Sejarah kelam kembali mencatat ketidakberdayaannya Dewan Keamanan PBB mengatasi konflik yang terjadi di Timur-Tengah. Inilah kali keduanya pada tahun yang sama Amerika Serikat melalui juru bicaranya, John Bolton, memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengecam serangan Israel di Gaza yang sedikitnya telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk anak-anak dan beberapa perempuan. Dengan demikian, Amerika kini telah memperpanjang rekor penggunaan hak vetonya guna membendung tindakan internasional terhadap kebrutalan agresi Israel menjadi sebanyak 41 kali dari 82 hak veto yang pernah dikeluarkannya selama ini (Global Policy Forum, 14/10/06).
Kredibilitas Dewan Keamanan kini semakin dipertanyakan, khususnya mengenai keabsahan penggunaan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) anggota tetap Dewan Keamanan. Sinyalemen kuat tersebut setidaknya datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab yang selama ini merasa tidak pernah memperoleh tempat dalam menyampaikan suaranya. Dampak buruk dari peristiwa ini dipastikan akan membawa angin segar bagi pihak Israel bahwa mereka mempunyai legitimasi perlindungan atas hukum guna melanjutkan pembantaian warga palestina melalui agresi-agresi berikutnya.
Reformasi Hak Veto
Penggunaan sistem veto sejak awal pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan Perang Dunia II (A. Mohammed, 2003). Pada saat pendiriannya di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Perancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.
Hingga saat ini, problematika hak veto selalu membayangi legitimasi dari Dewan Kemanan PBB. Dengan “mengantongi” hak veto, maka anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara maupun sekutunya. Sebagai contoh, Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya lebih dari anggota tetap lainnya sejak tahun 1972, khususnya terhadap resolusi yang ditujukan bagi Israel. Terlebih lagi sejak 26 Juli 2002, negara adidaya tersebut mengumandangkan doktrin Negroponte, dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Kemanan yang berusaha untuk menghukum Israel. Inilah salah satu kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto.
Di sisi lain, para perwakilan negara-negara di PBB juga acapkali mengungkapkan bahwa di antara anggota tetap selalu saling mengancam untuk menggunakan hak veto-nya dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali memperdulikan ada-tidaknya anggota tidak tetap lainnya. Praktek inilah yang biasa disebut dengan istilah “closet veto” (Celline Nahory, 2004).
Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sistem dan struktur yang ada pada Dewan Keamanan saat ini haruslah segera direformasi. Sejak pertengahan 90-an, The Non-Aligned Movement telah berungkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto, sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka menggunakan hak veto tersembunyi secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti legitimasi, dan seringkali efektivitasnya dirasakan sangat menyedihkan. Oleh karenanya, salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu berupaya untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam percaturan politik global.
Tantangan Indonesia
Melihat kondisi seperti ini, nampaknya Indonesia yang baru saja terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, akan menemui jalan terjal untuk berperan banyak dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya terhadap pasang-surutnya konflik yang terjadi di wilayah Timur-Tengah. Padahal, peran Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB akan sangat diharapkan oleh negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia dipandang sebagai wakil dari negara berkembang dan juga wakil dari negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI, mengingat latar belakang negara Indonesia adalah sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Dua tahun masa keanggotaan bukanlah waktu yang cukup lama, sebab meninjau pengalaman negara-negara anggota tidak tetap selama ini, setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk mendapatkan “sense and feeling” untuk bergerak di Dewan Keamanan. Terlebih lagi jika harus bersuara dalam forum pertemuan ataupun berdialog langsung dengan lima negara anggota tetap lainnya yang notabennya sudah puluhan tahun mempunyai pengalaman bersilat lidah dalam forum yang tetap dan sama itu.
Dalam dua tahun kedepan jua lah dapat dipastikan menjadi batu ujian bagi Indonesia dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh negara-negara anggota PBB selama ini. Kiranya secepat mungkin Indonesia harus membangun jaringan dengan negara-negara anggota tidak tetap lainnya, termasuk terhadap publik internasional yang selama ini selalu memberikan dukungan bagi negara-negara independen sekelas Indonesia. Terkait dengan rencana kunjungan Bush ke Indonesia, terlepas dari jadi atau tidaknya, semoga hal tersebut tidak ikut menjinakan integritas dan independensi Indonesia di forum Dewan Keamanan, namun justru memberikan sinyalemen kuat kepada dunia bahwa ke depannya peran Indonesia benar-benar sangat diperhitungkan dalam pentas internasional, khususnya oleh “veto power” seperti Amerika Serikat sekalipun.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi, New Delhi.
Rabu, 15 November 2006
Hak Veto, Mesin Perang Amerika Serikat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar