Rabu, 19 Mei 2010

Quo Vadis Pemberantasan Mafia Hukum?

QUO VADIS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM?

Pan Mohamad Faiz *

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI)

Email: pan.mohamad.faiz@gmail.com

Sumber: Majalah Inovasi Online (ISSN 2085-871X) Edisi Vol. 16/XXII/Maret 2010 (Download)

1. Pendahuluan

“Geger!” Demikian ungkapan yang mungkin tepat untuk melukiskan suasana ingar-bingar dunia hukum di Indonesia pasca peristiwa pemutaran rekaman penyadapan atas ‘perselingkuhan hukum’ dalam proses pembuktian di persidangan Mahkamah Konstitusi menjelang akhir penghujung tahun lalu. Betapa tidak, pemutaran rekaman yang disiarkan secara langsung ke berbagai stasiun televisi dan radio akhirnya membuktikan secara nyata bahwa mafia hukum itu ternyata benar adanya baik berupa wujud maupun jaringannya.

Syahdan, publik terkejut dan akhirnya menyeruak hingga turun ke jalan. Fenomena “Cicak versus Buaya” menjadi mahakarya sinetron teranyar di seantero negeri. Tak tanggung-tanggung, untuk meredam kontroversi hukum yang berlarut-larut ini, Presiden terpaksa mengeluarkan kebijakan untuk membentuk “Tim 8” menyusul dibukanya PO BOX 9949 dengan Kode “Ganyang Mafia”, hingga pembentukan “Tim Satgas Mafia Hukum”. Prestasi awal memang cukup menggembirakan. Tim Satgas kembali mempertegas betapa mafia hukum telah bersarang hingga ke sudut-sudut sel tahanan ketika mereka menemukan para terpidana kasus korupsi besar ternyata memiliki ruang tahanan yang mewah bak hotel bintang lima.

Pertanyaannya kini, apa yang sejatinya harus dilakukan untuk memberantas mafia hukum tatkala hampir sebagian besar fakta dan data yang ada telah terpetakan? Sementara itu, penulis kembali teringat ucapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD., ketika membuka acara Debat Publik “Akar-Akar Mafia Peradilan” yang belum lama ini diselenggarakan di Jakarta dengan mengucapkan, “Sudah habis teori di gudang!”. Artinya, hendak ditegaskan lagi olehnya bahwa untuk memecahkan masalah mafia hukum, sudah banyak pihak yang memberikan beragam teori dan menghasilkan studi, cetak biru, kesimpulan, dan rekomendasi, termasuk yang secara resmi dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersinggungan langsung dengan permasalahan mafia hukum ini.

Namun faktanya, tak banyak perubahan signifikan yang kita rasakan, kalaupun ada sifatnya bagai terapi kejut (shock therapy) saja. Kondisi ini akhirnya menegasikan, benarkah bangsa Indonesia hanya pandai membuat rencana saja, namun tidak pandai menjalankannya? Ataukah memang problematika mengenai mafia hukum ini sangat teramat rumit yang tidak saja telah mengakar, namun juga telah mendarah daging dalam tubuh para oknum pelaku dan institusi hukum?

Atas dasar pernyataan dan pertanyaan itulah, tulisan singkat ini justru tidak bermaksud sekedar untuk menambah deret khazanah teori, pun juga tidak berkeinginan untuk menggarami lautan. Akan tetapi, lebih pada wujud representasi kegelisahan intelektual yang mungkin juga sedang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Syukur apabila kemudian dalam goresan ini ternyata terdapat tawaran solusi yang lebih baik dari apa yang telah ada sebelumnya.

2. Lahan dan Praktik Mafia Hukum

Masyarakat tentu bertanya-tanya bagaimana, kapan, dan darimana sebenarnya awal terjadinya praktik mafia hukum di Indonesia. Hasil telusur penulis, tak ada yang lebih gamblang memberikan jawabannya selain dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompe. Menurutnya, wajah peradilan Indonesia mulai berubah suram sejak tahun 1974. Pada saat itu meletus peristiwa Malari yang menyebabkan mulai ditempatkannya aktor-aktor Orde Baru di segala lini pemerintahan untuk melindungi oligarki kekuasaannya, termasuk di lingkungan Mahkamah Agung. Sejak saat itulah, tunas-tunas mafia hukum yang telah tertanam menjadi tumbuh subur hingga menjalar ke instansi-instansi penegak hukum lainnya.

Setelah hampir empat dekade dari peristiwa di atas, praktik penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dalam dunia hukum semakin mempertajam giginya. Sebutlah misalnya, proses penyelidikan, penyidikan, penyusunan dakwaan, pengajuan tuntutan, hingga putusan hakim, semuanya dapat diatur oleh oknum-oknum pengacara, institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Ironisnya lagi, para Saksi, Ahli, atau Akademisi yang diminta untuk memberikan keterangan di persidangan dapat ”dipesan” sesuai dengan keinginan terdakwa lewat prakarsa para pengacaranya. Tak terbayangkan seandainya saja dunia akademis lambat laun kian terseret ke lembah praktik hitam mafia hukum, maka Indonesia tinggal menunggu kehancurannya saja.

Praktik-praktik tersebutlah yang kemudian dianggap ikut memberi andil atas bertenggernya Indonesia pada peringkat pertama negara terkorup dari 14 negara Asia menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2009. Lebih spesifik lagi, International Transparency dalam Global Corruption Barometer pada 2008 menempatkan lembaga peradilan sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia.

Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, mencatat 4 (empat) faktor utama yang menyebabkan sistem peradilan Indonesia menjadi terkorup seperti sekarang ini. Pertama, Moralitas yang sangat rendah dari aparat penegak hukum, seperti aparat kepolisian, jaksa, panitera, hakim, dan pengacara yang dalam praktiknya bekerja sama dengan cukong, makelar kasus, dan aktor politik; Kedua, Budaya politik yang korup telah tumbuh subur dalam birokrasi negara dan pemerintahan yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak ada kekuatan kontrol dari masyarakat; Ketiga, Tingginya apatisme dan ketidakpahaman masyarakat tentang arti dan cara bekerja aparat yang berperan dalam praktik kriminal tersebut; Keempat, Kriteria dan proses rekrutmen aparat kepolisian, jaksa, dan hakim yang masih belum sepenuhnya transparan dan profesional; dan Kelima, Rendahnya kemauan negara (political will) di dalam memberantas praktik mafia peradilan secara sungguh-sungguh dan jujur.

3. Tersandera Lingkaran Setan

Harus diakui bahwa pasca reformasi, pemberantasan terhadap praktik kotor mafia hukum yang menjadi sumber terjadinya korupsi pengadilan (judicial corruption) mencatat beberapa kemajuan. Berbagai peraturan perundang-undangan dilahirkan bersamaan dengan terbentuknya lembaga-lembaga baru, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian, sebagai bentuk kontrol terhadap sistem yang dianggap telah korup.

Namun demikian, sebagaimana disampaikan oleh Lawrence M. Friedman, tak akan optimal perubahan hukum apabila tidak memenuhi ketiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Dalam konteks pemberantasan mafia hukum, apa yang telah dilakukan selama ini barulah menyentuk aspek struktur hukum, sementara substansi hukum dinilai kurang berhasil, apalagi terhadap budaya hukum. Budaya organisasi di banyak lembaga penegak hukum masih menunjukan birokrasi yang terkesan lambat dan cenderung koruptif, sehingga menyebabkan penegakan hukum berjalan tidak optimal.

Bagaikan lingkaran setan (the devil circle), antara oknum satu dengan lainnya saling menutupi dan melindungi, bahkan tak jarang saling mengancam agar sama-sama tidak membuka kedok hitam praktik mafia hukum yang mereka jalankan selama ini. Apabila sirkulasi kotor ini terus-menerus terjadi dan dipertahankan, maka akan selamanya pula rantai mafia hukum akan sulit diputus dan dibersihkan. Belum lagi terhadap pemegang kebijakan atau pimpinan lembaga yang memang sejak awal telah ”tersandera” dengan tindak perilaku kelamnya, sudah dipastikan tidak akan berani mengambil kebijakan tegas untuk memberikan sanksi terhadap rekan kerja atau bawahannya. Oleh karena itulah muncul ungkapan, ”tak mungkin membersihkan lantai kotor dengan menggunakan sapu yang kotor juga”.

Sementara itu, mereka yang masih bertahan dengan idealismenya, seringkali tersingkir akibat politik internal kelompok penguasa tertentu. Bahkan bagi kelompok yang selama ini merasa puas atas kesuksesannya melakukan praktik mafia hukum, mereka tidak akan segan-segan untuk ”memutilasi” siapa saja yang berusaha mengancam kenyamanannya, jika perlu menggiringnya hingga ke kursi pesakitan.

4. Menyelamatkan Generasi

Sekelumit ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa telah akutnya permasalahan mafia hukum, sehingga sudah selayaknya diambil langkah luar biasa untuk menuntaskan masalah yang berkepanjangan ini. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, untuk menyelesaikan masalah tersebut, beragam forum pembahasan telah dilakukan dan beribu jenis solusi sudah seringkali ditawarkan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita harus memberikan apresiasi terhadap segala pemetaan dan solusi yang telah ada itu, sebab tidak dapat dinafikan bahwa terdapat beberapa hasil dalam upaya pemberantasan mafia hukum, sehingga tidak perlu juga untuk menghentikan implementasi upaya eksekusi dari solusi yang disajikan.

Namun demikian, beberapa pihak menilai bahwa ternyata laju pengembangbiakan mafia hukum bergerak lebih cepat dari upaya pemberantasannya itu sendiri bahkan mampu menarik generasi baru hingga terjebak ke dalam lingkaran setan. Akibatnya, selisih antara upaya pemberantasan dan pengembangbiakan mafia hukum menjadi negatif nilainya. Berangkat dari fenomena tersebut, maka di tengah belantara solusi yang tengah didedahkan, terdapat satu langkah lain yang masih menjanjikan dan belum pernah dilakukan, namun juga membawa konsekuensi serius, yaitu amputasi satu generasi!

Amputasi satu generasi di sini dilakukan dengan cara ”memotong” para aparat hukum yang terindikasi dengan keterlibatan mafia hukum, baik dengan tindakan pemberhentian dengan hormat, tidak hormat apabila terbukti bersalah, atau pengunduran diri secara sukarela dengan konsekuensi diberikannya pemutihan. Pro-kontra dan perlawan terhadap gagasan ini sudah tentu akan terjadi, terlebih lagi dalam menghadapi keguncangan kepemimpinan di masing-masing instansi penegak hukum. Namun di sinilah justru kesempatan bangsa Indonesia untuk menyelamatkan generasi yang belum tercemar perspektif moral dan perilakunya, sehingga mereka dapat diproyeksikan untuk menduduki pucuk-pucuk kepemimpinan dengan harapan tidak akan ada lagi yang merasa tersandera atau terancam untuk mengambil kebijakan tegas terhadap mereka yang terlibat dalam praktik kotor mafia peradilan.

Langkah ini memang terbilang cukup drastis karena melompat jauh ke depan di antara varian solusi yang ditawarkan. Filosofis keberangkatan solusi ini berawal dari pidato Cicero di tengah-tengah Tribunus ketika mengatakan bahwa ikan membusuk mulai dari kepala hingga ke ekor, sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan tersebut terlebih dahulu.

Pertanyaannya adalah apakah cara ini pernah berhasil dilakukan oleh negara lain? Jawabannya adalah pernah. Salah satu negara bekas bagian Uni Soviet, yakni Georgia, merombak sistem peradilannya dengan memberhentikan semua hakim dan kemudian melakukan rekrutmen baru dengan proses yang ketat, selektif, transparan, dan berbobot. Untuk menghindari adanya intervensi terhadap proses tersebut, rekrutmen sengaja dilakukan bukan di Georgia tetapi di Amerika Serikat. Keputusan fenomenal ini dilakukan karena adanya keinginan yang sama antara pemerintah dan masyarakat untuk membuka lembaran baru (clean slate) dari gelap gulitanya dunia hukum Georgia.

Bilapun langkah ini dianggap cukup ekstrem untuk dijalankan di Indonesia, maka jalan lain yang lebih soft harus dimulai melalui ekor, yaitu dengan melindungi satu generasi di bawah melalui pengawasan dan pembinan sangat khusus untuk membentuk generasi pembaharu dunia hukum di Indonesia. Hanya saja diperlukan sebuah komitmen tinggi dan bersama serta waktu yang relatif panjang dengan dimulai dari target group di tingkat generasi sekolah dasar, perguruan tinggi hukum, hingga para pekerja hukum pemula di berbagai institusi dan lembaga profesi hukum.

5. Peran Civil Society dan Mass Media

Perjalanan sejarah Indonesia selalu terekam dan tidak pernah lepas dari sejarah sebuah pergerakan. Setiap peralihan era mulai dari masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga memasuki masa reformasi selau bermula dari kekuatan pergerakan yang dimotori oleh civil society. Berangkat dari tradisi liberal, de Tocqueville merumuskan civil society sebagai semangat untuk membentuk kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara, sehingga menurut Gramsci masyarakat sipil (civil society) menjadi satu dari tiga komponen penting di samping negara (state) dan pasar (market).

Dengan mengombinasikan strategi gerakan sosial lama dan baru (old and new social movement), kekuatan civil society juga dapat meluruskan hal-hal yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat, termasuk dalam konteks pemberantasan mafia hukum. Begitu pula halnya dengan kekuatan mass media sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy) yang digambarkan oleh Robert K. Merton memiliki kekuatan utama sebagai alat kontrol sosial yang ekstensif dan efektif. Sementara itu, Elizabeth menyatakan bahwa mass media setidak-tidaknya memiliki fungsi dan peran dalam pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), dan transmisi nilai (value transmission).

Ilustrasi sederhana tergambarkan betapa peran civil society dan mass media membawa pengaruh dan kekuatan yang maha dahsyat dalam mengungkap konspirasi mafia hukum dan kasus korupsi, seperti misalnya pada kasus “Bibit-Chandra” dan “Bupati Garut”. Tidak saja elemen masyarakat sipil dan NGO begerak sendiri di bawah payung pemberitaan media massa, namun juga secara individual masyarakat mampu menambah amunisi perlawanan melalui media elektronik dan jejaring sosial, seperti facebook, twitter, dan kegiatan citizen journalism lainnya melalui Blog.

Tren global seperti di Chile, Maladewa, Maroko, Iran, Filipina, dan Rusia, menunjukan bahwa kekuatan web2.0 atau media sosial (social media) mampu memberikan dukungan terhadap tuntutan transparansi dan akuntabilitas dengan fungsi: (1) Collaborative and crowd-based; (2) De-centralised action and new forms of organisation; dan (3) Empowering. Aktivis sosial, politisi, NGO, aparat pemerintah, dan pelaku bisnis memperlihatkan angka peningkatan dalam menggunakan kekuatan komunikasi dan saling berinteraksi dengan dukungan internet dan media elektronik. Oleh karena itu, Thomas L. Friedman menyatakan bahwa kekuatan ICT (Information and Communication Technolgies), khususnya internet, telah menyebabkan dunia bagaikan lempeng yang datar.

Dengan demikian, pemanfaatan dan pengawasan serta penggalian fakta melalui media sosial menjadi penting untuk dikembangkan dalam upaya mendukung pemberantasan mafia hukum, dengan catatan Pemerintah tidak membuat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang membatasi kebebasan berekspresi dan mengeluarkan berpendapat bagi civil society atau mass media sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945.

6. Penutup

Memberantas mafia hukum bukanlah perkara yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Tak ayal berkembang perumpaman bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa.

Bagaikan problema kemiskinan dan praktik korupsi, mafia hukum memang tak dapat ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing.

Oleh sebab itu, prasyarat utama yang diperlukan untuk menghentikan berlarut-larutnya penyakit berkepanjangan ini yaitu komitmen tinggi dan ketegasan mutlak dari pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini untuk mengawal langsung perang melawan mafia hukum. Apabila tidak, pemberantasan mafia hukum tentu akan terus berputar melewati velodrome yang sama tanpa ujung. Jika demikian jadinya, quo vadis pemberantasan mafia hukum?

***

* Penulis adalah Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Minggu, 09 Mei 2010

Selamat Tinggal, Century...


Semula, setelah kemenangan partai politik pemilih Opsi C, saya kira cerita sinetron Pansus Century akan dilanjutkan dengan episode penggunaan hak DPR untuk menyatakan pendapat yang mengarah pada pemakzulan wapres Boediono. Tetapi kedua kubu partai politik yang sebelumnya berseteru tentang pengertian sistemik, uang negara, dan juga soal perlu tidaknya menyebut nama pejabat tersebut ternyata kemudian bersekutu untuk menyerahkan tindak lanjut kasus Century melalui proses hukum.  Bukan proses hukum tata negara atau administrasi negara sebagaimana yang diusulkan oleh sebagian pengamat, tetapi proses hukum pidana yang merupakan kewenangan Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Dengan demikian, keputusan DPR yang mempermasalahkan kebijakan bailout Century dan pernyataan Presiden SBY yang kemudian menyanggahnya, tidak lebih dari sekadar pendapat atau pernyataan politik yang meskipun perlu diperhatikan tetapi sama sekali tidak boleh mengintervensi proses hukum pidana dan keputusannya yang sepenuhnya merupakan kewenangan tiga lembaga penegak hukum tersebut.
   
Bola Century kini jelas berada di Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, walaupun proses hukum di KPK pasti akan mendapatkan perhatian khusus karena terkait dengan pembuktian dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Boediono dan Sri Mulyani, dua tokoh yang dikenal bersih yang dalam kasus Century dijadikan target utama para politisi di DPR.  Tentu saja, bagi KPK, penyelesaian kasus Century merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Bukan saja karena KPK harus siap menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai pihak yang berusaha untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusannya, tetapi KPK juga harus mampu mempertanggungjawabkan keputusan hukum yang akan diambilnya.  Artinya, ia harus siap menerima konsekuensi yang mungkin timbul dari atau karena keputusannya.

Mengenai tindak lanjut penyelesaian kasus Century, menurut saya, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.  Pertama, memelihara kondisi agar tidak ada tekanan atau intervensi terhadap lembaga penegak hukum, terutama KPK, yang dapat mengganggu atau mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Maksudnya, agar supaya proses hukum dan pengambilan keputusannya dapat dilakukan secara profesional, mempunyai landasan hukum yang cukup kuat, dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kalau kita tidak percaya lagi kepada KPK, lalu kepada siapa kita akan percaya? 

Harus diakui bahwa, by design, pada prinsipnya keberadaan lembaga penegak hukum di Indonesia merupakan alat atau kepanjangan tangan pemerintah selaku lembaga eksekutif. Tanpa terkecuali, KPK.  Dalam konteks pengertian demikian, kita bisa memahami mengapa DPR menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi Pansus tentang kasus Bank Century kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti. Oleh karena itu, keputusan sidang paripurna DPR tentang kasus Bank Century yang diikuti oleh serangkaian pidato dari Presiden SBY, Wapres Boediono, dan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie beberapa waktu lalu sebenarnya merupakan anti klimaks bagi para politisi yang semula bermaksud menggoyang pemerintahan SBY.  

Saya kira Presiden SBY tidak perlu dan tidak mau melakukan intervensi terhadap KPK, karena sikap dan pernyataan politiknya yang disampaikan kepada publik segera setelah sidang paripurna DPR beberapa waktu lalu sudah sangat jelas dan notabene bisa juga dimaknai sebagai “pesan politik” kepada KPK. Di sisi lain, para politisi yang kecewa dengan perkembangan kasus Century yang sudah mulai “masuk angin” tersebut kini tidak bisa berbuat banyak, terutama setelah mereka kehilangan momentum untuk melakukan “perubahan” (politik) melalui Pansus Century. Himbauan agar Boediono dan Sri Mulyani mengundurkan diri dari jabatannya, seruan untuk memboikot Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam pembahasan perubahan APBN 2010, dan desakan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat yang mengarah pada upaya pemakzulan wapres Boediono nampaknya merupakan sisa-sisa amunisi politik yang mereka miliki yang kemungkinan tidak akan mendapatkan sambutan positif sebagaimana yang mereka harapkan. Demikian pula, upaya untuk menekan atau bermusuhan dengan KPK mungkin akan kontra produktif karena bagaimanapun hingga saat ini kepercayaan dan dukungan publik terhadap KPK untuk memberantas korupsi masih sangat tinggi.                            

Hal kedua yang perlu diperhatikan terkait dengan tindak lanjut penyelesaian kasus Century adalah mengantisipasi dampak yang mungkin timbul dari keputusan KPK, khususnya yang terkait dengan penyelesaian indikasi korupsi yang melibatkan Boediono dan Sri Mulyani. Walaupun ketegangan politik kasus Century saat ini sudah menurun secara drastis, antara lain karena munculnya isu baru terkait dengan kasus mafia hukum di tubuh Kepolisian, namun kekecewaan yang mungkin timbul dari atau karena keputusan KPK perlu diantisipasi. 

Berdasarkan pertimbangan bahwa pengaruh Presiden SBY terhadap pengambilan keputusan di lembaga penegak hukum masih sangat menentukan, saya memperkirakan posisi wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani masih tetap aman, dalam arti mereka tidak akan diputuskan sebagai tersangka dalam kasus Century. Kemungkinan mereka nanti akan dipanggil oleh KPK untuk dimintai penjelasan terkait dengan kasus tersebut. Meskipun demikian, komunikasi politik antara Presiden dan para pimpinan di DPR dan juga antara Presiden dan para pimpinan partai politik yang berkoalisi perlu dilakukan untuk mengantisipasi kekecewaan yang mungkin timbul terhadap keputusan KPK.     

Hal yang mungkin paling surprise adalah apabila KPK kemudian memutuskan Boediono dan Sri Mulyani sebagai tersangka, atau bahkan menyatakan mereka terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dalam upaya penyelamatan Bank Century. Walaupun kecil kemungkinan tersebut terjadi, namun kita harus mengantisipasi apabila hal tersebut benar-benar terjadi. Sebagai contoh, bagaimana mekanisme pemberhentian Boediono sebagai wapres dan juga pemilihan wapres baru yang akan menggantikan Boediono. Tentu saja akan sangat ironis apabila dua tokoh yang selama ini dikenal sebagai pejuang anti korupsi tersebut suatu saat nanti oleh KPK dinyatakan sebagai koruptor. Agaknya istilah koruptor kini bukan lagi hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mencuri uang negara, tetapi juga berlaku bagi mereka yang dinilai telah melakukan penyimpangan atau kesalahan dalam pengambilan
keputusan sehingga mengakibatkan kerugian negara.

Permasalahannya, kita tidak mungkin bisa membuktikan apakah keputusan bailout kepada Bank Century yang konon dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional tersebut benar atau salah. Demikian pula, kita tidak mungkin bisa membuktikan apakah keputusan bailout tersebut telah menyelamatkan negara atau merugikan negara. Yang bisa kita sampaikan adalah fakta bahwa LPS, yang modal kerjanya bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan dan setoran premi asuransi dari pihak perbankan, telah memberikan dana bailout kepada Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun yang sebagian besar digunakan untuk (1) membayar penarikan simpanan nasabah sekitar Rp 3,8 triliun yang terjadi akibat bank-rush dan (2) membayar utang akseptasi akibat pembukaan L/C yang dilakukan oleh nasabah sekitar Rp 1,3 triliun (Kompas, 16 Februari 2010). Selain itu, fakta lainnya bahwa Indonesia termasuk sedikit negara yang berhasil lolos dari krisis keuangan global yang tejadi pada tahun 2008  lalu.  

Sebenarnya kita bisa belajar banyak dari negara-negara lain yang mengalami krisis perbankan pada tahun 2008 lalu, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara tetangga, tentang bagaimana perlakuan mereka terhadap kebijakan penanganan krisis yang diambil oleh otoritas perbankan. Apakah mereka memperlakukan para pengambil kebijakan yang telah gagal mencegah krisis perbankan yang berdampak pada kerugian negara sebagai koruptor?  Dalam kaitannya dengan kasus Century, apakah Boediono dan Sri Mulyani yang telah membuat kebijakan yang diduga telah merugikan negara, walaupun telah terbukti berhasil menyelamatkan perekonomian nasional dari imbas krisis keuangan global, tersebut pantas untuk diperlakukan sebagai koruptor?                                                                       

Hal ketiga yang perlu diperhatikan dalam upaya menyelesaikan kasus Century secara tuntas adalah komitmen bersama, terutama dari pemerintah dan DPR, untuk mengakhiri konflik politik yang telah banyak membuang waktu dan energi kita guna mempermasalahkan hal-hal yang kurang mendasar.  Hal-hal mendasar yang perlu disepakati bersama, menurut saya, antara lain adalah mengantisipasi (1) penyelesaian hal-hal kritis yang mungkin timbul dari proses hukum kasus Century, (2) penyelesaian pemulihan aset yang telah diambil secara tidak sah oleh para pelaku tindak pidana, (3) penyelesaian hak-hak nasabah yang merasa dirugikan dalam kasus Century, dan (4) pembentukan, perbaikan, dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan moneter dan fiskal, termasuk pengawasan perbankan, dalam rangka mewujudkan adanya kepastian hukum.  Tanpa adanya kepastian hukum, proses hukum mungkin akan bergerak secara liar ke berbagai arah sesuai dengan selera  aparat penegak hukum yang mungkin tunduk pada kekuasaan atau berkolaborasi dengan mafia hukum.  Selain itu, tanpa adanya kepastian hukum, para politisi juga dapat mempermainkan kekuasaan.  Yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar.     

Apabila hal-hal mendasar tersebut telah disepakati, barangkali suatu saat nanti “malaikat” tidak lagi  enggan turun ke bumi untuk mengelola republik ini.  Dengan kata lain, dengan perasaan lega kita sudah bisa mengucapkan “Selamat Tinggal, Century!”.  Sekarang saatnya untuk bekerja, bukan untuk memperebutkan kekuasaan.