Sabtu, 19 Mei 2007

Outsourcing dan Tenaga Kerja

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:

(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *

I. Pendahuluan

Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.

Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2]

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3]

Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.

Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5]

Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.



Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:




  1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?


  2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?


  3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?


II. Definisi Outsourcing

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]

“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)

Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]

“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:




  • penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);


  • pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
    - dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
    - dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
    - merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
    - tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)


  • perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
    perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);


  • perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);


  • hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)


  • hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);


  • bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).


Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]




  • adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;


  • perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;


  • perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;


  • perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.


Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]

IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :

“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]

Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :

”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]




  • Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.


  • Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.


  • Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.


  • Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.


Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]

Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]

Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]

Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :




  1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;


  2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;


  3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;


  4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.


V. Perjanjian dalam Outsourcing

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:




  1. Sepakat, bagi para pihak;


  2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;


  3. Suatu hal tertentu;


  4. Sebab yang halal.


Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:



1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh.

2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.



Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.



Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].



Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.



Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing

Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.

Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]




  1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;


  2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;


  3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.


Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).

Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.



Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.

Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]

VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)

Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.

Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.

VIII. Kesimpulan

Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.



Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.

Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.



***



Ucapan terima kasih disampaikan kepada Chandra K. yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga melalui artikel yang telah ditulisnya di atas.



Catatan Kaki:



[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm

[2] ibid

[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006

[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,

[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.

[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.

[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.

[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.

[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.

[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.

[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.

[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003





[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003

[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.

[17] Ibid., hal.6.

[18] Ibid., hal 7.

[19] Ibid., hal.8

[20] Ibid., hal.5

[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia

[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003

[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003

[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003

[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.





Sabtu, 12 Mei 2007

Penelitian Hukum: Hukuman Mati dan Hak untuk Hidup

HUKUMAN MATI DAN HAK UNTUK HIDUP:
Studi Kritis dengan Perspektif Perbandingan dalam Perdebatan Kontemporer
(India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia)

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xxi + 158 Halaman + Lampiran
Waktu: Mei 2007
Bahasa: Inggris

Tidak ada permasalahan hukum yang lebih mendatangkan banyak reaksi dari masyarakat umum selain perdebatan mengenai hukuman mati. Baik di Indonesia maupun di negara-negara lainnya, sejak dahulu permasalahan ini telah membangkitkan respon dari setiap lapisan masyarakat. Hampir 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman dari sudut pandang sosial, hukum, dan agama. Oleh karenanya, permasalahan ini telah meningkatkan suhu perdebatan hampir di seluruh negara, sehingga menjadi amatlah penting untuk menghadirkan berbagai dimensi signifikansi sesungguhnya dari perspektif keadilan sosial dan hukum. Kebutuhan untuk menghadirkan permasalahan yang klasik ini, dalam kerangka perpaduan yurisprudensi yang progresif dan realisme yang ada, merupakan salah satu yang harus dilakukan jika semangat masyarakat umum, khususnya para pemerhati hukum, terhadap permasalah sosial memang ingin dilayani dengan sungguh-sungguh.

Terhadap pertanyaan mengenai pidana mati terdapat dua arus pemikiran utama; pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan pengahapusan secara keseluruhan. Kecenderungan tren masa kini berada pada posisi pengahapusan, tetapi di saat yang bersamaan juga terdapat berbagai pendapat yang ingin mempertahankan adanya pidana mati. Tidaklah terdapat keraguan bahwa hampir di seluruh dunia telah berkembang pendapat yang condong pada penghapusan pidana mati.

Di Inggris dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukuman mati telah dihapuskan. Sedangkan di beberapa negara lainnya, hukuman mati telah disimpan rapat-rapat dalam suatu ‘peti es’. Di lain pihak, perdebatan serius mengenai penghapusan hukuman mati di India telah berlangsung sangat lama. Bahkan sejak jaman Inggris masih berkuasa di wilayah ini, masyarakat India telah mencoba dengan sangat serius untuk menghapuskan pidana mati. Pada tahun 1931, Gaya Prasad Singh memperkenalkan sebuah rancangan undang-undang (RUU) untuk menghapuskan pidana mati kepada Dewan Legislatif, tetapi gerakan untuk mensirkulasikan rancangan tersebut terhalang setelah Pemerintah yang berkuasa menentangnya. Selepas India memperoleh kemerdekaannya, sebuah rancangan yang serupa kembali disampaikan kepada Lok Sabha (DPR India) oleh Mukand Lal Agarwal, seorang anggota parlemen di tahun 1956, tetapi hal yang sama terjadi yaitu penolakan oleh Pemerintah yang sah.

Akhir-akhir ini, pertanyaan mengenai konstitusionalitas hukuman mati di Indonesia untuk pertama kali dimajukan di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK), di mana ketentuan pidana mati dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dalam pengertian bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Dalam lingkup masyarakat internasional, pengakuan terhadap hukuman mati hampir tidak mempunyai tempat pada masyarakat yang demokratis dan berbudaya. Komisi PBB memberikan tanggapannya sebagai berikut:

“Walaupun hukuman mati belumlah dilarang berdasar hukum internasional, kecenderungan terhadap pelarangan tersebut sangatlah jelas. Diadopsinya Opsional Kedua Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik tahun 1989 yang bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati merupakan pengakuan yang sangat jelas oleh masyarakat internasional terhadap kebutuhan untuk menghilangkan penggunakan pidana mati secara total dan keseluruhan.”

Daftar negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati diharapkan akan bertambah di kemudian hari. Negara-negara anggota Uni Eropa juga diharuskan untuk menghapuskan hukuman mati di dalam hukum nasional mereka. Komisi HAM PBB akhir-akhir ini meminta negara-negara yang masih melaksanakan hukuman mati untuk “menerbitkan penangguhan eksekusi dengan pertimbangan untuk mengapuskan hukuman mati secara keseluruhan”

Dengan berkembangnya konsensus masyarakat internasional yang melawan hukuman mati, beberapa negara retensionis, yaitu negara yang masih menerapkan hukuman mati, menjadi semakin terisloasi akibat komitmennya terhadap hukuman mati. Indonesia, sebagai salah satu negara retensionis, telah meratifikasi berbagai instrument HAM internasional seperti Kovenan Internasional terhadap Hak Sipil dan Politik, tetapi tidak diikuti dengan penghapusan hukuman mati sebagaimana telah dilakukan oleh banyak negara lainnya, seperti misalnya Afrika Selatan melalui Mahkamah Konstitusinya, dengan suara bulat menyatakan pada tahun 1995 bahwa hukuman mati untuk tindak pidana pembunuhan melanggar Konstitusi Afrika Selatan.

Kondisi perdebatan terhadap hukuman mati yang terus berkembang ini, dalil-dalil teologi terkadang menjadi terlempar bersama-sama dengan argumentasi filosofi, sejarah, politik, yudisial, emosional, dan pendapat pragmatik yang mengakibatkan hasilnya hampir tidak berhujung. Pemahaman yang terkadang tidak dapat disandingkan satu sama lainnya ini membawa tekanan diskusi dan mencapai pembahasan yang cukup sulit.

Dalam konteks ini, penelitian hukum singkat ini mencoba untuk menjelaskan mengenai berbagai pandangan yang berbeda mengenai hukuman mati dari beberapa negara pilihan, yaitu India, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Indonesia. Hal ini didasari, pertama, India dipilih karena mereka telah mempertahankan penjatuhan hukuman mati sejak waktu yang sangat lama. Berbagai perkara dan yurisprudensi yang terkait dengan hukuman mati dari negara ini telah memberikan pespektif yang sangat luas sebagai salah satu negara retensionis. Kedua, Amerika Serikat, dikenal sebagai pelopor lahirnya demokrasi modern dan juga negara penjunjung hak asasi manusia, mempunyai pengalaman yang sangat unik terhadap hukuman mati. Di negara tersebut, hampir sepertiga negara bagiannya telah menghapuskan hukuman mati dalam praktiknya, sedangkan negara bagian lainnya masih mempertahankan hukuman mati sebagai salah bentuk jenis penghukumannya. Dari persepektif mereka, kita akan dapat menemukan sudut pandang baik itu pendapat kalangan retensionis maupun kalangan abolisionis

Ketiga yaitu Uni Eropa yang telah menghapuskan hukuman mati secara total di wilayahnya. Penghapusan terhadap ketentuan hukuman mati merupakan salah satu syarat yang sangat penting bagi negara yang ingin bergabung untuk menjadi negara anggota Uni Eropa. Oleh karena itu, dari sudut pandang Uni Eropa kita akan dapat menemukan banyak pendapat yang menentang hukuman mati. Terakhir, Indonesia, yaitu negara yang masih berada di persimpangan jalan terkait dengan ketentuan hukuman mati. Tidak terlalu banyak diskusi yang pernah dilakukan secara intensif dan cukup serius dalam permasalahan ini. Praktik penjatuhan hukuman mati masih tetap dijalankan, tetapi banyak juga di antara terpidana yang telah dijatuhi pidana mati menderita akibat penundaan dari adanya eksekusi tersebut. Beberapa bulan yang lalu, perdebatan mengenai pidana mati kembali muncul ketika sekolompok terpidana hukuman mati mengajukan permohonan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia guna melawan ketentuan-ketentuan hukuman mati pada UU tentang Narkotika yang dijadikan landasan oleh pengadilan pidana untuk menjatuhkan hukuman kepada mereka.

Penelitian ini akan memberikan perhatian lebih dalam analisa yuridis dibandingkan dengan aspek filosofis maupun emosional. Oleh karenanya, hal tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan, memeriksa, dan menganalisa seluruh instrumen hukum yang terkait dengan ketentuan hukuman mati dimulai dari kerangka internasional, konstitusi, hingga hukum nasional di masing-masing negara. Penelitian hukum ini juga menguraikan kasus-kasus penting berikut putusannya untuk dianalisa dalam rangka memperoleh pemahaman yang sama dalam perspektif respon hukum terhadap hukuman mati.

Berangkat dari hal tersebut, dikarenakan diskusi pembahasan mengenai hukuman mati merupakan tema yang sangat luas, maka pembatasan akan ruang lingkup dan tujuan penulisan akan memberikan pijakan yang jelas terhadap pembahasan berikut. Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:


  1. Menjelaskan perbandingan pemikiran dan berbagai argumentasi mengenai hukuman mati dari perspektif yang universal dengan referensi khusus pada negara India, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia;

  2. Menemukan dan menganalisa ketentuan hukum, baik itu di tingkat internasional, regional, maupun nasional untuk menjawab diperkenankan atau tidaknya hukuman mati berdasarkan hukum yang berlaku;

  3. Akhir dari kesimpulan ini akan disampaikan sebagai rekomendasi tambahan kepada Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang masih dan sedang memeriksa perkara permohonan pengujian undang-undang mengenai hukuman mati sejak tanggal 1 Februari 2007 yang lalu.


Adapun untuk memudahkan pembahasan, penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa Bab dan Bagian sebagai berikut:


“DEATH PENALTY AND RIGHT TO LIFE:
A Critical Study with Comparative Analysis in the Contemporary Debate
(India, United State, European Union and Indonesia)”


ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
TABLE OF CASES
ABSTRACT


CHAPTER I: INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Conceptual Definitions
1.4.1. Death Penalty
1.4.2. Right to Life
1.4.3. Punishment
1.5. Structure of Research Paper

CHAPTER II: THE CONCEPT OF RIGHT TO LIFE
2.1. Overview
2.2. Meaning of Right to Life

CHAPTER III: INTERNATIONAL PERSPECTIVES ON DEATH PENALTY

PART I: WORLDWIDE DEVELOPMENT
3.1. Overview
3.1.1. Global Distribution of Death Penalty
3.1.2. Public Opinion
3.1.3. International Organisations
3.2. History of Capital Punishment
3.3. Death Penalty Debate
3.2.1. Retributive Aspect
3.2.2. Deterrent Aspect
3.2.3. Brutal Aspect
3.2.4. Unjust Aspect
3.2.5. Circumstantial Aspect

PART II: INTERNATIONAL FRAMEWORK
3.1. Universal Declaration of Human Rights
3.2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
3.3. Second Optional Protocol of ICCPR
3.4. Economic and Social Council
3.5. Limitations on Death Penalty
3.5.1. Lawful Sanctions
3.5.2. Only for Most Serious Crimes
3.5.3. Non Retroactive
3.5.4. Young Person under 18 Years of Age and Pregnant Mother

CHAPTER IV : CONSTITUTIONAL ASPECTS OF DEATH PENALTY IN INDIA
4.1. Judicial Decision in India
4.2. Constitutional Validity of Death Penalty
4.2.1. Presumption of Reasonableness
4.2.2. Equality Guarantee
4.2.3. Fair and Just Restriction on Life and Liberty
4.2.4. Human Dignity
4.3. Statutory Basis for Capital Punishment
4.3.1. Under Indian Penal Code (I.P.C.)
4.3.2. Under Other Laws
4.3.2.1. The Arms (Amendment) Act, 1988
4.3.2.2. The Narcotic Drugs and Psychotropic Substances (Amendment) Act, 1988
4.3.2.3. The Schedule Caste and the Schedule Tribe (Prevention of Atrocities) Act, 1989
4.3.2.4. The Prevention of Terrorism Act, 2002

CHAPTER V: UNITED STATES AND EUROPEAN UNION EXPERIENCE ON DEATH PENALTY

PART I: UNITED STATES
5.1. Introduction
5.2. History
5.3. Constitutionality of Death Penalty
5.3.1. Suspending
5.3.2. Reinstating
5.4. Limitations on the Death Penalty
5.4.1. Mental Illness and Mental Retardation
5.4.2. Race
5.4.3. Juveniles
5.5. Legal Process
5.5.1. Capital Sentencing
5.5.2. Direct Review
5.5.3. State Collateral Review
5.5.4. Federal Habeas Corpus
5.5.5. Section 1983 Challenges
5.6. Method of Execution
5.6.1. Hanging
5.6.2. Firing Squad
5.6.3. Electrocution
5.6.4. Gas Chamber
5.6.5. Lethal Injection

PART II: EUROPEAN UNION
5.1. Introduction
5.2. European Union Action Against the Death Penalty
5.2.1. Political Action
5.2.2. International For a
5.2.3. Country Case and Demarches
5.3. Treaty and Congress Relating to Death Penalty
5.3.1. Treaties relating to Death Penalty
5.3.2. The Third World Congress against Death Penalty

CHAPTER VI: DEATH PENALTY IN INDONESIA
6.1. Introduction
6.2. History of Death Penalty
6.3. Controversy of Death Penalty in Indonesia
6.3.1. Against the Death Penalty
6.3.2. Favour on the Death Penalty
6.4. Provision for the Death Penalty in Indonesian Laws
6.4.1. Act No 26 of 2000 on Human Rights Court
6.4.2. Act No 15 of 2003 on Combating Criminal Acts of Terrorism
6.4.3. Acts on Psychotropic Drugs and Narcotics
6.4.4. Recent Calls for the Death Penalty in Other Legislations
6.5. Amnesty International Report for Indonesia
6.5.1. Unfair Trials
6.5.2. Lack of Deterrent effect
6.5.3. Lack of Access to Lawyer
6.5.4. Torture
6.5.5. Amnesty International Recommendations
6.6. Constitutionality of Death Penalty
6.6.1. Background of Judicial Review
6.6.2. Court Hearing
6.6.3. Analysis on the Case
6.6.3.1. Constitutionality Aspect
6.6.3.2. Narcotic as ‘Most Serious Crime’

CHAPTER VII: CONCLUSION AND SUGGESTION
7.1. Conclusion
7.1.1. Comparative Perspectives on Death Penalty
7.1.2. Against and Favour of Death Penalty
7.1.3. International and Constitutional Obligation
7.2. Suggestion
7.2.1. Uncertainty on the Definition of Most Serous Crime
7.2.2. Restricting the Offences

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE


Sebagimana penelitian hukum saya lainnya, pada kali ini tentunya saya juga berharap bahwa penelitian yang sederhana ini dapat menjadi materi yang bermanfaat bagi perkembangan hukum positif di tanah air. Kritisasi terhadap hasil penelitian ini juga sangat disambut baik demi mempersembahkan hasil penelitian yang lebih baik di masa yang akan datang, sebab saya pun menyadari tentunya penelitian ini tidak luput dari kekurangan, khususnya yang bersifat omisi. Kepada siapa pun yang berminat untuk membaca keseluruhan dari penelitian ini, mereka dapat mengajukan permintaan dengan menuliskan permohonan dan tujuan penggunaannya pada fasilitas tanggapan yang telah disediakan di bawah artikel ini ataupun secara langsung dengan mengirimkan email kepada penulis melalui pan.mohamad.faiz@gmail.com.

Akhir kata saya ucapkan: “Selamat Membaca dan Terus Berkarya”

Salam Hangat,
New Delhi


Jumat, 04 Mei 2007

Narkotika dan Hukuman Mati

PERDEBATAN KONSTITUSIONALITAS HUKUMAN MATI
* Pan Mohamad Faiz (India)
** Mohamad Mova Al’Afghani (Jerman)
Note: Dimuat pada Jakarta Post (04/05/07) --- Terjemahan.
Perdebatan mengenai hukuman mati kembali mengemuka ketika sekelompok terpidana hukuman mati mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) di hadapan Mahkamah Konstitusi terhadap pasal-pasal yang memuat ketentuan hukuman mati di dalam UU Narkotika, di mana menjadi dasar hukum penjatuhan pidana terhadap mereka. Hampir sebanyak 130 negara di dunia telah melakukan penghapusan hukuman mati, sementara sisanya, termasuk Indonesia, masih tetap menggunakannya.

Para Pemohon beragumentasi bahwa hukuman mati merupakan penyangkalan dari “hak untuk hidup” (right to life) sebagaimana telah dijamin oleh Pasal 28A dan 28I UUD 1945. Berdasarkan instrumen hak asasi manusia internasional, seperti misalnya Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), hak untuk hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Indonesia merupakan salah satu negara anggota ICCPR, namun tidak ikut serta dalam protokol opsionalnya. Para kuasa hukum Pemohon mengemukakan bahwa UUD 1945 senantiasa mengikuti materi ICCPR, oleh karenya UUD 1945 harus ditafsirkan secara bersamaan dengan ICCPR.

ICCPR sendiri tidak melarang mengenai kemungkinan adanya penjatuhan hukuman mati, di mana hal ini berbeda dengan protokol opsionalnya. Dikarenakan Indonesia bukanlah negara anggota dari protokol opsional ICCPR, praktik hukuman mati diyakini tidak akan bertentangan dengan kewajiban internasional dalam ICCPR, selama perlakuan terhadap terdakwa hukuman mati dan pengeksekusiannya dilaksanakan berdasarkan standar internasional yang berlaku.

Menjadi permasalahan berikutnya mengenai interpretasi konstitusi (constitutional interpretation). Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, tetapi Pasal 28J ayat (2) menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang … sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Perdebatan berlanjut apakah penerapan Pasal 28I ayat (1) – dikarenakan adanya frase “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” – merupakan hal yang “non-derogable”, termasuk terhadap pengecualian pada Pasal 28J ayat (2).

Kuasa hukum terpidana berpendapat bahwa hak-hak yang termuat dalam Pasal 28I ayat (1) termasuk dalam kategori hak-hak yang tidak dapat dikurangi, sekalipun dengan Pasal 28J ayat (2). Pemerintah di lain pihak berpendapat bahwa Artikel 28J ayat (2) dapat mengurangi ketentuan pada Artikel 28I ayat (1). Terhadap polemik ini, terdapat beberapa metode interpretasi yang dapat diaplikasikan.

Pertama, dengan menggunakan pendekatan secara harfiah (literal approach), dapat kita simpulkan bahwa pelarangan adanya hukuman mati tidak dinyatakan dimanapun dalam UUD 1945. Oleh karenanya, kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” berdasarkan Pasal 28I ayat (1), tidak dapat langsung diinterpretasikan sebagai pelarangan adanya hukuman mati. Perbandingan dengan Konstitusi Jerman dan Vietnam akan menunjukan bahwa pelarangan hukuman mati didukung secara tertulis dan terekspresikan secara harfiah dari Pasal-Pasal Konstitusinya. Dengan tidak adanya ketentuan demikian dalam Konstitusi Indonesia, hukuman mati sejalan dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945.

Kedua, dengan menggunakan pendekatan teleologi (teleological approach), dapat kita temukan melalui pembukaan UUD bahwa tujuan daripada Negara yaitu pertama kali yaitu “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sesuai laporan terakhir, Indonesia memiliki 3,2 juta pemakai narkotika dengan angka kematian sekitar 15.000 jiwa per tahun atau secara rata-rata mengakibatkan 41 kematian setiap harinya, dikarenakan overdosis ataupun penggunaan narkotika yang terkait dengan infeksi AIDS. Negara mempunya kewajiban konstitusional untuk mencegah terjadinya kematian massal ini dan mencegah kemungkinan hilangnya generasi (lost generation) masa depan. Dengan demikian, perlindungan warga negara oleh Negara merupakan hal yang terpenting dan bahkan dapat dikatakan menjadi kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya.

Ketiga, dengan menggunakan metode interpretasi sistematikal (systematical interpretation), maka akan jelas terlihat bahwa Pasal 28J ditempatkan dalam satu Bab dengan Artikel 28I, di mana merupakan hasil amandemen mengenai Bab tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut menyakinkan bahwa Pasal 28J dibuat “dalam hubungannya dan kaitannya dengan” Pasal 28I. Kami tidak mempertimbangkan hal tersebut akan tepat bila diinterpretasikan bahwa restriksi terhadap pengimplementasian hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28J terkait dengan lingkup hak-hak selain daripada Pasal 28I.

Lebih lanjut, berdasarkan konstruksi perjanjian sosial (contract social), para pelaku tindak pidana telah dianggap melepaskan hak untuk hidup, yang dilindungi oleh perundang-undangan, dengan melakukan perbuatan yang menghasilkan hilangnya nyawa orang lain. Oleh karena itu, dengan “secara sadar” membunuh orang lain dan menyadari bahwa tindakannya dapat berhujung pada hukuman mati, secara tidak langsung mereka telah memberikan “persetujuan” untuk diancam pidana dengan hukuman mati.

Terdapat juga beberapa pendapat non-hukum yang mendukung adanya hukuman mati, khususnya mengenai “kejahatan sangat serius” (the most serious crime). Tidak terdapat perngertian yang sama di antara negara-negara anggota PBB mengenai hal ini. Walaupun demikian, kita dapat mengaitkannya dengan kesimpulan oberservasi pada Dokumen PBB CCPR/C/79/Add.25 1993, yang menyatakan bahwa “penjatuhan [hukuman mati] … terhadap kejahatan yang tidak mengakibatkan hilangnya nyawa, dinyatakan bertentangan dengan Konvensi”.

Dewan Penasehat Forum Ahli Hukum Asia-Pasifik mempertimbangkan bahwa kejahatan yang demikian berlaku bagi kejahatan yang membawa kerusakan terhadap kehidupan manusia. Dalam buku “Internatioal Criminal Law and Human Rights (2003)”, Claire de Than and Edwin Shorts mendefiniskan ruang lingkup dari “kejahatan sangat serius” meliputi ancaman modern seperti misalnya perdagangan obat terlarang dan terorisme.

Kejahatan terkait dengan narkotika merupakan salah satu yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa. Perdebatan ini pun berlanjut terhadap pihak yang terkait dengan narkotika tidaklah “mulai melibatkan dirinya” atas kemauan sendiri. Dari sudut pandang “consequalist”, hal tersebut tidaklah relevan bahwa berbagai kejahatan yang dilakukan “secara sengaja dan sadar”, di mana terdapat hubungan langsung sebab-akibat antara intensitas untuk menghilangkan nyawa dengan konsekuensi dari intensitas tersebut atau hanya dengan “menyadari”, di mana diperkirakan bahwa intensitas untuk menghilangkan nyawa bukanlah manifestasi dari kondisi sebelumnya, selama hal tersebut menghilangkan nyawa orang lain.

Dengan demikian, menghilangkan nyawa dengan memproduksi dan melakukan transaksi narkotika tidaklah lebih ringan kejahatannya daripada membunuh orang secara langsung, sebagaimana para pelaku kejahatan menyadari sepenuhnya atas tindakannya yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.

Studi perbandingan telah menunjukan bahwa kebanyakan negara-negara pendukung hukuman mati memutuskan untuk menghapus hukuman mati setelah dilakukannya perdebatan penting di ranah publik, yudisial dan legislatif. Dikarenakan dengan posisi de jure hukuman mati, maka apa yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi kejahatan di mana hukuman mati diperbolehkan, dengan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

***

Pan Mohamad Faiz (http://jurnalhukum.blogspot.com) merupakan pendiri Institute for Indonesian Law and Governance Development.

Mohamad Mova Al Afghani (http://indolawreport.blogspot.com) merupakan pendiri Center for Law Information.



Rabu, 02 Mei 2007

Anggaran Pendidikan Inkonstitusional

POLEMIK INKONSTITUSIONALITAS ANGGARAN PENDIDIKAN
Oleh: Pan Mohamad Faiz* (New Delhi)

Note: Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)

Hitam-putih potret pendidikan Indonesia kembali mewarnai momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional. Berbagai peristiwa nonpekerti seperti misalnya kecurangan UN oleh para tenaga pendidik bak awan pekat yang menyelimuti pendidikan bangsa ini. Di lain pihak, berbagai prestasi gemilang mampu diukir putra-putri terbaik Indonesia di pentas internasional, sebutlah salah satunya aksi Mahasiswi Indonesia yang mampu merebut the best oralist peradilan semu internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Lalu dimanakah sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita selama ini?

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Oleh karenanya, putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan tanggal 1 Mei lalu dengan menyatakan bahwa pengalokasian anggaran pendidikan oleh pemerintah sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, merupakan “kado istimewa” di suasana hari pendidikan nasional.

Namun demikian, hal tersebut akanlah menjadi sekedar “kartu ucapan” kosong tatkala pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional di masa yang akan datang. Pasalnya, inilah putusan ketiga yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah terkait dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Dua buah “kartu kuning” yang telah dikeluarkan sebelumnya, rupanya tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pemerintah seakan-akan selalu berlindung di balik kelemahan putusan yang tidak mempunyai sanksi hukum tegas bila tidak dilaksanakan (lex imperpecta).

Lemahnya Komitmen

Terhadap anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab di saat yang bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain tidak dipatuhinya dua kali putusan Mahkamah, lemahnya komitmen ditunjukan pula dengan terjadinya perubahan skenario anggaran secara sepihak terhadap kesepakatan yang pernah dibuat antara Pemerintah dengan komisi Komisi X DPR RI. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD RI berdasarkan Keputusan No. 26/DPD/2006 agar pemerintah berupaya menggunakan sisa anggaran tahun lalu sebesar 57 triliun untuk anggaran pendidikan tidak juga direspon dengan cukup baik. Begitu pula dengan surat khusus yang disampaikan oleh Sekjen Education International (EI), Fred van Leuwen, kepada Presiden yang sengaja “menyentil” kebijakan pemerintah dengan membandingkan anggaran pendidikan negara tetangga yaitu Malaysia (20%) dan Thailand (27%), belum juga berbuah hasil. Indikasi lemahnya komitmen ini juga dirasakan oleh Mahkamah dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal.

Aktifisme Konstitusional

Daya upaya segenap pihak yang peduli akan nasib pendidikan bangsa ini telah dilakukan lewat berbagai cara. Tetapi lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Perlu usaha ekstra keras untuk mewujudkan cita-cita para founding fathers dalam hal pemenuhan anggaran pendidikan ini. Agar hal tersebut bukan sekedar menjadi impian semu para generasi mendatang, cara-cara konvensional harus pula ditunjang dengan aktifisme konstitusional (constitutional activism) lainnya.

Kesatu, dalam hal memperjuangkan hak pendidikan melalui ranah yudisial – khususnya dalam bidang anggaran – hingga saat ini masyarakat masih terpaku pada pergulatan di arena Mahkamah Konstitusi. Padahal sebenarnya, upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung.

Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui pintu Pasal I Angka 20 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU Sisdiknas telah termaktub juga berbagai hak warga negara guna memperoleh pembebasan biaya pada jenjang pendidikan dasar (Pasal 34), kewajiban dan jaminan dari Pemerintah Daerah atas tersedianya dana pendidikan untuk warga negara berusia 7 s.d.15 tahun (Pasal 6), Pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBD (Pasal 49), serta berbagai jaminan pendidikan lainnya.

Praktik yudisial seperti ini sudah sangatlah lazim dilakukan di pengadilan India. Sehingga kunci pemerataan kesempatan dan pesatnya pendidikan India juga dimotori oleh dukungan putusan Pengadilannya. Bahkan dalam putusan terakhirnya (29/03), Mahkamah Agung India mampu memutuskan untuk menyediakan reservasi bangku perguruan tinggi ternama sebesar 27% khusus kepada kelas masyarakat terbelakang (other backward classes).

Kedua, alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RUU APBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidaklah dapat diterima. Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang dinanti rakyat banyak. Sebab bagaimanapun juga anggaran adalah hasil bersama antara Pemerintah dengan DPR secara institusional.

Kewenangan legislative review yang dimilik oleh mereka seharusnya dapat difungsikan secara maksimal. Jikapun mereka benar-benar mau memperjuangkan aspirasi rakyatnya, terhadap kondisi yang sangat memperhatinkan ini, maka patutlah sesegera mungkin untuk membentuk Pansus Anggaran Pendidikan guna mengatasi berlarut-larutnya pelanggaran konstitusi secara berjamaah ini.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai ”pengawal konstitusi” harus pula ditafsirkan sebagai lembaga yang befungsi untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi. Terhadap adanya kemungkinan berulangnya pelanggaran konstitusi yang sama, kiranya Mahkamah harus pula menempuh langkah untuk mengontrol efektifitas putusannya agar dijalankan oleh Pemerintah.

Berbeda dengan praktik ketatanegaraan Jerman, efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) biasanya ditopang dengan adanya kekuataan oposisi yang mendorong Pemerintah berkuasa untuk melaksanakan putusan Mahkamah. Sayangnya alam demokrasi dan praktik ketatenegaraan seperti ini belum terbangun dengan baik di negara kita. Oleh karenanya, salah satu cara yang dapat ditempuh Mahkamah untuk saat ini yaitu dengan mengingatkan Presiden dan/atau DPR dengan mengirimkan surat resmi sebagaimana pernah dilakukannya dalam kasus BBM beberapa waktu yang lalu.

Ketiga cara tersebut kiranya dapat dipertimbangkan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara terkait. Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi. Karena hanya dengan hal tersebutlah bangsa ini akan bangkit dan keluar dari krisis multi-dimensi yang tengah mendera selama satu dasawarsa terakhir.

Akankah perkataan manis dari pemimpin kita yang mengatakan ”Saya takut jika melanggar Konstitusi” dan bahkan di dalam kesempatan sidang Inter-Parliamentary Union (IPO) juga berani menghimbau seluruh negara di dunia supaya memberikan keseriusan untuk menaikkan anggaran pendidikannya, diikuti pula dengan tindakan dan langkah yang lebih nyata di tahun-tahun mendatang? Kiranya suara hati dari negeri seberang ini dapat terdengung di telinga para pemangku kepentingan di tanah air. Semoga.

***

Penulis adalah Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI India), dapat dihubungi melalui http://panmohamadfaiz.blogspot.com.