Dengan kewenangan yang dimilikinya, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat mengawal nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, sehingga fungsi dan tugasnya seringkali diposisikan sebagai: (1) pengawal konstitusi (the guardian of constitution); (2) penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution); (3) pengawal demokrasi (the guardian of democracy); (4) pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights); dan (5) pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).
Sejak pembentukannya pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi setidak-tidaknya telah mengadili 384 perkara dengan perincian 228 perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (revewing laws against the constitution), 11 perkara sengketa kewenangan lembaga negara (dispute over the authorities of state institutions), dan perselisihan hasil pemilihan umum (disputes of the general election results) sejumlah 45 perkara Pemilu 2004 yang terdiri dari 274 kasus dan 71 perkara Pemilu 2009 yang terdiri dari 657 kasus, serta 27 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (disputes of the head regional election results). Mahkamah Konstitusi juga menerima permohonan sengketa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004 dan 2009 masing-masing satu perkara.[6]
Tulisan ini hendak mengupas lebih tajam terhadap peran Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal demokrasi melalui pelaksanaan salah satu kewenangannya, yaitu pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review).[7]
B. MENYELARASKAN DEMOKRASI DENGAN NOMOKRASI
Perdebatan klasik mengenai apakah undang-undang merupakan produk hukum atau politik hingga saat ini masih terus berlangsung. Akan tetapi terlepas dari hal tersebut, telah menjadi suatu fakta yang tidak terbantahkan bahwa proses pembentukan suatu undang-undang –walaupun masih dalam koridor dan proses demokrasi– acapkali sarat dengan muatan-muatan politis dan kepentingan tertentu.[8] Kepentingan atau motif-motif politik tersebut seringkali bertabrakan dengan norma-norma konstitusi (constitutional norms). Padahal, konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (the supreme law of the land) tidak boleh disimpangi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya.[9]
Democracy (kedaulatan rakyat) juga dinilai oleh sebagian kalangan memiliki ”cacat bawaan”, karena proses dan mekanisme yang ditempuh lebih berdasar atas besar-kecilnya suara atau lemah-kuatnya dukungan. Oleh karenanya, proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis tidak menjamin akan membawa hasil yang sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh UUD 1945. Ketika telah disepakati bahwa Indonesia menggunakan prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democracy), maka apapun cara, sistem, dan penerapan berdemokrasinya tentu tidak boleh juga bertentangan dengan konstitusi.[10]
Dengan demikian, harus ada kontrol agar proses demokrasi yang dilaksanakan baik itu di dalam parlemen maupun di luar parlemen sejalan dengan nilai-nilai konstitusi (constitutional values). Adalah nomocracy (kedaulatan hukum) yang dipandang dapat menjaga keluhuran demokrasi agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan oleh UUD 1945 sebagai dokumen tertulis yang dibentuk atas kesepakatan bersama seluruh rakyat Indonesia.[11]
Akan tetapi, bukan berarti demokrasi harus selalu dipertentangan satu sama lainnya, sebab antara demokrasi dan nomokrasi bagaikan dua sisi keping mata uang yang saling membutuhkan. Syahdan, darimana kita dapat menentukan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia menggunakan prinsip demokrasi konstitusional? Secara sederhana dapat ditemukan bahwa Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menganut prinsip-prinsip demokrasi dengan menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Sementara itu, Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 memuat prinsip-prinsip nomokrasi dengan menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Untuk itu, salah satu cara yang dinilai cukup efektif untuk mengawal demokrasi agar tidak menyimpang dari norma-norma konstitusi adalah dengan mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Mekanisme ini lazim disebut sebagai judicial review atau lebih tepatnya adalah constitutional review yang saat ini kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi.[12]
C. MEMAKNAI CONSTITUTIONAL REVIEW
Sesungguhnya keinginan untuk menerapkan mekanisme pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) telah mengemuka pada saat penyusunan UUD 1945 di era kemerdekaan. Pada saat itu Muhammad Yamin mengusulkan agar Balai Agung –sebutan untuk Mahkamah Agung pada masa itu– diberikan kewenangan untuk “membanding” (menguji) undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi, Soepomo menentang gagasan tersebut dengan 2 (dua) alasan, yaitu: Pertama, Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni (separation of powers) yang diusung oleh Montesquieu dengan konsep trias politikanya, sehingga tidaklah diperbolehkan kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang; Kedua, pada saat itu belum banyak para sarjana atau ahli hukum yang menguasi teori dan ilmu tentang pengujian suatu undang-undang.[13]
Oleh karena itu, akhirnya gagasan constitutional review tidak diatur sedikitpun di dalam UUD 1945 sebelum terjadinya perubahan. Namun demikian, wacana tersebut muncul kembali pada tahun 1970 dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya ditegaskan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi,“MPR berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan Ketetapan MPR”.[14]
Akhirnya pada tahun 2002, the second founding parents yang terlibat dalam proses perubahan kedua UUD 1945 bersepakat bahwa diperlukan suatu mekanisme constitutional review yang dilakukan oleh lembaga yudisial terpisah agar produk-produk hukum tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi. Selain itu, mekanisme ini juga dimaksudkan agar terdapat upaya hukum untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak konstitusional warga negara (constitutional citizen’s rights) yang mungkin terenggut akibat kehadiran undang-undang yang inkonstitusional.[15]
Tatkala hak-hak konstitusional warga negara terlindungi, telah terjadinya keteraturan praktik ketatanegaraan antarlembaga negara, terciptanya ruang demokrasi yang subur dengan berpedoman pada norma-norma konstitusi, maka cita konstitusionalisme dan demokrasi di Indonesia diharapkan akan tumbuh dan berkembang dengan sehat. Dengan dibukanya kemungkinan setiap warga negara untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka akan terjadi kesimbangan antara peran negara dan rakyat dalam proses demokrasi.
D. SEMBILAN PILAR DEMOKRASI PUTUSAN MK
Sebagaimana telah diuraikan di atas, hingga saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengadili sedikitnya 228 perkara pengujian undang-undang. Dari keseluruhan perkara tersebut, 195 perkara telah diputus dengan rincian 55 perkara dikabulkan, 66 perkara ditolak, 52 perkara dinyatakan tidak dapat diterima, dan 22 perkara ditarik kembali. Dengan demikian, berdasarkan 98 jenis undang-undang yang pernah diuji oleh MK, sekitar 30% di antaranya memiliki ketentuan yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional).
Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian atau keseluruhan dari suatu undang-undang yang dihasilkan oleh parlemen masih sangat banyak yang tidak sesuai dengan UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Bahkan undang-undang yang memegang rekor paling banyak diuji konstitusionalitasnya di hadapan MK adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008), yaitu sebanyak 20 (dua puluh) kali.[16]
Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh MK tersebut pada dasarnya adalah untuk melindungi hak konstitusional (constitutional rights) dan hak asasi manusia (human rights) yang sangat penting bagi tumbuh dan tegaknya demokrasi. Dari puluhan putusan tersebut, setidaknya kita dapat menemukan 9 (sembilan) putusan MK yang cukup penting (landmark decisions) dan menjadi tonggak sejarah (milestone) pembangunan demokrasi di Indonesia terkait dengan fungsinya selaku pengawal demokrasi.[17] Adapun kesembilan putusan tersebut akan diulas secara rinci sebagai berikut.
1. Mengembalikan Hak-Hak Politik bagi Mantan Anggota PKI
Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK membatalkan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR, yang berbunyi, “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya”.
Alasan utamanya, MK menilai bahwa ketentuan tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik. Padahal UUD 1945 tidak membenarkan adanya diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.[18] Oleh karenanya, Pasal 60 huruf g UU a quo bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (1), Ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Hal ini sesuai pula dengan Article 21 Universal Declration of Human Rights (UDHR) dan Article 23 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
MK juga menilai bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Apabila terdapat pembatasan hak pilih, baik aktif maupun pasif, dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan seperti faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility), misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.[19]
Lagipula, menurut MK, suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung. Dari aspek kepentingan nasional, MK juga menilai bahwa ketentuan tersebut tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.[20]
Dalam putusan ini terdapat satu Hakim Konstitusi, Achmad Roestandi, yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan mayoritas pendapat hakim lainnya.[21] Menurut Roestandi, adanya ketentuan pembatasan tersebut masih konstitusional karena tidak termasuk dalam kategori pengecualian pembatasan yang tercantum dalam Pasal 28I UUD 1945.
2. Menghapus Ketentuan Penghinaan terhadap Kepala Negara
Setelah perdebatan yang cukup tajam di dalam ruang persidangan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), akhirnya MK mengeluarkan Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006 dengan perbedaan tipis 5:4 (lima suara berbanding empat suara) untuk membatalkan Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP yang terkait dengan ketentuan pidana atas penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.[22]
MK menilai bahwa pasca perubahan ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty) telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dengan demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, haruslah bertanggung jawab kepada rakyat. Lebih lanjut dipertimbangkan bahwa walaupun martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun keduanya tidak dapat diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak yang menyebabkan Presidan dan/atau Wakil Presiden memperoleh kedudukan dan perlakuan yang berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Hal ini menurut MK secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan tersebut menurut MK juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini dinilai secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Selain itu, Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi sikap ketika ketiga pasal pidana tersebut selalu digunakan oleh aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal demikian secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Keberadaan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bagi MK juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 terkait dengan proses pemakzulan (impeachment).
Sementara itu, 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinions), yaitu: I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, H.A.S. Natabaya, dan H. Achmad Roestandi.[23] Menurut I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono, ketentuan yang diuji materiilkan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Sedangkan menurut H.A.S. Natabaya dan Achmad Roestandi ketentuan tersebut perlu ada perubahan baik dalam sifat deliknya maupun dalam ancaman hukumannya serta penempatan tempat pengaturan yang merupakan legal policy dari pembentuk undang-undang (DPR dan Pemerintah). Bagi kedua hakim tersebut, apabila pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dinyatakan tidak mengikat secara hukum, maka akan timbul kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid).
3. Mencabut Pasal Penebar Kebencian kepada Pemerintah
Pada tanggal 17 Juli 2007, MK mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta Ayat (3) UUD 1945.[24]
Setidaknya terdapat empat pertimbangan hukum utama yang melatarbelakangi dijatuhkannya putusan tersebut oleh MK. Pertama, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa karena kualifikasi delik atau tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Kedua, Pasal 154 dan 155 KUHP juga dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Akan tetapi, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain di dalam KUHP.
Ketiga, sejak tahun 1946 pembentuk undang-undang sesungguhnya telah menyadari bahwa ada ketentuan dalam KUHP yang tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP menurut sejarahnya memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula bahwa kedua ketentuan tersebut oleh MK dinilai bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat, sebagaimana dimaksud Pasal V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Keempat, konsep rancangan KUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana yang serupa, formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formil melainkan diubah menjadi delik materiil. Hal itu menunjukkan telah terjadinya perubahan sekaligus pembaharuan politik hukum pidana ke arah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
Dalam perkara kali ini, tidak terdapat perbedaan pendapat di antara para Hakim Konstitusi dalam menjatuhkan putusannya.
4. Membuka Calon Independen untuk Maju dalam Pemilukada
Salah satu Putusan yang memperoleh perhatian luas dari publik yaitu Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007 yang membuka peluang bagi calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).[25] MK menilai bahwa sebagian frasa pada Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) serta ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bertentangan dengan UUD 1945, sebab ketentuan tersebut hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pemilukada.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK berpendapat bahwa ketika terdapat ketentuan di dalam UU Pemerintahan Aceh yang memberikan kesempatan bagi calon perseorangan dalam Pemilukada, namun di dalam UU Pemda tidak terbuka kesempatan yang sama, maka akan mengakibatkan adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945.
MK menegaskan bahwa membuka kesempatan bagi perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa melalui parpol, bukan suatu hal yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan bukan pula merupakan suatu tindakan dalam keadaan darurat (staatsnoodrecht). Untuk itu, MK berpendapat pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan di luar Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam haruslah dibuka agar tidak terlanggarnya hak warga negara yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945.
Sementara itu, untuk menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), MK berpendapat bahwa sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, KPU berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf a dan huruf f UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaran Pemilihan Umum berwenang mengadakan pengaturan atau regulasi tentang hal dimaksud dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggaraan Pemilukada. Dalam hal ini, KPU dapat menggunakan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh sebagai acuan.
Terhadap Putusan tersebut, terdapat tiga orang Hakim Konstitusi yang mengemukakan pendapat berbeda, yakni Achmad Roestandi, I Dewa Gede Palguna, dan H.A.S. Natabaya. Roestandi berpendapat bahwa alternatif manapun yang dipilih dalam tata cara pengisian jabatan kepala daerah adalah konstitusional dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang, sedangkan Palguna menambahkan bahwa ketentuan tersebut tidak mengandung rumusan diskriminasi baik dalam pengertian UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) UU HAM, maupun menurut Article 2 ICCPR. Sementara itu, Natabaya menyatakan pembatasan terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah dapat dibenarkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 dan apabila mengaju pada Putusan MK Nomor 006/PUU-V/2005 yang telah diputus sebelumnya, seharusnya permohonan tidak dapat diterima.[26]
5. Menjamin Perlakuan yang Sama bagi Partai Politik Peserta Pemilu
Dengan suara bulat dalam Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008, MK membatalkan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) terkait dengan persyaratan keikutsertaan partai politik dalam Pemilu 2009.
Pada kasus ini, dengan dibentuknya UU 10/2008 yang menggantikan UU 12/2003, maka terjadi perubahan prinsip electoral threshold (ET) menjadi parliamentary threshold (PT). Prinsip PT yang dianut dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 menentukan bahwa partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya (Pemilu 2004) dapat menjadi Peserta Pemilu berikutnya (Pemilu 2009 dan seterusnya) apabila memenuhi persyaratan untuk mendudukkan wakilnya di DPR dengan memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5% (dua koma lima per seratus) dari jumlah suara sah secara nasional.[27]
Kemudian untuk mengatur masa transisi akibat perubahan dari prinsip ET ke prinsip PT, berdasarkan Ketentuan Peralihan (Bab XXIII) dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 ditentukan partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang dapat menjadi peserta Pemilu sesudah tahun 2004 salah satunya adalah partai politik yang “… d) memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Ketentuan inilah yang menurut MK dianggap tidak jelas ratio legis dan konsistensinya apabila dikaitkan dengan pengaturan masa transisi dari prinsip ET ke prinsip PT.
Selain itu, MK juga menyimpulkan dalam pertimbangan hukumnya bahwa parpol-parpol peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ataupun tidak memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [vide Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 dan Pasal 315 UU 10/2008].
Oleh karena itu, MK menilai bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008. Dengan demikian, para Pemohon yang terdiri dari beberapa partai politik peserta Pemilu 2004 memiliki landasan hukum untuk berkesempatan ikut serta kembali dalam Pemilu 2009.[28]
… (Bersambung pada Bagian II) …
[1] Tulisan disampaikan dalam Buku “UI untuk Bangsa” Tahun 2009. Pendapat Pribadi. [2] Staf Analis Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI).
[3] Perubahan UUD 1945 ini terjadi dalam 4 (empat) tahapan selama kurun waktu 1999 s.d. 2002. Sebelum dimulainya proses perubahan UUD 1945 tersebut, terdapat 5 (lima) kesepakatan dasar terkait dengan cara dan substansi perubahan, yaitu: (1) Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Mempertegas sistem presidensiil; (4) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-pasal; dan (5) Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”. Lihat Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[4] Lembaga negara utama lainnya yang juga dihasilkan melalui rahim perubahan UUD 1945 yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Pasal 22C dan Pasal 24B UUD 1945.
[5] Apabila dibandingkan dengan banyak negara dunia yang memiliki Mahkamah Konstitusi, terdapat kewenangan-kewenangan sejenis yang hingga saat ini tidak dimiliki namun patut untuk dipertimbangkan menjadi kewenangan bagi Mahkamah Indonesia di masa yang akan datang, seperti misalnya pengaduan konstitusi (constitutional complaint) dan pertanyaan konstitusi (constitutional question).
[6] Jumlah rinci perkara diolah dari data Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi sampai dengan pertengahan Oktober 2009.
[7] Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa hasil pemilihan umum sebenarnya juga sangat terkait erat dengan perannya dalam mengawal nilai dan proses demokrasi di Indonesia, namun kewenangan tersebut tidak akan dibahas secara rinci dalam tulisan kali ini.
[8] Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[9] Lihat Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
[10] Lihat Moh. Mahfud MD., “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town, Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.
[11] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 152.
[12] Istilah “judicial review” (toetsingsrecht) memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah “constitutional review” (staatsgerichtsbarkeit), sebab judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas pada pengujian konstitusionalitas saja, namun juga meliputi legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Sementara itu, constitutional review hanya terkait dengan pengujian konstitusionalitas atau pengujian peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang dasar. Dengan demikian, dalam konteks tulisan ini akan digunakan istilah constitutional review. Lihat Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. Lebih mendalam lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
[13] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959, hal. 332-344.
[14] Pada masa itu, Mahkamah Agung tidak diberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD karena selain UUD 1945 (sebelum perubahan) tidak mengenal dan tidak mengatur tentang constitutional review, sistem kekuasaan yang dianut Indonesia adalah distribusi kekuasaan yang mengarah pada supremasi parlemen (parliament supremacy). Dalam prinsip tersebut, maka tidak dibenarkan di antara lembaga kekuasaan negara saling menilai atau mengontrol satu dengan lainnya, kecuali dari lembaga kekuasaan yang memberikan atau mendelegasikan kekuasaan itu sendiri. Lebih lengkap lihat Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
[15] Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan dalam hal objeknya, yaitu: (1) Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 24A UUD 1945); sedangkan (2) Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar (Pasal 24C UUD 1945). Penjelasan mendalam mengenai hierarki peraturan perundang-undangan lihat Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.
[16] Pemohon pengujian UU 10/2008 ini tidak saja berasal dari peorangan warga negara, namun juga berbagai partai politik dan badan hukum yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UU tersebut.
[17] Penentuan jumlah sembilan putusan ini lebih dikarenakan kesamaan jumlah pilar yang terpancang di muka gedung Mahkamah Konstitusi sebagai simbol penyanggah konstitusi dan demokrasi serta jaminan independensi dari kesembilan Hakim Konstitusi.
[18] Putusan ini menjadi salah satu yurisprudensi penting bagi Mahkamah Konstitusi dalam memberikan pertimbangan hukum pada putusan-putusan selanjutnya apabila dihadakan dengan pengertian dan ruang lingkup dari tindakan diskriminatif, yaitu meliputi perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Lihat misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-VII/2009 bertanggal 10 Juli 2008 yang memutuskan bahwa Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 terkait dengan syarat pencalonan dalam Pemilu 2009 adalah ”konstitusional sepanjang tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis) dan kejahatan politik dalam pengertian perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa.
[19] Putusan terbaru yang memiliki substansi serupa dengan perkara ini yaitu terdapat dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009. Dalam hal ini, MK menilai bahwa norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 terkait dengan persayaratan pencalonan seseorang dalam Pemilu merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi 5 (lima) syarat komulatif sebagai berikut: (1) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (3) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur; (4) mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan (5) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
[20] Aspek kepentingan nasional juga beberapa kali telah dijadikan pertimbangan bagi MK dalam menjatuhkan putusannya. Lihat misalnya Putusan Nomor 012/PUU-III/2005 mengenai pengujian UU APBN Tahun 2004 terkait anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD yang telah dijamin dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945.
[21] Dalam memberikan pertimbangan hukum untuk suatu perkara yang akan diputus, Hakim Konstitusi diberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan pikirannya. Apabila pendapat putusan akhirnya tersebut tidak sama atau berbeda dengan hakim lain hingga tidak ditemukan titik temu, maka diberikan keleluasaan apakah Hakim yang berbeda putusan tersebut akan menggunakan haknya untuk menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) di dalam Putusan MK. Namun demikian, Hakim tersebut tetap harus tunduk dan menghormati Putusan dari mayoritas hakim lainnya dan secara etik tidak diperkenankan untuk mempertentangkan kembali perbedaan pendapatnya tersebut baik di dalam maupun di luar pengadilan setelah Putusan dijatuhkan.
[22] Putusan yang dijatuhkan dengan komposisi 5:4 (lima berbanding empat) hingga saat ini jumlahnya dapat dihitung dengan jari, contoh lainnya yaitu Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 bertanggal 30 Oktober 2007 terkait dengan pengujian ketentuan mengenai hukuman mati dalam UU Narkotika dan Putusan Nomor 6/PUU-VII/2009 bertanggal 10 September 2009 terkait dengan pengujian ketentuan mengenai diperbolehkannya iklan rokok dalam UU Penyiaran. Terhadap komposisi perbedaan pendapat 5:4 yang demikian timbul pro-kontra di kalangan pakar hukum, karena putusan tersebut dianggap tidak memiliki pertimbangan hukum yang kuat, padahal hal-hal yang diputuskan umumnya terkait dengan masalah penting di bidang ketatanegaraan. Oleh karena itu muncul usulan agar dilakukan revisi UU MK yang menentukan keabsahan putusan dapat berlaku jika putusan diambil minimal dengan 6 (enam) suara mayoritas atau minimal 6 (enam) suara berbanding 3 (tiga) suara sebagaimana diterapkan oleh MK Korea Selatan. Namun demikian, sebagian kalangan berpendapat hal tersebut justru dapat menyulitkan pengambilan keputusan bagi para Hakim Konstitusi di dalam praktiknya.
[23] Keempat Hakim Konstitusi dikenal sebagai Hakim Konstitusi “generasi pertama” (2003-2005) yang turut menanamkan budaya perdebatan akademis bersama-sama dengan para hakim lainnya di dalam setiap pembuatan rancangan putusan.
[24] Pemohon dalam perkara ini adalah dr. R. Panji Utomo selaku seorang warga negara Indonesia yang telah diadili dan dijatuhi pidana penjara 3 (tiga) bulan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 232/Pid.B/2006/PN-BNA bertanggal 18 Desember 2006 karena dinilai telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 155 KUHP.
[25] Istilah “Pemilukada” (Pemilihan Umum Kepala Daerah) muncul menggantikan istilah “Pilkada” (Pemilihan Kepala Daerah) secara bergantian setelah pemilihan kepala daerah dinyatakan sebagai rezim dalam Pemilu (Pemilihan Umum). Berdasarkan UU 12/2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan hasil Pemilu yang semula menjadi kewenangan dari Mahkamah Agung kemudian dialihkan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian merupakan konsekuensi dari masuknya Pemilukada ke dalam rezim Pemilu berdasarkan UU 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Pengalihan wewenang tersebut secara resmi dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2008 yang menyebabkan mulai pada saat itu sengketa hasil Pemilukada menjadi kompetensi absolut dari MK. Lihat juga Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PMK Pemilukada) yang untuk pertama kalinya menggunakan istilah “Pemilukada” sebagai peraturan resmi.
[26] Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 tersebut berbunyi, , ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (penebalan kata oleh penulis).
[27] Sementara itu Electoral Threshold (ET) menentukan bahwa dalam pemilihan Pemilu Legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% (tiga perseratus) jumlah kursi anggota di DPR.
[28] Partai Politik yang menjadi Pemohon dalam perkara ini yaitu: (1) Partai Persatuan Daerah (PPD); (2) Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB); (3) Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); (3) Partai Patriot Pancasila; (4) Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD); (5) Partai Sarikat Indonesia (PSI); dan (6) Partai Merdeka.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
_________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
_________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
_________, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.
Fatmawati, Hak Menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh Hakim dalam Sistem Hukum Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Hoesein, Zainal Arifin, Judicial Review di Mahkamah Agung: Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-undangan (Buku I), Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007.
Mahfud MD., Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
_________, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
_________, “The Role of the Constitutional Court in the Development of Democracy in Indonesia”, makalah disampaikan dalam The World Conference on Constitutional Justice di Cape Town , Afrika Selatan pada 23-24 Januari 2009.
Roestandi, Achmad, Mengapa Saya Berbeda Pendapat, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran MKRI, 2008.
Yamin, Mohammad, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959.
Kompas, ”LSI Kembalikan Dana Fox Indonesia”, Senin, 29 Juni 2009;
Kompas, ”Denny JA: Iklan Satu Putaran Dibiayai Seseorang”, Jumat, 3 Juli 2009.
Koran Tempo, “LSI: SBY Diperkirakan Menang dalam Satu Putaran”, Minggu, 5 April 2009;
Pan Mohamad Faiz, “Quo Vadis Putusan MA?”, Seputar Indonesia, Kamis, 30 Juli 2009.
Tempo Interaktif, ”MK Putuskan Pasal DPT Pemilihan Presiden Sore Ini”, Senin, 6 Juli 2009, diakses pada tanggal 6 Desember 2009 dan tersedia pada http://www.tempointeraktif.com/hg/Pemilu2009_presiden/2009/07/06/brk,20090706-185409,id.html.
DOWNLOAD FULL PAPER: Click here.