Dua belas tahun silam, kejahatan internasional terhadap kemanusiaan berkecambuk di negeri Bosnia. Ribuan warga Bosnia dibantai secara membabi buta oleh pasukan Serbia. Ratusan wanita diperkosa secara paksa, orang tua dan anak-anak tidak berdosa harus meregang nyawa diujung laras senapan. Akan tetapi di saat yang bersamaan, hampir seluruh negara-negara Eropa dan dunia lainnya hanya duduk termangu menyaksikan terjadinya hamparan tragedi kemanusian tersebut.
Suatu peristiwa berdarah yang masih sulit untuk kita hapuskan dari ingatan. Pada saat itu, Srebrenica yang terletak di Bosnia Timur merupakan zona aman di bawah kendali penjaga perdamaian PBB asal Belanda, di mana ribuan pengungsi muslim Bosnia menggunakan daerah tersebut sebagai tempat pelarian dan penampungan sementara.
Namun, ketika tentara Serbia pimpinan Jenderal Mladic menyerbu masuk dan kemudian meminta agar pasukan Belanda menyerahkan warga Bosnia kepada mereka, permintaan itu pun dipenuhi oleh pasukan tersebut. Pada akhirnya, secara sistematis tentara Serbia membantai habis sekitar 8.000 warga Bosnia, dan penjaga perdamaian PBB yang ada tidak dapat melakukan apapun selain menyaksikan pembantaian keji tersebut.
Atas peristiwa tersebut, Bosnia mengajukan gugatan resmi terhadap pemerintah di Beograd ke hadapan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang mempunyai kewenangan untuk menangani sengketa antarnegara. Setelah menunggu selama 14 tahun, akhirnya pekan lalu, ICJ di Den Haag memutuskan bahwa pembunuhan massal warga Muslim Bosnia di Srebrenica merupakan kejahatan genosida. Tetapi berdasarkan hukum internasional, negara Serbia dinyatakan terbebas dari kesalahan atas drama kejahatan kemanusiaan tersebut.
Tentunya keputusan yang dinilai tidak tegas dan bersifat formalisme yuridis belaka ini menyulut kontroversi di berbagai kalangan ahli hukum dan aktivitas HAM dari berbagai belahan dunia. Keputusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan para korban.
Dampak Hukum dan Politis
Perkara yang diputus oleh ICJ ini merupakan kasus yang sangat bersejarah. Sebab inilah kali pertama suatu negara mengajukan perkara genosida di hadapan pengadilan tertinggi PBB. Sehingga, putusan yang telah dijatuhkankannya menjadikan satu yurisprudensi baru bahwasanya suatu negara yang melanggar Konvensi Genosida (1951) dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.
Kesimpulan ICJ yang diuraikan melalui keputusannya bahwa pasukan Ratko Mladic memang melakukan genosida di Srebrenica bukanlah suatu hal yang baru. Pasalnya, beberapa waktu lalu, kesimpulan yang sama telah diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan Kejahatan Internasional di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY). Hanya, perkara yang diadili pada pengadilan tersebut belum sempat diselesaikan akibat meninggalnya terdakwa Slobodan Milosovic sebagai arsitek utama genosida di negeri tersebut.
Membebaskan Serbia dari tuduhan kejahatan kemanusiaan, namun mencoba menghadiahkan Bosnia dengan menyatakan bahwa pembantaian di Srebrenica mempunyai karakteristik untuk dinyatakan sebagai genosida merupakan keputusan yang diharapakan oleh ICJ dapat memuaskan kedua pihak yang berperkara. Sehingga banyak kalangan menilai bahwa keputusan tersebut hanyalah keputusan yang komprimistis atau dalam istilah lain splitting the baby in half. Maka konsekuensi hukumnya yaitu Boegrad tidak perlu membayar kompensasi keuangan apapun kepada Sarajevo yang ditaksir bernilai ratusan miliar rupiah.
Tak pelak, keputusan yang ambivalen tersebut mengundang banyak kritikan, terutama dari Antonio Cassese, presiden pertama ICTY. Dia berpendapat bahwa meminta bukti spesifik adanya perintah langsung dari Boegrad untuk melakukan genosida terhadap penduduk Muslim Bosnia merupakan standar bukti yang sangat tinggi dan sudah dapat dipastikan sulit untuk diperoleh. Menurutnya, dengan melihat bahwa pasukan Serbia secara nyata dibiayai oleh pemerintahannya sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup.
Salah satu implikasi penting lainnya yaitu tidak merosotnya citra dan prospek Serbia untuk melanjutkan negosiasi dengan Uni Eropa, di mana Boegrad berharap mereka akan memperoleh keanggotaannya sebagai anggota Uni Eropa. Keputusan ini juga dianggap sebagai pengobat penahan rasa sakit Serbia yang dalam waktu dekat ini diperkirakan akan kehilangan Kosovo sebagai salah satu wilayah bagian dari Serbia. Saat ini, Kosovo masih berada di bawah pengawasan PBB.
Rekonsiliasi dan Reintegrasi
Setidaknya ada dua tantangan utama untuk mewujudkan rekonsiliasi pascakeputusan ICJ antara kedua negara yang bersengketa. Pertama, keputusan tersebut justru menguatkan indikasi bahwa apa yang selama ini diyakini dan dikeluhkan oleh warga dan para pejabat Bosnia atas kesalahan Serbia telah terbukti. Kedua, kekecewaan warga Bosnia atas keputusan yang pahit tersebut tidak dapat lagi diperjuangkan, sebab keputusan ICJ adalah final dan tidak dapat diajukan banding.
Maka cukuplah beralasan jika Alexander Solzhenistan berpendapat bahwa pengadilan internasional mungkin bukanlah instrumen terbaik untuk menciptakan terjadinya rekonsiliasi dalam politik internasional.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka kebesaran hati dari Pemerintah Serbia arahan Presiden Boris Tadic bersama dengan Parlemen Serbia akan sangat dinanti oleh masyarakat internasional guna meminta maaf secara resmi terhadap terjadinya peristiwa pembantaian Srebrenica.
Begitu pula dengan segara dilaksanakannya himbauan ICJ yang meminta Boegrade agar sepenuhnya bekerjasama dengan ICTY untuk menangkap dan menyerahkan, antara lain, Jenderal Ratko Mladic, yang diindikasikan masih bersembunyi di Serbia. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka seterusnya hubungan antara Serbia dengan Bosnia akan berakhir dengan tidak adanya kepercayaan satu sama lain.
Seluruh struktur politik tentunya ingin melakukan tindakan secara formal, tetapi kebulatan tekad untuk memecahkan esensi dan inti permasalahan tersebut sepertinya belum terlihat. Apa yang mereka butuhkan saat ini adalah suatu dialog di antara orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa tersebut untuk menemukan titik temu. Sebagaimana halnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membagi cerita masa lalu untuk mencari sebuah kata perdamaian.
Bersama rencana untuk reintegrasi, di mana termasuk di dalamnya kompensasi tempat tinggal dan ekonomi bagi para penghuni kamp di pengasingan, mungkin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan bukan hanya perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu. Tentunya kita pun berharap bahwa penduduk di Bosnia akan menemukan kekuatan untuk hidup bersama atau setidaknya mereka mau untuk memaafkan jika tidak mampu untuk melupakan.
* Mahasiswa Pascasarjana program Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi dan Master of Political Science pada School of Social Sciences, IGNOU, New Delhi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar