Selasa, 07 Oktober 2008

Konstitusi Rakyat

MERAJUT KONSTITUSI RAKYAT
Oleh: Pan Mohamad Faiz *

Bola panas kembali bergulir menjelang digelarnya pesta rakyat (pemilu) lima tahunan. Kali ini isu mengenai perubahan UUD 1945 kembali mengemuka, hanya saja sifat usulannya lebih ‘halus’ yaitu didahului dengan pembentukan lembaga pengkaji UUD semacam Komisi Konstitusi. Adalah MPR yang memunculkan gagasan tersebut setelah menyambut baik usulan amandemen dari Presiden SBY yang disampaikannya di hadapan para anggota DPD belum lama ini.

Berbeda dengan ketiga lembaga tinggi negara di atas (MPR, DPD, Presiden), DPR lebih bersikap dingin atas usulan amandemen kelima terhadap UUD 1945. Pasalnya, lembaga perwakilan rakyat tersebut merasa sudah cukup puas dengan kewenangan kuat yang melekat pada dirinya (legislative heavy) sebagai hasil pergulatan panjang amandemen UUD 1945 dalam empat tahap dari tahun 1999-2002. Sebaliknya, baik MPR maupun Presiden merasa bahwa kewenangan yang dimilikinya terlucuti akibat hasil amandemen. Sedangkan bagi DPD, kewenangan konstitusional yang dimiliknya berdasarkan Pasal 22D UUD 1945 menciptakan kondisi seakan-akan hidup segan mati pun tidak mau.

Oleh karena itu, berdasarkan klasifikasi kepentingannya, amandemen kelima ini dapat dikatakan cenderung membawa kepentingan-kepentingan lembaga tertentu untuk lebih dapat mendongkrak kekuasaannya masing-masing (Negretto, 1998). Jika benar adanya, maka dikhawatirkan bahwa amandemen kelima nanti akan kembali mengulang sejarah kesalahan yang sama dengan menjadikan ajang amandemen sebagai permainan politik di kalangan elite semata. Kepentingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sekaligus pemilik sejati sebuah konstitusi negara, seakan-akan dikesampingkan dalam hal ini.

Untuk menghindari terjadinya pencemaran konstitusi oleh para elite politik, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dan aktif (Murray, 2001). Sehingga, produk konstitusi yang akan dihasilkan akan menjadi cerminan konstitusi yang memiliki legitimasi kuat dari masyarakatnya.

Menelaah Tim Telaah

Konstitusi sebagai living organism tentunya harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan perubahan jaman. Sebelum terjadinya amandemen, UUD 1945 yang sangat kaku dan terlalu disakralkan memang terbukti membawa dampak buruk bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Thomas Jefferson (1975) berargumentasi bahwa konstitusi sebaiknya diamandemen pada setiap generasi baru untuk memastikan bahwa pasal-pasal yang sudah mati tidak akan berbenturan dengan kehidupan kekinian masyarakatnya.

Hadirnya Tim Telaah Konstitusi berdasarkan hasil rapat gabungan MPR menunjukkan bahwa kajian terhadap substansi dan pelaksanaan konstitusi dirasa kian mendesak. Namun demikian, beberapa telaah kritis perlu pula dialamatkan terhadap pembentukan tim tersebut.

Pertama, pembentukan tim telaah konstitusi ini terkesan kurang terencana, terlalu dipaksakan, dan lahir secara prematur. Mengenai siapa pembentuk dan penamaannya ternyata lebih mendominasi pemikiran para pengusungnya. Sedangkan terhadap siapa saja yang akan terlibat di dalamnya, agenda dan target apa yang akan dituju, hingga limitasi waktu pelaksanaan tugasnya, justru dipikirkan dikemudian hari. Kalaupun telah dibahas, transparansi dan publisitasnya pun sampai sekarang sama sekali tidak terdengar. Oleh karena itu, tim telaah ini dikhawatirkan akan bernasib sama dengan Komisi Konstitusi yang dibentuk beberapa tahun silam, yaitu tidak adanya kejelasan tindak lanjut atas hasil kerjanya.

Kedua, kajian terhadap konstitusi melalui suatu lembaga yang dibuat khusus seharusnya dilakukan dengan memetik pengalaman terhadap pola-pola yang telah sukses dilaksanakan oleh negara-negara lain. Untuk menyebut beberapa di antaranya, misalnya Constitutional Drafting Assembly di Thailand, National Commission to Review the Working of the Constitution (NCRWC) di India, atau South African Constituent Assembly di Afrika Selatan. Produk kajian yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut memiliki legitimasi rekomendasi dan analisa yang cukup kuat. Selain pembentukannya dirancang sedemikian matang, partispasi publik sebagai kunci penting perubahan konstitusi juga dibuka secara luas dengan tingkat penjaringan yang efektif sekaligus sebagai ajang pendidikan konstitusionalisme bagi rakyatnya.

Partisipasi Rakyat

Sala satu kelemahan mendasar dari UUD 1945 hasil perubahan yaitu terjadinya kerancuan sistematika dan teknik penyusunan (legislative drafting). Akibatnya, teks-teks dalam konstitusi teramat sulit untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Hasilnya, konstitusi (baru) Indonesia dinilai semakin tidak merakyat. Apatisme publik yang terjadi selama proses amandemen tahap pertama hingga keempat turut pula menghambat terciptanya suatu konstitusi rakyat (people’s constitution). Padahal, adanya partsipasi dari publik dapat menjadi senyawa aktif dalam menciptakan konstitusi yang demokratis. Lebih dari itu, kesadaran berkonstitusi tentunya akan meningkat tajam apabila keterlibatan publik secara aktif benar-benar terlaksana.

Dalam konteks ini, mengutip rekomendasi yang dihasilkan oleh Commonwealth Human Rights Initiatives, Denny Indrayana (2007) mengutarakan sebelas prinsip pembuatan konstitusi yang terkait erat dengan partisipasi publik, yaitu: (1) legitimasi; (2) inklusivitas; (3) pemberdayaan masyarakat sipil; (4) keterbukaan dan transparansi; (5) aksesibilitas; (6) pengkajian yang berkesinambungan; (7) akuntabilitas; (8) pentingnya proses; (9) peran partai politik; (10) peran masyarakat sipil; dan (11) peran para pakar.

Guna terciptanya Konstitusi Rakyat, maka mau tidak mau dan suka tidak suka, tim telaah yang sudah terbentuk saat ini maupun yang akan datang, haruslah memenuhi kesebelas prinsip minimum di atas. Dengan memanfaatkan momentum Pemilu 2009 mendatang, justru lembaga perwakilan melalui partai politik dan perseorangan independen yang ada di dalamnya dapat lebih mudah membumikan hasil kajian konsep amandemen maupun menjaring berbagai masukan dari setiap elemen masyarakat. Tidak terkecuali bagi 34 Pusat Kajian Konstitusi (PKK) yang sudah terbentuk di berbagai universitas yang tersebar di seluruh Indonesia, sudah seyogyanya mereka dilibatkan untuk turut menyumbangkan kajian ilmiah bagi penyempurnaan UUD 1945 saat ini. Diharapkan hasil kajian akademis mereka dapat terhindar dari kepentingan politik praktis.

Kiranya kita semua harus mengingat kembali akan arti pentingnya gagasan dasar atas konstitusi yang dikemukakan oleh Patrick Henry, “the Constitution is not an instrument for the government to restrain the people, but it is an instrument for the people to restrain the government”. Jadikanlah rakyat sebagai aspirasi dan jiwa dari konstitusi itu sendiri!

* Pengamat Hukum dan Konstitusi. Alumnus Faculty of Law, University of Delhi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar