PUTUSAN MENYATAKAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA (N.O.)
Guna memudahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui putusan yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005, berikut saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan yang dikategorikan berdasarkan amar putusannya. Semoga hal yang kecil ini dapat memberikan pencerahan konstitusi bagi kita semua.
1. Putusan Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman (PDF).
“Kesalahan Kepentingan Konstitusional oleh Pemohon”
Pemohon dalam perkara ini adalah seorang advokat, yaitu Melur Lubis. Pemohon dalam permohoNomornannya mendalilkan dirinya telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan dalam ayat tersebut telah menempatkan Ketua Pengadilan sebagai pimpinan dan pengawas pelaksanaan putusan pengadilan yang menimbulkan kekuasaan absolute. Kekuasaanabsolut ini menyebabkan timbulnya perbuatan sewenang-wenang dengan berbuat melebihi kekuasaanya seperti terjadi dalam pelaksanaan putusan perkara Nomor. 4080K/PDT/1998 juncto Nomor. 385/PDT/1997/PT.MDN juncto Nomor. 16/PDT-G/1997/PN.PsP.
Dari alat bukti maupun keterangan Pemohon yang diberikan di depan siding Mahkamah terungkap bahwa kerugian konstitusional tidak dialami oleh pribadi Pemohon, melainkan dialami oleh Ny. Badriah Mawar Harapah yang diterangkan telah meninggal dunia dan dilanjutkan oleh ahli warisnya H. Muchtar Siregar. Mk berpendapat bahwa yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya bukanlah menyangkut konstitusionalitas Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga bukan kewenangan MK untuk menilainya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat tidak terdapat kepentingan konstitusional Pemohon secara pribadi yang dirugikan sebagaimana yang didalilkan. Dengan demikian, secara pribadi Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman, oleh karenanya Pemohon dipandang tidak memiliki legal standing sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Putusan Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (PDF).
“Ekses Alat Angkut ‘Illegal Logging’ Bukan Persoalan Konstitusionalitas UU”
Pemohon dalam perkara ini adalah DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat “maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti”. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata “kapal”; dan Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata “termasuk alat angkutnya” dan kata “kapal”.
MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan, kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak terbukti.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, MK berpendapat tidak terdapat kerugian hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan sehingga pemohon harus dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Putusan Perkara Nomor 012/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang APBN 2005 (PDF).
“Anggaran Pendidikan Tahun 2005”
Pemohon dalam perkara ini terdiri dari perorangan warga negara atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan yang sama tersebut karena kelompok orang ini bergerak di dunia pendidikan yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU APBN tahun 2005 karena alokasi anggaran pendidikan tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Para Pemohon mendalailkan UU Nomor. 36 Tahun 2004 yaitu UU APBN 2005 bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidiakan nasional”.
Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 di samping berhubungan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan juga berkaitan dengan APBN, maka MK memandang perlu untuk membahas pula aspek konstitusionalitas dari APBN. Dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan UU. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Namun, pemnbuatan UU APBND berbeda dengan pembuatan UU yang lain, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, sedangkan pada UU yang lain pengujian RUU merupakan kewenangan DPR meskipun dapat juga diajukan oleh Presiden. UU APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan UU lain yang tidak setiap tahun, dan apabila UU APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan.
Untuk menilai permohonan, MK juga perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak memberi batasan apa yang termasuk dalam “anggaran pendidikan”. Dalam usaha untuk menentukan komponen anggaran pendidikan, atas persetujuan bersama Presiden dan DPR telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam anggaran pendidikan adalah pendidikan yang langsung dinikmati oleh masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dana untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasa. Dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, maka secara tiak langsung akan menaikkan jumlah Nomorminal anggaran pendidikan dibandingkan apabila dalam perhitungan anggaran pendidikan tersebut dimasukkan komponen gaji pendidik dan pendidikan kedinasan.
2. MK memutus permohonan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 yang pada amarnya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya pemenuhan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tentang alokasi anggaran 20 persen tidaklah dilakukan secara bertahap. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Meskipun UU APBN telah nyata bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan pengujian UU APBN, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara. Selain itu, dapat pula mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN tahun sebelumnya (tahun 2004) lebih kecil jumlahnya.
Berdasarkan pertimbangan di atas, MK berpendapat bahwa UU APBN tidak bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam amar putusannya MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).
Meskipun setuju dengan amar putusan, namun ada dua orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda), yakni Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., serta dua orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., dan SoedarsoNomor, S.H. menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda).
4. Putusam Perkara Nomor 016/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang (PDF).
“Jarak Ibukota Kabupaten/Kota Jauh, Konsekuensi Logis Pemekaran Wilayah”
Permohonan Perkara ini adalah satu orang yang tergolong sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. Minhad Ryad adalah seorang warga Kalimantan Barat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat dibentuknya Kota Singkawang berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang. Pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji keberlakuan UU tersebut.
Salah satu bentuk kerugian konstitusional Pemohon setlah diberlakukannya UU tersebut, yaitu bahwa jarak ke ibukota kabupaten menjadi lebih jauh. Sekalipun secara factual memang telah terjadi, kendatipun Pemohon dalam kualifikasi sebagai perorangan Warga negara Indonesia memang diakui memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan Kota Singkawang terhadap UUD 1945, tetapi tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakuna UU tersebut. Sehingga, Pemohon tidak dapat dinyatakan memiliki kedudukan hukum legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon. Oleh sebab itu, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar