. Perdebatan ini pun berlanjut terhadap pihak yang terkait dengan narkotika tidaklah “mulai melibatkan dirinya” atas kemauan sendiri. Dari sudut pandang “consequalist”, hal tersebut tidaklah relevan bahwa berbagai kejahatan yang dilakukan “secara sengaja dan sadar”, di mana terdapat hubungan langsung sebab-akibat antara intensitas untuk menghilangkan nyawa dengan konsekuensi dari intensitas tersebut atau hanya dengan “menyadari”, di mana diperkirakan bahwa intensitas untuk menghilangkan nyawa bukanlah manifestasi dari kondisi sebelumnya, selama hal tersebut menghilangkan nyawa orang lain.

Dengan demikian, menghilangkan nyawa dengan memproduksi dan melakukan transaksi narkotika tidaklah lebih ringan kejahatannya daripada membunuh orang secara langsung, sebagaimana para pelaku kejahatan menyadari sepenuhnya atas tindakannya yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Studi perbandingan telah menunjukan bahwa kebanyakan negara-negara pendukung hukuman mati memutuskan untuk menghapus hukuman mati setelah dilakukannya perdebatan penting di ranah publik, yudisial dan legislatif. Dikarenakan dengan posisi de jure hukuman mati, maka apa yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi kejahatan di mana hukuman mati diperbolehkan, dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

***

Pan Mohamad Faiz (http://jurnalhukum.blogspot.com) merupakan pendiri Institute for Indonesian Law and Governance Development.

Mohamad Mova Al Afghani (http://indolawreport.blogspot.com) merupakan pendiri Center for Law Information.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar