Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa waktu lalu umat Islam merayakan Idul Adha dengan melaksanakan shalat berjamaah dan kemudian melakukan ritual penyembelihan hewan kurban, yang sebagian dagingnya dibagikan kepada mereka yang meminta (mu’tar) dan yang menerima tetapi tidak meminta (qanaah). Melihat peningkatan jumlah hewan kurban yang disembelih dari tahun ke tahun pada umumnya kita mensyukurinya karena itu merupakan pertanda meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melakukan ibadah kurban.
Sore harinya, seorang anak saya yang telah berstatus mahasiswa bertanya kepada saya “Mengapa setiap tahun kita harus menyembelih sekian banyak hewan kurban hanya untuk membuktikan bahwa kita taat kepada perintah Allah SWT? Bahkan penyembelihan hewan kurban juga seringkali dinyatakan sebagai amal ibadah yang perlu dipertontonkan kepada orang lain. Mudah-mudahan penyembelihan hewan kurban tersebut tidak dipertontonkan juga kepada anak-anak SD dan balita yang oleh gurunya telah diajari untuk menyayangi binatang. Melihat kenyataan tersebut, saya khawatir istilah ‘berkurban’ dalam Islam akan dipersepsikan orang sebagai ‘menyembelih atau membunuh binatang’ daripada ‘memberikan pengurbanan (sebagian rizki, nikmat, tenaga dan pikiran) kita kepada kaum dhuafa dan mereka yang membutuhkannya’.”
Simbol dan Substansi Ibadah Kurban
Mendengar gugatan anak saya yang bersemangat tersebut saya hanya tersenyum. Protes anak saya tersebut mengingatkan saya pada perdebatan antar umat Islam tentang ibadah simbolik dan ibadah substantif. Yang dimaksud ibadah simbolik adalah gerakan ritual, cara, jumlah, waktu, dan tempat yang harus dilakukan dalam setiap ibadah. Sedangkan ibadah substantif pada hakekatnya merupakan tujuan yang ingin dicapai di balik gerakan ritual tersebut. Sebagai contoh, ibadah simbolik shalat adalah melakukan gerakan badan disertai ucapan sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam ketika melakukan shalat. Sedangkan substansinya adalah mendekatkan diri kepada Allah supaya kita terhindar dari perbuatan mungkar. Ibadah simbolik puasa adalah menahan lapar dan dahaga mulai matahari terbit hingga matahari terbenam, sedangkan substansinya adalah melatih diri untuk meningkatkan derajat takwa kita. Demikian pula, ibadah simbolik kurban adalah menyembelih hewan kurban, tetapi substansinya adalah membunuh nafsu kebinatangan kita (untuk memiliki/menguasai) dengan cara memupuk jiwa pengurbanan kita (untuk memberi).
Sikap menggugat anak saya tersebut di atas barangkali mewakili sikap sebagian anak muda lainnya yang tidak rela masyarakat kita hanya memuja simbol dan mengabaikan substansi yang tersembunyi dibalik simbol tersebut. Mereka kelihatannya juga belum cukup puas dengan penjelasan bahwa menyembelih hewan kurban adalah merupakan perintah Allah yang wajib kita tunaikan. Mereka lebih suka menafsirkan perintah Allah tersebut sebagai menyembelih nafsu binatang yang ada pada jiwa manusia. Mereka melihat masalah sosial seperti korupsi dan kemiskinan yang melilit negeri ini bukan karena manusia tidak taat untuk menyembelih hewan-hewan kurban, melainkan karena manusia tidak mau mengurbankan egonya untuk memperkaya diri sendiri dan tidak mau memberikan sebagian kekayaannya untuk kepentingan ekonomi para kaum dhuafa di negeri ini.
Tentu saja pada prinsipnya saya juga mengamini sebagian besar yang telah mereka sampaikan. Bahkan, sejauh yang saya amati melalui beberapa tulisan dan sejumlah khutbah yang disampaikan dalam rangka memperingati Idul Adha, sebagian besar ulama kita juga menyampaikan kepedulian yang kurang lebih sama dengan kepedulian yang telah mereka kemukakan. Pada umumnya, para ulama juga menginginkan agar ibadah kurban tidak identik dengan penyembelihan makhluk hidup atau hewan-hewan kurban secara massal. Semestinya, menurut mereka, penekanan ibadah kurban adalah pada “pengurbanan diri secara ikhlas, untuk kepentingan diri sendiri (dalam rangka memelihara hubungan dekatnya dengan Allah) dan juga untuk kepentingan orang lain (dalam rangka memelihara hubungan/ kepedulian sosialnya dengan sesama manusia)”.
Namun, ada beberapa hal yang mendorong saya berpendapat bahwa keinginan tersebut tidak mudah untuk diwujudkan. Pertama, karena banyak di antara kita sendiri yang menghendaki supaya ritual penyembelihan hewan kurban secara massal, sebagaimana yang selama ini dilakukan, tetap dipertahankan atau bahkan kalau bisa skalanya semakin diperluas. Banyak di antara kita yang merasa belum dekat dengan Allah apabila kita tidak melakukan ritual penyembelihan hewan kurban. Kedua, setiap upaya untuk membatasimengubah ritual pengurbanan (penyembelihan) hewan menjadi ritual pengurbanan lainnya (misalnya pengurbanan uang, barang atau jasa) mungkin akan berhadapan dengan resistensi dari sebagian umat Islam yang menghendaki ditegakkannya kemurnian ajaran Islam. Mereka yang mencoba menafsirkan kembali ayat-ayat Al-Quran yang terkait dengan penyembelihan hewan kurban harus siap menerima predikat sebagai penyebar ajaran sesat. Ketiga, berbagai himbauan para ulama supaya dalam rangka melaksanakan ibadah kurban masyarakat tidak hanya sibuk menyembelih hewan-hewan kurban, membagi-bagikan dagingnya dan kemudian mengadakan pesta sate nampaknya juga tidak akan mampu banyak mengubah pemahaman dan keyakinan sebagian masyarakat bahwa ibadah kurban identik dengan penyembelihan hewan-hewan kurban.
Merintis Tradisi Baru Merayakan Idul Kurban
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah pandangan sebagian masyarakat yang percaya bahwa ibadah kurban identik dengan penyembelihan hewan kurban secara massal?
Hal pertama yang perlu kita sadari adalah bahwa mengubah pandangan masyarakat bukanlah pekerjaan yang mudah. Kedua, yang kita lakukan tentu saja bukanlah menghapus ritual penyembelihan hewan kurban, melainkan membatasi fokus kegiatan masyarakat yang berlebihan pada ritual penyembelihan hewan kurban dengan cara menciptakan tradisi pengurbanan baru yang lebih mendekatkan kita pada tujuan dibalik kegiatan ritual tersebut.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat pengurbanan seperti memberikan bantuan (uang, barang, tenaga, empati ataupun pikiran) kepada keluarga miskin dan panti asuhan saya kira sudah semestinya untuk kita pertimbangkan sebagai alternatif tradisi baru yang perlu dirintis dalam rangka merayakan Idul Kurban.
Ke Arah Pola Pikir Berkurban yang Lebih Rasional
Ketiga, kita perlu mengubah pola pikir berkurban masyarakat dari pola pikir tradisional ke arah pola pikir yang lebih rasional. Minimal ada dua hal yang mendorong motivasi masyarakat tradisional untuk berkurban, yakni supaya di akhirat nanti mereka bisa masuk surga dan supaya Allah tidak marah sehingga menghukum umat manusia dengan bencana.
Dalam kaitannya dengan motivasi pertama bagi masyarakat tradisional untuk berkurban, menurut mereka, ibadah kurban merupakan kendaraan yang bisa digunakan untuk mengantar mereka menuju pintu surga. Masalahnya, ibadah kurban semacam ini dalam praktek lebih mengedepankan kepentingan individual daripada kepentingan sosial. Ibadah kurban yang mereka lakukan dalam konteks untuk merebut surga menjadi miliknya, dan sama sekali tidak dalam konteks untuk mengubah dunia menjadi surga bagi semua umat manusia. Untuk mengikis sifat egonya yang berlebihan, dan sekaligus juga mengalihkan fokus perhatiannya pada penyembelihan hewan kurban, menurut saya mereka perlu diingatkan bahwa masih banyak jenis ibadah lain di luar ibadah kurban yang menjanjikan peluang lebih besar kepada mereka untuk menjadi penghuni surga. Contohnya, sebagaimana sering dikhutbahkan oleh para ulama, adalah mendidik anak-anak kita menjadi anak yang saleh sehingga di kemudian hari mereka selalu mendoakan yang terbaik (surga) bagi orangtuanya. Contoh lainnya, memberikan sedekah untuk pembangunan sarana ibadah atau sarana umum lainnya yang memberikan manfaat jangka panjang bagi para penggunanya. Satu hal yang ingin saya tekankan di sini, walaupun nilai uang sedekah yang kita berikan lebih kecil daripada nilai uang seekor sapi yang dikurbankan, namun pahala yang akan kita terima dan juga manfaat yang akan dirasakan oleh masyarakat bukan tidak mungkin akan jauh lebih besar.
Motivasi lain masyarakat tradisional untuk berkurban adalah supaya Allah tidak marah dan menghukum umat manusia dengan bencana. Cara-cara primitif berkurban yang mengurbankan hewan atau bahkan manusia, supaya Alam atau Allah tidak marah, telah kita ketahui melalui berbagai buku sejarah. Dalam sejarah, kita tahu bahwa ritual manusia sebagai kurban (ingat kisah gadis perawan yang dikurbankan supaya air di sungai Nil tidak menyusut) telah banyak menuai protes karena pada prinsipnya nyawa manusia terlalu berharga untuk dikurbankan demi keselamatan manusia lainnya. Lalu, ritual kurban manusia pun digantikan dengan ritual kurban hewan, mulai sapi hingga kambing dan ayam. Bahkan telor ayam, roti dan pisang pun seringkali kita lihat diletakkan di sebuah sudut rumah sebagai sesaji (baca: kurban) yang dipersembahkan kepada Sang Bahurekso (penguasa ghaib setempat) demi keselamatan semua anggota keluarga penghuni rumah.
Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern yang rasional cenderung melihat bencana yang menimpa manusia disebabkan oleh ketidakmampuan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah atau meminimalisir dampak buruk bencana bukan dengan cara melakukan ritual kurban hewan supaya Allah tidak marah, melainkan dengan cara bekerja keras dan melakukan cara-cara inovatif dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Dengan kata lain, pola pikir berkurban secara rasional menuntut manusia untuk selalu mengurbankan tenaga dan pikirannya dalam upaya mencegah dan mengatasi bencana, yang menimpa dirinya dan juga manusia lainnya.
Sekali lagi, saya sangat mendukung perubahan pola pikir berkurban dari pola pikir yang tradisional ke arah pola pikir yang rasional. Walaupun sejujurnya harus saya akui bahwa ketika kita sama sekali tidak berdaya menghadapi suatu bencana alam yang maha dahsyat seperti bencana tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, saya melihat bencana tersebut sebagai tanda kebesaran Allah dan sekaligus juga tanda keterbatasan kemampuan kita sebagai manusia. Meskipun demikian, saya tidak ingin berhenti untuk selalu menyeru terutama kepada masyarakat tradisional untuk mengadopsi pola pikir berkurban yang lebih rasional. Tidak perlu mengadopsinya secara drastis. Seperti yang sering diucapkan oleh Aa Gym, berkurbanlah mulai dari yang kecil-kecil. Misalnya “telor ayam”, lalu “ayam”, dan berikutnya “kambing”.
Sekali lagi, mengubah pandangan dan kepercayaan suatu masyarakat tidaklah mudah. Diperlukan kesabaran dan juga kewaspadaan yang terus menerus agar ibadah kurban tidak direduksi sekadar menjadi kendaraan pribadi menuju surga. Lebih celaka lagi kalau ia digunakan untuk menutupi aib-diri atau sekadar mencari popularitas. Bila itu terjadi, barangkali kita perlu menyimak kembali puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini.
PARA MUNAFIK ISMAIL
para ismail yang munafik
bergegas menyodorkan leher
- sembelihlah kami!
Ibrahim yang hanif bilang
- tak, kalian tak boleh mati!
agar menjadi pertanda biar umat waspada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar