Selasa, 27 Maret 2007

Meneropong Sistem Pendidikan di India

IMPOR KESEDERHANAAN DAN SEMANGAT BELAJAR DARI INDIA
(Catatan Studi Banding Pendidikan di India oleh Mahasiswa Indonesia)

Disusun oleh:
1. Fatimah Zahra Nasution (IAIN Medan)
2. Nirmala (IAIN Mataram)
3. Nifasri (Departemen Agama RI, Pend. I)
4. Pan Mohamad Faiz (University of Delhi, Pend. II)

A. Latar Belakang

Mahasiswa sering dielu-elukan sebagai "agent of change", "agent of modernization" atau bahkan sebagai "agent of development".[1] Dan sebagaimana yang diungkapkan Yozan Anwar dalam "Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20" bahwa ada satu persamaan seluruh gerakan mahasiswa di dunia yaitu berjuang untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Namun, beberapa tahun belakangan ini terdapat satu kegerahan yang sangat mendalam terhadap pola pikir dan tingkah laku mahasiswa di Indonesia khususnya mahasiswa di Perguruan Tinggi Agama Islam di tanah air. Bergesernya pola pendidikan yang terjadi di sejumlah perguruan tinggi di tanah air khususnya di PTAI menyebabkan perhatian mahasiswa mulai beralih pada persoalan yang sebenarnya jauh dari nuansa akademik. Mahasiswa menjadi asyik dengan “kesibukan-kesibukan” di organisasinya dan nyaris menelantarkan waktu perkuliahan dan jam-jam belajar.

Negara bagai kehilangan satu generasi pemimpin yang cerdas ketika orientasi pemikiran kritis mahasiswa sudah mengarah pada hal-hal yang pragmatis. Tiada hari tanpa demonstrasi seakan telah menjadi trademark para aktivis kampus. Pola pikir mahasiswa yang kritis mulai dicemari dengan aksi politik praktis. Padahal menurut Scott, inti kegiatan dari suatu perguruan tinggi adalah keilmuan dan akademik.[2] Seyogianya, jika dilakukan dalam porsi yang benar, untuk tujuan mengkader diri, organisasi tetap penting sepanjang peran organisasi-dengan visi dan misinya yang membangun-untuk kemajuan mahasiswa, bangsa dan negara di masa yang akan datang. Organisasi memiliki kemampuan mengubah pola pikir dan budaya mahasiswa menjadi lebih baik.


Namun, kenyataan berkata lain, hari ini ruh organisasi mahasiswa di PTAI telah terinfeksi virus-virus pengganggu sehingga pelaku organisasi yaitu mahasiswa tidak lagi berfikir dalam nuansa akademis, melainkan lebih cenderung politis yang mengusung kepentingan-kepentingan sekelompok orang. Gejolak mahasiswa yang dirasa semakin parah menjadi landasan pikir diselenggarakannya suatu program yang bertujuan untuk mengadakan perubahan dan perbaikan PTAI di masa depan. Oleh karena itu, upaya membangun dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kalangan civitas akademika khususnya mahasiswa PTAI di Indonesia adalah suatu kewajiban mutlak yang harus ditunaikan segera.

Menyahuti tuntutan dan realita ini, Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI menyelenggarakan suatu program studi banding bagi mahasiswa PTAI ke luar negeri untuk melihat langsung apa dan bagaimana sebenarnya aktivitas akademis yang berlangsung di lingkungan kampus perguruan tinggi di luar negeri serta mengambil manfaat dan pelajaran mengapa dan bagaimana mahasiswa perguruan tinggi di luar negeri memiliki kualitas yang baik dan mampu bersaing dalam dunia global. Diharapkan, nilai-nilai positif yang diperoleh dari kampus di luar negeri dapat diterapkan dalam upaya peningkatan kualitas kampus khususnya bagi mahasiswa PTAI di tanah air. Sejak tanggal 31 Januari 2007 sampai 06 Februari 2007 kami berada di India melakukan observasi dan studi banding di dua kampus yaitu University of Delhi dan Jamia Millia Islamia yang berada di New Delhi, ibukota India.

Melalui studi banding ke negeri “budaya tak pernah mati” telah membuka tirai pemikiran tentang aktivitas fungsi perguruan tinggi yang sesungguhnya. Apa yang kami saksikan di India sungguh telah membuka fikiran kami. India, dengan segala kesederhanaan yang meliputi, memiliki semangat yang luar biasa dalam memburu ilmu pengetahuan dan pada gilirannya menjadi unggul dalam bidang akademis dan keilmuan. Jika orang lain lebih maju dibanding kita, tak salah kiranya bila kita meneladani keberhasilan mereka, agar PTAI tidak berjalan di tempat atau malah mundur ke belakang. Sungguh telah banyak kajian dan penelitian yang dilakukan terhadap kualitas akademis, mutu lulusan, kondisi real, serta problem yang sedang diderita PTAI hari ini. Namun, perlu diingat bahwa langkah nyata dalam perbaikan dan peningkatan mutu akademis mahasiswa semakin mendesak dan harus segera direalisasikan dalam tataran praktis, tidak lagi sebagai wacana pikir saja.

Tulisan ini merupakan hasil peninjauan dan studi banding yang kami lakukan selama 6 hari pada dua Universitas di India tersebut. Tulisan ini dikhususkan pada hal yang berkenaan dengan aktivitas perpustakaan, sarana pembelajaran dan proses belajar mengajar di dua universitas tersebut.

B. Sekilas tentang University of Delhi dan Jamia Millia Islamia

New Delhi merupakan pusat pendidikan di daerah India Utara.[3] University of Delhi merupakan salah satu kampus terbaik di India yang terkenal dengan kualitasnya dalam sistem pembelajaran dan penelitian serta telah menghasilkan sarjana di berbagai bidang keilmuan.[4] University of Delhi didirikan pada tahun 1922 sebagai pusat pendidikan oleh pemerintah. Pada masa awal pendiriannya, University of Delhi hanya memiliki dua fakultas yaitu Art Faculty dan Science Faculty yang terdiri dari tiga kampus utama yaitu St. Stephens College (1881), Hindu College (1899), dan Ramjas College (1917), yang dapat menampung 750 mahasiswa.[5]

Menyadari pentingnya pengembangan aspek akademis, pada tahun 1933, Sir. Maurice Gwyer yang menjabat sebagai Vice Chancellor mendatangkan para professor yang kompeten di berbagai bidang keilmuan untuk mengajar di kampus tersebut. Pengembangan kampus terus dilakukan dari masa ke masa hingga pada saat ini University of Delhi telah memiliki 14 fakultas, 86 departemen, dan 79 collage yang tersebar di seluruh kota New Delhi.

Dalam upaya pengembangan kampus pada tahun 70-an, University of Delhi menerapkan kerangka organisasi baru melalui konsep multi-kampus. Di daerah Dhaula Kuan didirikan The South Campus pada awal tahun 1973 yang dimulai dengan program Postgraduate di Faculty of Art dan Faculty of Social Sciences. Selanjutnya didirikan pula The East Campus dan The West Campus yang masing-masing fokus pada bidang kedokteran dan teknologi.

University of Delhi telah banyak menerima penghargaan dalam berbagai bidang sejak tahun 60-an antara lain bidang fisika, kimia, pertanian, peternakan, ekonomi dan sosiologi di mana pada saat sekarang ini universitas tersebut telah menjadi pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, sejumlah award telah diperoleh berbagai departemen di universitas ini.

Tak jauh berbeda dari sisi kualitas, Jamia Millia Islamia juga merupakan salah satu kampus terbaik yang terdapat di New Delhi, India.[6] Jamia Millia Islamia yang merupakan kampus bermayoritas Muslim dikenal dengan kualitasnya dalam sistem pembelajaran dan penelitian serta telah menghasilkan sarjana di berbagai bidang keilmuan, khususnya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Walaupun mayoritas sivitas akademika di kampus ini beragama Islam, namun kampus ini tidak membedakan kasta, agama maupun ras. Jamia Millia Islamia didirikan pada tahun 1920 di New Delhi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan oleh pemerintah.

Jamia Millia Islamia menawarkan beragam program akademis dan program ekstensi yang terdiri dari beberapa fakultas dan pusat-pusat kajian antara lain:[7]

1. Faculty of Education (Department of Studies)
Department of Foundation of Educations
Department of Teacher Training & Non-Formal Education
Department of Fine Arts & Art Education

2. Faculty of Humanities & Languages (Department of Studies)
Department of Urdu
Department of Islamic Studies
Department of Arabic
Department of Persian
Department of Hindi
Department of English

3. Faculty of Social Science (Department of Studies):
Department of Economics
Department of Political Science
Department of Social Work
Department of Sociology
Department of Psychology
Department of Commerce

4. Faculty of Natural Science (Department of Studies):
Department of Physics
Department of Chemistry
Department of Geography
Department of Mathematics
Department of Bio-Sciences

5. Faculty of Engineering & Technology (Department of Studies)
Department of Civil Engineering
Department of Mechanical Engineering
Department of Electrical Engineering
Jamia Polytechnic

6. University Center di Jamia Millia Islamia
1. Academic Staff College
2. Academy of Third World Studies
3. A.J.K. Mass Communication Research Centre
4. Barkat Ali Firaq State Resource Centre
5. Centre for Coaching and Career Planning
6. Centre for Culture Media & Governance
7. Centre for Dental Studies
8. Centre for Distance and Open Learning
9. Centre for Gandhian Studies
10. Centre for Information Technology
11. Centre for Interdisciplinary Research in Basic Sciences
12. Centre for Jawaharlal Nehru Studies
13. Centre for Management Studies
14. Centre for Professional Development of Urdu Teacher
15. Centre for Spanish and Latin American Studies
16. Centre for Theoretical Physics
17. Centre for the Study of Comparative Religions and Civilizations
18. Centre for West Asian Studies
19. Dr. K. R. Narayanan Centre for Dalit and Minorities Studies
20. Dr. Zakir Husain Institute of Islamic Studies
21. Jamia's Prem Chand Archives and Literary Centre
22. Nelson Mandela Center for Peace and Conflict Resolution
23. Sarojini Naidu Centre for Women's Studies

Jamia Millia Islamia mengadopsi sistem pendidikan yang sama dengan University of Delhi, yaitu sistem Eropa dan sistem Amerika. Dengan gabungan sistem ini tingkat keseriusan belajar mahasiswa sangat tinggi. Strategi yang digunakan dalam proses pembelajaran bagi mahasiswa di Jamia Millia Islamia adalah “independent learning”. Mereka lebih banyak meluangkan waktu dengan belajar sendiri dan memperbanyak waktu membaca.

Berbeda dengan University of Delhi, Jamia Millia Islamia tidak memberlakukan sistem porsi penilaian sebagaimana yang terdapat di University of Delhi. Keseluruhan nilai mata kuliah mutlak diperoleh dari hasil ujian final mahasiswa, tanpa ada komponen kehadiran maupun tugas-tugas. Jadi tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk hadir penuh dalam perkuliahan, hanya saja mahasiswa akan kesulitan untuk mengikuti ujian jika tidak mengikuti perkuliahan dengan dosen di kelas.

Di kampus ini, metode yang dipakai adalah metode chapter. Artinya, setiap tahun ajaran mahasiswa diberikan sejumlah chapter (mata kuliah) yang akan ditempuh selama satu tahun ajaran. Hal ini berbeda dengan University of Delhi yang menggunakan sistem per semester.[8]

C. Sarana Perpustakaan sebagai Motivator Utama

Perpustakaan merupakan jantung perguruan tinggi. Denyut kehidupan akademis dimulai dari susunan buku-buku. Perguruan tinggi yang berkualitas baik sejatinya memiliki sarana perpustakaan yang baik pula. Tidak mengherankan jika banyak perguruan tinggi di luar negeri yang mencapai puncak keilmuannya dimulai dari perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap dan banyak. Dalam pengamatan kami, baik University of Delhi, maupun Jamia Millia Islamia, keduanya mengagungkan perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan. Perpustakaan seolah menyedot para pengembara yang haus ilmu untuk berlama-lama menghabiskan waktu bercinta dengan koleksi perpustakaan.

Jika dibandingkan dengan kondisi di PTAI di tanah air, saat ini perpustakaan PTAI seolah berada di persimpangan jalan karena keterbatasan anggaran. Perpustakaan menjadi hening tanpa peminat. Sungguh mengundang decak kagum ketika kami melihat langsung aktifitas perpustakaan di dua kampus yang kami kunjungi. Bagaimana tidak, kondisi perpustakaan baik di University of Delhi maupun Jamia Millia Islamia menyirat perbedaan yang signifikan dengan kondisi perpustakaan PTAI di tanah air.

Central Library di University of Delhi yang didirikan pada tahun 1922 pada saat ini telah memiliki lebih dari 1,5 juta judul buku dari berbagai bidang ilmu. Anggaran tahunan yang dialokasikan untuk perpustakaan ini sebesar 2% dari anggaran universitas. Pihak perpustakaan juga bekerja sama dengan penerbit yang mensuplai buku-buku bagi perpustakaan.[9] Tak kalah hebatnya, perpustakaan DR. Zakir Husein yang terdapat di Jamia Milia Islamia telah memiliki lebih dari 302.000 buah buku dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, 445 buah jurnal, 600 Tesis, 200 Microfilm, 30 Compact Disc, 3000 Manuscript, dan 17 Special Collection. Koleksi buku-buku maupun jurnal menggunakan lima bahasa yaitu : buku berbahasa Urdu 25000, Hindi 12000, Persia 2600, Arabic 3000, dan yang lainnya menggunakan bahasa Inggris. Selain bekerja sama dengan penerbit dalam pengadaan koleksi buku, perpustakaan Dr. Zakir Husein juga menerima bantuan khusus dari pemerintah India.[10]

Kedua perpustakaan ini juga dilengkapi dengan fasilitas fotokopi dan internet gratis. Selain memiliki Central Library, baik di University of Delhi maupun di Jamia Millia Islamia, setiap fakultas dan departemen juga mempunyai perpustakaan masing-masing.
Setiap bulan, kedua perpustakaan ini membeli sekitar 1000-2000 eksemplar buku baru tergantung dari kebutuhan dan anggaran dana yang ada. Biasanya pembelian buku ini berdasarkan jumlah permintaan mahasiswa, rekomendasi dari dosen maupun informasi buku baru dari penerbit. Mendapati jumlah sirkulasi harian buku di kedua perpustakaan ini yang berkisar antara 700-1000 buku per hari menggambarkan ramainya aktivitas di tempat ini. Banyak fasilitas yang disediakan di perpustakaan seperti ruang baca, pelayanan peminjaman buku, internet searching, interlibrary loan dan juga fasilitas fotokopi namun dibatasi hanya 1-2 bab dari setiap buku. Dengan adanya fasilitas internet searching, perpustakaan dapat diakses melalui internet di luar kampus.

Mekanisme peminjaman buku di perpustakaan pusat University of Delhi masih menggunakan sistem manual yang disebut reader ticket. Mahasiswa diberikan 5 buah kartu sirkulasi dengan warna yang berbeda. Satu kartu berwarna hitam yang disebut reader card digunakan untuk peminjaman buku referensi, artikel maupun disertasi yang lama peminjaman hanya 3 hari namun dapat diperpanjang, sedangkan empat buah kartu berwarna biru yang disebut library card digunakan untuk peminjaman text book (buku biasa), lamanya peminjaman sampai satu tahun ajaran. Jadi, mahasiswa tidak perlu membeli buku, perpustakaan menyediakan berbagai buku yang dibutuhkan mahasiswa. Sebelum ujian akhir semester, terdapat sistem clearance yang mewajibkan seluruh mahasiswa mendapatkan surat clearance dari perpustakaan. Surat ini hanya dapat diperoleh dengan mengembalikan seluruh buku yang masih berada di tangan mahasiswa. Jika buku yang dipinjam rusak atau hilang, mahasiswa harus mengganti kerugiannya.

Di perpustakaan ini diberlakukan denda atas keterlambatan pengembalian buku referensi sebesar Rs. 10 per hari (Rs. 1,- = Rp. 200,-). Selain mahasiswa dan dosen, pengguna perpustakaan hanya diperbolehkan membaca buku di ruangan dan tidak diperbolehkan meminjam buku. Jika buku yang dibutuhkan mahasiswa tidak tersedia di perpustakaan, maka pihak perpustakaan akan mencarikannya di perpustakaan lain, atau mengkopikan buku yang diperlukan atau menghubungi penerbit. Namun, hal ini jarang terjadi sebab jumlah eksemplar buku yang terdapat di perpustakaan ini dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa. Perpustakaan ini buka setiap hari kecuali hari kemerdekaan, hari republik, hari raya dan hari Gandhi Jayanthi. Jadwal resmi pelayanan perpustakaan yaitu hari senin-jumat mulai pukul 9.00- 17.00, hari Sabtu-Minggu mulai pukul 10.00-16.30. Akan tetapi pada nyatanya perpustakaan ini dapat buka hingga pukul 22.00 dan pada waktu ujian dapat melayani selama 24 jam non-stop.

Tak jauh berbeda dengan yang diterapkan di perpustakaan sentral University of Delhi, mekanisme peminjaman buku di perpustakaan DR. Zakir Husein juga masih menggunakan sistem manual yang disebut reader ticket. Bedanya, mahasiswa diberikan 6 buah kartu sirkulasi dengan warna yang berbeda. Satu kartu berwarna putih yang disebut kartu induk perpustakaan sebagai tanda bahwa mahasiswa sudah terdaftar menjadi anggota perpustakaan. Dan 5 kartu berwarna hitam digunakan untuk meminjam buku-buku panduan perkuliahan, artikel, maupun disertasi yang lama peminjaman selama satu minggu, akan tetapi dapat diperpanjang. Jadi, mahasiswa tidak perlu membeli buku, perpustakaan menyediakan berbagai buku yang dibutuhkan mahasiswa. Sebagaimana berlaku di University of Delhi, sebelum ujian akhir semester, terdapat sistem clearance yang mewajibkan seluruh mahasiswa mendapatkan surat clearance dari perpustakaan.

Di central perpustakaan di Jamia Milia Islamia tidak diberlakukan denda atas keterlambatan pengembalian buku atau yang lainnya seperti artikel maupun disertasi. Selain mahasiswa dan dosen, pengguna perpustakaan hanya diperbolehkan membaca buku di ruangan dan tidak diperbolehkan meminjam buku. Jika buku yang dibutuhkan mahasiswa tidak tersedia diperpustakaan, maka pihak perpustakaan akan meminta mahasiswa atau dosen yang meminjam untuk menuliskan judul buku, pengarang, dan penerbit baru kemudian pihak perpustakaan akan mencarikan bukunya. Perpustakaan di Jamia Millia Islamia ini buka setiap hari kecuali hari kemerdekaan, hari republik dan hari raya.

D. Bersahabat dengan Sumber Informasi

Terdapat perbedaan yang signifikan tentang orientasi berfikir dan pola studi mahasiswa India dengan mahasiswa Indonesia. Bagaimana tidak, mahasiswa di India nyaris tak punya waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak berkaitan dengan persoalan akademik. Setiap hari, waktu mereka terkuras untuk bercinta dengan huruf-huruf dalam susunan beratus-ratus kertas bahkan beribu-ribu halaman tebalnya. Membaca yang awalnya merupakan suatu kewajiban dengan sendirinya terkonversi menjadi satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi. Pada umumnya mahasiswa menghabiskan waktu 12 hingga 20 jam perhari untuk berkonsentrasi dengan materi-materi kuliah.

Sulit dicerna akal sehat seseorang bisa cerdas tanpa buku. Buku menempati posisi unggulan sebagai sarana penting bagi kehidupan dan pencerdasan suatu bangsa. Relatif permanen, berbagai informasi terdokumentasi dalam bentuk buku. Ibarat tabir pembuka keajaiban alam raya, buku mengandung berjuta pesona yang menuntun pembacanya untuk lebih arif berfikir dan bertindak. Bukan mahasiswa namanya kalau tak bersahabat dengan buku sebagai salah satu sumber informasi. Seorang mahasiswa di India tak akan bisa lulus ujian jika tak mau bersahabat karib dengan buku.

Jika kita mencoba untuk membandingkan pada saat sekarang, di Indonesia, tidak sedikit bahkan kebanyakan mahasiswa menunggu perintah dan tugas dari dosennya. Mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk membaca berbagai informasi yang relevan dengan bidang studinya dan pada saat yang sama dosen dengan berbagai “kesibukannya” tidak lagi memperhatikan kewajibannya dalam proses belajar mengajar.

Rendahnya motivasi masyarakat Indonesia khususnya pelajar dan mahasiswa dalam membaca dan memburu informasi berujung pada buruknya pengembangan SDM di negeri ini, satu kenyataan yang harus diakui bahwa Indonesia menduduki urutan terendah di antara negara-negara ASEAN dalam pengembangan sumber daya manusia.[11] Keadaan semacam ini perlu segera dikoreksi demi kemajuan dan peningkatan kualitas perguruan tinggi di Indonesia khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam.

E. Dahsyatnya Pola Perkuliahan dan Sistem Ujian Akhir

Baik University of Delhi maupun Jamia Millia Islamia, keduanya mengadopsi sistem pendidikan campuran, yaitu European system dan American system. Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari beberapa responden yang terdiri dari beberapa mahasiswa di University of Delhi, sistem pembelajaran yang diterapkan merupakan gabungan dari keduanya, misalnya, dosen memberikan perkuliahan di ruang kelas dan memberikan sejumlah tugas-tugas bagi mahasiswa.[12]

Tingginya tingkat konsentrasi dan keseriusan belajar mahasiswa yang berujung pada stres dan kejenuhan disiasati dengan cara belajar di luar ruangan seperti di taman sambil menikmati udara segar. Strategi yang diutamakan dalam proses pembelajaran bagi mahasiswa di University of Delhi adalah independent learning. Mereka lebih banyak meluangkan waktu dengan belajar sendiri dan memperbanyak waktu membaca. Durasi waktu belajar mereka rata-rata 12-20 jam perhari. Biasanya sebelum melaksanakan perkuliahan di ruang kelas, dosen mewajibkan kepada mahasiswa untuk membaca sejumlah buku wajib yang berkenaan dengan mata kuliah dan saat perkuliahan berlangsung, dosen menguji mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan atau kasus yang berkenaan dengan bahan bacaan yang telah ditugaskan. Hebatnya lagi, proses pembelajaran di kedua kampus ini menggunakan bahasa Inggris.

Pada umumnya kampus-kampus yang terdapat di India menggunakan sistem pembelajaran dan penilaian ujian yang berbeda dengan sistem yang diterapkan di Indonesia. Dosen sebagai tenaga pengajar hanya memberikan kuliah di kelas berdasarkan silabus yang telah ditetapkan departemen masing-masing. Jauh berbeda dengan apa yang selama ini diterapkan di PTAI di Indonesia, mekanisme pelaksanaan ujian di kedua kampus ini memiliki 3 komponen pelaksana yang berbeda antara pembuat soal, pemeriksa dan tim pembuat nilai. Di University of Delhi, sistem penilaian berdasarkan porsi sebagai berikut: Kehadiran di kelas: 5 %, Ujian Internal: 10 %, Assigments: 10 % dan Ujian Final: 75 %. Hal ini berbeda dengan apa yang berlaku di Jamia Millia Islamia dimana 100% nilai mata kuliah berdasarkan ujian akhir tanpa komponen kehadiran, kuis maupun tugas-tugas.[13]

Di seluruh Universitas di India, terdapat kesamaan sistem ujian yang diterapkan, dimana misalnya mahasiswa harus menjawab 5 dari 7 pertanyaan yang diujikan dalam durasi 3 jam. Dari satu pertanyaan, mahasiswa dituntut untuk menjawabnya dengan penalaran yang baik. Dalam menjawab satu soal, mahasiswa harus mengemukakan introduction, teori dan pendapat para ahli mengenai masalah yang diujikan, kritik terhadap teori, penalaran dan analisis mahasiswa serta penutup dan kesimpulan. Dengan diterapkannya sistem ujian seperti ini, mahasiswa sangat dituntut untuk banyak membaca dan meresume buku serta menghabiskan waktunya untuk belajar. Terbatasnya waktu yang diberikan serta tuntutan ujian yang "menggila" mengharuskan mahasiswa untuk menjawab dan menuliskannya dengan tepat dan cepat, sebab dengan model soal ujian seperti itu, mahasiswa disediakan kurang lebih 25 lembar kertas double folio untuk menuliskan jawaban. Dan pastinya seluruh kegiatan ini menggunakan bahasa Inggris. Tak heran jika kualitas lulusan perguruan tinggi di India setara dengan lulusan perguruan tinggi di barat.

Dengan pola pembelajaran yang begitu ketat ditambah pola ujian yang sangat berat yang diterapkan di kedua kampus ini, jika dibandingkan dengan model skripsi mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia, dapat dikatakan bahwa mahasiswa S1 dan S2 di University of Delhi telah menulis paling sedikitnya 10-20 buah skripsi dalam masa kuliah 3 tahun. Sebagaimana yang berlaku di University of Delhi, di Jamia Milia Islamia penulisan skripsi pun bukan merupakan syarat utama kelulusan akhir bagi mahasiswa S1.[14] Jadi dengan filosofis ini, tidak perlu mempersyaratkan penulisan skripsi di akhir tahun perkuliahan, kecuali untuk fakultas-fakultas tertentu seperti misalnya Faculty of Law. Namun bagi mahasiswa S3 diberlakukan penulisan disertasi, ada yang menggunakan metode penelitian dengan analisa statistik dan ada juga yang menggunakan model penelitian kualitatif, hal ini disesuaikan dengan jurusan masing-masing.

F. Motivasi Tinggi Dalam Kebersahajaan

Seorang bijak mengatakan bahwa dengan dorongan dan motivasi yang kuat, seseorang akan membuat perubahan, sebaliknya, seseorang tanpa motivasi walaupun dengan fasilitas yang lengkap tidak akan melakukan apa-apa. Fasilitas mewah bukan segalanya dalam mencapai mutu pendidikan berkualitas. Berkenaan dengan hal ini, sebagaimana kita ketahui bahwa ada banyak anak bangsa Indonesia yang berhasil mencapai prestasi akademik pada tingkat internasional padahal mereka mengenyam pendidikan di Indonesia dengan fasilitas seadanya. Keberhasilan mereka tersebar di berbagai bidang keilmuan seperti pendidikan, teknologi, penelitian, hukum dan sebagainya. Sebut saja Prof. Yohanes Surya, Prof. Ken Soetanto (profesor di Waseda University, Jepang), Prof. B.J. Habibie, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan banyak lagi. Mereka semua dulunya juga mengenyam pendidikan di Indonesia dengan segala keterbatasan fasilitas. Lalu apa yang dapat disimpulkan adalah bahwa walaupun dengan fasilitas sederhana dengan berbekal semangat dan motivasi belajar yang dahsyat mereka mampu mencapai puncak prestasi dalam bidang akademis. Namun seiring berjalannya waktu, semangat haus ilmu terasa semakin tak mendahaga. Di banyak tempat di Indonesia, pencari ilmu dimanjakan dengan berbagai fasilitas-fasilitas mewah yang katanya bertujuan untuk menunjang proses pembelajaran, tapi kenyataannya hal itu malah menurunkan semangat belajar generasi muda Indonesia yang berujung pada menurunnya kualitas akademis mahasiswa Indonesia di mata dunia.

Prinsip kesederhanaan yang bersahaja nampaknya masih dipegang teguh oleh kalangan civitas akademika baik di University of Delhi maupun di Jamia Millia Islamia. Para civitas akademika tidak terlalu mempermasalahkan soal fasilitas yang amat sederhana ini. Bagi mereka, menghasilkan lulusan berkualitas jauh lebih penting ketimbang meributkan soal fasilitas pendukung. Walaupun menurut Gunawan, sarana dan prasarana pendidikan merupakan faktor kesuksesan kegiatan belajar mengajar.[15] Namun India, dengan kesederhaannya mampu mencetak lulusan-lulusan berkualitas. Di kedua kampus yang kami kunjungi, bangunan-bangunan tua digunakan untuk menuntut ilmu, ruang belajarnya hanya berukuran kira-kira 5x6 meter yang hanya dilengkapi dengan kursi-kursi kayu, meja belajar, papan tulis dengan kapur tulis-jangan bayangkan white board berspidol- serta satu unit kipas angin yang kalau di-on-kan akan mengeluarkan suara bising.

Fasilitas belajar di kampus ini memang sangat sederhana, namun kualitas lulusan Jamia Milia Islamia University setara dengan lulusan kampus-kampus Eropa dan Amerika, terbukti dengan masuknya Jamia Milia Islamia University ke dalam 100 universitas terkemuka se-India. Hal ini disebabkan tingginya kualitas dan penekanan keilmuan dalam proses belajar mengajar terutama penguasaan bahasa asing. Pada dasarnya, fasilitas belajar mengajar yang disediakan di kedua kampus ini lengkap adanya namun dalam kondisi sederhana. Di kedua kampus ini terdapat, hostel atau asrama bagi mahasiswa, sarana olah raga, auditorium, panggung kesenian, laboratorium dan kantin.

Bicara soal gaji bagi pengajar, tak tampak gelimang glamour pada gaya hidup profesor-profesor. Kehidupan mereka jauh dari kesan mewah. Tidak seperti kebanyakan yang berlaku di Indonesia, keunggulan dan prestige seorang akademisi tidak diukur dengan indikator material, namun mengarah pada kultur akademis yang mencipta, dengan seberapa sering keilmuan dan pemikirannya yang dicurahkan dalam bentuk karya tulis masuk dalam jurnal internasional dan seberapa tinggi frekuensi mengajar di universitas lain terutama di kampus-kampus di luar negeri dan masih banyak lagi hal yang menjadi indikator bagi seorang profesor yang berkualitas yang masih bernuansa akademik. Mutu jauh lebih penting bagi India.

G. Saran-Saran dan Penutup

Melalui studi banding yang diselenggarakan oleh Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI yang laksanakan oleh mahasiswi Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Medan di dua perguruan tinggi di India yaitu, University of Delhi dan Jamia Millia Islamia pada tanggal 31 Januari 2007- 06 Februari 2007, tentu sangat banyak pengalaman dan hal berharga yang dapat diperoleh dan diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan rujukan bagi civitas akademika Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia khususnya IAIN Sumatera Utara Medan untuk mencapai kemajuan dan perkembangan ke arah yang lebih baik di masa mendatang.

Sungguh sangat menarik ketika melihat dua perguruan tinggi yang dikunjungi di New Delhi yaitu University of Delhi dan Jamia Millia Islamia, kampus yang memiliki sarana belajar yang sederhana, memiliki kualitas standar internasional dan mampu mencapai prestasi di tingkat dunia. Iklim dan orientasi akademis benar-benar tercipta di kalangan civitas academika di kedua perguruan tinggi ini. Namun ironisnya, PTAI yang terdapat di tanah air yang memiliki sarana belajar yang memadai, tidak mampu melakukan hal yang sama. Sungguh terdapat satu perbedaan yang sangat besar diantara keduanya dan tentunya hal ini disebabkan banyak faktor yang perlu dikaji kembali. Para pengajar di luar negeri khususnya India memang sedikit lebih unggul. Di tanah air, ada kecenderungan dosen tidak mempersiapkan silabus ketika akan membawakan satu materi perkuliahan. Inilah salah satu penyebab mundurnya kualitas belajar mengajar di perguruan tinggi di tanah air. Kuliah hanya diberikan secara seremonial saja. Dari tahun ke tahun, materi yang disampaikan nyaris tak mengalami perubahan. Tidak ada pemikiran baru. Padahal, selalu ada hal baru dalam tiap detik perjalanan hidup manusia. Dunia berubah setiap saat dan memerlukan kajian-kajian mendalam.

Adanya kelemahan penguasaan bahasa asing sehingga selalu ditemui kesulitan dalam memahami teks-teks asli juga merupakan faktor yang memperburuk kualitas PTAI di Indonesia. Buku-buku asli yang berbahasa asing harus diterjemahkan terlebih dahulu yang akhirnya harus mengikuti penafsiran pengalih bahasa yang terkadang agak berbeda dari isi aslinya. India telah membuktikan pada kita bahwa dengan fasilitas seadanya mampu menghasilkan lulusan bermutu internasional. Budaya berfikir kita harus diperbaiki.Oleh karena itu, terdapat saran-saran yang dapat diajukan antara lain:

1. Bagi pimpinan PTAI dan pimpinan perpustakaan kampus, pengadaan perpustakaan yang lengkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan minat baca dan memperkaya khazanah keilmuan di kalangan civitas akademika. Dengan menjadikan perpustakaan sebagai jantung perguruan tinggi, diharapkan iklim akademis dapat terwujud di lingkungan kampus.

2. Bagi pimpinan PTAI, untuk meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi Agama Islam, pola pembelajaran serta sistem ujian yang diterapkan di University of Delhi dan Jamia Millia Islamia dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penerapan sistem belajar-mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. Di University of Delhi dan Jamia Millia Islamia, pola pembelajaran dan sistem ujian yang berlaku menjadi pemicu peningkatan minat baca di kalangan civitas akademika.

3. Bagi mahasiswa PTAI, semangat dan minat belajar yang diterapkan mahasiswa di University of Delhi dan Jamia Millia Islamia dapat dijadikan bahan instropeksi bagi peningkatan kualitas mahasiswa PTAI, khususnya bagi mahasiswa IAIN Sumatera Utara Medan

Kami yakin bahwa 5 tahun kedepan kita dapat merasakan budaya kampus yang kental dengan nilai-nilai akademik sebagaimana yang diharapkan asalkan semua pihak yang terkait menyadari ketertinggalan kita. Berusaha dan berharap dalam semoga. Amin.

Catatan:

Atas nama Dewan Pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia (DP PPI) di India, saya sampaikan penghargaan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Fatimah Zahra dan Nirmala, serta Departemen Agama yang secara tidak langsung turut membantu program kerja kami dalam mempromosikan nilai lebih Sistem Pendidikan di India.

***

DAFTAR PUSTAKA

Ary H. Gunawan, Administrasi Sekolah (Administrasi Pendidikan Mikro), Jakarta: Rineka Cipta, 1996

Christopher Ball & Heather Eggins, Higher Education into The 1990'S ; New Dimensions, USA: SRHE & Open University Press, 1989

John White, Education and the Good Life Beyond The National Curriculum, London: Kogan page ltd, 1990

M. Alfian Darmawan, Mahasiswa; Dilema Antara Menerima Posisi atau Meraih Peran dalam "Mahasiswa dan Masa Depan Politik Indonesia", Yogyakarta: PSIP DPP IMM, 1993

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006

Thomas L. Friedman, The World is Flat; The Globalized World in the Twenty-First Century, London: Penguin Books, 2006

Yozar Anwar, Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20; Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang, Jakarta: Sinar Harapan, 1981


End Notes:


[1] Istilah-istilah tersebut menjadi euphoria tersendiri bagi mahasiswa yang pada gilirannya menyebabkan fokus mahasiswa identik dengan mengontrol kebijakan pemerintah sebagai manivestasi istilah-istilah tersebut. Padahal pemegang dominasi kekuatan politik dunia adalah mereka yang memiliki sumber daya yang kuat dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. Thomas L. Friedman dalam The World is Flat juga mengemukakan hal senada dengan menyatakan India dan Cina akan menjadi negara yang sangat maju disebabkan penguasaan Teknologi dan keunggulan human resourcenya.
[2] Peter Scott, The Power of Ideas pada, Christopher Ball & Heather Eggins, Higher education into the 1990's: New dimensions, SHRE and Open University Press, 1989, USA. John White juga menyatakan bahwa knowledge is the obvios starting-point for education, lihat John White, Education and The Good Life beyond The National Curriculum, Kogan Page Ltd, 1990, London, pg. 117
[3] http://www.Indiaedu.com/delhi-city/, Delhi holds an excellent reputation as far as many universities and colleges are concerned. The top 5 universities in Delhi are Delhi University, Jawaharlal Nehru University, Guru Gobind Singh Indraprastha University, Jamia Millia Islamia and Indira Gandhi National Open University. The All India Institute of Medical Sciences ranks among the best medical institutions in the world. Other educational and research institutes that are recognized worldwide as excellent institutions include Indian Institute of Technology Delhi, Delhi School of Economics, Shri Ram College of Commerce, Lady Shri Ram College for Women, Netaji Subhas Institute of Technology, Delhi College of Engineering and St Stephen's College. Lihat juga Asia's Best Universities 2000 di http://www.asiaweek.com/ di mana universitas di India menempati posisi lebih baik dari universitas di Indonesia. Telusuri http://www.alnaja7.org/success/education/worldrankings2006.pdf yang menyatakan bahwa sejumlah kampus di India masuk dalam deretan kampus terbaik sedunia.
[4] Wawancara dengan diplomat KBRI India, DR. Chairuddin Siregar, tanggal 31 Januari 2007, jam 11.40, lihat juga www.Indiaedu.com/top.educational-institutes/top-universities/ di mana University of Delhi masuk dalam top universities di India.
[5] Hasil penelusuran website di http://www.du.ic.in/, pada tanggal 01 Februari 2007.
[6] Telusuri http://chennaitoday.wordpress.com/2006/07/26/India.todaystopcollegerankings/, Jamia Millia Islamia masuk ke dalam deretan 100 kampus terbaik se India.
[7] http://www.jmi.nic.in/
[8] Sebagaimana dipaparkan oleh Yunita Ramadhana dan Zulfitri, mahasiswa Indonesia yang menempuh program master di Jamia Millia Islamia, dalam wawancara di kampus JMI, pada tanggal 02 Februari 2007, jam 11.30
[9] Wawancara dengan kepala perpustakaan pusat University of Delhi, DR. Mohamad Higazy, pada tanggal 01 Februari 2007, jam 14.30
[10] Wawancara dengan asisten kepala perpustakaan, Ameera khatoon, pada tanggal 02 Februari 2007, jam 15.00
[11] Perihal ini dapat di baca dalam Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006). Indonesia menempati posisi ke 112 dari 175 negara di dunia, Singapura urutan ke 25, Brunei Darussalam urutan ke 33, Malaysia urutan ke 58, Thailand urutan ke 76 dan Filiphina urutan ke 85.
[12] Sebagaimana dijelaskan oleh Rini Ekayati,Usma Nur Dian, Ratna, Muhammad Faiz, Idin Fasisaka, mahasiswa Indonesia yang menempuh program MA di University of Delhi, dalam pertemuan di kampus University of Delhi pada tanggal 31 Januari 2007, jam 16.15
[13] Sebagaimana dipaparkan oleh Yunita Ramadhana dan Zulfitri, mahasiswa Indonesia yang menempuh program master di Jamia Millia Islamia, dalam wawancara di kampus JMI, pada tanggal 02 Februari 2007, jam 11.30
[14] Sebagaimana dijelaskan oleh Associate Professor, DR. Mohamad Ishaque, di kantornya, pada tanggal 02 Februari 2007, jam 13.30
[15] Ary H. Gunawan , Administrasi Sekolah ( Administrasi Pendidikan Mikro), ( Rineka Cipta, Jakarta: 1996)


Sabtu, 24 Maret 2007

Perkawinan Campuran

PROSEDUR PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA
Pesan sekaligus tanggapan singkat yang disampaikan oleh Sdri. Ayu terhadap artikel mengenai Perkawinan Campuran serta berbagai pertanyaan sejenis dari beberapa masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di New Delhi, telah membawa saya pada suatu kesimpulan sederhana bahwa di saat sekarang ini banyak terdapat masyarakat Indonesia yang hendak melakukan perkawinan campuran (perkawinan beda kewarganegaraan) namun terkendala atau setidaknya minimn akan informasi hal tersebut.

Oleh karena itu dalam artikel berikut, saya sampaikan informasi dasar lainnya mengenai hal-hal yang terkait dengan perkawinan campuran, khususnya bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

1. Perkawinan Campuran

Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah perkawinan campuran.

2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku

Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).

3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).

Surat Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

4. Surat-surat yang harus dipersiapkan

Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:

a. Untuk calon suami

Anda harus meminta calon suami anda untuk melengkapi surat-surat dari daerah atau negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
  • Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
  • Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
  • Akte Kematian istri bila istri meninggal
  • Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada di Indonesia.
b. Untuk anda, sebagai calon istri

Anda harus melengkapi diri anda dengan:
  • Fotokopi KTP
  • Fotokopi Akte Kelahiran
  • Data orang tua calon mempelai
  • Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi anda untuk melangsungkan perkawinan
6. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.

7. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan negara asal suami.

Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami, maupun menurut hukum di Indonesia

8. Konsekuensi Hukum

Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.

Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

Semoga mencerahkan dan have a nice weekend readers..

Catatan:
  • Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
Referensi Utama: LI Seri 45 - LBH APIK Jakarta

Artikel terkait:
1. Status Hukum Anak Perkawinan Campuran
2. Status Anak Luar Kawin Perkawinan Campuran




Minggu, 18 Maret 2007

Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen

CARA CEPAT DAN RINGKAS
MEMAHAMI PERUBAHAN SISTEM KETATANEGARAAN RI

Berikut merupakan uraian singkat hasil presentasi penulis sebagai pemakalah yang disampaikan pada Diskusi Ilmiah pada tanggal 17 Maret 2007 di Kedutaan Besar New Delhi. Kepada peminat hukum maupun para pengunjung yang berulang kali menanyakan materi tentang perubahan sistem ketatanegaraan kontemporer RI dan memerlukan soft copy (power point) pemaparan secara lengkap, dapat menghubungi penulis sebagai mana terlampir di akhir artikel singkat berikut ini.

A. PENDAHULUAN

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
  • Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.
  • Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
  • Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
  • Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
UUD 1945 --> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman --> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
  1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
  2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
  3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
  4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
  5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
    a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
    b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
    c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
    d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:

  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU/PERPU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Keputusan Presiden
  6. Peraturan Menteri
  7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
  1. UUD 1945
  2. TAP MPR
  3. UU
  4. PERPU
  5. PP
  6. Keputusan Presiden
  7. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

  1. UUD 1945
  2. UU/PERPU
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah

D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945

  1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
  4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR

  • Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
  • Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.

Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:

  • Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
  • Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
  • Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
  • Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
  • Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
  • Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

PRESIDEN

  • Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
  • Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
  • Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
  • Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
  • Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.

DPR

  • Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
  • Memberikan persetujuan atas PERPU.
  • Memberikan persetujuan atas Anggaran.
  • Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.

DPA DAN BPK

  • Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945

Deskripsi Struktur Ketatanegaraan RI “Setelah” Amandemen UUD 1945:

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

  • Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
  • Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
  • Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
  • Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
  • Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
  • Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

MPR

  • Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
  • Menghilangkan supremasi kewenangannya.
  • Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

DPR

  • Posisi dan kewenangannya diperkuat.
  • Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
  • Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
  • Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

DPD

  • Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
  • Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
  • Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
  • Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

BPK

  • Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
  • Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
  • Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
  • Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

PRESIDEN

  • Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
  • Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
  • Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
  • Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
  • Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.

MAHKAMAH AGUNG

  • Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
  • Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.

MAHKAMAH AGUNG

  • Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
  • Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI

  • Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
  • Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
  • Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

S E K I A N

Pertanyaan dan Saran dapat disampaikan kepada Pemakalah melalui:
Email : pm_faiz_kw@yahoo.com
HP : +91 9818547489
Website: http://panmohamadfaiz.blogspot.com.

Minggu, 04 Maret 2007

Rekonsiliasi Serbia-Bosnia Pasca Putusan ICJ

VONIS AMBIGU UNTUK SEBUAH GENOSIDA
*Pan Mohamad Faiz


Note: Dimuat pada H.U. Republika (07/03/07)

Dua belas tahun silam, kejahatan internasional terhadap kemanusiaan berkecambuk di negeri Bosnia. Ribuan warga Bosnia dibantai secara membabi buta oleh pasukan Serbia. Ratusan wanita diperkosa secara paksa, orang tua dan anak-anak tidak berdosa harus meregang nyawa diujung laras senapan. Akan tetapi di saat yang bersamaan, hampir seluruh negara-negara Eropa dan dunia lainnya hanya duduk termangu menyaksikan terjadinya hamparan tragedi kemanusian tersebut.

Suatu peristiwa berdarah yang masih sulit untuk kita hapuskan dari ingatan. Pada saat itu, Srebrenica yang terletak di Bosnia Timur merupakan zona aman di bawah kendali penjaga perdamaian PBB asal Belanda, di mana ribuan pengungsi muslim Bosnia menggunakan daerah tersebut sebagai tempat pelarian dan penampungan sementara.

Namun, ketika tentara Serbia pimpinan Jenderal Mladic menyerbu masuk dan kemudian meminta agar pasukan Belanda menyerahkan warga Bosnia kepada mereka, permintaan itu pun dipenuhi oleh pasukan tersebut. Pada akhirnya, secara sistematis tentara Serbia membantai habis sekitar 8.000 warga Bosnia, dan penjaga perdamaian PBB yang ada tidak dapat melakukan apapun selain menyaksikan pembantaian keji tersebut.

Atas peristiwa tersebut, Bosnia mengajukan gugatan resmi terhadap pemerintah di Beograd ke hadapan Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang mempunyai kewenangan untuk menangani sengketa antarnegara. Setelah menunggu selama 14 tahun, akhirnya pekan lalu, ICJ di Den Haag memutuskan bahwa pembunuhan massal warga Muslim Bosnia di Srebrenica merupakan kejahatan genosida. Tetapi berdasarkan hukum internasional, negara Serbia dinyatakan terbebas dari kesalahan atas drama kejahatan kemanusiaan tersebut.

Tentunya keputusan yang dinilai tidak tegas dan bersifat formalisme yuridis belaka ini menyulut kontroversi di berbagai kalangan ahli hukum dan aktivitas HAM dari berbagai belahan dunia. Keputusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan para korban.

Dampak Hukum dan Politis

Perkara yang diputus oleh ICJ ini merupakan kasus yang sangat bersejarah. Sebab inilah kali pertama suatu negara mengajukan perkara genosida di hadapan pengadilan tertinggi PBB. Sehingga, putusan yang telah dijatuhkankannya menjadikan satu yurisprudensi baru bahwasanya suatu negara yang melanggar Konvensi Genosida (1951) dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya.

Kesimpulan ICJ yang diuraikan melalui keputusannya bahwa pasukan Ratko Mladic memang melakukan genosida di Srebrenica bukanlah suatu hal yang baru. Pasalnya, beberapa waktu lalu, kesimpulan yang sama telah diputuskan terlebih dahulu oleh Pengadilan Kejahatan Internasional di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY). Hanya, perkara yang diadili pada pengadilan tersebut belum sempat diselesaikan akibat meninggalnya terdakwa Slobodan Milosovic sebagai arsitek utama genosida di negeri tersebut.

Membebaskan Serbia dari tuduhan kejahatan kemanusiaan, namun mencoba menghadiahkan Bosnia dengan menyatakan bahwa pembantaian di Srebrenica mempunyai karakteristik untuk dinyatakan sebagai genosida merupakan keputusan yang diharapakan oleh ICJ dapat memuaskan kedua pihak yang berperkara. Sehingga banyak kalangan menilai bahwa keputusan tersebut hanyalah keputusan yang komprimistis atau dalam istilah lain splitting the baby in half. Maka konsekuensi hukumnya yaitu Boegrad tidak perlu membayar kompensasi keuangan apapun kepada Sarajevo yang ditaksir bernilai ratusan miliar rupiah.

Tak pelak, keputusan yang ambivalen tersebut mengundang banyak kritikan, terutama dari Antonio Cassese, presiden pertama ICTY. Dia berpendapat bahwa meminta bukti spesifik adanya perintah langsung dari Boegrad untuk melakukan genosida terhadap penduduk Muslim Bosnia merupakan standar bukti yang sangat tinggi dan sudah dapat dipastikan sulit untuk diperoleh. Menurutnya, dengan melihat bahwa pasukan Serbia secara nyata dibiayai oleh pemerintahannya sudah merupakan bukti yang lebih dari cukup.

Salah satu implikasi penting lainnya yaitu tidak merosotnya citra dan prospek Serbia untuk melanjutkan negosiasi dengan Uni Eropa, di mana Boegrad berharap mereka akan memperoleh keanggotaannya sebagai anggota Uni Eropa. Keputusan ini juga dianggap sebagai pengobat penahan rasa sakit Serbia yang dalam waktu dekat ini diperkirakan akan kehilangan Kosovo sebagai salah satu wilayah bagian dari Serbia. Saat ini, Kosovo masih berada di bawah pengawasan PBB.

Rekonsiliasi dan Reintegrasi

Setidaknya ada dua tantangan utama untuk mewujudkan rekonsiliasi pascakeputusan ICJ antara kedua negara yang bersengketa. Pertama, keputusan tersebut justru menguatkan indikasi bahwa apa yang selama ini diyakini dan dikeluhkan oleh warga dan para pejabat Bosnia atas kesalahan Serbia telah terbukti. Kedua, kekecewaan warga Bosnia atas keputusan yang pahit tersebut tidak dapat lagi diperjuangkan, sebab keputusan ICJ adalah final dan tidak dapat diajukan banding.

Maka cukuplah beralasan jika Alexander Solzhenistan berpendapat bahwa pengadilan internasional mungkin bukanlah instrumen terbaik untuk menciptakan terjadinya rekonsiliasi dalam politik internasional.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka kebesaran hati dari Pemerintah Serbia arahan Presiden Boris Tadic bersama dengan Parlemen Serbia akan sangat dinanti oleh masyarakat internasional guna meminta maaf secara resmi terhadap terjadinya peristiwa pembantaian Srebrenica.

Begitu pula dengan segara dilaksanakannya himbauan ICJ yang meminta Boegrade agar sepenuhnya bekerjasama dengan ICTY untuk menangkap dan menyerahkan, antara lain, Jenderal Ratko Mladic, yang diindikasikan masih bersembunyi di Serbia. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka seterusnya hubungan antara Serbia dengan Bosnia akan berakhir dengan tidak adanya kepercayaan satu sama lain.

Seluruh struktur politik tentunya ingin melakukan tindakan secara formal, tetapi kebulatan tekad untuk memecahkan esensi dan inti permasalahan tersebut sepertinya belum terlihat. Apa yang mereka butuhkan saat ini adalah suatu dialog di antara orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa tersebut untuk menemukan titik temu. Sebagaimana halnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membagi cerita masa lalu untuk mencari sebuah kata perdamaian.
Bersama rencana untuk reintegrasi, di mana termasuk di dalamnya kompensasi tempat tinggal dan ekonomi bagi para penghuni kamp di pengasingan, mungkin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan bukan hanya perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu. Tentunya kita pun berharap bahwa penduduk di Bosnia akan menemukan kekuatan untuk hidup bersama atau setidaknya mereka mau untuk memaafkan jika tidak mampu untuk melupakan.

* Mahasiswa Pascasarjana program Master of Comparative Law pada Faculty of Law, University of Delhi dan Master of Political Science pada School of Social Sciences, IGNOU, New Delhi.


Sabtu, 03 Maret 2007

Keputusan Mahkamah Internasional antara Bosnia vs. Serbia

KEADILAN UNTUK SIAPA?

Keputusan bersejarah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) terhadap genosida atau pembunuhan secara massal dalam perkara Bosnia-Herzegovina melawan Serbia-Montenegro merupakan suatu contoh bahwa keputusan yang bijaksana tidak selalu menjadi putusan yang baik.

Inilah pertama kalinya negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mencoba untuk mengajukan perkara genosida kepada ICJ. Namun ICJ nampaknya telah menghilangkan satu-satunya kesempatan yang masih tersisa bagi pemegang kekuasaan yang sah, sejak kematian Slobodan Milosevic yang secara tidak langsung berakibat dengan dihapuskannya Mahkamah Kejahatan Perang di Yugoslavia (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia/ICTY) yang berkemungkinan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap dirinya.

Keputusan mahkamah yang menjelaskan bahwa meskipun apa yang terjadi pada tahun 1995 di Srebenica memang merupakan tindakan dari genosida namun negara Serbia tidaklah secara langsung mempunyai keterlibatan terhadap tindakan tersebut, merupkan keputusan yang diharapkan dapat diterima oleh masing-masing pihak. Putusan yang seakan-akan bersifat kompromi ini tidaklah mampu berbuat banyak, akan tetapi justru menyalakan api lama di tengah-tengah etnik Balkan yang rentan akan konflik.

Keputusan tersebut menimbulkan berbagai isyu besar. Genosida dikenal secara luas sebagai kejahatan internasional luar biasa dan seiring dengan meningkatnya perkembangan dunia, setiap usaha terjadinya hal tersebut sangatlah penting untuk dijadikan perhatian. Berbagai pengamat berpendapat bahwa pemerintah Serbia pada saat ini tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Terdapat juga pendapat yang mencoba untuk menggambarkan perbedaan antara pemerintah dan negara. Bagaimanapun juga, sifat yang luas biasa dan kejam dari genosida membawa perintah secara moril kepada masyarakat internasional maupun nasional untuk membawa pelaku kejahatan pada posisinya. Tetapi, kesulitan untuk menjalankan maksud utama guna meniadakan kelompok yang dilindungi secara khusus berarti bahwa keputusan seperti halnya dikeluarkan oleh ICJ masihlah jauh dari harapan.

Menurut Alexander Solzhenistan, hal ini membuktikan bahwa pengadilan mungkin bukanlah instrument terbaik untuk mencapai rekonsiliasi dalam politik internasional. Jika pemerintahan berkuasa saat ini, Perdana Menteri Vladimir Kostunica, cukup serius mengenai kurangnya keterlibatan dalam pemberantasan sistematis terhadap golongan minoritas pada masa lalu, maka jejak rekam mereka semasa konflik seharusnya merefleksikan usaha adanya rehabilitasi dan reintegrasi.

Pengalaman dari Eropa Barat setelah Perang Dunia II merupakan suatu bukti bahwa bangsa yang terbagi-bagi perlu dipertemukan kembali dalam tingkatan personal. Apa yang diperlukan adalah naratif yang sama sebagaimana dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan membawa cerita-cerita masa lalu dari mereka yang menderita. Bersama dengan rencana untuk reintegrasi di mana termasuk dengan kompensasi tempat tinggal dan moneter untuk para pelarian di pengasingan, hal tersebut mungkin merupakan jalan terbaik untuk meyakinkan bukan hanya terciptanya perdamaian, tetapi juga menghilangkan rasa trauma masa lalu.

Perbandingan Hukum (2)

KLASIFIKASI DAN NILAI DARI PERBANDINGAN HUKUM
Pan Mohamad Faiz*


Perbandingan hukum, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, merupakan suatu karakter yang modern. Tetapi dalam hal ini tidak terdapat keraguan adanya kenyataan bahwa mulai terdapat kecenderungan untuk melihat berbagai hukum di negara lain, bahkan hal tersebut telah dimulai sejak masa dahulu. Pada waktu yang bersamaan terdapat banyak contoh untuk membuktikan bahwa berbagai sistem hukum di dunia pada awalnya tidak menganjurkan untuk melakukan studi perbandingan mengenai hukum di negara lain.

Hukum Romawi sekalipun tidaklah menyediakan dorongan untuk mengembangkan perbandingan hukum karena hukum Romawi bukanlah hasil dari proses perbandingan terhadap hukum-hukum negara lain. “Corpus Juris Civilise” yang merepresentasikan hukum Romawi mengandung ungkapan yang datang dari para kaisar. Begitu pula dengan istilah “edicta” merupakan hasil pemberian langsung dari mereka sebagai kepala negara, atau “rescripta” yaitu jawaban yang diberikan oleh para kaisar ketika berkonsultasi mengenai pertanyaan-pertanyaan hukum oleh berbagai pihak ataupun oleh para hakim.

Bangsa Romawi mendeskripsikan sistem hukum mereka berdasarkan dua komposisi, yaitu pertama, “seluruh bangsa”, berdasarkan Perjanjian-perjanjian Kelembagaan,[1] di mana diatur oleh hukum; dan kedua, kebiasaan, ditentukan sebagian oleh hukum khusus mereka sendiri, dan sebagian lainnya berdasarkan hukum-hukum yang umum diberlakukan bagi umat manusia. Hukum di mana mengikat orang banyak dinamakan hukum perdata, tetapi hukum yang diangkat dengan alasan alamiah bagi seluruh umat manusia dinamakan hukum bangsa-bangsa, sebab dalam hal ini seluruh bangsa menggunakannya. “Bagian dari hukum” yang dibuat dengan alasan alamiah tersebut merupakan elemen di mana maklumat atau perintah yang termuat seharusnya telah berfungsi di dalam yurisprudensi Romawi. Di tempat lain hal tersebut dibahasakan secara lebih mudah melalui istilah “Jus Naturale” atau hukum alam, dan peraturan-peraturannya disandarkan pada kewajaran alamiah (natural aquitas) sebagaimana juga dengan alasan alamiah.

Di lain pihak, common law Inggris secara keseluruhan telah membuka diri terhadap perkembangan mengenai perbandingan hukum. Ahli hukum pertama diantara para penganjur lainnya yaitu Leibnitz. Ia berusaha untuk melakukan penelitian berbagai hukum dari negara-negara yang civilized. Walaupun pada akhirnya ia tidak terlalu berhasil dalam usahanya itu namun hal tersebut telah memiliki nilai akademik tersendiri. Di Inggris, Montesquieu dinobatkan sebagai pendiri dari perbandingan hukum karena ia yang pertama kali menyadari bahwa peraturan hukum seharusnya tidak diperlakukan sebagai hal yang abstrak, tetapi harus ditempatkan secara berlawanan dengan latar belakang dari sejarahnya dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungannya di mana harus pula disesuaikan dengan fungsinya. Di dalam bukunya yang terkenal, “Del Espirit des”, ia mengemukakan bahwa pada akhirnya hukum-hukum di dunia akan gagal mencapai tujuannya. Asal usul dari perbandingan hukum pada awalnya dapat diikuti dari abad pertengahan kesembilan belas. Gagasan untuk mempelajari hukum negara lain tidaklah dianjurkan oleh ahli sejarah ilmu hukum. Hal tersebut bukan hanya terhadap perkembangan dari kodifikasi hukum tetapi juga apapun yang dilakukan atas nama mempelajari hukum negara lain. Beberapa usaha telah dilakukan di Perancis dan Paris di mana ruang untuk mempelajari perbandingan hukum dan perbandingan kriminal didirikan pada tahun 1832 dan 1846.

Sedangkan di Amerika sendiri telah terdapat permusuhan yang cukup besar terhadap apapun yang berhubungan dengan hukum Inggris. Dengan demikian, sistem hukum Amerika secara keseluruhan berusaha mengenyampingkan studi tentang hukum Inggris. Akan tetapi, Bagaimanapun juga mereka tetap mendapat sedikit bantuan dari sistem hukum Perancis.

Berbagai hasil yang mempelopori perkembangan mengenai perbandingan hukum teleh diselesaikan dan dapat kita temukan di Inggris. Lord Bacon dan Mansfield merupakan pelopor penting dalam hal ini. Hukum kuno dari Henry Maine (1861) telah membuka mata kita semua terhadap pentingnya perkembangan dari perbandingan hukum. Ia juga yang telah mengenalkan metode korelatif ke dalam sejarah kelembagaan. Pada tahun 1984 Professor di bidang perbandingan hukum dari Quain mendirikan University College, London yang kemudia pada tahun 1985 dibangun Komunitas Inggris untuk Perbandingan Peraturan Hukum.

Abad keduapuluh menandakan realisasi bahwa kebijakan untuk mengisolasi hukum bukanlah kebijakan yang baik dan bila hal tersebut dilakukan akan sangat tidak membantu terciptanya perkembangan dari adanya unifikasi hukum. Dalam beberapa tahun terakhir berbagai institusi telah didirikan untuk maksud tujuan penelitian terkait dengan perbandingan hukum. Daya upaya juga telah dilakukan untuk mempromosikan bidang ini, akan tetapi terobosan utama terkait dengan perkembangan bidang ini belum terlihat secara jelas. Namun, kegunaan dan kepentingannya telah dirasakan oleh kita semua dan keragu-raguan yang pernah terjadi terhadap keberadaannya kini hampir hilang seluruhnya. Bahkan saat ini, perbandingan hukum justru dipisahkan sebagai cabang untuk mempelajari hukum dan teknik hukum.

A. Klasifikasi Perbandingan Hukum

Untuk memahami lebih mendalam tentang perbandingan hukum, maka perlu pula kita melihat pembagian atau pengklasifikasian perbandingan hukum itu sendiri menurut beberapa ahli ternama.

1. Klasifikasi menurut Prof. Lambert’s

Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi tiga bagian:
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan mengenai Sejarah Hukum
c. Perbandingan mengenai Peraturan Hukum

Perbandingan hukum secara deskriptif mencoba untuk mengeinventarisasi sistem hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat beberapa kategori hubungan hukum.

Perbandingan mengenai sejarah hukum mencoba untuk menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.

Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan yurisprudensi mencoba untuk menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.

2. Klasifikasi menurut Wigmore

Wigmore membagi perbandingan hukum menjadi tiga kategori:[2]
a. Perbandingan Nomoscopy
b. Perbandingan Nomothetics
c. Perbandingan Nomogenetics

Perbandingan nomoscopy memastikan dan menjelaskan sistem hukum lainnya sebagai sebuah fakta. Perbandingan ini menaruh perhatian pada deskripsi secara formal hukum di berbagai sistem hukum.

Perbandingan nomothetics mencoba untuk memastikan politik dan manfaat relatif dari institusi yang berbeda dengan suatu pandangan untuk memperbaiki peraturan hukum. Dengan kata lain, perbandingan ini membuat penaksiran dari manfaat-manfaat relatif dari peraturan hukum berdasarkan perbandingan.

Perbandingan nomogenetics mencoba untuk mengikuti jejak perkembangan dari berbagai sistem dalam hubungannya dengan kronologi dan sebab-sebab lainnya. Dengan kata lain, perbandingan ini menaruh perhatian untuk mempelajari perkembangan sistem-sistem hukum yang berhubungan satu sama lainnya.

3. Klasifikasi menurut Kaden

Kaden mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:[3]
a. Perbandingan Formal (Formelle Rechstver Gleichung)
b. Perbandingan Dogmatik (Dogmatische Rechsvergleichung)

Perbandingan formal merupakan perbandingan berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber hukum, misalnya, bobot substansi yang diberikan pada berbagai sistem terhadap peraturan hukum, perkara hukum dan kebiasaan, serta aplikasi dari metode yang berbeda tentang teknik hukum guna menafsirkan berbagai peraturan. Metode ini, dengan kata lain, melihat berbagai sistem yang berbeda dari peraturan hukum dan kebiasaan serta berbagai teknik untuk melakukan interpretasi terhadap peraturan-peraturan hukum.

Perbandingan dogmatik meletakan perhatiannya dengan memberikan berbagai solusi dari masalah yang dialami oleh sistem hukum yang berbeda. Metode ini memastikan adanya pengaplikasian hasil berdasarkan perbandingan berbagai masalah hukum di suatu negara.

4. Klasifikasi menurut Kantorowicz

Ia mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:[4]
a. Perbandingan Hukum Geografis
b. Perbandingan Hukum Materiil
c. Perbandingan Hukum Metodis

Perbandingan hukum geografis secara tidak langsung melakukan penelitian dengan mencari persamaan struktur hukum secara umum di berbagai sistem hukum.

Perbandingan hukum materiil yaitu penelitian dengan memperbandingkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi pokok hukum.

Perbandingan hukum metodis yaitu proses di mana tidak sepenuhnya merupakan analisa, namun mempunyai peranan penting untuk melihat secara sistematik substansi pokok hukum.

5. Klasifikasi menurut Max Rheinstein

Rheinstein telah membagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:[5]
a. Perbandingan Makro
b. Perbandingan Mikro

Perbandingan makro, yaitu perbandingan dengan penekanan pada keseluruhan sistem hukum, seperti, “Anglo-Amerika Common Law”, “Civil Law, atau dengan Hukum Romawi, sebagaimana diterapkan di Perancis dan Jerman.

Perbandingan mikro memberikan penekanan pada peraturan hukum secara menyeluruh beserta lembaganya pada dua atau lebih sistem hukum.

6. Klasifikasi menurut Gutteridge

Gutteridge mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi dua bagian:[6]
a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b. Perbandingan Hukum yang dapat Digunakan

Perbandingan hukum secara deskriptif menyangkut dengan deskripsi dari bermacam-macam fakta hukum yang ditemukan di berbagai negara. Perbandingan ini tidak tersangkut paut dengan hasil dari perbandingan. Fungsi utama dari perbandingan hukum secara deskriptif ini adalah untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih sistem hukum terhadap permasalah hukum secara tersendiri. Bagi Gutteridge, hal ini tidaklah cukup untuk dinyatakan sebagai suatu penelitian hukum. Gutteridge menyatakan:

“Perbandingan hukum secara deskriptif berbeda dengan perbandingan hukum yang dapat digunakan sebab perbandingan ini lebih mengkhususkan untuk menganalisa variasi antara hukum dari dua negara atau lebih, di mana hal ini tidak secara langsung menghasilkan solusi dari permasalahan yang ada, baik itu secara abstrak maupun dalam tataran praktik alamiah. Perbandingan tersebut tidak mempunyai tujuan lain selain memberikan informasi dan bukanlah kewajiban dari orang yang melakukan penelitian tersebut untuk memastikan apa yang kemduian harus dilakukan terhadap hasil penelitiannya tersebut.”[7]

Perbandingan Hukum yang dapat digunakan terkait dengan pemeriksaan dari fakta-fakta hukum dengan tujuan untuk memperoleh hasil. Hal ini patut dihargai untuk dinyatakan sebagai penelitian hukum, sebab penelitian tersebut akan memberikan suatu kesimpulan dan menggambarkan perbandingan dari berbagai fakta hukum setelah melakukan analisa dan studi yang tepat dan hati-hati. Perbandingan hukum ini merupakan praktik alamiah yang merupakan metode untuk mencapai berbagai tujuan, seperti, reformasi hukum, unifkasi hukum, dan lain sebaginya. Dalam hal ini, prosesnya tidaklah mudah dan hanya ahli hukum yang berpengalaman yang dapat menggunakan metode ini.

7. Perbandingan Kelembagaan dan Fungsional

Ketidaksamaan terhadap sifat dan lingkup dari perbandingan hukum sangatlah serius sehingga lebih banyak klasifikasi yang dapat ditambahkan dalam studinya. Mempertimbangkan aktifitas dari perbandingan hukum dan bidang studinya, di terkait dengan lingkup perbandingan, maka dapat dilakukan melalui dua bentuk. Pertama, mempelajari dan membandingkan pelembagaan hukum dari dua atau lebih sistem hukum, yang dikenal dengan isitlah perbandingan kelembagaan; dan kedua yaitu perbandingan fungsional mengenai perbandingan peraturan hukum secara lebih terperinci, misalnya fungsi-fungsi dari hukum dan lembaga terkaitnya.

Perbandingan kelembagaan, dikenal juga dengan perbandingan struktur, adalah perbandingan terhadap lembaga yang mempunyai hubungan dengan hukum. Dalam metode ini terkait dengan fenomena dari sistem peradilan, konstitusi, pengangkatan dan pemindahan para hakim, pengacara, struktur dan sumber-seumber hukum, dan lain sebaginya. Metode perbandingan ini mencoba untuk mengklarifikasi dan membuktikan baik itu persamaan maupun perbedaan dari pelembagaan hukum tersebut, di mana hukum yang dibuat telah dijalankan di negara-negara berdasarkan hasil studi. Setelah mengadopsi perbandingan dari jenis tersebut, jika salah satunya dikembangkan lebih lanjut dan kemudian mencoba untuk mencari karakteristik khusus dari lembaga-lembaga itu, maka ia meletakan dirinya dalam bidang perbandingan fungsional.

Perbandingan fungsional yaitu studi dari proses dan kandungan hukum serta pelaksanaan riil dari berbagai fungsi yang ditawarkan oleh bermacam sistem hukum. Di sini, peraturan hukum beserta penyebab dan akibatnya akan dipelajari. Dengan demikian, jika seseorang memeriksa suatu masalah khusus dari hukum pidana Indonesia dengan negara lainnya, perbandingan tersebut dinamakan perbandingan fungsional.

B. Nilai, Tujuan dan Kelemahan dari Perbandingan Hukum

Secara garis besar kegunaan, beberapa nilai dan tujuan dari perbandingan hukum adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman akan hukum yang lebih baik;
2. Membantu dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan dan badan reformasi hukum lainnya;
3. Membantu pembentukan hukum dalam sistem peradilan;
4. Membantu para pengacara untuk berpraktik;
5. berguna dalam hal hubungan perdagangan dan ekonomi dengan negara lain.

Selain mempunyai kegunaan yang cukup signifikan untuk mengembangkan hukum di suatu negara, tetapi tidak dapat pula dielakan bahwa terdapat beberapa kelemahan mengenai pokok permasalahan dalam melakukan perbandingan hukum, diantaranya yaitu:
1. Proses yang sangat sulit;
2. Tidak tersedianya bahan studi;
3. Minimnya ahli di bidang ini;
4. Kesulitan dan bahasa;
5. Perbedaan mengenai istilah dan perlakuan hukum;
6. Tidak terdapat standarisasi teknik dalam perbandingan;
7. Rentan dengan hasil yang keliru.

KESIMPULAN

Terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ingat terkait dengan topik perbandingan hukum (1) dan (2), diantaranya yaitu:

  1. Perbandingan adalah sumber yang sangat penting dalam perbandingan dan memahami sesuatu.
  2. Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan pebelitian dengan cara memperbandingkan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum dari satu negara atau lebih.
  3. Perbandingan hukum bergerak pada pertanyan ilmiah dan juga merupakan metode studi.
  4. Fungsi utama dari perbandingan yurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi legislasi dan perbaikan hukum secara praktis.
  5. Para pencetus dan ahli perbandingan hukum banyak dilakukan di England.
  6. Berbagai ahli hukum telah memberikan perbedaan klasifikasi dari perbandingan hukum.
  7. Klasifikasi oleh Gutteridge mengenai perbandingan hukum dipertimbangkan sebagai salah satu yang mempunyai nilai keseimbangan.
  8. Terdapat beberapa tujuan dan perbandingan hukum. Tujuan terpenting dan secara umum diterima yaitu untuk meningkatkan pemahaman akan sistem hukum dari negara lain.
  9. Terdapat juga beberapa kelemahan dari perbandingan hukum yang dapat menghambat pertumbuhan dari perbandingan hukum.
  10. Perbandingan merupakan proses yang berbeda dengan teknik lain. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus, pelatihan dan kualifikasi.

[1] Diterbitkan dibawah kewenangan Kaisar Justinian.
[2] J.H. Wihmore: A Panorama of World’s Legal System, Saint Paul, Vol. iii, hal. 1120.
[3] Rechtsvergleichendes Handworterbuch, Vol. IV, p. 17.
[4] Problemender straf rechstver gleichung sebagaimana dijelaskan oleh Gutteridge in Comparative Law, hal. 7.
[5] Comparative Law and Legal System, The International Encyclopedia of Social Sciences.
[6] Comparative Law, Edisi ke-2, hal. 8.
[7] Ibid, hal. 9.