Minggu, 31 Desember 2006

Menyiasati Rekonsiliasi Antara Data SAU dan Data SAI

Mereka yang bekerja pada Bidang Akuntansi dan Pelaporan Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) tentu dapat merasakan bagaimana sulitnya meningkatkan kinerja rekonsiliasi dengan UAPPA-W. Kinerja rekonsiliasi tingkat UAPPA-W hampir dapat dipastikan tidak akan pernah lebih baik dari kinerja rekonsiliasi tingkat UAKPA.  Mengapa?  Pertama, karena KPPN diberi kewenangan untuk memberikan sanksi berupa penolakan pencairan dana melalui mekanisme UP (Uang Persediaan) kepada satker (UAKPA) yang belum melunasi kewajibannya untuk melakukan rekonsiliasi data dengan KPPN setiap bulan.  Sanksi tersebut sedikit atau banyak dapat memaksa satker-satker untuk melakukan rekonsiliasi data dengan KPPN.  Kedua, dalam banyak kasus telah ditemukan bukti bahwa hasil pengiriman data laporan keuangan dari satker ke UAPPA-W tidak lebih baik (dari sisi kelengkapan maupun akurasi datanya) dari hasil pengiriman data laporan keuangan dari UAKPA ke KPPN. Penyebabnya selain karena tidak adanya ketentuan yang menetapkan sanksi terhadap satker-satker yang tidak mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W juga karena faktor rendahnya disiplin UAPPA-W dan satker-satker di wilayah kerjanya dalam melaksanakan SAI untuk tingkat UAKPA.  Ketiga, kinerja rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W tergantung sepenuhnya pada kinerja rekonsiliasi di tingkat UAKPA.       

Namun, tingkat kesulitan yang dihadapi oleh Kanwil DJPb dalam proses rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W tentu belum seberapa dibandingkan dengan tingkat kesulitan yang dihadapi oleh Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan yang harus melakukan rekonsiliasi di tingkat  UAPPA-E1 dan UAPA.  Hal tersebut dapat dimengerti karena model rekonsiliasi data laporan keuangan secara berjenjang memang selalu menghadapi resiko berkurangnya nilai kinerja rekonsiliasi yang dicapai pada jenjang rekonsiliasi yang lebih tinggi.  Lalu, benarkah tidak ada solusi yang dapat menyelesaikan masalah berkurangnya kinerja rekonsiliasi pada jenjang yang lebih tinggi?  Apa yang perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaan rekonsiliasi data laporan keuangan, terutama di tingkat satker/KPPN, agar hasil rekonsiliasi di jenjang yang lebih tinggi secara nasional sesuai dengan atau mendekati apa yang kita harapkan?

Pengiriman Backup Data SAI dan Rekonsiliasi Data Akumulasi

Tulisan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut di atas.  Intinya saya mengusulkan agar selain membawa file data laporan keuangan untuk keperluan rekonsiliasi dengan KPPN, satker juga diwajibkan untuk membawa file backup data SAI.  Setiap bulan KPPN menyimpan dan memperbarui arsip backup data SAI yang telah berstatus rekon SAMA milik semua satker di wilayah kerjanya, dan setiap bulan pula copy data tersebut dikirim ke Kanwil DJPb/UAPPA-W untuk dilakukan proses rekonsiliasi di tingkat wilayah. Sama halnya dengan KPPN, Kanwil DJPb juga diwajibkan menyimpan file backup data SAI tingkat wilayah yang telah berstatus rekon SAMA dan setiap bulan mengirimkan copy data tersebut ke Direktorat Sistem Perbendaharaan (Dit. SP)/Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK) di Jakarta untuk dilakukan proses rekonsiliasi di tingkat UAPPA-E1 dan tingkat UAPA. 

Selain itu, saya juga mengusulkan agar data laporan keuangan satker yang setiap bulan direkonsiliasi dengan data KPPN bukan “data bulanan” melainkan “data akumulasi” (mulai bulan Januari), karena pada hakekatnya laporan keuangan tersebut bersifat akumulasi dan bukan bersifat bulanan (walaupun proses pembuatan laporannya dilakukan setiap bulan). Rekonsiliasi data laporan keuangan secara kumulatip tersebut diperlukan terutama untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan terhadap data satker/KPPN yang sebelumnya telah direkonsiliasi, baik perubahan data yang terjadi karena suatu kesengajaan ataupun tidak.

Menyiasati Masalah Kinerja Rekonsiliasi

Walaupun gagasan yang saya usulkan tersebut nampak menjanjikan suatu harapan baru berupa semakin membaiknya kinerja rekonsiliasi di tingkat UAPPA-W, UAPPA-E1 dan UAPA, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar supaya pelaksanaannya di semua jenjang unit akuntansi tidak menemui hambatan yang cukup berart.  Pertama, diperlukan suatu peraturan (payung hukum) yang intinya untuk menjamin supaya ide atau gagasan tersebut dapat efektif dilaksanakan di tingkat KPPN, Kanwil dan Dit. APK.  Kedua, pengiriman file backup data SAI melalui KPPN/Kanwil DJPb/Dit.APK kepada unit akuntansi Kementerian Negara/Lembaga secara berjenjang tersebut  sifatnya membantu dan bukan menggantikan kewajiban UAKPA/ UAPPA-W/UAPPA-E1 untuk mengirimkan data laporan keuangannya ke jenjang unit akuntansi di atasnya.  Ketiga, mengingat kinerja rekonsiliasi di tingkat UAKPA/KPPN dapat dipastikan akan mempengaruhi kinerja rekonsiliasi pada jenjang-jenjang yang lebih tinggi, maka pengalokasian sumberdaya (resources) dan pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi perlu lebih difokuskan pada proses rekonsiliasi di tingkat paling bawah tersebut.  Keempat, program aplikasi yang terkait dengan pelaksanaan rekonsiliasi perlu dikembangkan lebih lanjut sehingga ia bukan hanya dapat menghilangkan masalah rekonsiliasi yang bersumber dari aplikasi itu sendiri, tetapi juga dapat membantu meningkatkan efektivitas dan  efisiensi proses rekonsiliasi secara keseluruhan.

Menyikapi Peraturan tentang Pelaksanaan Rekonsiliasi

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh KPPN dalam melaksanakan rekonsiliasi data laporan keuangan dengan satker adalah bagaimana ia harus menyikapi suatu peraturan, termasuk pemahaman kita terhadapnya,  yang kurang mendukung terhadap peningkatan kinerja rekonsiliasi. Sebagai contoh, KPPN ingin meningkatkan kinerja rekonsiliasinya dengan satker-satker di wilayah kerjanya, antara lain dengan cara memberikan sanksi berupa hambatan pencairan dana terhadap satker-satker penerbit SPM-LS yang tidak melaksanakan rekonsiliasi dengan KPPN.  Namun, di sisi lain, KPPN tidak memiliki payung hukum untuk mewujudkan keinginannya tersebut.  Sejumlah KPPN nekad menerapkan sanksi hambatan pencairan data (walaupun tidak secara tertulis) kepada satker-satker penerbit SPM-LS dan ternyata telah berhasil meningkatkan kinerja rekonsiliasinya dengan satker.  Sementara KPPN yang menyikapi peraturan rekonsiliasi secara kaku terbukti cenderung memiliki kinerja rekonsiliasi yang rata-rata relatif lebih rendah.

Contoh lain adalah mengenai peraturan yang mengharuskan satker untuk membawa berkas laporan keuangan (hardcopy) beserta Arsip Data Komputer(ADK)nya untuk digunakan sebagai bahan rekonsiliasi dengan KPPN.  Dalam praktek, sejumlah KPPN telah melakukan improvisasi dengan cara menghapus ketentuan bahwa satker harus membawa berkas laporan keuangan dan membolehkan satker hanya membawa ADK(data softcopy laporan keuangan)nya saja, dan kebijakan inipun terbukti telah mampu meningkatkan jumlah satker yang melakukan rekonsiliasi dengan KPPN.  Satu hal yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa ketentuan yang mengharuskan semua satker untuk menyampaikan berkas laporan keuangannya ke KPPN tersebut jelas telah membuat biaya rekonsiliasi menjadi sangat tinggi (costly) dengan hasil yang seringkali nihil. Apalagi kalau kita amati  pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN dan juga di Kanwil DJPb, ternyata pada umumnya nasib berkas laporan keuangan yang dibawa oleh satker-satker tersebut mirip dengan nasib sebagian berkas laporan bulanan mereka ke kantor pusat yang sama sekali tidak terjamah, dan biasanya langsung masuk ke arsip “keranjang sampah”.

Satu hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa berkas laporan keuangan memang diperlukan misalnya untuk bahan analisa dalam kegiatan pembinaan/pemeriksaan pelaporan keuangan, tetapi tidak diperlukan dalam kegiatan rekonsiliasi (pencocokan) data laporan keuangan yang pada era sekarang ini prosesnya dapat dilakukan per data transaksi keuangan dengan menggunakan program aplikasi. Meskipun demikian, untuk mengoptimalkan hasil rekonsiliasi dengan satker, KPPN perlu melakukan proses validasi data dan analisa laporan keuangannya secara efektif.  Maksudnya tentu saja agar proses rekonsiliasi dengan satker dapat menghasilkan status data laporan keuangan yang “SAMA dan BENAR”, bukan yang “SAMA tapi SALAH”.  Oleh karena itu, saya mengusulkan agar setiap akhir bulan (awal bulan berikutnya) KPPN segera melakukan proses validasi data dan analisa laporan keuangannya secara efektif, termasuk tindak lanjut perbaikan datanya, sebelum melakukan rekonsiliasi data dengan satker-satker di wilayah kerjanya.

Hal lain yang perlu diperhatikan oleh KPPN adalah bagaimana ia menyikapi dan merespon suatu peraturan (PMK Nomor 59/PMK.06/ 2005) yang menyatakan bahwa UAKPA harus melakukan rekonsiliasi dengan KPPN setiap bulan, sedangkan UAPPA-W harus melakukan rekonsiliasi dengan Kanwil DJPb setiap triwulan. Dalam hal ini nampaknya hampir semua KPPN telah menafsirkan peraturan tersebut bahwa data laporan keuangan yang direkonsiliasi dengan KPPN/Kanwil DJPb adalah “data bulanan” untuk data UAKPA dan “data triwulanan” untuk data UAPPA-W.  Dengan demikian, dan sesuai dengan praktek rekonsiliasi yang selama ini mereka lakukan, mereka tidak pernah melakukan rekonsiliasi ulang terhadap data bulanan/triwulanan satker/UAPPA-W yang telah dilakukan rekonsiliasi. 

Ketentuan dan pemahaman tersebut di atas mengasumsikan bahwa data keuangan yang telah direkonsiliasi dengan hasil status rekon SAMA tidak mungkin dikemudian hari dinyatakan salah (tidak valid) sehingga perlu diperbaiki dan dilakukan rekonsiliasi-ulang. Fakta menunjukkan bahwa data keuangan yang telah direkonsiliasi dengan status rekon SAMA ternyata di kemudian hari bisa dinyatakan salah melalui proses validasi yang kriterianya telah dikembangkan lebih lanjut oleh pembuat aplikasi, dan karenanya perlu diperbaiki dan dilakukan rekonsiliasi ulang. Selain itu, sebagaimana kita ketahui bahwa sepanjang tahun 2006 ini telah terbit sejumlah Surat Edaran yang meminta KPPN untuk memperbaiki sebagian datanya mulai bulan Januari 2006 sampai dengan bulan terakhir yang telah tersedia datanya.  Tentunya untuk menjamin agar data satker dan data KPPN sama, semua perbaikan data yang telah dilakukan oleh KPPN tersebut harus ditindaklanjuti dengan perbaikan data yang sama di satker/UAKPA dan dilakukan proses rekonsiliasi-ulang.  Pertimbangan lainnya bahwa rekonsiliasi-ulang diperlukan adalah karena tidak seorangpun dapat menjamin bahwa tidak akan pernah terjadi data rusak (korup) di satker ataupun di KPPN yang dapat mengakibatkan laporan keuangan satker dan KPPN yang semula berstatus rekon SAMA menjadi TDK SAMA?

Berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut diatas, sebagaimana telah disebutkan dimuka, saya mengusulkan supaya data laporan keuangan satker yang setiap bulan direkonsiliasi dengan data KPPN bukan sekedar “data bulanan”, melainkan “data akumulasi” mulai bulan Januari. Hal serupa juga perlu dilakukan pada pelaksanaan rekonsiliasi di tingkat Kanwil DJPb dan di tingkat Direktorat APK.  Tentunya ketentuan tersebut perlu dipertegas dalam suatu Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan yang mengatur tentang pelaksanaan rekonsiliasi data laporan keuangan pemerintah pusat.

Membantu Rekonsiliasi Tingkat Kanwil DJPb/Dit. APK


Pada bagian awal tulisan ini telah saya kemukakan tentang pentingnya KPPN menyimpan file backup data SAI semua satker di wilayah kerjanya yang status rekonnya telah SAMA untuk membantu pelaksanaan rekonsiliasi data keuangan pada tingkat UAPPA-W dan seterusnya pada jenjang yang lebih tinggi.  Gagasan tersebut muncul setelah melihat kenyataan bahwa dalam praktek seringkali ditemui sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan rekonsiliasi seperti (1) satker/UAKPA telah mengirim data laporan keuangan ke UAPPA-W sebelum KPPN menyatakan bahwa data keuangan satker tersebut telah sama dengan data KPPN, (2) data satker yang telah diperbaiki pada saat rekonsiliasi di KPPN tidak disimpan kembali (direstore) ke dalam database aplikasi SAI satker yang bersangkutan, (3) pada saat rekonsiliasi dengan satker Seksi Vera melakukan perbaikan data KPPN tidak pada data server KPPN, tetapi pada copy data server KPPN di Seksi Vera yang dimaksudkan untuk mempercepat proses rekonsiliasi dengan satker, dan (4) sejumlah satker telah melakukan rekonsiliasi dengan KPPN tetapi tidak mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W.

Dengan digunakannya arsip data SAI satker yang status rekonnya dengan KPPN telah SAMA pada proses rekonsiliasi tingkat Kanwil DJPb dan tingkat Dit. APK, diharapkan praktek-praktek penyimpangan prosedur rekonsiliasi tersebut di atas tidak lagi memperburuk kinerja rekonsiliasi di tingkat Kanwil DJPb dan tingkat Dit. APK.  Dalam hal ini file backup data SAI satker yang copynya dikirim ke Kanwil DJPb dan Dit. SP/Dit. APK tersebut dapat juga digunakan sebagai acuan oleh Kanwil DJPb/ Dit. APK untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh adanya penyimpangan prosedur rekonsiliasi di tingkat KPPN tersebut, termasuk untuk menguji sejauhmana cakupan proses rekonsiliasi di KPPN telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Satu hal yang ingin saya tekankan di sini bahwa pengiriman data backup SAI ke Dit. APK tidak harus melalui Kanwil DJPb.  KPPN dapat mengirimkan data backup SAI tersebut langsung ke Dit. APK/Dit. SP pada saat yang hampir bersamaan ketika ia mengirimkannya ke Kanwil DJPb dengan memanfaatkan fasilitas komunikasi data intranet yang telah tersedia di semua KPPN.  Diharapkan secara internal setiap bulan/triwulan Kanwil DJPb/Dit. APK dapat melakukan rekonsiliasi  data SAU dan data SAI yang telah mereka terima dan menyampaikan hasil rekonsiliasi yang masih berstatus TDK SAMA ke KPPN-KPPN yang bersangkutan, termasuk ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA, untuk ditindaklanjuti. 

Perlu diketahui bahwa bukan hal yang mustahil bahwa dari hasil rekonsiliasi antara data SAU dan data SAI tersebut masih ditemukan data yang status rekonnya TDK SAMA.  Kesalahan bisa terjadi pada data SAU ataupun data SAI.  Sebagaimana telah disebut dimuka, kesalahan data SAU/KPPN dapat terjadi apabila  Seksi Vera melakukan perbaikan data KPPN tidak pada data server KPPN melainkan pada copy data server KPPN di Seksi Vera.  Sedangkan kesalahan data SAI bisa terjadi antara lain apabila cakupan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Seksi Vera KPPN tidak selengkap cakupan rekonsiliasi yang dilakukan oleh Kanwil DJPb/Dit. APK.  Sebagai contoh, Seksi Vera KPPN tidak melaksanakan rekonsiliasi data akumulasi mulai Januari, data pagu, data realisasi belanja sampai dengan kode fungsi-subfungsi-program, dan data realisasi UP, sementara Kanwil DJPb/Dit. APK telah melaksanakan semua cakupan rekonsiliasi tersebut.

Pada bagian awal tulisan ini saya mengusulkan agar file backup data SAI yang copynya dikirim KPPN ke Kanwil DJPb dan Dit. SP/Dit. APK tersebut digunakan oleh UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA sebagai bahan kompilasi (penggabungan) data keuangan satker-satker di wilayah kerja mereka dan rekonsiliasi dengan Kanwil DJPb/Dit. APK.  Lalu, apabila UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA telah mendapatkan file backup data SAI dari Kanwil DJPb/Dit. APK, apakah satker (UAKPA)/UAPPA-W/UAPPA-E1 masih harus menyampaikan laporan keuangan beserta ADKnya ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA? 

Jawabannya tentu saja “ya” karena, sebagaimana telah disebutkan dimuka, pengiriman file backup data SAI ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA tersebut sifatnya membantu (complementary) dan bukan menggantikan kewajiban UAKPA/ UAPPA-W/UAPPA-E1 untuk mengirimkan data laporan keuangannya ke jenjang unit akuntansi di atasnya. Bagaimanapun kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan adanya satker yang tidak/belum (pernah) melakukan rekonsiliasi dengan KPPN tetapi telah mengirimkan data laporan keuangannya ke UAPPA-W.  Dengan demikian, meskipun pengiriman file backup data SAI satker melalui KPPN/Kanwil DJPb/Dit. APK ke UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA tersebut sangat membantu kelancaran proses pengiriman data laporan keuangannya ke jenjang unit-unit akuntansi yang lebih tinggi, namun ia tidak bisa/boleh sama sekali menggantikannya.

Untuk membantu UAPPA-W/UAPPA-E1/UAPA agar mereka dapat secepatnya melakukan identifikasi dan mengambil tindakan terhadap satker-satker yang bermasalah dalam hal pengiriman dan penyajian data laporan keuangannya, saya mengusulkan agar pengiriman file backup data SAI (termasuk hasil rekonsiliasi data SAU dan data SAI yang masih berstatus rekon TDK SAMA) oleh Kanwil DJPb/Dit. APK kepada mereka dapat dilakukan secara bulanan/triwulanan.  Dalam hal ini diharapkan program aplikasi komputer dapat membantu mempermudah pemilahan satker-satker yang status data rekonnya masih bermasalah (TDK SAMA) tersebut berdasarkan UAPA (kementerian negara/lembaga), UAPPA-E1 (unit eselon-1) dan UAPPA-W (unit akuntansi tingkat wilayah).

Fokus pada Pelaksanaan Rekonsiliasi Tingkat KPPN


Sebagaimana telah disebutkan dimuka, saya mengusulkan agar pengalokasian sumberdaya (resources) dan pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi lebih difokuskan pada proses rekonsiliasi di tingkat satker/KPPN. Dalam hal ini pelaksanaan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada satker-satker (yang menurut tupoksi Ditjen Perbendaharaan dilakukan oleh pegawai Bidang Akuntansi dan Pelaporan) perlu melibatkan pegawai KPPN dan lebih difokuskan    pada satker-satker yang masih bermasalah dalam pelaksanaan rekonsiliasinya dengan KPPN.  Keterlibatan pegawai KPPN secara lebih intens dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan teknis kepada satker-satker bermasalah di wilayah kerjanya tersebut selain dapat menghemat biaya perjalanan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis (yang selama ini sering dilakukan oleh pegawai Bidang Akuntansi dan Pelaporan Kanwil DJPb) juga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan bimbingan teknis kepada satker. Bukankah pegawai KPPN yang notabene sering berhubungan dengan satker-satker di wilayah kerjanya pada prinsipnya lebih mengetahui satker-satker mana yang bermasalah dan masalah apa yang sedang mereka hadapi?  Dalam konteks tersebut, kegiatan pemberdayaan pegawai KPPN, khususnya yang terkait dengan kegiatan bimbingan teknis dan ditujukan untuk mengatasi masalah satker-satker yang bermasalah di wilayah kerjanya, menjadi sangat relevan untuk diperhatikan di masa-masa mendatang.

Satu hal yang perlu kita perhatikan bahwa masalah dominan yang dihadapi oleh satker-satker yang bermasalah bukan hanya masalah SDM yang kurang terlatih dalam menggunakan aplikasi komputer, tetapi juga masalah sarana komputer yang kurang memadai atau bahkan sama sekali tidak tersedia. Dalam hal ini, menurut hemat saya, perlu dipertimbangkan adanya ketentuan yang mengharuskan KPPN untuk secara periodik menyampaikan Laporan Daftar Satker-satker yang Bermasalah, baik dalam hal penguasaan aplikasi SAI maupun dalam hal ketersediaan sarana komputer yang memadai, kepada Kanwil DJPb. Sementara itu Kanwil DJPb diminta untuk melakukan kompilasi dan menyampaikan hasil kompilasi laporan tersebut ke kantor pusat (Dit. APK dan Ditjen Anggaran/Dit. PA) untuk ditindaklanjuti. 

Bagi Dit. APK dan Kanwil DJPb, laporan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun rencana kegiatan pembinaan SAI dan pelaporan keuangannya terhadap satker-satker di kementerian negara/lembaga. Sedangkan bagi Ditjen Anggaran/Dit. PA, laporan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penyediaan anggaran dan pelaksanaannya untuk program pengadaan sarana komputer bagi satker-satker yang belum memilikinya. Pada saat ini, kebutuhan sarana komputer bagi setiap satker merupakan hal yang sangat mendesak. Pelaksanaan SAI dan rekonsiliasi data keuangan antara satker dan KPPN tidak dapat berlangsung secara optimal tanpa dukungan sarana komputer yang memadai. Dan ini sejalan dengan  tekad kita bersama bahwa dokumen SPM satker yang diajukan ke KPPN harus merupakan hasil dari aplikasi SPM satker dan dilampiri dengan ADKnya.  Bagaimanapun, masa transisi dokumen SPM dan laporan keuangan satker yang dibuat secara manual harus segera kita akhiri.

Selain masalah SDM dan sarana komputer satker yang belum memadai, hal lain yang perlu kita perhatikan adalah masalah pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN. Di dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan nomor PER-66/PB/2006 sebenarnya telah diatur tentang pedoman pelaksanaan rekonsiliasi, termasuk cakupan rekonsiliasi yang harus dilaksanakan oleh KPPN.   Namun, pengawasan terhadap pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN perlu dilakukan bukan hanya karena dalam praktek ia rentan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan tetapi juga karena pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi itu sendiri tidak secara tegas diatur dalam peraturan tersebut kecuali berupa dokumen Berita Acara Rekonsiliasi (BAR) dan lampiran hasil rekonsiliasinya.

Bahkan dalam ketentuan mengenai penandatanganan BAR di tingkat KPPN, sebagaimana diatur dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006, pun mengandung kontroversi dalam pelaksanaannya. Kontroversi tersebut bersumber dari, di satu sisi, ketentuan tentang prosedur rekonsiliasi antara KPPN dan UAKPA yang menetapkan bahwa BAR ditandatangani oleh Kepala KPPN selaku Kuasa BUN dan Kepala satker selaku Kuasa PA. Di sisi lain, format BAR sebagaimana tercantum dalam lampiran I Perdirjen tersebut tidak menetapkan secara definitif       siapa yang harus menandatangani BAR (dalam format BAR hanya tertulis bahwa para penandatangannya adalah a.n Kuasa BUN dan a.n. Kuasa PA). Satu hal yang harus kita perhatikan adalah walaupun penetapan Kepala KPPN dan Kepala satker sebagai penandatangan BAR mempunyai tujuan yang baik, yakni agar mereka dapat melihat/mengawasi secara langsung hasil rekonsiliasi tersebut, namun hal tersebut dikhawatirkan dapat menghambat proses pelayanan rekonsiliasi di KPPN, dimana waktu yang tersedia relatif terbatas namun satker yang harus dilayani berjumlah sangat banyak.  Selain itu, barangkali ini yang paling penting untuk dijadikan sebagai acuan, Peraturan Menteri Keuangan nomor 59/PMK.06/2005 sendiri (lihat lampiran II) telah menetapkan bahwa BAR “ditandatangani oleh petugas rekonsiliasi dari KPPN dan UAKPA”.     

Bicara tentang pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN erat kaitannya dengan kinerja rekonsiliasi KPPN, yakni berapa jumlah satker di wilayah kerjanya yang telah melaksanakan rekonsiliasi, yang belum melaksanakan rekonsiliasi dan yang hasil rekonsiliasinya (status rekon datanya) telah SAMA. Sangat disayangkan bahwa dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 tersebut di atas tidak diatur tentang kewajiban KPPN untuk menyampaikan Laporan Monitoring Pelaksanaan Rekonsiliasi satker-satker di wilayah kerjanya dengan menggunakan format yang telah disediakan/dibakukan. Siapapun di antara kita tentu akan mengakui bahwa keberadaan laporan monitoring pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN tersebut sangat bermanfaat dan dapat membantu Kepala KPPN, Kepala Kanwil DJPb dan Direktur APK dalam menetapkan keputusan dan mengambil kebijakan yang terkait dengan kegiatan pembinaan dan bimbingan teknis kepada satker-satker.

Satu hal yang perlu kita perhatikan dalam pengawasan pelaksanaan rekonsiliasi di KPPN (demikian pula di Kanwil DJPb dan Dit. APK) adalah bahwa hasil rekonsiliasi, yang biasanya dinyatakan dalam status rekon SAMA atau TDK SAMA, tergantung antara lain pada sejauhmana cakupan rekonsiliasi dilaksanakan oleh KPPN (Kanwil DJPb/Dit. APK).  KPPN yang hanya melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanjanya akan mempunyai kinerja rekonsiliasi yang nampak lebih baik dibandingkan dengan KPPN yang melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanja dan data pagunya. Sementara KPPN yang melaksanakan rekonsiliasi terhadap data belanja, pagu, pendapatan (setoran PNBP) dan data UP (Uang Persediaan)nya akan mempunyai kinerja rekonsiliasi yang nampak lebih buruk. Dengan kata lain, kinerja rekonsiliasi KPPN akan nampak semakin buruk apabila ia melakukan rekonsiliasi dengan menggunakan cakupan datanya yang lebih lengkap. Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengawasan agar semua KPPN melaksanakan rekonsiliasi dengan cakupan data sesuai dengan ketentuan cakupan rekonsiliasi yang telah ditetapkan dalam Perdirjen nonor PER-66/PB/2006?

Laporan monitoring pelaksanaan rekonsiliasi sebagaimana telah saya usulkan sebelumnya tentu tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut apabila format laporannya tidak memuat cakupan rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh KPPN. Selain itu, apabila laporan tersebut dibuat secara manual, dengan menggunakan  spreadsheet excell misalnya, maka kita tidak bisa menjamin bahwa laporan yang memuat cakupan rekonsiliasi tersebut telah dikerjakan oleh KPPN dengan benar.

Untuk mengawasi atau mengetahui apakah cakupan rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh KPPN telah sesuai dengan ketentuan yang ada, saya mengusulkan dibuatkan Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi yang dapat disajikan melalui menu aplikasi Vera dan memuat identitas BAES1 dan Satker serta unsur-unsur Cakupan Rekonsiliasi (Jenis Data dan Periode Bulan), Jumlah Transaksi Seluruhnya, Jumlah Transaksi yang telah SAMA dan Jumlah Transaksi yang belum SAMA. Berdasarkan informasi tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan yang dapat pula ditambahkan ke dalam form Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi tersebut bahwa status rekon data suatu satker telah SAMA atau masih TDK SAMA.  Dengan cara demikian, kita bisa mendapatkan informasi yang lebih obyektif tentang status rekon data satker/KPPN. 

Namun, terkait dengan cakupan rekonsiliasi, ada satu hal yang selama ini sering dipertanyakan oleh para petugas rekonsiliasi di KPPN dan juga di Kanwil DJPb, yakni apakah data UP (transaksi keuangan transito/non-anggaran) dan data realisasi pembiayaan termasuk dalam cakupan (unsur-unsur) yang harus direkonsiliasi dengan satker/UAPPA-W.  Sebagaimana kita ketahui, menu rekonsiliasi data UP telah lama tersedia pada aplikasi Vera dan juga pada aplikasi Aklap.  Namun, sayangnya di sisi lain, pedoman rekonsiliasi dan juga format BAR yang ada dalam Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 sama sekali tidak mengindikasikan tentang perlunya data UP direkonsiliasi dengan satker/UAPPA-W.  Sementara itu, realisasi pembiayaan secara jelas memang telah ditetapkan dalam Perdirjen tersebut sebagai unsur-unsur yang harus direkonsiliasi dengan satker. Namun, permasalahan tersebut muncul karena terdapat perbedaan antara unsur-unsur rekonsiliasi dalam Perdirjen yang secara eksplisit menyatakan bahwa realisasi pembiayaan harus direkonsiliasi dan format BAR yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa realisasi pembiayaan perlu direkonsiliasi. 

Bagaimanapun, kita semua semestinya sependapat bahwa sepanjang bermanfaat dan tidak ada hambatan serius dalam proses rekonsiliasi antara data SAU dan data SAI maka pada prinsipnya semua data transaksi keuangan yang ada harus kita rekonsiliasi.    

Peran Pengembangan Program Aplikasi


Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah upaya pengembangan program aplikasi yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksaan rekonsiliasi mulai dari tingkat UAKPA/KPPN sampai dengan tingkat UAPA/Dit. APK.  Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa kita memerlukan pengembangan aplikasi di Kanwil DJPb dan Dit. APK yang memungkinkan mereka untuk melaksanakan rekonsiliasi data SAU dan data SAI secara internal dengan mudah dan mencetak hasil rekonsiliasi yang TDK SAMA sedemikian rupa sehingga hasil printoutnya dapat dengan mudah disampaikan ke KPPN ataupun ke UAPA/UAPPA-E1/UAPPA-W untuk ditindaklanjuti.

Kembali mengulang apa yang telah saya sampaikan dimuka bahwa  aplikasi Vera KPPN juga perlu dikembangkan sehingga ia dapat mencetak Laporan Rekapitulasi Hasil Rekonsiliasi yang berfungsi antara lain untuk menguji cakupan rekonsiliasi yang telah dilaksanakan oleh Seksi Vera. Demikian pula, terkait dengan keharusan satker untuk melakukan rekonsiliasi “data akumulasi” dengan KPPN dan menyampaikan ADK laporan keuangannya yang notabene sifatnya juga akumulatif (dari bulan Januari sd bulan ini/terakhir), maka parameter proses kirim data ke KPPN/UAPPA-W pada aplikasi SAI pun perlu disesuaikan agar pelaksanaan rekonsiliasi dan penyampaikan data laporan keuangan ke jenjang unit akuntansi yang lebih tinggi dapat berjalan secara efektif dan efisien.  Tentunya hal yang sama juga berlaku untuk parameter pengiriman data setiap bulan dari KPPN ke Kanwil DJPb/Dit. APK dan dari Kanwil DJPb ke Dit. APK. Pada prinsipnya, saya mengusulkan agar data laporan keuangan yang dikirim tersebut sedapat mungkin terdiri dari satu file pengiriman dimana semua jenis data keuangan, termasuk data pagu DIPA dan SKPA (dengan catatan bahwa pada tahun 2007 SKPA masih diterbitkan), telah ada/terekam di dalamnya.

Berdasarkan pengalaman pelaksanaan rekonsiliasi selama ini, seringkali ditemui status rekon TDK SAMA pada rekonsiliasi data pagu dan data setoran PNBP yang disebabkan oleh kurang terintegrasinya secara baik, termasuk perbedaan acuan yang digunakan, antara aplikasi SPM dan aplikasi SAI dan antara aplikasi SISPEN dan aplikasi SAI.  Akibatnya, selama ini tanggal dan dokumen data pagu dan data setoran PNBP tidak dapat dilakukan rekonsiliasi.  Pada pengembangan aplikasi berikutnya diharapkan masalah tersebut telah dapat diselesaikan, dan (bila aplikasi-aplikasi tersebut telah terintegrasi dengan baik) semestinya rekonsiliasi data realisasi setoran PNBP antara satker dan KPPN dapat dipertimbangkan untuk diberlakukan kembali (sebagai catatan, Perdirjen nomor PER-66/PB/2006 telah menetapkan bahwa semua data realisasi pendapatan yang berasal dari SISPEN, termasuk data setoran PNBP, tidak perlu dilakukan rekonsiliasi).    

Hal lain lagi yang perlu saya tekankan dalam tulisan ini adalah  banyaknya pilihan menu rekonsiliasi yang tidak disertai pedoman teknis (user’s guide) yang cukup jelas pada aplikasi Vera maupun pada aplikasi Aklap. Kondisi demikian seringkali mengakibatkan kebingungan bagi pengguna aplikasi untuk memilih menu rekonsiliasi mana yang seharusnya digunakannya. Sementara itu, prosedur rekonsiliasi dalam lampiran perdirjen nomor PER-66/PB/2006 tidak menyinggung sama sekali tentang menu-menu rekonsiliasi mana yang diperlukan dan sesuai dengan prosedur pelaksanaan rekonsiliasi yang telah baku. Pada kesempatan ini saya mengusulkan agar pilihan parameter menu rekonsiliasi pada aplikasi tersebut disederhanakan dan disesuaikan dengan pedoman dan cakupan rekonsiliasi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, diharapkan para pengguna aplikasi tersebut tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam memilih menu rekonsiliasi (misalnya, data belanja tidak direkonsiliasi hingga kode fungsi, sub-fungsi, program, kegiatan dan sub-kegiatan) yang selama ini kadang sengaja mereka lakukan untuk mempercepat proses rekonsiliasi.

Akhirnya, semoga sumbangan pemikiran yang telah saya sampaikan tersebut di atas dapat merangsang pemikiran-pemikiran baru lainnya yang pada gilirannya dapat bermanfaat bagi kita semua dalam upaya mewujudkan laporan keuangan pemerintah yang kredibel dan tidak disclaimer lagi. 



Selasa, 26 Desember 2006

Mencari Sosok Ibu di Hari Ibu



MENCARI SOSOK IBU DI HARI IBU



Anak saya yang baru akan menginjak usia dewasa pada tanggal 22 Desember lalu bertanya kepada saya, mengapa kalau Hari Ibu ada tetapi Hari Bapak tidak ada? Mendengar pertanyaan anak saya tersebut, saya tersenyum.  Dalam hati saya teringat ketika pertanyaan yang sama juga pernah ada di benak saya  ketika usia saya kurang lebih sama dengan usianya. Lalu, untuk sekadar memuaskan keingintahuan anak saya tersebut, saya memberikan penjelasan sekenanya yang mudah-mudahan dapat diterima oleh anak saya. 

Waktu itu saya jelaskan kepada anak saya bahwa Hari Ibu sengaja diadakan dan diperingati supaya kita sebagai warga Indonesia selalu ingat (jangan melupakan) jasa dan pengorbanan seorang Ibu yang sangat besar, terutama dalam melahirkan, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.  Satu hal yang perlu kita sadari, keberhasilan generasi muda untuk tampil menjadi pemimpin bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.  Mengingat peran Ibu yang demikian penting tersebut, setiap tanggal 22 Desember kita semua diingatkan untuk menghormatinya, mengindahkan pesan dan ucapannya, dan memberikan kado penghargaan kepadanya.

“Lalu, mengapa Hari Bapak tidak diperingati?”, tanya anak saya.  Setelah berhenti sejenak untuk berpikir, lalu saya jelaskan bahwa Hari Bapak tidak perlu diperingati karena memang tidak ada alasan atau kepentingan yang mendesak untuk memperingatinya. Maksud saya, kalau Hari Ibu itu diperingati karena ada kecenderungan masyarakat (termasuk sebagian para Ibu dan paling tidak pada saat itu) untuk melupakan peran Ibu yang sangat penting tersebut.  Sedangkan peran Bapak nampaknya (paling tidak sampai saat ini) sama sekali tidak ada yang mempermasalahkannya, sehingga tidak perlu dibuat Hari Bapak untuk memperingatinya. Mendengar penjelasan saya tersebut, anak saya pun manggut-manggut. 

Saya tidak tahu apakah anak saya dapat menerima sepenuhnya penjelasan saya.  Tetapi yang pasti adalah saya telah berbohong kepadanya karena saya sendiri sebenarnya ragu sejauhmana kebenaran penjelasan yang telah saya sampaikan kepadanya.

Saya memang pernah membaca bahwa pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional.  Tanggal 22 Desember dipilih karena hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta.  Namun saya tidak tahu persis, dan saya juga tidak terlalu peduli, apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan kaum perempuan pada saat itu.   Satu hal yang saat ini saya peduli adalah sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini?

Ada tiga sosok Ibu yang akan saya tampilkan dalam tulisan ini, dan ketiganya mempunyai peran penting dalam proses pembangunan bangsa yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.  Yang pertama adalah sosok Ibu Rumah Tangga yang saya percaya jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia.  Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan juga Sang Suami.  Ia mengabdikan hidupnya secara total kepada mereka.  Namun, ada pula sebagian dari kita yang mengkritiknya sebagai manusia yang terlalu “nrimo”.  Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk beremansipasi, termasuk merambah ke dunia kerja yang selama ini biasa dilakukan oleh kaum lelaki.  Hidupnya bagai burung di dalam sangkar.  Ia sudah merasa dimuliakan apabila ia mampu memberikan keturunan dan hidupnya dijamin aman. Lebih dimuliakan lagi apabila ia bisa hidup dalam “sangkar” yang terbuat dari emas.

Sosok Ibu yang kedua adalah yang biasa kita kenal sebagai Wanita Karir, yakni wanita yang sehari-hari lebih sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Wanita Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif lebih terpelajar dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan predikat sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia juga dikenal sebaga wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia kerja milik kaum pria.  Namun, Wanita Karir juga tidak jarang menerima kritik sebagai manusia yang telah melawan kodratnya.  Demi ambisi pribadi ia rela membiarkan suami dan anak-anaknya dilayani dan dijaga oleh Pembantu Rumah Tangga. Dan barangkali yang paling membuat orang geram, demi karir dan jabatan yang akan diperolehnya kadang ia rela menyerahkan mahkota kewanitaannya kepada Boss dan atasannya.

Sosok Ibu berikutnya adalah Perempuan Aktivis. Meskipun ia telah bersuami dan bahkan mempunyai banyak anak, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Perempuan ketimbang sebagai sosok Ibu.  Sosok Ibu Perempuan Aktivis ini sangat idealis dan kritis.  Ia selalu memposisikan dirinya dekat dengan rakyat melalui kegiatannya yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar waktu hidupnya memang dipersembahkan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya. Namun, sama halnya dengan Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir, Perempuan Aktivis pun tak luput dari sorotan kritik yang bisa membuat wajah mereka memerah menahan marah. 

Sama dengan Wanita Karir, Perempuan Aktivis juga dikritik karena terlalu banyak melakukan kegiatan di luar rumah sehingga seringkali mengganggu keharmonisan hubungan keluarga (suami, isteri dan anak-anak mereka) dalam rumah tangganya sendiri.  Selain itu, tidak jarang kegiatan demonstrasi yang konon mereka lakukan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekadar melaksanakan mandat atau pesan sponsor dari organisasi non-pemerintah internasional (international NGOs) yang telah mengucurkan dananya kepada LSM tempat mereka bekerja. Teriakan perangnya yang ditujukan kepada pemerintah juga sebenarnya tidak lebih dari sekadar sinyal agar pemerintah meresponnya dengan memberikan bantuan proyek pemberdayaan masyarakat dimana ia menjadi bagian di dalamnya.  Atau siapa tahu, kegarangannya menyerang pemerintah akan berbuah tawaran pemerintah untuk menempati posisi terhormat sebagai wakil rakyat atau birokrat.

Karakter ketiga sosok Ibu tersebut di atas memang sengaja saya tampilkan secara hitam-putih, dari sisi positip maupun dari sisi negatipnya. Maksud saya adalah ingin menunjukkan bahwa manapun sosok Ibu yang kita pilih sebagai panutan, mereka semua adalah sosok manusia yang masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan.  Kritik yang menunjuk pada sisi negatip dari masing-masing sosok Ibu hendaknya dijadikan acuan bagi sosok Ibu yang bersangkutan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga keluarganya menuju kondisi keluarga yang dicita-citakan bersama.

Dalam hal ini saya juga ingin mengingatkan bahwa dalam kenyataan seringkali kita tidak bisa membedakan secara tegas ketiga sosok Ibu tersebut dengan menggunakan kacamata (analisa) hitam-putih.  Sebagai contoh, yang dimaksud sosok Wanita Karir atau juga Perempuan Aktivis bukanlah mereka yang sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (memasak, mencuci pakaian, membersihkan lantai rumah, dan seterusnya).  Demikian pula halnya dengan sosok Ibu Rumah Tangga, ia bukanlah seorang Ibu yang sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas diluar rumah, misalnya dalam kegiatan organisasi PKK atau organisasi keagamaan. Dengan demikian, kaca mata analisa sosok Ibu dalam hal ini hanya dapat digunakan untuk melihat sejauhmana ia lebih banyak memfokuskan perhatian pada pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Wanita Karir atau Perempuan Aktivis.

Kembali pada pertanyaan saya sebelumnya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan pada saat ini?  Dengan tegas saya ingin menyatakan bahwa di era sekarang ini kita membutuhkan ketiga sosok Ibu yang telah kita bicarakan. Perbedaan pendapat di antara kelompok masyarakat selama ini tentang sosok Ibu yang menurut mereka layak untuk dijadikan panutan lebih sering didasarkan pada stereotipe yang selama ini dianut oleh banyak orang bahwa pengakuan terhadap peran penting sosok Ibu yang satu berarti sama halnya dengan penolakan terhadap peran penting sosok Ibu yang lain.  Hal lain yang pantas disesalkan, pendapat tentang sosok Ibu yang layak dijadikan panutan seringkali didasarkan pada ajaran atau kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun, dan bukan didasarkan pada sejauhmana etos kerja yang telah diperlihatkan, dan juga sejauhmana pengabdian yang telah diberikan, kepada keluarga dan juga kepada masyarakat.  Akibat dari ego kita yang berlebihan tersebut, polemik jender pun acapkali berkembang menjadi liar, tanpa ditopang argumen-argumen yang cukup mengakar.

Mengapa ketiga sosok Ibu tersebut kita butuhkan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada suatu diskusi tentang masalah ekonomi bahwa kemakmuran atau kemajuan ekonomi suatu bangsa hanya bisa dicapai dengan cara meningkatkan produktivitas ekonominya secara nasional.    Lalu, apa hubungannya ketiga sosok Ibu tersebut dengan masalah produktivitas nasional? 

Seorang Ibu (apalagi kalau anak-anaknya sudah cukup besar dan sudah mandiri) masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia bisa berdagang di dalam atau di luar rumah untuk menambah penghasilan suami yang barangkali kurang mencukupi.  Ia juga masih mempunyai sisa waktu untuk belajar memasak, merajut, merangkai bunga, dan lain-lainnya pada kegiatan PKK yang diselenggarakan tidak jauh dari rumahnya.  Saya percaya sepenuhnya bahwa kegiatan-kegiatan positip yang dilakukan di luar waktu untuk mengurus suami dan anak-anaknya tersebut sangat bermanfaat baginya dan bagi keluarganya.

Lalu, mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir?  Seorang ibu yang dalam kolom pekerjaan di KTPnya tertulis sebagai PNS dan bukan sebagai Ibu Rumah Tangga tentu punya alasan lain lagi mengapa ia bekerja sebagai pegawai negeri, padahal suaminya juga telah bekerja dan kebetulan sama sebagai pegawai negeri.  Seorang Ibu Guru PNS pernah mengatakan kepada saya bahwa ia bekerja sebagai guru karena penghasilan suaminya kurang mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain itu, sebagai Guru ia juga bisa belajar dari pengalamannya mengajar selama ini untuk diterapkan kepada anak-anaknya, dan juga kepada siswa-siswanya yang lain tahun ajaran berikutnya.   Sebagian pekerjaan rumahnya seperti mencuci dan menyeterika pakaian dikerjakan oleh pembantu rumah tangga yang ia gaji secara bulanan.  Dengan demikian, pilihan profesinya sebagai seorang Guru PNS telah memberikan banyak manfaat kepada dirinya, keluarganya, siswa-siswanya, dan juga kepada pembantu rumah tangganya.

Alasan yang kurang lebih sama juga berlaku terhadap pertanyaan mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis.  Pada intinya mereka masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak, di luar kegiatan internal rumahtangganya, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan juga masyarakat.

Kembali lagi pada pertanyaan saya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini. Setelah memperhatikan peran penting ketiga sosok Ibu tersebut diatas, saya berkesimpulan bahwa kita membutuhkan sosok Ibu yang mampu membuktikan bahwa semua kritik dan sorotan negatip yang ditujukan kepadanya adalah salah.  Kita membutuhkan sosok Ibu Rumah Tangga yang mampu bekerja di dalam dan juga di luar “sangkar”. Kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir yang tidak menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan tidak pula menggadaikan kehormatannya kepada atasannya. Dan kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis yang berdemonstrasi karena sesuai dengan tuntutan hati nurani. Bukan karena dibayar oleh organisasi LSM yang mensponsorinya, dan bukan pula karena ingin mendapatkan tempat terhormat sebagai birokrat atau wakil rakyat.

Siapakah mereka?  Barangkali mereka adalah mirip dengan sosok-sosok Ibu “Bhinneka Tunggal Ika” yang fotonya pernah dipajang di halaman depan majalah Tempo beberapa waktu lalu. Yang pasti, mereka bukanlah perempuan biasa. Perempuan yang dengan ikhlas dan sepenuh hati selalu menyumbangkan ide dan tenaganya untuk keharmonisan dan kesejahteraan keluarganya, untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat, dan untuk kemakmuran dan kemajuan bangsanya. ●  

Senin, 18 Desember 2006

Status Anak Luar Kawin

TANYA JAWAB TENTANG STATUS ANAK LUAR KAWIN

Menanggapi pertanyaan yang disampaikan oleh Sdr. Adit (Universitas Brawijaya) dan Ibu Riku (Individual) mengenai “Status Anak Luar Kawin dari Perkawinan Campuran” (red- dari pasangan beda bangsa/campuran), secara ringkas berikut analisa yang dapat diberikan:

Berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya". Oleh karena itu, apabila sang Ibu berkewarganegaraan Indonesia, maka si Anak akan mengikuti warga negara dan hukum sang Ibu. Bila sang Ibu berkewarganegaraan asing maka si Anak akan ikut warga negara ibunya yang WNI. Hal ini juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 (“UU 12/2006”) tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan yang baru) dalam Pasal 4 huruf g, mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai warga negara Indonesia, yaitu:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia”

Lalu bagaimana dengan anak luar kawin yang ibunya WNA dan ayahnya WNI, tetapi sang ayah mau mengakui Anak tersebut sebagai Anaknya? UU 12/2006 juga telah mengatur mengenai hal tersebut, di mana dalam Pasal 4 huruf h tercantum bahwa WNI adalah:

“Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin”.

Kemudian bagaimana dengan anak luar nikah yang ibunya WNI lalu ayahnya WNA tapi sang ayah mau mengakui anak tersebut? Berdasarkan pasal 5 (1) UU 12/2006, dijelaskan:

“Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai Warga Negara Indonesia”.

Tetap diakuinya anak-anak tersebut diatas sebagai WNI berdasarkan Pasal 6 UU 12/2006 menyebabkan anak-anak ini mempunyai kewarganegaraan ganda sampai usianya 18 tahun atau sudah kawin, di mana ia dibolehkan untuk memilih kewarganegaraannya. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan disampaikan secara tertulis kepada Pejabat yang ditugaskan oleh menteri untuk mengurusi bidang kewarganegaraan, dengan dilampiri dokumen sesuai peraturan perundangan.

Anak-anak yang lahir dari hubungan luar kawin lalu diakui atau diakui secara sah oleh ayahnya yang WNA atau WNI, seperti tersebut diatas, dan ia belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang 12/2006 dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.

Demikian penjelasan yang dapat diberikan semoga membantu.

Salam,

Jurnal Hukum PMF

Senin, 11 Desember 2006

Penelitian Hukum: Analisa terhadap Peran Dewan Keamanan PBB

ANALISA TERHADAP PERAN DEWAN KEAMANAN PBB
DALAM MEMELIHARA PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL

Penulis: Pan Mohamad Faiz
Tebal: xi + 56 Halaman + Lampiran
Waktu: Desember 2006
Bahasa: Inggris

Dewan Keamanan PBB mempunyai tugas utama berdasarkan Piagam PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Selama empat puluh lima tahun di awal keberadaannya, Dewan Keamanan dirasakan sangat tidak berdaya akibat perang dingin yang terjadi. Namun sejak tahun 1990, di mana telah terjadi pencairan suhu politik global, Dewan Keamanan kini telah menjadi aktif kembali.

Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Russia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sepuluh anggota Dewan Keamanan lainnya dipilih oleh Mejelis Umum untuk jangka waktu 2 (dua) tahun keanggotaan yang tidak dapat diperpanjang, di mana 5 (lima) anggota baru dipilih setiap tahunnya. Sepuluh anggota terpilih dimaksud, sebagaimana disebut sebagai anggota tidak tetap dalam Piagam PBB, dipilih berdasarkan formulasi pembagian dari setiap wilayah utama dari seluruh penjuru dunia.

Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Bersandar pada Bab VI dari Piagam PBB, Dewan Keamanan tersebut harus, ketika dianggap perlu, memanggil para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya secara damai dengan cara, misalnya, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, ataupun penyelesaian melalui jalur pengadilan. Dimungkin juga, jika semua pihak yang bersengketa sepakat, diberikan rekomendasi bagi para para pihak dengan cara-cara penyelesaian lainnya secara damai. Pasukan penjaga keamanan PBB pertama kali dibentuk oleh Majelis Umum PBB, namun setelah itu selalu dibentuk oleh Dewan Keamanan, di mana Dewan memegang kewenangan dalam memerintah terhadap mereka. Walaupun Piagam PBB tidak secara jelas memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk membentuk pasukan penjaga keamanan, tetapi Mahkamah Internasional dalam satu kasus pada tahun 1962 menyatakan bahwa Dewan Keamanan mempunyai kewenangan tambahan untuk tujuan pembentukan tersebut.

Pasukan penjaga keamanan ini biasanya ditempatkan oleh Dewan Kemanan hanya apabila gencatan sejata telah disepakati oleh pihak yang bersengketa sehingga penjaga keamanan yang diturunkan hanyalah pasukan biasa dan bukan pasukan yang biasa diterjunkan dalam peperangan. Dewan Keamanan juga dapat mengambil tindakan yang lebih besar dari sekedar pengiriman pasukan penjaga keamanan. Pengertian “secara damai” dalam Pasal 39 Piagam PBB dapat termasuk dalam hal konflik yang terjadi di luar negara-negara yang bersengketa. Pada saat Piagam PBB dibentuk, hal ini juga dipertimbangkan bahwa konflik yang terjadi pada batas wilayah suatu negara dapat pula menimbulkan pelanggaran ataupun ancaman terhadap situasi damai, dengan demikian Dewan Keamanan dapat pula mengambil tindakan dalam hal ini.

Walaupun ilustrasi di atas menggambarkan bahwa Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan tersebut. Sebagai contoh, pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing; ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya.

Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian.

Berangkat dari uraian di atas, maka Penelitian Hukum ini mengambil fokus dan menganalisa mengenai peran dari Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, termasuk mendiskusikan mengenai reformasi Dewan Keamanan yang harus ditempuh di masa yang akan datang. Adapun sistematika dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

ANALYSIS ON THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
IN MAINTENANCE OF INTERNATIONAL PEACE AND SECURITY

ACKNOWLEDGEMENT
CONTENTS
TABLE OF RESOLUTIONS
ABSTRACT

CHAPTER I: AN INTRODUCTION
1.1. Background to Research Paper
1.2. Objectives
1.3. Research Methodology
1.4. Structure of Research Paper
CHAPTER II: OVERVIEW OF SECURITY COUNCIL
2.1. Composition
2.2. Function of the Security Council
2.2.1. Maintenance of International Peace and Security
2.2.2. Elective Functions
2.2.3. Supervisory Functions
2.2.4. Constituent Functions
2.2.5. Function in Relation to International Court of Justice
2.3. Voting System
2.3.1. Procedural and Non-Procedural Matters
2.3.2. Absence of a Member in the Security Council
2.3.3. Abstention from Voting in Security Council
2.3.4. Veto Power
2.3.5. Double Veto
2.4. Status of Resolution
CHAPTER III: THE ROLE OF SECURITY COUNCIL
3.1. General
3.2. Forms of Peaceful Mean
2.3.1. Call upon the Parties to Settle the Dispute Peacefully
2.3.2. Investigation of the Dispute
2.3.3. Recommendation for the Appropriate Procedures
2.3.4. Recommendation for the Terms of Settlement
3.3. Form of Taking Enforcement Action
3.3.1. Measures Involving Non-Use of Force
3.3.2. Measures Involving Use of Armed Force
3.3.2.1. Special Agreement
3.3.2.2. Military Staff Committee
3.3.2.3. Joint Action
3.4. Collective Security
CHAPTER IV: SECURITY COUNCIL REFORM
4.1. Main Aspects of the Reform
4.2. Reform Models
4.3. Reform Obstacles
4.3.1. The Veto
4.3.2. Membership
CHAPTER V: CONCLUSION AND SUGGESTION
5.1. Conclusions
5.2. Suggestions

BIBLIOGRAPHY
ANNEXURE

Situasi perdamaian global di masa-masa yang akan datang diperkirakan akan kembali naik, sebab issue senjata nuklir kembali mencuat setelah dalam 2 tahun terakhir ini berbagai negara kembali berlomba mengembangkan tenaga nuklir demi kepentingan sumber daya energi maupun senjata nuklir. Di masa yang akan datang peran dan inisiatif Dewan Keamanan PBB ini akan menjadi sangat krusial dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karenanya, penelitian ini cukup penting bagi mereka yang akan dan telah bergelut dalam dunia Hukum Internasional ataupun Hubungan Internasional, terlebih lagi sejak Indonesia terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk periode 2007-2009. Bagi anda yang berminat untuk mendapatkan penelitian ini bisa mengirimkan permohonan kepada Peneliti melalui email: pm_faiz_kw@yahoo.com atau mengisi pada bagian kolom komentar atau buku tamu yang telah disediakan.

--oOo--
Link for Related Articles:

Kamis, 07 Desember 2006

Pencabutan Pasal Penghinaan Presiden

PRESIDEN TANPA PERISAI?
Oleh: Pan Mohamad Faiz*
Note: Dimuat pada Sarwono.net.

"In the truest sense, freedom cannot be bestowed, it must be achieved."
- F.D. Roosevelt -

Kiranya apa yang dikatakan oleh Roosevelt benar-benar menjadi bukti para pencari keadilan di alam demokrasi ini. Rentang perjuangan yang cukup panjang akhirnya membuahkan hasil. Rabu kemarin (6/12) para ‘pejuang demokrasi’ bisa sedikit menghela nafas panjang setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No.013-022/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa Pasal “Penghinaan terhadap Presiden” (Pasal 134, 136 Bis, dan137 KUHP) tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau dengan kata lain sudah tidak berlaku lagi.

Pasal yang berasal dari warisan kolonial ratusan tahun yang lalu tersebut, oleh Mahkamah dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena rentan akan multitafsir. Selain berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi, pasal tersebut juga dirasa tidak relevan lagi untuk diterapkan pada negara Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana secara tegas telah ditentukan dalam UUD 1945.

Tetapi perlu untuk digarisbawahi di sini, hilangnya ‘perisai’ sang Presiden bukan berarti penghinaan (beleediging) yang ditujukan kepadanya menjadi di-legal¬-kan. Pasal 310-312 KUHP tetap akan menjadi kunci berikutnya untuk menundukkan mereka yang sengaja melakukan penghinaan ataupun perbuatan lain yang dianggap tidak menyenangkan bagi Presiden sebagai kualitas pribadi atau Pasal 207 KUHP terhadap Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager). Hanya saja perbedaannya, selain pidana yang diancam tidak seberat Pasal Penghinaan terhadap Presiden, Pasal ini merupakan “delik aduan” (klacht delict) bukan “delik biasa”. Oleh karena itu, pendapat yang dilontarkan oleh beberapa aktivis nasional belakangan ini bahwa saat ini sudah tidak ada lagi halangan dalam menyampaikan pendapat terkait dengan kinerja Presiden, tidaklah sepenuhnya tepat.

Kebebasan Berpendapat

Legislasi modern terkait dengan kebebasan mengemukakan pendapat, sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1776 oleh Kerajaan Swedia atas prakarsa Anders Chydenius. Melewati sejarah yang cukup panjang, kebebasan pemikiran dan kemajuan ide akhirnya semakin populer dan menyebar hingga akhirnya menjadi suatu kebutuhan dasar (basic need) yang berkembang di tengah-tengah masyarkat.

Hak untuk menyampaikan pendapat tersebut, kini telah dijamin oleh hukum international melalui berbagai instrumen terkait dengan Hak Asasi Manusia, terutama pada Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 19 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik. Bahkan sampai dengan saat ini, berdasarkan hasil survey dua orang peneliti dari Belanda, dari 142 konstitusi yang ada di dunia, 124 diantaranya telah menetapkan adanya perlindungan mengenai kebebasan mengemukakan pendapat. Untuk Indonesia sendiri, hak ini telah dicantumkan secara tegas dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.

Argumentasi klasik untuk melindungi kebebasan berpendapat sebagai suatu hak dasar (fundamental right) menurut John Stuart Mill adalah hal tersebut sangat penting untuk menemukan esensi dari adanya suatu kebenaran. Bahkan, Alan Howard dalam bukunya “Free Speech” (1998) berpendapat bahwa pengertian memberikan pendapat secara luas, termasuk yang bernada menyerang, tetap harus diberikan perlindungan yang sama apapun itu bentuknya.

Hampir di seluruh negara-negara Eropa Barat, sebagaimana kebebasannya sebanding dengan dua negara demokrasi terbesar seperti Amerika Serikat dan India, masyarakatnya bebas untuk menyampaikan kritik kepada Presiden atau Perdana Menterinya, para politisi, birokrat serta kebijakan yang diambilnya. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan oleh Michael Foucault, kebebasan tersebut tetap harus ada kontrolnya.

Di bawah bendera hukum international, pembatasan dari kebebasan mengeluarkan pendapat dibutuhkan untuk bersikap sedikitnya dengan tiga batasan, yaitu sesuai dengan hukum yang berlaku, mempunyai suatu tujuan baik yang diakui oleh masyarakat, dan keberhasilan dari tujuan tersebut sangatlah diperlukan. Sedangkan menurut Pasal 20 Kovenan International Hak-Hak Sipil dan Politik, kebebasan berpendapat pada intinya tidak diperkenankan terhadap adanya propaganda perang, penghasutan untuk terjadinya kekerasan, dan berbagi macam bentuk penyebaran kebencian. Adanya ungkapan menyampaikan pendapat juga seharusnya berimbang dengan nuanasa yang sehat, konstruktif, jujur, dan menggunakan bahasa yang bermartabat serta sarat dengan muatan positif.

Jika saja model penyampaian ini dapat berkembang pasca putusan Mahkamah Konstitusi, maka angan-angan tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat di negara Indonesia akan segera tercapai. Sebab menurut filsuf Alexis de Tocqueville, seorang pemikir politik dan sejarah asal Perancis, masyarakat pada dasarnya ragu-ragu untuk menyampaikan pendapat secara bebas bukanlah karena takut atas ancaman pemerintah, akan tetapi karena tekanan sosial-masyarakat yang akan dialaminya. Ketika seseorang mengemukakan pendapatnya yang tidak populer atau kurang berkenan, maka pendapatnya tersebut dengan sendirinya akan dihargai atau tidak dihargai oleh masyarkat.

Kini dengan dicabutnya Pasal a quo, maka sebagai bangsa pada negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, baik pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat luas sudah seharusnya memanfaatkan momen ini untuk menjadi semakin dewasa dalam memilah mana pernyataan pendapat, pikiran, atau protes yang dikategorikan sebagai bentuk kritik atau penghinaan.

Begitu pula dengan Presiden, pun tidak perlu menjadi risau dan khawatir untuk mematahkan suara dan aspirasi yang disampaikan oleh rakyatnya. Apalagi bila harus membentuk tim khusus untuk menjaga martabat dan kewibawaan seorang Presiden. Masih banyak pekerjaan-pekerjaan rumah yang jauh lebih penting ketimbang sekedar mengurusi “kulit kacang”. Lagipula, Presiden sebagai seorang negarawan sudah sepantasnya menerima dengan lapang dada betapapun pahitnya sebuah kritikan dan meresapinya sebagi upaya bersama guna membangun pemerintahan yang semakin hari semakin demokratis. Jadi, masihkah perlu ‘perisai’ bagi ‘sang Demokrat’ sejati? Semoga tidak.

Link: Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (PDF).