Kamis, 30 November 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian III - Habis): “Permohonan Dikabulkan”

INTISARI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TAHUN 2005:
“Permohonan Dikabulkan”

Amandemen terhadap UUD 1945 telah membawa banyak perubahan pada sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya hadirnya Lembaga (tinggi) Negara Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal dan penafsir tunggal UUD 1945. Berbagai putusan yang bermuara dengan dikabulkannya permohonan telah banyak dijatuhkan oleh lembaga tersebut, khususnya terhadap permohonan pengujian undang-undang (judicial review) terhadap UUD 1945. Akibat dikabulkannya permohonan ini, maka Pasal dan/atau Bagaian yang diuji dari suatu UU akan menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi warga negara.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung di dalam dunia hukum untuk mengetahui latar belakang dan apa saja Pasal dan/atau Bagian dari UU yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Jangan sampai ketentuan yang sudah dinyatakan oleh Mahkamah sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat, masih digunakan dalam penerapan hukum sehari-hari, seperti misalnya kasus penahanan seorang konsultan hukum di daerah Jawa Tengah yang masih didalilkan berdasarkan Pasal yang sebenarnya sudah tidak berlaku lagi.

Tulisan ini sengaja menguraikan intisari dari setiap Putusan tahun 2005 dengan amar “Permohonan Dikabulkan”, sehingga memudahkan siapapun untuk mengetahui secara singkat dan cepat tanpa harus membaca keseluruhan isi Putusan yang biasanya mencapai ratusan halaman. Semoga dengan memahami secara sederhana akan putusan-putusan berikut, akan pula menimbulkan kesadaran akan hak-hak konstitusional kita lainnya yang secara tegas telah dijamin dalam UUD 1945. Bilamana dilanggar, maka kita sudah tahu betul instrumen hukum apa yang harus kita tempuh dan lewati, yaitu salah satunya dengan jalan mengajukan upaya judicial review ke hadapan Mahkamah Konstitusi. Selamat membaca!

A. PERMOHONAN DIKABULKAN SELURUHNYA

1. Putusan Perkara 067/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung (PDF).

• “Advokat Tidak Diawasi Oleh Pemerintah dan DPR”.

Perkara ini diajukan oleh Dominggus Maurits Luitnan, S.H., L.A. Lada, S.H., dan H. Ali Tjasa, S.H., M.H., yang ketiga-tiganya berprofesi sebagai advokat. Pada nantinya Pemohon secara khusus meminta MK menguji ketentuan Pasal 36 (beserta penjelasannya) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) terhadap UUD 1945. Pasal 36 UU MA berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris.” Pasal 36 UU MA telah menimbulkan tidak terdapatnya persesuaian dengan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan sejumlah UU lain. Sesungguhnya Pasal 54 UU Nomor 2 Tahun 1986 (diubah oleh UU Nomor 8 Tahun 2004) yang mengatur tentang pengawasan terhadap advokat telah dicabut secara menyeluruh oleh UU Jabatan Notaris. Dengan demikian secara tidak langsung juga berarti telah mengubah ketentuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 juncto UU Nomor 5 Tahun 2004. Perubahan tersebut membawa implikasi yuridis bahwa pengawasan terhadap advokat yang sebelumnya dilakukan oleh MA dan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang berada di bawahnya, sudah tidak berlaku lagi. Dalm hal ini yang berlaku adalah ketentuan ayat (1) yang menyatakan, “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh organisasi Advokat,” sementra pada ayat (2)-nya dikatakan, “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan analisa dan alur berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun MK tidak menemukan adanya hak konstitusional para Pemohon yang dilanggar dengan tidak diubahnya ketentuan Pasal 36, namun di pihak lain, telah nyata bahwa pembentuk undang-undang tidak cermat dalam melaksanakan kewenangannya. Ketidakcermatan tersebut berakibat pada timbulnya inkonsistensi antara satu undang-undang dengan UU lainnya. Sehingga terlepas dari kekurangan para Pemohon dalam membangun argumentasi guna mendukung dalil-dalilnya, MK bekesimpulan bahwa ketidakcermatan dalam proses perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 menjadi UU Nomor 5 Tahun 2004, yang tidak mengubah Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 dimaksud, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Setelah berlakunya Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka keberadaan dan keberlakuan Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan oleh karenanya permohonan para Pemohon harus dikabulkan.

Meskipun MK berpendirian Pasal 36 UU Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945, pendirian MK tersebut tidak dimaksudkan untuk diartikan bahwa Advokat sama sekali terlepas dari pengawasan pihak-pihak lain.

MK menilai bahwa pengawasan terhadap suatu profesi, lebih-lebih yang fungsinya melayani kepentingan public, adalah suatu keniscahyaan, bahkan dapat dikatakan merupakan hal yang bersifat melekat (inherent) pada profesi itu sendiri. Sehingga, pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi suatu profesi yang melayani kepentingan public dimaksud merupakan kebutuhan sekaligus keharusan agar public yang dilayani oleh profesi itu tidak dirugikan. Oleh karena itu, independensi atau kemandirian suatu profesi tidak boleh diartikan bebas dari pengawasan. Namun, pengawasan juga tidak boleh diartikan sedemikian rupa sehingga sulit dibedakan dengan campur tangan yang terlalu jauh yang megakibatkan seseorang yang menjalankan suatu profesi, dalam hal ini profesi advokat, menjadi terhambat dalam melaksanakan fungsinya secara independent.

2. Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Penjelasan UU Tidak Boleh Membuat Norma Baru”.

Perkara pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU Pemda) diajukan oleh beberapa pihak yang bertindak selaku perorangan dan kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama maupun sebagai pihak yang mewakili badna hukum (partai politik). Dalam hal mewakili partai politik, para Pemohon adalah Ketua DPD dari 12 perwakilan (cabang) partai politik yang berada di Sulawesi Utara.

Para Pemohon meminta MK untuk melakukan pengujian atas Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda. Ketentuan penjelasan Pasal 59 ayat (1) disinyalir oleh Pemohon justru membuat ketentuan baru yang berbeda dengan ketentuan dalam” Pasal 59 UU Pemda itu sendiri. Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda yang berbunyi, “Partai Politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai politik atau gabungan partai poltik yang memiliki kursi di DPRD” telah menegasikan atau menghilangkan substansi norma (batang tubuh) Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. Padahal menurut Para Pemohon, Pasal 59 ayat (1) yang berbunyi, “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai atau gabungan partai politik” dan ayat (2) yang berbunyi, “Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen ) dari akumulasi perolehan suara sah dalam kepemilikan umum anggota DPRD yang bersangkkutan” sudah jelas substansinya.

Setelah menimbang berdasarkan dalil para Pemohon dan keterangan para ahli setelah dibandingkan dengan keterangan Pemerintah dan DPR serta dokumen-dokumen lainnya, tampak jelas bagi MK bahwa sesungguhnya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda memang bertentangan dengan norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2), dan bahkan telah dengan jelas mengatur bahwa yang boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah adalah partai politk atau gabungan partai politik yang memperoleh 15% kursi di DPRD “atau” yang memperoleh 15% akumulasi suara dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kata “atau” dalam Pasal 59 ayat (2) merujuk pada alternative di antara dua pilihan merupakan sikap akomodatif terhadap semangat demokrasi sehingga memungkinkan bagi calon dari partai yang tidak memiliki kursi di DPRD tetapi memilki akumulasi seuara 15% maupun calon independent yang diajukan oleh partai atau gabungan partai untuk turut serta dalam Pilkada langsung.

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagu pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004.

Kebiasaan tersebut ternyata telah diabaikan oleh pembentuk undang-undang dalam merumuskn Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda. Hal ini tampak dari fakta bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) tersebut secara nyata telah memuat norma baru yang berbeda maknanya denga norma yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2).

Terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari suatu UU dan penjelasannya mengandung inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda sehingga menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaan. Adanya keragu-raguan dalam implementasi suatu UU akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Adanya Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Pemda secara nyata telah mengilangkan hak para Pemohon untuk dipilih sebagai kepala daerah yang telah dijamin secara tegas dalam rumusan Pasal 59 ayat (2). Hak konstitusional para Pemohon untuk berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan telah dijabarkan dalam Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU Pemda ternyata dihilangkan oleh Penjelasan Pasal 59 ayat (1). Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa Penjelasan Pasal 59 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

B. PERMOHONAN DIKABULKAN SEBAGIAN

1. Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Antara Pilkada Langsung dan Pemilihan Umum”.

Secara keseluruhan, para Pemohon dalam perkara ini mengajukan pengujian terhadap Pasal-Pasal UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda yang terdiri atas 10 (sepuluh) butir yaitu Pasal 1 angka 21 sepanjang menyangkut anak kalimat, “… yang diberik wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota”, Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat “… dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; Pasal 66 ayat (3) huruf e; Pasal 67 ayat (1) huruf e; Pasal 62 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat “… oleh DPRD”; Pasal 89 ayat (3) sepanjang menyangkut anak kalimat, “…diatur dalam Peraturan Pemerintah”; Pasal 94 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … berpedoman pada Peraturan Pemerintah”; dan Pasal 114 ayat (4) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … diatur dalam Peraturan Pemerintah”, UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 22E ayat (5).

Terhadap dasar-dasar dalil dan permohonan para pemohon tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Terhadap permohonan para Pemohon untuk menyatakan anak kalimat pada Pasal 1 angka 21 UU Pemda, Mahkamah berpendapat bahwa anak kalimat tersebut justru untuk menjelaskan maksud pembuat undang-undang menetapkan KPU provinsi, kabupaten.kota berfungsu sebagai pelaksanan tugas KPUD. Jika anak kalimat tersebut dihilangkan berarti dalam penyelenggaraan Pilkada, KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan Pilkada yang dilaksanakan oleh KPU provinsi, kabupaten.kota, padahal pengertian demikian bukanlah yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang.
2. Terhadap permohonan para Pemohon mengenai Pasal 57 ayat (1) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ … yang bertanggung jawab kepada DPRD”, Mahkamah berpendapat bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen (mandiri). Maksud tersebut, tidak mungkin dicapai apabila KPUD sebagai penyelenggara Pilkada harus bertanggung jawab kepada DPRD. Sebab DPRD terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi Pilkada langsung tersebut. KPUD harus bertanggung jawab kepada publik bukan kepada DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda.
3. Terhadap permohonan para Pemohon terkait pengaturan Pilkada melalui Peraturan Pemerintah dalam anak kalimat pada Pasal 65 ayat (4), anak kalimat pada Pasal 89 ayat (3), anak kalimat pada Pasal 94 ayat (2), dan anak kalimat pada Pasal 114 ayat (4) UU Pemda, Mahkamah menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung adalah karena diperintahkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga keharusan berpedoman kepada atau pengaturan dalam Peraturan Pemerintah, tidaklah serta-merta bertentangan dengan UUD 1945.
4. Terhadap Pasal 67 ayat (1) huruf e, sepanjang anak kalimat, “ … kepada DPRD”, Mahkamah berpendapat dalam penyelenggaraan Pilkada KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD karena dana yang digunakan tidak hanya bersumber dari APBD tetapi juga dari APBN. Pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu yang lebih penting lagi adalah bahwa pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD dapat mengancam jaminan independensi KPUD sebagai penyelenggara Pilkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E juncto Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
5. Terhadap Pasal 82 ayat (2) sepanjang menyangkut anak kalimat, “ …oleh DPRD”, Mahkamah berpendapat bahwa karena KPUD yang menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah [vide Pasal 66 ayat (1) huruf g UU Pemda], maka yang berwenanag mengenakan sanksi pembatalan pasangan calon bukanlah DPRD, melainkan KPUD.
6. Sebagai akibat (konsekuensi) logis dari pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pilkada langsung adalah Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 yang dijabarkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2003, maka perselisihan mengenai hasil pemilu, menurut para Pemohon, harus diputus oleh Mahkamah Konsitusi. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karena itu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bykan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU Pemda tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Akhirnya amar putusan perkara ini menyatakan permohonan para Pemohon dapat dikabulkan sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat, “ .. yang bertanggung jawab kepada DPRD”; Pasal 66 ayat (3) huruf e, “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD”; Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat, “ … kepada DPRD”; dan Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat, “ .. oleh DPRD” pada UU Pemda bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi mengemukakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.; Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dan Maruarar Siahaan, S.H.

2. Putusan Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (PDF).

• “Kewenangan MK Menguji UU Sebelum Terjadi Amandemen UUD 1945”

Pemohon dalam perkara ini adalah Warga Negara Indonesia sebagai pengusaha di bidang usaha kecil menengah yang bergabung dan membentuk Kadin UKM. Keinginan tersebut muncul karena sebagai pengusaha kecil tidak dapat menyalurkan aspirasi dan tidak dapat mendapat pelayanan penuh dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1987.

Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan pertama UUD 1945, sehingga telah menghambat konstitusionalitas dan merugikan hak konstitusi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undnag-undang yang diundangkan sebelum perubahan UUD 1945. Pemohon mendalailkan bahwa Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 telah merugikan hak konstitusional Pemohon untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dalam organisasi Kadin UKM seperti yang ditetapkan dalam Pasal 28E ayat (3). Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 tersebut juga telah merugikan hak-hak konstitusi Pemohon seperti yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) tentang hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan Pasal 28D ayat (2) tentang hak untuk bekerja serta imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hakim Konstitusi menyatakan pendapatnya bahwa Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam putusan ini terdapat dua pendapat di kalangan Hakim Konstitusi terhadap konstitusionalitas Pasal 50 UU MK. Pendapat mayoritas Hakim Konstitusi dalam putusan ini menyatakan Pasal 50 UU MK akan menyebabkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan timbulnya ketidakadailan karena dalam sebuah sistem yang pasti terdapat tolak ukur ganda; pertama, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945; dan kedua, yang diberlakukan terhadap undang-undang yang diundangkan setelah berlakunya Perubahan Pertama UUD 1945.

Kedudukan undang-undang sebagai pelaksanan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 adalah undang-undang yang berfungsi untuk melaksanakan undang-undang dasar dan tidak membuat aturan baru apalagi membatasi pelaksanaan undang-undang. Pasal 50 UU MK dipandang mereduksi kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945 dan bertentangan dengan doktrin hirarki norma hukum yang telah diakui dan diterima secara universal. MK adalah lembaga negara yang kekuasaan dan kewenangannya ditentukan oleh undang-undang dasar. Mahkamah bukanlah organ undang-undang melainkan organ undang-undang dasar.

Berdasarkan pertimbangan di atas, keenam Hakim Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap putusan permohonan Pasal 50 UUMK ini, tiga orang hakim konstitusi, yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., H. Achmad Roestandi, S.H., dan Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).

Dalam pengujian Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin, Mahkamah menilai bahwa perlunya wadah tunggak Kadin adalah karena Kadin dalam sistem yang dianut di Indonesia, seseungguhnya merupakan organ negara dalam arti luas. Fungsi Kadin sebagai organ negara dalam arti luas terlihat jelasa dalam Pasal 7 dan 8 UU Kadin.

Mahkamah juga berpendapat, Pasal 4 UU Kadin tidak menghalangi hak Pemohon yang dikamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 untuk membentuk wadah berserikat sepanjang wadah tersebut tidak dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi-fungsi Kadin yang dibentuk dengan undang-undang. Mahkamah tidak pula melihat adanya koreksi Pasal 4 UU Kadin dengan terlanggarnya hak-hak Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 untuk bekerja dan mendapat imbalan yang layak dalam hubungan kerja.

Amar putusan dalam perkara ini adalah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian yaitu menyatakan Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yaitu Maruarar Siahaan, S.H., Prof. H.A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S., dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L., mengemukakan dissenting opinion (pendapat berbeda).

3. Putusan Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Nomor 001-002/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PDF).

• “Legal Standing Permohonan Pailit Perusahaan Asuransi”.

Para Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (3) serta Pasal 223 dan 224 ayat (6) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Para Pemohon mendalilkan adanya ketentuan-ketentuan tersebut mengakibatkan hak konstitusional para Pemohon untuk secara langsung mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi yang telag merugikan kepentingannya menjadi terkendala, bahkan para Pemohon tidak memiliki hak lagi.

Selain itu para Pemohon berpendapat bahwa pemberian kewenangan tersebut menyebabkan Menteri Keuangan telah menjadi bagian dari lembaga yudikatif dan melakukan tugas mengambil suatu keputusan hukum (quasi judicial). Hal tersebut, menurut Pemohon, bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, serta Pasal 24C ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Terhadap Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan, ketentuan tersebut menurut Mahkamah berlaku bukan saja untuk para Pemohon tetapi untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Oleh karena itu, semua warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk menjunjung tinggi ketentuan hukum yang tertuang dalam pasal tersebut. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan tidak menghilangkan hak para Pemohon yang dijamin dalam hukum perdata materiil.

Pembatasan yang dikenakan kepada para konsumen asuransi untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi didasarkan pada pertimbangan bahwa perusahaan asuransi merupakan suatu perusahaan yang karakteristiknya menyangkut berbagai kepentingan yang harus dilindungi, khususnya kepentingan konsumen yang jumlahnya sangat besar, dan kepentingan perusahaan asuransi untuk mempertahankan perusahaannya.

Pembatasan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan semakin terasa arti pentingnya jika dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan di mana syarat untuk memohonkan pailit sangat longgar. Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kelalaian pembuat undang-undang karena “keadaan tidak mampu membayar” tidak terdapat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Dengan tiadanya persyaratan “tidak mampu membayar”, kreditor dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailiti terhadap sebuah perusahaan asuransi.

Kelalaian pembuat undang-undang tersebut, diimbangi dengan adanya Pasal 2 ayat (5) yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Kewenangan menteri tersebut hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Menteri Keuangan sebagai pemohon dalam perkara kepailitan dan sama sekali tidak memberikan keputusan yudisial yang merupakan kewenangan hakim.

Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 223 UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam putusn ini Mahkamah menyatakan bahwa bunyi Pasal 223 mutatis mutandis sama dengan bunyi Pasal 2 ayat (5), sehingga pertimbangan Mahkamah mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 223 UU Kepailitan. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 223 tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 223 UU Kepailitan ditolak.

Selanjutnya terhadap Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan yang memberikan kewenangan menolak permohonan kepada Paniter, Mahkamah berpendapat bahwa Panitera seharusnya hanya diberikan tugas teknis administrasi yustisial. Apabila Panitera diberikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab melaksanakan fungsi yustisial, maka hal tersebut bertentangan dengan hakikat dari kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana terkandung dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Putusan Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap putusan ini terdapat seorang hakim yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

4. Putusan Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (PDF).

• “Pengertian ‘Negara’ dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945”.

Dalam perkara ini, pada dasarnya Pemohon mengajukan permohonan Pengujian Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 52 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terhadap UUD 1945.

Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyatakan bahwa UU SJSN berkait langsung dengan salah cita negara (staatsidee) yang melandasi disusunya UUD 1945 dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Cita negara (staatside) “untuk memajukan kesejahteraan umum” lebih lanjut ditegaskan antara lain dalam Pasal 34 UUD 1945.

Dalam hubungan dengan permohonan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Selanjutny, ayat (4) dari Pasal 34 UUD 1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.” Inti permasalahan dari permohonan adalah bagaimana undang-undang harus menjabarkan pengertian “negara” dalam melaksanakan amanat Pasal 34 UUD 1945, khususnya Pasal 34 ayat (2). Apakah di tangan Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah atau keduanya. Kejelasan atas persoalan ini penting mengingat hak atas jaminan sosial oleh UUD 1945 sebagai bagian dari HAM berdasarkan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang menimbulkan kewajiban pada Negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan menjamin pemenuhan (to fulfill) hak tersebut.

Terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Menurut UUD 1945, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah pun melekat pula fungsi pelayanan sosial. Dengan melaksanakan fungsi tersebut sebaga konsekuensi dari dianutnya ajaran otonomi sebagaimaa diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945.

Dengan membaca dan memahami secara seksama seluruh ketentuan dalam Pasal 5 UU SJSN, tampak bahwa, di satu pihak perumusan Pasal 5 tersebut menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut mengembangkan suatu sub-sistem jaminan sosial dalam kerangkan sistem jaminan sosial nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, amar putusan perkara ini adalah mengabulkan permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

5. Putusan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (PDF).

• “Pelaksanaan Ketentuan Konstitusi Tidak Dapat Ditunda”

Para Pemohon perkara ini mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusionalnya bersifat khusus dan potensial akan terjadi jika ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang didalikan para Pemohon dilaksanakan, khususnya ketenuan mengenai anggaran pendidikn 20% yang pelaksanaannya bertahap sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas. Para Pemohon, baik sebagai wali murid, guru, dosen, mahasiswa, ataupun siswa sangat berkepentingan dilaksanakan ketentuan konstitusional mengenai anggaran pendidikan minimal 20% sebagai prioritas yang tidak boleh ditunda-tunda.

Dalam putusan ini, mayoritas Hakim Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki legal standing sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK, kecuali Pemohon J.N. Raisal Haw, karena yang bersangkutan belum cukup umur (minderjaring). Selain itu, terdapat tiga Hakim Konstitusi yang berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki legal standing.

Berdasarkan politik hukum di bidang pendidikan menurut arahan UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945, hanya didasarkan atas asumsi yang tidak didukung alat bukti dan juga tidak didukung oleh keterangan pihak-pihak terkait. Selain itu, Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 juga tidak mengatur secara limitatif tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan dasar, tetapi menyerahkan pengaturannya dengan undang-undang mengenai sistem pendidikan nasional.

Sedangkan terhadap dalil para Pemohon bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD 1945 secara expressis verbis telah menentukan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) Sisdiknas yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, maka Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam putusan ini, terdapat tiga Hakim Konstitusi yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiga Hakim Konstitusi tersebut adalah Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., H. Achmad Roestandi, S.H., dan Soedarsono, S.H.

Selasa, 21 November 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian II): "Permohonan Ditolak"

PUTUSAN YANG MENYATAKAN PERMOHONAN DITOLAK

Memahami dan menelah putusan Mahkamah Konstitusi sama saja dengan mendulang wawasan baru tentang hukum bagi siapapun yang membacanya. Namun kendalanya, masih banyak diantara kita yang enggan untuk membacanya dikarenakan (biasanya) Putusan terlalu rumit bahasanya dan panjang bahasannya. Untuk itu, kali ini saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan MK dengan amar "permohonan ditolak". Semoga hal yang kecil ini dapat turut membangun kesadaran hukum dan berkonstitusi di tengah-tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.

1. Putusan Perkara Nomor 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (PDF).

• “Asas Retroaktif dan Kewenangan KPK Mengambil Alih Perkara”.

Permohon dalam perkara ini beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 68 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memberikan landasan Kewenangan KPK melakukan pemeriksaan berdasarkan asas berlaku surut atau asas restroaktif.

Menurut Pemohon, hak untuk tidak dilakukan penyidikan atau penuntutan dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 huruf I ayat (1).

Terlepas dari adanya pendapat dua Hakim Konstitusi yang memandang bahwa Pemohon tidak memiliki legal standing, mengingat substansi masalah yang didalilkan Pemohon dan agar tidak menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya di kemudian hari sekaligus demi kepastian hukum, Mahkamah memandang perlu memberikan penilaian terhadap substansi Pasal 68 UU KPK, yang oleh Pemohon didalilkan mengandung asas berlaku surut (retroaktif).

Pasal 68 UU KPK menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.”

Kewenangan yang dimiliki oleh KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK, adalah kewenangan untuk meneruskan proses yang sebelumnya telah ada. Artinya, kewenangan KPK dalam hubungan ini adalah bersifat prospektif, yang baru dapat dilaksanakan apabila salah satu keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK. Dengan adanya Pasal 68 juncto Pasal 9 dan Pasal 8 UU KPK, penanganan perkara korupsi yang mengalami hambatan karena alasan-alasan yang disebutkan dalam Pasal 9 adalah sama dasar tuntutan hukumnya dengan penanganan perkara korupsi lain yang masih tetap dilakukan oleh polisi dan jaksa, namun tidak mengalami hambatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU KPK.

Menurut Mahkamah, Pasal 68 UU KPK sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum yang berlaku surut sehingga melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Suatu ketentuan adalah mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif (ex post facto law) jika ketentuan tersebut (a) menyatakan seseorang bersalah karena malakukan perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana mati yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Pasal 68 UU KPK tidak mengandung salah satu dari dua unsur tersebut. Pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68 tidak mengubah sangkaan atau tuduhan atau tuntutan, yang berarti tidak pula mengubah atau menambah pidana atau hukuman terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih oleh KPK tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 68 UU KPK tidak mengandung asas retroaktif, walaupun KPK dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah dikumandangankannya Undang-undang KPK.

Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan dalilnya secara sah dan meyakinkan sehingga permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

2. Putusan Perkara Nomor 065/PUU-III/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (PDF).

• “Batasan Asas Non-Retroaktif Dalam Pelanggaran HAM Berat”.

Pemohon dalam perkara ini adalah mantan Gubernur Timor-Timur periode 1994-1996 yang menyatakan bahwa hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Pemohon menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut adalah HAM yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa dengan menerapkan asas non-retroaktif haruslah juga diperhitungkan apakah akan menimbulkan ketidakadilan, merongrong nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum, sehingga apabila hal itu terjadi justru perlindungan kepada seorang individu secara demikian bukanlah menjadi tujuan hukum. Keseimbangan harus ditemukan antara kepastian hukum dan keadilan dengan cara memahami arti Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tidak hanya pada teksnya, tetapi juga mempelajari pengertian asas tersebut dari sejarah, praktik dan tafsiran secara komprehensif. Ukuran untuk menentukan kesimbangan kepastian hukum dan keadilan, khususnya dalam menegakkan asas non-retroaktif harus dilakukan dengan mempertimbangkan tiga tujuan hukum yang senantiasa saling tarik-menarik (spannungsverhältnis) yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan hukum (gerechtigheid), dan kebergunaan hukum (zweckmassigkeit). Dengan mempertimbangkan ketiga tujuan hukum tersebut secara seimbang maka pemberlakuan hukum secara retroaktif yang terbatas, terutama terhadap kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes), secara hukum dapat dibenarkan.

Penerapan secara retroaktif suatu undang-undang tidaklah otomatis menyebabkan undang-undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945. Pemberlakuan retroaktif harus dinilai dari dua faktor atau syarat yang harus dipenuhi yaitu: Pertama, besarnya kepentingan umum yang harus dilindungi undang-undang tersebut; dan kedua, bobot dan sifat (nature) hak-hak yang terlanggar akibat pemberlakuan undang-undang demikian lebih kecil dari kepentingan umum yang terlanggar.

Kejahatan-kejahatan diberlakukan pengesampingan asas non-retroaktif oleh Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7 UU Pengadilan HAM) yang bertentangan dengan semangat untuk menegakkan dan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan. Oleh karenanya, pada kejahatan-kejahatan tersebut pengesampingan asas non-retroaktif bukan hanya tidak bertentangan dengan UUD 1945 melainkan sebaliknya, sebagai undang-undang dasar dari sebuah bangsa yang beradab, semangat UUD 1945 justru mengamanatkan agar perikemanusiaan dan perikeadilan ditegakkan, sehingga kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut di atas harus diberantas.

Walaupun Mahkamah berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud Mahkamah untuk menyatakan bahwa pengesampingan demikian setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan pembatasan tersebut, yaitu asas non-retroaktif hanya dapat disimpangi semata-mata demi menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil dan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Asas non-retroaktif tetap diutamakan namun pengutamaan tersebut tidak dimaksudkan untuk dipahami sebagai kemutlakan.

Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan ditolak.

Dalam putusan ini terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

3. Putusan Perkara Nomor 070/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU Nomor 26. Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (PDF).

• “Keadilan Dalam Pembebanan Kewajiban Kepada Provinsi Induk Terhadap Provinsi Pemekaran”.

Pokok perkara dalam putusan ini adalah pengujian Pasal 15 ayat (7) dan ayat 9 UU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang mewajibkan Provinsi Sulawesi Selatan memberikan bantuan kepada Provinsi Sulawesi Barat selama 2 tahun berturut-turut sejak diundangkannya undang-undang ini paling sedikit sejumlah Rp. 8.000.000,- setiap tahun anggaran dan Pasal 15 ayat (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang menyatakan Pemerintah memberikan sanksi apabila Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8) bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah berpendapat bahwa daerah yang diberikan otonomi tetap merupakan bagian dari NKRI, sehingga tetap harus menaati ketentuan dan pembatasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 merupakan salah satu bentuk pembatasan dari Pemerintah Pusat berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Perda termasuk menetapkan APBD untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya, namun tidak terlepas dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang secara hierarkis lebih tinggi. Dengan demikian, pembebanan kewajiban sebagaimana dituangkan dalam Pasal 15 ayat (7) UU Nomor 26 Tahun 2004 yang dituangkan melalui Perda tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (7) dan (9) UU Nomor 26 Tahun 2004 bertentangan dengan prinsip equal justice before the law sebagaimana terkandung dalam Pasal 27 UUD 1945, jika dibandingkan dengan UU pembentukan provinsi lainnya, Mahkamah berpendapat bahwa keadilan bukan berarti semua subjek hukum diperlakukan sama tanpa melihat kondisi yang dimiliki oleh setiap pihak. Keadilan justru harus menerapkan prinsip proposionalitas, artinya memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda. Kondisi setiap provinsi induk dan provinsi pemekaran tidak selalu sama, oleh karena itu sudah sepatutnya diperlakukan secara tidak sama pula. Karena, diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakukan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu.
Mahkamah memutuskan menolak permohonan ini. Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

4. Putusan Perkara Nomor. 006/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Pemilihan Sistem Rekruitmen Politik Melalui Partai Politik dan Prinsip Nomorn-Diskriminasi”.

Pemohon dalam perkara ini mendalilkan bahwa hak dan atau kewenangan konstitusinya telah dirugikan karena peluang Pemohon sebagai perseorangan untuk mengajukan diri secara langsung dan mandiri sebagai bakal calon kepala daerah tidak dimungkinkan menurut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemda. Padahal peluang perseorangan maupun partai politik menurut konstitusi bersamaan kedudukan sejajar dalam hal kesempatan berpolitik, sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945.

Pemohon mengajukan tuntutan pembatalan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda, yaitu Pasal 59 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Bagian Keempat Pemerintah Daerah, Paragraf Kesatu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 24 ayat (5) berikut Pasal-Pasal yang berkaitan, yang di dalamnya terdapat kalimat, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasangan Calon, Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati, Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota, yaitu pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 75 sampai dengan Pasal 80, Pasal 82 sampai dengan Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 95 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan Pasal 119.

Dari permohonan tersebut, Mahkamah tidak melihat adanya hubungan kausal (causal verband) yang rasional antara UU Pemda sepanjang berkaitan dengan keberadaan Wakil Kepala Daerah dengan kerugian hak konstitusional pemohon. Keberadaan wakil kepala daerah, tidak berhubungan, baik langsung maupun tidak dengan kemungkinan terpilihnya Pemohon sebagai perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Kecuali untuk pengujian Pasal 59 ayat (1) dan (3) UU Pemerintahan Daerah, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan sepanjang terkait masalah Wakil Kepala Daerah.

Pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah pengaturan mekanisme rekrutmen jabatan publik yang dilakukan berdasarkan Pasal 59 ayat (1) harus melalui pengusulan partai politik melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3), persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa diskriminasi adalah merupakan hal yang berbeda dengan mekanisme rekrutmen dalam jabatan pemerintahan yang dilakukan secara demokratis. Hak setiap orang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dilindungu oleh Konstitusi sepanjang orang tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU. Persyaratan tersebut berlaku sama terhadap semua orang.

Mahkamah berpendapat permohonan sepanjang menyangkut pengujian atas Pasal 24 ayat (5), Pasal 59 ayat (2), Pasal 56, Pasal 58 sampai dengan Pasal 65, Pasal 70, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 79, Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, Pasal 106 sampai dengan Pasal 112, Paragraf Keenam, Pasal 115 sampai dengan 119 UU Pemda, tidak dapat diterima. Sedangkan permohonan Pemohon menyangkut Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) tidak cukup beralasan, dinyatakan ditolak.

5. Putusan Perkara Nomor 010/PUU/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (PDF).

• “Threshold Pilkada Langsung”.

Pemohon mengajukan Pasal 59 ayat (2) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon karena perolehan suara pemohon pada Pemilu tahun 2004 di seluruh Indonesia untuk calon anggota Legislatif, baik pada tingkat kabupaten/kota, maupun provinsi tidak mencukupi 15%. Ketentuan persyaratan tersebut dipandang bertentanan dengan UUD 1945, terutama Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3).

Dalam pertimbangan hukum terkait dengan pokok perkara, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 27 UUD 1945 berada di bawah Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, yang memberikan hak yang sama bagi warga negara dalam hukum dan pemerintahan yang lazim disebut equality before the law. Karena Pemohon adalah badan hukum partai politik, maka dalil permohonan Pemohon menyangkut Pasal 27 ayat (1) ini tidak relevan, sehingga oleh karenanya harus dikesampingkan, karena syarat ini bukan hanya berlaku bagi Pemohon, tetapi bagi semua warga negara dan partai politik.

Selanjutnya, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Mahkamah berpendapat tidak ada hak Pemohon yang terhalang untuk mengajukan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan terhadap Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan, Mahkamah berpendapat bahwa kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan berupa hak memilih dan dipilih mendapat jaminan, akan tetapi terdapat syarat-syarat atau mekanisme tertentu yang wajib dipatuhi oleh setiap orang dan badan hukum.

Mahkamah berpendapat bahwa mekanisme dan syarat-syarat tersebut adalah pilihan kebijakan yang ditentukan dalam undang-undang. Sepanjang tidak melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, maka pilihan kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan pengujian oleh Mahkamah. Selain itu, pembatasan-pembatasan dalam bentuk mekanisem dan prosedur dalam pelaksanaan hak-hak dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Akhirnya, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tentang pengujian Pasal 59 ayat (2) UU Pemda terhadap UUD 1945, tidak cukup beralasan untuk dikabulkan, sehingga permohonan Pemohon harus ditolak.

6. Putusan Perkara Nomor 003/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU (PDF).

• “Penilaian ‘Hal Ihwal Kegentinagn Memaksa’ Sebagai Syarat Pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang”.

Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil dan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang terhadap UUD 1945.

Argumentasi Pemohon dalam pengujian formil antara lain adalah lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dikatakan tidak memenuhi syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana ditentukan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa alasan dikeluarkannya sebuah Perpu oleh Presiden, termasuk Perpu Nomor 1 Tahun 2004, yaitu karena “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai sendiri oleh DPR dalam persidangan yang berikutnya yang dapat menerima atau menolak penetapan Perpu menjadi udang-undang. Namun Mahkamah juga menyatakan di masa datang, alasan-alasan yang menjadi pertimbangan Presiden mengeluarkan sebuah Perpu agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan negara. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalil-dalil para Pemohon dalam permohonan pengujian formil UU Nomor 19 Tahun 2004, Mahkamah memutuskan menolak permohonan Pemohon.

Dalam permohonan pengujian materiil, para Pemohon antara lain mendalilkan bahwa materi muatan yang terkandung dalam UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak layak sebagai suatu undang-undang, karena hanya merupakan norma yang bersifat individual konkrit dan eenmalig berupa penetapan (beschikking) perizinan. Keberadaan tambang di hutan lindung sebagai akibat berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2004 juncto Perpu Nomor 1 Tahun 2004, menurut Pemohon akan menimbulkan dampak kerugian ekonomi lingkungan dan sosial budaya sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah berpendapat bahwa konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 pada dasarnya hanya mengambil alih konsiderans “Menimbang” Perpu Nomor 1 Tahun 2004. Sedangkan isi Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada intinya hanya menambahkan 2 (dua ) Pasal pada Bab XVII tentang Ketentuan Penutup, yaitu Pasal 83A dan Pasal 83B. Dari isi konsiderans “Menimbang” UU Nomor 19 Tahun 2004 dan bunyi Pasal 83A dan Pasal 83B Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tampak bahwa ketentuan tersebut memuat sebuah ketentuan transisional dan sekaligus Ketentuan Penutup. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 termasuk kategori Ketentuan Peralihan, sedangkan Pasal 83B-nya termasuk kategoti Ketentuan Penutup.

Materi muatan Pasal 83A merupkan norma umum abstrak yang termasuk Nomorrma ketentuan peralihan, bukan norma individual konkrit berupa penetapan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Demikian pula Pasal 83B, materi muatannya merupakan norma umum abstrak yang termasuk dalam Ketentuan Penutup yang sifatnya menjalankan (eksekutif), yaitu penunjukan pejabat tertentu, dalam hal ini Presiden, yang diberi kewenangan untuk memberikan izin dengan Keputusan Presiden.

Dari sudut muatannya, Pasal 83A Perpu Nomor 1 Tahun 2004 memang merupakan penyimpangan sementara ketentuan Pasal 38 ayat (4). Pada dasarnya penambangan dengan pola pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung akan tetap dilarang di Indonesia, kalau ada penyimpangan sifatnya adalah transisional. Mahkamah dapat memahami alasan pembentuk undang-undang tentang perlunya ketentuan yang bersifat transisional yang diberlakukan bagi suatu pelanjutan keadaan hukum atau hak-hak yang telah diperoleh (vested rights/acquired rights).

Berdasarkan pertimbangan yang dikemukakan Mahkamah dalam putusan ini, permohonan para Pemohon, baik dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang terhadap UUD 1945 tidaklah cukup beralasan, sehingga permohonan diputuskan ditolak.

7. Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (PDF).

• “Conditionally Constitution bagi UU SDA” .

Putusan in merupakan putusan pengujian formil dan materiil UU SDA. Dalam pengujian formil, para pemohon mendalilkan prosedur pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Mahkamah berpendapat bahwa proses pembentukan UU SDA telah sesuai dengan prosdur pembentukan undang-undang, dan tidak menemukan adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah juga berpendapat meskipun hanya Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 yang dicantumkan dalam konsiderans “mengingat” UU SDA, hal tersebut tidak menyebabkan secara formil UU SDA bertentangan dengan UUD 1945. Maka permohonan untuk melakukan pengujian formil terhadap UU SDA tidak cukup beralasan sehingga harus ditolak.

Dalam pengujian materiil, pemohon mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan pengujian materiil sebanyak 19 Pasal UU SDA dan di samping itu juga terdapat pemohon yang mengajukan permohonan untuk melakukan pengujian terhadap falsafah yang mendasari UU SDA. Sebelum melakukan pengujian Pasal-Pasal UU SDA yang dimohonkan, Mahkamah menyampaikan dasar-dasar pemikiran yang digunakan dalam pengujian Pasal-Pasal UU SDA.

Fungsi air memang sangat perlu bagi kehidupan manusia dan dapat dikatakan sebagai kebutuhan yang penting sebagaimana kebutuhan makhluk hidup terhadap oksigen. Akses terhadap pasokan air bersih telah diakui sebagai hak asasi manusia yang dijabarkan dalam Piagam pembentukan World Health Organization 1946, Article 25 Universal Declaration of Human Rights, Article 12 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan Article 24 (1) Convention on the Right of Child (1996).

Pengakuan akses terhadap air sebagai HAM mengindikasikan dua hal, yaitu pengakuan terhadap kenyataan air sebagai kebutuhan yang penting bagi hidup manusia, dan perlunya perlindungan atas akses untuk mendapatkan air bagi setiap orang. Demi perlindungan tersebut perlu dipositifkan hak atas air menjadi hak yang tertinggi dalam bidang hukum yaitu hak asasi manusia. Sebagaimana HAM lainnya, posisi negara terkait dengan kewajibannya yang ditimbulkan oleh HAM adalah negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Maka menjadi keniscayaan bagi negara untuk campur tangan guna melakukan pengaturan yang tujuannya agar hak asasi manusia tersebut dapat dihormati, dilindungi dan dipenuhi.

Para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dalam ketentuan UUD 1945 yaitu Pasal 33 ayat (3). Dengan demkian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 28H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan bathin.

Apabila penghormatan terhadap hak asasi atas air ditafsirkan sebagai tidak diperbolehkannya negara untuk mencampuri urusan air warga negara, maka akan timbul banyak konflik perebutan untuk mendapatkan air. Perlindungan terhadap hak asasi atas air tidak hanya menyangkut terlindunginya hak yang telah dinikmati seseorang dari pelanggaran oleh orang lain, tetapi juga menjamin kepastian harus benar-benar dapat dinikmati. Perlindungan hak dalam aspek ini tidak dapat dipisahkan dengan pemenuhan terhadap hak yang diakui.

Tiga aspek hak asasi yang harus dijamin oleh negara, yaitu penghormatan, perlindungan dan pemenuhan, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi harus juga dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena secara aktif dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang tujuannya untuk menjamin ketersediaan air bagi masyarakat.

Sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pengairan untuk pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri juga mempunyai andil yang penting bagi kemajuan kehidupan manusia, dan menjadi factor yang penting bagi manusia untuk dapat hidup secara layak. Pengaturan mengenai sumber daya air untuk keperluan sekunder merupakan sebuah keniscayaan pula. Oleh karenanya, pengaturan sumber daya air tidak cukup hanya menyangkut pengaturan air sebagai kebutuhan dasar manusia, tetapi juga perlu diatur pemanfaatn sumber daya air untuk keperluan sekunder yang tidak kalah pentingnya bagi manusia agar dapat secara layak. Kehadiran undang-undang yang mengatur kedua hal tersebut sangat relevan.

Berdasarkan pertimbanga-pertimbanagn yang dikemukakan dalam putusan ini, Mahkamah berpendapat UU SDA telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Apabila Undang-undang SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengajuan kembali (conditionally constitutional).

Konsep hak guna air ini sesuai dengan konsep air sebagai res commune yang tidak menjadi objek harga secara ekonomi. Hak guna air mempunyai dua sifat. Pertama, pada hak guna pakai hak tersebut bersifat in persona. Hal dimaksud disebabkan hak guna pakai adalah pencerminan dari hak asasi, oleh karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang sifatnya tak terpisahkan. Kedua, pada hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari izin yang diberikan oelh Pemerintah yang terikat oleh kaidah-kaidah perizinan. Mahkamah berpendapat meskipun UU SDA membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin pengusahaan sumber daya air, namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta.

Selanjutnya, dalil pemohon antara lain adalah UU SDA menyebabkan komersialisasi terhadap air karena manganut prinsip penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan jasa yang dipergunakan. Mahkamah berpendapat bahwa prinsip ini justru menempatkan air tidak sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi, karenanya tidak ada harga air sebagai komponen dalam menghitung jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Oleh karenanya prinsip ini tidak bersifat komersial.

Setelah mempertimbangkan keseluruhan permohonan Pemohon, amar putusan ini menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Terhadap putusan ini Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.A Mukthie Fadjar, S.H, M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mempunyai pendapat berbeda.

8. Putusan Peraka Nomor 009-014/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (PDF).

• “Notaris sebagai Pejabat Umum (Public Officer)”.

Dalam permohonan pegujian formil, para pemohon mendalilkan bahwa pembentukan UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN) tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 sebagaimana dijabarkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Peraturan) terutama Pasal 5 dan Pasal 6 UU Peraturan.

Mahkamah berpendapat bahwa tujuan diundangkannya UU Peraturan adalah agar proses pemebentukan undang-undang secara substansial bersesuaian dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20A dan Pasal 21 UUD 1945, dan secara teknis memenuhi syarat sebagai undang-undang yang baik. Selain menjabarkan Pasal 20 dan Pasal 21 UUD 1945, UU Peraturan juga memuat petunjuk atau pedoman tentang teknis penyusunan undang-undang yang baik, dengan menetapkan cara dan metode yang pasti dan baku (standar). Dengan demikian, suatu undang-undang yang tidak memenuhi persyaratan teknsi pembentukan undang-undang yang baik (behoorlikje wetgeving) tidak dengan sendirinya secara formil bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam permohonan pengujian materiil UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon Perkara 009, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal 3 huruf d, Pasal 8 ayat (3), Pasal 15 ayat (2) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g, Pasal 67 ayat (1) sampai dengan ayat (6) juncto Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, dan Pasal 82 ayat (1) UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, para Pemohon Perkara 014 mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945.

Pertimbangan hukum Mahkamah antara lain menyatakan bahwa notaris adalah suatu profesi dan sekaligus pejabat umum (public official) yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah sebagaimana diatur dalam BAB III UU JN. Oleh karena itu menurut Mahkamah memang seharusnya organisasi notaris berdiri sendiri dalam lalu lintas hukum (rechtsverkeer) dan dipersyaratkannya organisasi notaris sebagai badan hukum (rechtspersoon) merupakan hal yang sudah semestinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan Pasal 1 angka 5 UU JN tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pmeohon mengenai hal ini tidak cukup berlasan.

Pasal 67 UU JN menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menjamin kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tentang hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Para Pemohon mengkhawatirkan objektifitas perlakuan para notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas terhadap notaris yang mempunyai pertentangan kepentingan dengan notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas.

Mahkamah menilai kekhawatiran para Pemohon tentang objektifitas anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris itu berlebihan. Anggota Majelis Pengawas yang berasal dari organisasi notaris tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang karena hanya berjumlah 3 orang, sedangkan Majelis Pengawas berjumlah 9 orang, sehingga tidak mungkin memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU JN, pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri. Selanjutnya Pasal 67 ayat (2) UU JN menyatakan, bahwa dalam melaksanakan pengawasan menteri membentuk Majelis Pengawas. Majelis Pengawas bukan subordinasi notaris, melainkan lembaga yang bertugas membentu menteri untuk melakukan pengawasan atas notaris. Maka wajar jika Majelis Pengawas mendapat pelimpahan sebagian wewenang menteri sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU JN.

Para Pemohon juga mendalailkan bahwa Pasal 82 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 82 ayat (1) JN tidak melarang bagi setiap notaris untuk berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat. Namun mereka harus berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris, karena notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh negara dalam rangka melayani kepentingan masyarakat.

Mahkamah menilai bahwa notaris merupakan organ negara dalam arti luas. Oleh karena itu negara berkepentingan akan adanya wadah tunggal organisasi notaris. Sebagai perbandingan, seperti dikemukakan oleh Pemerintah maupun Pihak Terkait (INI), hampir semua negara menganut adanya satu wadah organisasi notaris.

Dalam permohonan pengujian UU JN terhadap UUD 1945, para Pemohon 014, mendalilkan bahwa Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 82 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) huruf k UU JN bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menilai bahwa pengaturan penggunaan cap/stempel yang memuat lambang negara oleh notaris dalam undang-undang, sementara penggunaan lambang negara pejabat negara diatur hanya dalam Peraturan Pemerintah adalah tidak layak. Terhadap penilaian para Pemohon tentang ketidaklayakan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa hal itu hanya merupakan penilaian subyektif para Pemohon yang tidak dapat dijadikan dasar dalam pertimbangan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah menyatakan permohonan para pemohon ditolak.

9. Putusan Perkara Nomor 015/PUU-III/2005 mengenai Pengujian UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (PDF).

• “Kepastian Hukum Bagi Kurator”.

Pemohon dalam perkara ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127 ayat (1), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan, perselisihan yang disebabkan oleh adanya bantahan suatu pihak di mana perselisihan tersebut tidak dapat didamaikan oleh Hakim Pengawas, maka Pemohon selaku kurator perlu mengajukan perselisihan ini ke pengadilan. Namun, dengan adanya ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan beserta penjelasannya, Pemohon selaku kurator tidak memperoleh kepastian hukum tentang pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut, apakah Pengadilan Niaga atau Pengadilan Negeri.

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalam rumusan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, dari segi struktur tata bahasa, terkandung makna bahwa Hakim Pengawas tetap memiliki kewenangan untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih sekalipun persilisihan itu telah diajukan ke pengadilan (dengan huruf “p” kecil). Adanya kata-kata “telah diajukan” jelas menunjukan bahwa pengadilan yang dimaksudkan di sini bukan Pengadilan Niaga. Dengan kata lain, kewenangan Hakim Pengawas untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih tidaklah hilang dengan alasan perselisihan itu telah diajukan ke “pengadilan”. Dalam perngertian tersebut tentu menjadi tidak logis jika “pengadilan” dalam rumusan Pasala dimaksud diartikan sebagai Pengadilan Niaga.

Jika usaha mendamaikan oleh Hakim Pengawas tersebut ternyata tidak berhasil, sedangkan perselisihan dimaksud haruslah mendapat pernyelesaian agar proses beracara di Pengadilan Niaga dapat berjalan, maka Hakim Pengawas memerintahkan kepada pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Niaga. Jadi, dalam hal ini berlaku prosedur renvoi (renvoi procedure), sehingga kata “pengadilan” dalam anak kalimat Pasal 127 ayat (1) ditulis “Pengadilan” (dengan huruf “P” kapital).

Sedangkan penulisan kata “pengadilan” yang ditulis dengan huruf “p” kecil pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) yang berbunyi, “… Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan,” menurut Mahkamah, adalah kekurangcermatan penulisan (clrecial error) pembentukan undang-undang di mana kata “pengadilan” dalam anak kalimat dimaksud seharusnya menggunakan huruf “P” kapital karena yang dimaksud adalah Pengadilan Niaga, sesuai dengan pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 angka 7 UU Kepailitan.

Meskipun Mahkamah berpendapat telah terdapat kekurangcermatan (clerical error) dalam penulisan kata “pengadilan” pada anak kalimat dalam Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan, namun kekurangcermatan tersebut tidak sampai mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian ketentuan Pasal 127 ayat (1) UU Kepailitan dan Penjelasannya tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang dipahami sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut.

Putusan ini juga memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap permohonan Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 59 ayat (1), Penjelasan Pasal 59 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 244 dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6). Berdasarkan keseluruhan pertimbangan yang dikemukakan dalam putusan perkara ini, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga dinyatakan ditolak. Dalam putusan ini terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu dari Hakim Konstitusi Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

Kamis, 16 November 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2005 (Bagian I): "Niet Ontvankelijk Verklaard"

PUTUSAN MENYATAKAN PERMOHONAN TIDAK DAPAT DITERIMA (N.O.)

Guna memudahkan masyarakat Indonesia untuk mengetahui putusan yang pernah dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2005, berikut saya hadirkan intisari tiap-tiap putusan yang dikategorikan berdasarkan amar putusannya. Semoga hal yang kecil ini dapat memberikan pencerahan konstitusi bagi kita semua.

1. Putusan Perkara Nomor 004/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman (PDF).

“Kesalahan Kepentingan Konstitusional oleh Pemohon”

Pemohon dalam perkara ini adalah seorang advokat, yaitu Melur Lubis. Pemohon dalam permohoNomornannya mendalilkan dirinya telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakuknya Undang-undang Nomor 4 Thun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, karena Pasal 36 ayat (1), (2), dan (3) UU tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan dalam ayat tersebut telah menempatkan Ketua Pengadilan sebagai pimpinan dan pengawas pelaksanaan putusan pengadilan yang menimbulkan kekuasaan absolute. Kekuasaanabsolut ini menyebabkan timbulnya perbuatan sewenang-wenang dengan berbuat melebihi kekuasaanya seperti terjadi dalam pelaksanaan putusan perkara Nomor. 4080K/PDT/1998 juncto Nomor. 385/PDT/1997/PT.MDN juncto Nomor. 16/PDT-G/1997/PN.PsP.

Dari alat bukti maupun keterangan Pemohon yang diberikan di depan siding Mahkamah terungkap bahwa kerugian konstitusional tidak dialami oleh pribadi Pemohon, melainkan dialami oleh Ny. Badriah Mawar Harapah yang diterangkan telah meninggal dunia dan dilanjutkan oleh ahli warisnya H. Muchtar Siregar. Mk berpendapat bahwa yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya bukanlah menyangkut konstitusionalitas Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga bukan kewenangan MK untuk menilainya.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat tidak terdapat kepentingan konstitusional Pemohon secara pribadi yang dirugikan sebagaimana yang didalilkan. Dengan demikian, secara pribadi Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya UU Kekuasaan Kehakiman, oleh karenanya Pemohon dipandang tidak memiliki legal standing sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

2. Putusan Perkara Nomor 013/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (PDF).

“Ekses Alat Angkut ‘Illegal Logging’ Bukan Persoalan Konstitusionalitas UU”

Pemohon dalam perkara ini adalah DPP Persatuan Pengusaha Pelayaran Rakyat (DPP Pelra). Pemohon menyatakan mengalami kerugian hak konstitusional dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h, khususnya anak kalimat “maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti”. Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hurf j, khususnya kata “kapal”; dan Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya, khususnya penjelasan kata “termasuk alat angkutnya” dan kata “kapal”.

MK memutuskan bahwa kerugian yang dialami Pemohon sejak lahirnya UU Kehutanan secara umum bukan disebabkan oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h dan huruf j dan Penjelasannya serta Pasal 78 ayat (15) dan Penjelasannya dari UU Kehutanan yang bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan uraian Pemohon dan keterangan yang diperoleh dalam persidangan, kerugian tersebut terjadi karena pelaksanaan penegakan hukum di lapangan yang dilakukan oleh para aparatur pengeak hukum (Polisi Kehutanan, POLRI, TNI-AL). Seandainya pun benar bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum di lapangan terdapat ekses yang merugikan atau dapat diduga merugikan hak-hak pemohon, namun hal itu tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas UU yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian MK berpendapat bahwa adanya kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak terbukti.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, MK berpendapat tidak terdapat kerugian hak konstitusionalitas Pemohon oleh pemberlakuan UU Kehutanan sehingga pemohon harus dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), oleh karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.

3. Putusan Perkara Nomor 012/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang APBN 2005 (PDF).

“Anggaran Pendidikan Tahun 2005”

Pemohon dalam perkara ini terdiri dari perorangan warga negara atau kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama. Kepentingan yang sama tersebut karena kelompok orang ini bergerak di dunia pendidikan yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya UU APBN tahun 2005 karena alokasi anggaran pendidikan tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Para Pemohon mendalailkan UU Nomor. 36 Tahun 2004 yaitu UU APBN 2005 bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidiakan nasional”.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 di samping berhubungan dengan hak untuk mendapatkan pendidikan juga berkaitan dengan APBN, maka MK memandang perlu untuk membahas pula aspek konstitusionalitas dari APBN. Dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan UU. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Namun, pemnbuatan UU APBND berbeda dengan pembuatan UU yang lain, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, sedangkan pada UU yang lain pengujian RUU merupakan kewenangan DPR meskipun dapat juga diajukan oleh Presiden. UU APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan UU lain yang tidak setiap tahun, dan apabila UU APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan.

Untuk menilai permohonan, MK juga perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tidak memberi batasan apa yang termasuk dalam “anggaran pendidikan”. Dalam usaha untuk menentukan komponen anggaran pendidikan, atas persetujuan bersama Presiden dan DPR telah ditetapkan bahwa yang termasuk dalam anggaran pendidikan adalah pendidikan yang langsung dinikmati oleh masyarakat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu dana untuk pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasa. Dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, maka secara tiak langsung akan menaikkan jumlah Nomorminal anggaran pendidikan dibandingkan apabila dalam perhitungan anggaran pendidikan tersebut dimasukkan komponen gaji pendidik dan pendidikan kedinasan.
2. MK memutus permohonan Perkara Nomor 011/PUU-III/2005 yang pada amarnya menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya pemenuhan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 tentang alokasi anggaran 20 persen tidaklah dilakukan secara bertahap. Adanya alokasi anggaran pendidikan dalam UU APBN yang kurang dari 20 persen adalah bertentangan dengan perintah Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Meskipun UU APBN telah nyata bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, namun apabila Mahkamah menyatakan permohonan dikabulkan, maka berdasarkan Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 akan berlaku ketentuan APBN tahun yang lalu. Hal tersebut tidak mungkin diterapkan pada permohonan pengujian UU APBN, karena akan menimbulkan kekacauan (governmental disaster) dalam administrasi keuangan negara. Selain itu, dapat pula mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan bahkan akibatnya akan lebih buruk apabila ternyata anggaran pendidikan pada APBN tahun sebelumnya (tahun 2004) lebih kecil jumlahnya.

Berdasarkan pertimbangan di atas, MK berpendapat bahwa UU APBN tidak bisa dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam amar putusannya MK menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard).

Meskipun setuju dengan amar putusan, namun ada dua orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan concurring opinion (alasan berbeda), yakni Prof. H.A.S. Natabaya, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., serta dua orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., dan SoedarsoNomor, S.H. menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda).

4. Putusam Perkara Nomor 016/PUU-III/2005 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang (PDF).

“Jarak Ibukota Kabupaten/Kota Jauh, Konsekuensi Logis Pemekaran Wilayah”

Permohonan Perkara ini adalah satu orang yang tergolong sebagai perorangan Warga Negara Indonesia. Minhad Ryad adalah seorang warga Kalimantan Barat yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat dibentuknya Kota Singkawang berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang. Pemohon mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji keberlakuan UU tersebut.

Salah satu bentuk kerugian konstitusional Pemohon setlah diberlakukannya UU tersebut, yaitu bahwa jarak ke ibukota kabupaten menjadi lebih jauh. Sekalipun secara factual memang telah terjadi, kendatipun Pemohon dalam kualifikasi sebagai perorangan Warga negara Indonesia memang diakui memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengujian UU Pembentukan Kota Singkawang terhadap UUD 1945, tetapi tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang dirugikan oleh berlakuna UU tersebut. Sehingga, Pemohon tidak dapat dinyatakan memiliki kedudukan hukum legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon. Oleh sebab itu, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Rabu, 15 November 2006

Penelitian Hukum: Pengecualian Terhadap Hak Cipta

ANALISA PENGECUALIAN TERHADAP HAK CIPTA:
Suatu Perbandingan Hukum pada UU Hak Cipta India
Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: x + 57 halaman + Lampiran
Waktu: Oktober 2006
Bahasa: Inggris
ABSTRAKSI:
Dalam beberapa kurun tahun terakhir ini, Intellectual Property Right (IPR) atau Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) telah mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat dunia. Dengan terus berubahnya kebutuhan masyarakat dari masa ke masa, maka pembahasan akan HaKI juga semakin meluas, bahkan hal tersebut telah menjadi sangat krusial dalam suatu subyek pengembangan ilmu hukum secara tersendiri yang sangat patut untuk terus dikaji.

Menurut Black’s Law Dictionary, “copyright” atau “hak cipta” mempunyai arti sebagai hak atas transkrip, imitasi, reproduksi, untuk menjual, untuk mempublikasikan, untuk mencetak dari suatu karya asli. Kata “copyright” berasal dari istilah “copier of words”. Istilah ini digunakan pertama kali pada sekitar tahun 1958. Kata “copy” atau salinan juga telah lama digunakan yaitu sejak tahun 1485 yang berarti naskah atau bahan lainnya yang telah dipersiapkan untuk dicetak. Hak Cipta ini biasa juga diartikan sebagai hak ekslusif yang mengatur untuk: menjual dan mengkomersialisasikan hak atas ciptaan intelektual, terkait dengan hal pencetakan, litografi, produksi grafik, fotografi, cinematografi, rekam gramafon, transmisi siaran stasiun atau bentuk lainnya dalam hal reproduksi dan pengandaan.

Hak cipta melingkupi pengetahuan di bidang ekonomi dan sosial budaya yang sangat luas, di mana kajiannya juga diperluas terhadap bidang sastra, pendidikan, informasi, hiburan, dan media. Meskipun hak cipta terkadang dikatakan relatif dibanding dengan sifatnya yang absolut tetapi monopoli atas hal tersebut masih dimungkinkan untuk terjadi. Sistem yang telah ada saat ini bukan hanya berupaya mengendalikan hasil ciptaan yang sama tetapi juga mendorong terbentuknya hasil ciptaan lainnya yang sejenis. Tindakan monopolistik, meskipun terkait dengan hasil yang sama tetapi tetap memiliki pembatasan-pembatasan tertentu, dimana hal tersebut dibangun pada:

  1. Kebebasan dari pencipta yang independen untuk memanfaatkan seluruh hasil ciptaanya.
  2. Fakta bahwa perlindungan hanya dapat diberlakukan pada hasil dari sebuah ciptaan dan bukan pada gagasan itu sendiri.
  3. Ketentuan mengenai pengecualian atau “fair dealing”, berita, pengajaran dan penelitian, serta hal-hal lain yang dibolehkan oleh hukum.
  4. Sistem dari kewajiban untuk memperoleh perizininan.
  5. Biaya dan hambatan dalam melaksanakan hak-hak ekslusif.

Pembatasan yang sangat signifikan dalam hak ekslusif dari pemegang suatu hak cipta terlatak pada wacana pengecualian yang biasa dikenal dengan istilah “fair dealing” atau “fair use”. Doktrin ini acapkali sulit untuk dimengerti dibandingkan dengan seluruh ketentuan hukum dalam hak cipta. Doktrin tersebut mengizinkan untuk menggunakan atau menggandakan hasil ciptaan orang lain dengan tetap mempertahankan sifat yang adil (“fair”). Sejak abad ke-19, pengadilan telah memulai mengembangkan prinsip-prinsip pembebasan berbagai bentuk pelanggaran penggunaan penggandaan hak cipta sebagai bentuk “fair use” atau pengeculian yang diperbolehkan oleh hukum.

Pasal 9 ayat (2) Konvensi Berne memberikan kewenangan terhadap legislasi nasional untuk mengizinkan perlindungan suatu reproduksi dalam hal-hal tertentu, selama terpenuhinya 2 (dua) kondisi khusus, yaitu: (a) reproduksi tidak menyebabkan konflik dengan pemanfaatan dari suatu hasil ciptaan; dan (b) setiap reproduksi tidak menyebabkan hilangnya legitimasi sang pencipta secara wajar.

Konsep yang diterapkan oleh India berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan doktrin “fair use” atau pengecualian hak cipta secara general. India juga berbeda dengan ‘civil system’ yang diterapkan di Eropa ataupun Indonesia sekalipun, di mana negara-negara tersebut memberikan pengertian secara umum mengenai pengecualian hal cipta atas nama pribadi. Konsep demikian dianggap berbeda sebab pengertian pengecualian seperti yang diterapkan oleh banyak negara masihlah bersifat sangat luas dan kurang tepat. Suatu tindakan pelanggaran hak cipta dengan pembelaan berdasarkan alasan pengecualian biasanya akan sampaipada putusan yang menyatakan ditolaknya suatu permohonan. Namun bagaimanapun juga, fleksibilitas mengenai pendekatan pengertian pengecualian secara luas, dapat juga membawa dampak positif untuk menjaga konsep hukum tentang hak cipta selalu ‘up to date’ dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan hal-hal baru dalam setiap penggunaan hasil ciptaan.

Penelitian hukum ini telah menganalisa mengenai bentuk-bentuk pengecualian dari hak cipta, khususnya terhadap ketentuan yang diatur di dalam UU Hak Cipta India. Walaupun telah terdapat beberapa bahan yang mengulas mengeni pengecualian terhadap Hak Cipta, tetapi biasanya bahan-bahan tersebut tidak secara tuntas menjelaskan mengenai apa yang menjadi konsep dasar ataupun pengertian yang jelas mengenai pengecualian terhadap hak cipta, terkhusus mengenai perkembangan doktrin “fair dealing”. Oleh karena itu, penelitian hukum ini menekankan pada permasalah-permasalahan yang telah disebutkan di atas dengan pendekatan analisa mengenai konsep hukum dari pengecualian terhadap hak cipta, bersama-sama dengan penjabaran berbagai kasus perkara yang telah menjadi yurisprudensi dunia, sehingga dapat kita jadikan sebagai pertimbangan tambahan. Berikut adalah struktur dari penelitian hukum:

ANALYSIS ON EXCEPTIONS OF COPYRIGHT:
A COMPARATIVE STUDY TO INDIAN COPYRIGHT ACT, 1957

ACKNOWLEDGMENT
CONTENTS
TABLE OF CASES
ABSTRACT

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Historical Background
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Research Paper

CHAPTER II: LEGAL CONCEPT OF COPYRIGHT
2.1. Introduction of Copyright
2.1.1. Definition of Copyright
2.1.2. Object of Copyright
2.1.3. International Convention and the Statutory
2.1.4. Extension of Copyright and Allied Right
2.2. Nature of Copyright
2.2.1. General
2.2.2 Scope of Copyright
2.2.3 Original Work and Nature of Right
2.3. Author and Ownership of Copyright
2.3.1. The Author an Employee
2.3.2. Commissioned Works
2.3.4. Miscellaneous
2.4 Infringement of Copyright
2.4.1. General
2.4.2. Definition of Infringement and Infringing Copy
2.4.3. Copyright Protects and the Essential of Infringement
2.4.4. Factors Considered
2.4.5. Causal Connection and Indirect Copying
2.4.6. Authorisation of Infringement
2.4.7. Acts Not Constituting Infringement

CHAPTER III: EXCEPTIONS OF COPYRIGHT: FAIR DEALING
3.1. Exception and Limitations
3.1.1. International Rules
3.1.2. Indian Copyright Act, 1957
3.2. Legal Concept of Fair Dealing
3.2.1. Frame Work
3.2.3. Phrase of “Fair Dealing”
3.2.4. Phrase of “for the Purpose of”
3.2.4.1. Private Use: Including Research
3.2.4.2. Criticism and Review: Reporting Current Events
3.2.5. Factors of Fair Dealing
3.2.5.1. Purpose nad Character of Use
3.2.5.2. Nature of Copyrighted Work
3.2.5.3. Amount and Substantiality of the Portion
3.2.5.4. Effect upon Potential Market or Value

CHAPTER IV: OTHER EXCEPTIONS OF COPYRIGHT
4.1. Exception of Computer Programme
4.1.1. Temporary and Back Up Copies
4.1.2. Non Commercial Personal Use
4.1.3. Reverse Engineering
4.2. Exceptions for Performance
4.3. Exceptions for Library, Educational and Official Use
4.4. Exceptions for Official or Government Proceedings
4.5. Exceptions in State Produced Materials
4.6. Exceptions in Media Reporting
4.7. Exceptions for Artistic Work
4.8. Exceptions for Work of Architecture
4.9. Exceptions for Religious Ceremony or Official Ceremony
4.10. Exceptions in Broadcast Reproduction

CHAPTER V: CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
APPENDIX

Penelitian ini penting untuk dibaca oleh siapapun juga, bukan sekedar para praktisi hukum semata, sebab selain kita dapat memperbandingkannya dengan UU Hak Cipta di negara kita masing-masing, juga sekaligus memperoleh pencerahan agar terhindar dari jeratan hukum atas penyalahgunaan Hak Cipta. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan penelitian ini bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi pada bagian kolom komentar atau buku tamu yang telah disediakan.

Selamat Membaca!

Hak Veto, Mesin Perang Amerika Serikat

HAK VETO, DEWAN KEAMANAN DAN INDONESIA
Pan Mohamad Faiz*
Note: Dimuat pada Harian Duta Masyarakat.
Sejarah kelam kembali mencatat ketidakberdayaannya Dewan Keamanan PBB mengatasi konflik yang terjadi di Timur-Tengah. Inilah kali keduanya pada tahun yang sama Amerika Serikat melalui juru bicaranya, John Bolton, memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan yang mengecam serangan Israel di Gaza yang sedikitnya telah menewaskan 18 warga sipil, termasuk anak-anak dan beberapa perempuan. Dengan demikian, Amerika kini telah memperpanjang rekor penggunaan hak vetonya guna membendung tindakan internasional terhadap kebrutalan agresi Israel menjadi sebanyak 41 kali dari 82 hak veto yang pernah dikeluarkannya selama ini (Global Policy Forum, 14/10/06).

Kredibilitas Dewan Keamanan kini semakin dipertanyakan, khususnya mengenai keabsahan penggunaan hak veto yang dimiliki oleh 5 (lima) anggota tetap Dewan Keamanan. Sinyalemen kuat tersebut setidaknya datang dari negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab yang selama ini merasa tidak pernah memperoleh tempat dalam menyampaikan suaranya. Dampak buruk dari peristiwa ini dipastikan akan membawa angin segar bagi pihak Israel bahwa mereka mempunyai legitimasi perlindungan atas hukum guna melanjutkan pembantaian warga palestina melalui agresi-agresi berikutnya.

Reformasi Hak Veto

Penggunaan sistem veto sejak awal pembentukannya memang digunakan untuk melindungi kepentingan para pendiri PBB, dimana hal tersebut hanya diperuntukan bagi negara-negara yang memenangkan Perang Dunia II (A. Mohammed, 2003). Pada saat pendiriannya di tahun 1948, telah ditentukan bahwa perwakilan dari Inggris, China, Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Perancis akan menjadi anggota tetap Dewan Kemanan yang kemudian hak veto tersebut melekat padanya berdasarkan Pasal 27 Piagam PBB.

Hingga saat ini, problematika hak veto selalu membayangi legitimasi dari Dewan Kemanan PBB. Dengan “mengantongi” hak veto, maka anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara maupun sekutunya. Sebagai contoh, Amerika Serikat telah menggunakan hak vetonya lebih dari anggota tetap lainnya sejak tahun 1972, khususnya terhadap resolusi yang ditujukan bagi Israel. Terlebih lagi sejak 26 Juli 2002, negara adidaya tersebut mengumandangkan doktrin Negroponte, dimana menyatakan bahwa Amerika Serikat akan selalu siap menentang setiap resolusi Dewan Kemanan yang berusaha untuk menghukum Israel. Inilah salah satu kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto.

Di sisi lain, para perwakilan negara-negara di PBB juga acapkali mengungkapkan bahwa di antara anggota tetap selalu saling mengancam untuk menggunakan hak veto-nya dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali memperdulikan ada-tidaknya anggota tidak tetap lainnya. Praktek inilah yang biasa disebut dengan istilah “closet veto” (Celline Nahory, 2004).

Oleh karena itu, banyak kalangan menilai bahwa sistem dan struktur yang ada pada Dewan Keamanan saat ini haruslah segera direformasi. Sejak pertengahan 90-an, The Non-Aligned Movement telah berungkali menegaskan ketidaksetujuannya terhadap penggunaan hak veto, sebab hal itu sama saja memberikan jaminan atas ekslusifitas dan dominasi peran negara angota tetap Dewan Keamanan. Walaupun anggota tetap mengakui bahwa hak veto seharusnya merupakan upaya terakhir, tetapi faktanya mereka menggunakan hak veto tersembunyi secara berulang kali. Penyalahgunaan hak istimewa tersebut pada akhirnya justru menimbulkan kekacauan sistem di dalam tubuh Dewan Keamanan, membuat semakin tidak demokratis, jauh dari sebuah arti legitimasi, dan seringkali efektivitasnya dirasakan sangat menyedihkan. Oleh karenanya, salah satu tuntutan reformasi tersebut yaitu berupaya untuk menghilangkan pemberian hak veto yang dianggap sebagai akar permasalahan utama dari ketidakefektifan Dewan Keamanan selama ini. Namun hambatan utamanya adalah dapat dipastikan bahwa negara anggota tetap akan senantiasa melakukan penolakan setiap adanya keinginan reformasi dari sistem pengambilan suara yang telah ada, sebab memenuhi tuntutan reformasi tersebut sama saja melempar posisi mereka jauh menjadi tidak diperhitungkan lagi dalam percaturan politik global.

Tantangan Indonesia

Melihat kondisi seperti ini, nampaknya Indonesia yang baru saja terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, akan menemui jalan terjal untuk berperan banyak dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya terhadap pasang-surutnya konflik yang terjadi di wilayah Timur-Tengah. Padahal, peran Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB akan sangat diharapkan oleh negara-negara dunia ketiga. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia dipandang sebagai wakil dari negara berkembang dan juga wakil dari negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI, mengingat latar belakang negara Indonesia adalah sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.

Dua tahun masa keanggotaan bukanlah waktu yang cukup lama, sebab meninjau pengalaman negara-negara anggota tidak tetap selama ini, setidaknya dibutuhkan waktu kurang lebih satu tahun untuk mendapatkan “sense and feeling” untuk bergerak di Dewan Keamanan. Terlebih lagi jika harus bersuara dalam forum pertemuan ataupun berdialog langsung dengan lima negara anggota tetap lainnya yang notabennya sudah puluhan tahun mempunyai pengalaman bersilat lidah dalam forum yang tetap dan sama itu.

Dalam dua tahun kedepan jua lah dapat dipastikan menjadi batu ujian bagi Indonesia dalam melaksanakan amanah yang telah diberikan oleh negara-negara anggota PBB selama ini. Kiranya secepat mungkin Indonesia harus membangun jaringan dengan negara-negara anggota tidak tetap lainnya, termasuk terhadap publik internasional yang selama ini selalu memberikan dukungan bagi negara-negara independen sekelas Indonesia. Terkait dengan rencana kunjungan Bush ke Indonesia, terlepas dari jadi atau tidaknya, semoga hal tersebut tidak ikut menjinakan integritas dan independensi Indonesia di forum Dewan Keamanan, namun justru memberikan sinyalemen kuat kepada dunia bahwa ke depannya peran Indonesia benar-benar sangat diperhitungkan dalam pentas internasional, khususnya oleh “veto power” seperti Amerika Serikat sekalipun.

* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi, New Delhi.