Minggu, 28 Maret 2010

Liputan Berita: "Kemendagri Salah Artikan Kewenangan Gubernur"

KEMENDAGRI (JANGAN) SALAH ARTIKAN KEWENANGAN GUBERNUR

JAKARTA – Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) Pan Mohammad Faiz memperingatkan agar penguatan kewenangan gubernur tidak disalahtafsirkan. Kewenangan gubernur seperti yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 hendaknya tidak sampai keluar jalur.

“PP Nomor 19 Tahun 2010 jangan disalahtafsirkan. Kewenangan pemberian sanksi, termasuk bisa memberhentikan para kepala daerah seperti bupati dan wali kota. Pemberhentian harus tetap sesuai UU Nomor 32 Tahun 2004,” tegas Pan Mohammad Faiz, di Jakarta, Senin (22/3).

Faiz mengemukakan itu me respons pernyataan Dirjen Oto nomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sodjuangon Situmorang saat menghadiri rapat koordinasi kepala daerah di Padang, kemarin. Sodjuangon mengatakan aturan pemerintahan yang baru memberikan kewenangan lebih pada gubernur untuk memberhentikan wali kota dan bupati.

Kewenangan itu muncul setelah PP Nomor 19 Tahun 2010 diterapkan. “Sangat memungkinkan bila gubernur memberhentikan wali kota atau bupati karena sesuai dengan peraturan pemerintah yang segera diterapkan,” kata Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Sodjua ngon Situmorang.

Menurut Sodjuangon, aturan itu dilahirkan untuk memberikan kewenangan kepada gubernur untuk mengefi siensikan pelaksanaan roda pemerintahan daerah. Sebelum PP itu diterbitkan, gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menegur, bahkan memberhentikan kepala daerah setingkat bupati dan wali kota.

“Sanksi ini bisa dijatuhkan pada bupati dan wali kota yang tidak loyal pada keppres maupun peraturan daerah (perda),” kata Sodjuangon.

Berdasarkan UU Faiz mengatakan kewenangan gubernur yang dapat memberikan sanksi pada para bupati dan wali kota memang termuat dalam PP Nomor 19 Tahun 2010, yang merujuk pada ketentuan PP Nomor 08 Tahun 2008. PP itu mengatur tentang tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah.

Dalam konteks ini, kata dia, penguatan peran gubernur dengan diberikannya kewenangan memberikan sanksi pada bupati dan wali kota masuk hukum administrasi. Untuk mekanisme pemberhentian, tetap harus dikembalikan pada ketentuan seperti yang tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

“Kewenangan kepala daerah atau wakil kepala daerah masih berada di tangan Presiden. Artinya legitimasi pemilihan langsung kepala daerah di kabupaten dan kota oleh rakyat harus tetap seperti dulu,” ujarnya.

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, mengatakan bila dalam PP itu ada kewenangan gubernur untuk memberhentikan bupati dan wali kota, jelas itu bertentangan dengan konstitusi.

“Sebab, menurut Pasal 18 A Undang-undang Dasar 1945, pemerintah kabupaten dan kota itu bukan subordinat pemerintah provinsi. Bupati dan wali kota itu bukan anak buah atau bawahannya gubernur,” tukasnya. (ags/Ant/P-1)

Sumber: Koran Jakarta – Selasa, 23 Maret 2010 (http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=48091)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar