Kamis, 30 April 2009

Random thoughts and rumors

I'm sure all of us have been keeping up with the Swine Flu story as it circulates through the media cycle. As with any "crisis", whether "real" or "contrived", the news becomes confusing and difficult to follow. I'm not sure we know much more than we did over the weekend. Its still too early to know how this will play out. Random thoughts:

- The US cases continue to be relatively mild. The overall numbers at this point are quite unremarkable. Its hard to know the number of deaths in Mexico because different methods for determining an "official" death are in use. We have "suspected" deaths from the flu (based on the clinical course), we have "confirmed" deaths from this flu and getting a firm grip on the situation is VERY difficult at this point.

- The rhetoric from CDC and WHO is almost alarming. Based on the clinical data to date, it still seems unusual. What, on the surface appears as a "garden variety" flu is being treated as if thousands upon thousands have died at this point. My question, at this point is "why?". What do we NOT know about this? Is something being kept from the public? Is information being withheld in order to avoid public panic?

- Perhaps the "alarm" we see, is solely based on the early information coming from Mexico, which initially seemed worse than it is now. Once the process was started by the various medical groups (CDC, FDA, WHO, etc) it was hard to stop, and thus we find ourselves in the situation we're now in - responding as if it IS an emergency, although it is not (at this point).

- Perhaps this virus appropriately scared these groups because it has several features which appear similar to the "Spanish Flu" of 1918. If this is the case, the fear may be a mutation which takes this highly contageous virus into a more pathological form. This did happen with the Spanish Flu, so perhaps the fear is such a mutation - and the rhetoric we see daily is based on this possibility.

- Even considering the above possibilities - by viewing the alarming rhetoric as compared to the actual data - something still doesn't seem right. It is hard to determine; perhaps because there is a relative lack of information, and because it is still very early in the process.

There are many rumors, most of which are probably not true, but with a relative lack of information they may be worth exploring. There are some (unverified) reports from physicians that there are many many more cases which are not being reported - Emergency Rooms and medical clinics are being filled with these patients and many deaths will be seen soon. On the other hand, there are rumors that this is a "created crisis" and it will be used for other purposes.

Its still VERY early in this whole process. I still contend that we'll know a lot more in a matter of weeks. However, the caveat for this idea, is that a mutation in the virus could appear at almost any time over the coming months, changing the entire scenario very quickly. In that aspect, we could see this virus come back weeks later in a much more pathologic form, even after this story gets bumped from the front pages.

That puts us back to a "wait and see" approach. At this point, by simply looking at the cases in the U.S., which are all mild and self-limiting; this flu doesn't apppear to be a great concern. At this early stage however, things can change dramatically in a matter of days.

As far as prophecy, this is just one of many stories involving infectious disease. Another sign of the times.

Selasa, 28 April 2009

Profil Tokoh: John Rawls (1921-2002)

TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
Oleh: Pan Mohamad Faiz

[Tulisan ini dimuat di Jurnal Konstitusi untuk Edisi April-Mei 2009]

Sekilas Biografi

Ketika berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para pakar ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati pelbagai teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Melalui karya-karyanya, seperti A Theory of Justice, Political Liberalism, dan The Law of Peoples, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. Didasari oleh telaah pemikiran lintas disiplin ilmu secara mendalam, John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.

Pemilik nama lengkap John Borden (Bordley) Rawls ini dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia.

Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.

Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai pada saat terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian, Rawls menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian membantunya melakukan penulisan indeks terhadap buku “Nietzsche”.

Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan antara kebebasan negatif (negative liberty) dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari pemikiran Berlin.

Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.

Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the Norwergian Academy of Science.

Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu, dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat orang cucu yang masih belia.

Karya Monumental Rawls

Hampir sebagian besar filsuf dari seluruh dunia menyepakati bahwa karya-karya ilmiah dan monumental dari John Rawls telah memberikan kontribusi pemikiran yang akan terus diperbincangkan di ranah filsafat. Karya-karyanya tersebut memiliki gagasan pemikiran lintas disipin ilmu yang memicu perhatian serius berbagai kalangan, mulai dari para praktisi ekonomi, pakar hukum, ahli politik, pengamat sosiologi, hingga penggiat teologi. Karena keunikan dan kedalaman pemikirannya, karya ilmiah Rawls terlihat berbeda apabila dibandingkan dengan para filsuf kontemporer lainnya. Sehingga tidak jarang baik para ahli maupun hakim pengadilan di berbagai negara mengambil gagasan Rawls sebagai rujukan utamanya, tidak terkecuali di Indonesia sekalipun.

Karya besar Rawls mulai beredar di awal 1950-an yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional ternama. Beberapa artikel yang dikenal luas tersebut, misalnya “Two Concept of Rules” (Philosophical Review, 1955), “Constitutional Liberty and the Concept of Justice” (Nomos VI, 1963), “Distributive Justice: Some Addenda” (Natural Law Forum, 1968), “Some Reason for the Maximin Criterion” (American Economic Review, 1974), “A Kantian Conception of Equality” (Cambridge Review, 1975), dan “The Idea of an Overlapping Consensus” (Oxford Journal for Legal Studies, 1987).

Selain memberikan kontribusi pemikiran dalam bentuk tulisan untuk bab-bab khusus pada beragam buku ilmiah, John Rawls juga telah membuahkan setidaknya 7 (tujuh) buku fenomenal yang dianggap oleh banyak kalangan telah mampu membangkitkan kembali diskursus akademik di bidang filsafat. Pertama, “A Theory of Justice” (1971). Buku yang diterbitkan oleh Belkap Press (Cambridge) ini, telah dicetak kembali pada 1991 dengan beberapa penyempurnaan di dalamnya. Hingga kini, buku yang yang dikenal dengan sebutan populer “TJ” tersebut telah diterjemahkan setidaknya ke dalam 27 bahasa berbeda. Kedua, “Political Liberalism” (1993). Buku yang diterbitkan oleh Columbia University Press ini dikenal dengan sebutan popular “PL”. Setelah dicetak kembali pada 1996, buku tersebut kian syarat isinya dengan adanya penambahan tulisan yang berjudul “Reply to Habermas”. Ketiga, “The Law of Peoples” (1999) yang diterbitkan oleh Harvard University Press. Buku ini merupakan perpaduan dari dua karya Rawls yang cukup terkenal, yaitu “The Law of Peoples” dan “Public Reason Revisited”. Kemudian, keempat, “Collected Papers” (1999). Buku yang juga diterbitkan oleh Harvard University Press ini merupakan kompilasi dari karya-karya singkatnya yang telah disunting secara baik oleh Samuel Freeman.

Kelima, “Lectures on the History of Moral Philosophy”. Buku ini merupakan intisari dari perkuliahan yang diberikan oleh Rawls mengenai filsafat moral modern pada masa 1600-1800. Disunting oleh Barbara Herman, buku ini juga menguraikan penjelasan Rawls tentang pemikiran dari Hume, Leibniz, Kant, dan Hegel. Keenam, “Justice as Fairness: A Restatement” (2000). Diterbitkan oleh Belknap Press, Cambridge, buku ini memuat ringkasan yang lebih singkat mengenai gagasan utama Rawls mengenai filsafat politik. Terakhir, ketujuh, “Lectures on the History of Political Philosophy” (2007). Inilah buku pertama yang mengurai kembali perkuliahan John Rawls selepas meninggalnya pada 2002. Buku ini memaparkan teropong perspektif Rawls terhadap gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh Butler, J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl Marx.

Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya tersebut di atas, terdapat beberapa konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan yang sama, serta prinsip perbedaan (two principle of justices), (2) Posisi asali dan tabir ketidaktahuan (the original position and veil of ignorance); (3) Ekuilibrium reflektif (reflective equilibrium), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih (overlapping consensus), dan (5) Nalar publik (public reason).

Berdasarkan sederet karya dan sejumlah gagasannya tersebut, John Rawls dipercaya telah memberikan penyegaran terhadap dunia ilmu pengetahuan, bahkan sejumlah bukunya telah dinominasikan untuk memperoleh National Book Award. Oleh karenanya, Rawls dianugerahi beberapa penghargaan berkelas, seperti Shchock Prize for Logic and Philosopy (1999) dan National Humanities Medal (1999). Untuk mengenang dan menghormati kontribusi pemikirannya bagi masyarakat dunia, John Rawls dijuluki sebagai “Asteroid 16561 Rawls”.

Nilai-Nilai Pemikiran Rawls

Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik.

Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.

Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.

Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of Nature”.

Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.

Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.

Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” (difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity principle).

“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls meneguhkan adanya aturan prioritas ketika antara prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika terdapat konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua, sedangkan prinsip kedua (b) harus diutamakan dari prinsip kedua (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan masayarakat yang adil Rawls berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu. Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung.

***

Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah dipastikan akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para pakar lintas disiplin yang mendukung gagasan Rawls, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick menjadi orang pertama yang melancarkan kritik secara terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui bukunya yang berjudul “Anarchy, State and Utopia” (1974). Umumnya hingga saat ini, kedua buku tersebut selalu dibaca bersandingan untuk mengetahui pelbagai ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice” terhadap konsep Rawls mengenai prinsip moral (moral principle), aturan-aturan (roles), jejak sejarah (historical trace), dan keadilan distibutif (distributive justice).

Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari persepktif marxist dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya “Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis egalitariannya.

Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga mempertanyakan keabsahan dan keberfungsian premis-premis keadilan Rawls apabila dihadapkan pada kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat dunia yang terus berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan internasional (international justice). Namun demikian, bagi John Rawls kritikan tersebut justru dimanfaatkannya sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.

Melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam “TJ”. Beragam perluasan masalah (problem of extension) yang muncul di kemudian hari, berusaha dijawab olehnya dalam “PL” yang tidak hanya sebatas bagaimana cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana politik yang adil, bebas, dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya sebagai “overlapping consensus” guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan dan kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama dan filosofis yang berbeda-beda, namun juga menguraikan ide tentang “nalar publik” (public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh warga negara.

Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih mengedepankan filsafat kebebasan budaya dan metafisik, melalui “PL” John Rawls mencoba untuk memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik yang disetujui oleh para pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-klaim atas kebenaran yang universal (universal truth).

Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.

Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam “TJ” dan “PL” tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).

***

Berbeda dengan dua maha karya Rawls sebelumnya, buku “The Law of Peoples” (1999) mengurai secara komprehensif mengenai perspektif keadilan pada ranah politik internasional. Rawls mengupas diskursus mengenai keberadaan kaum minoritas untuk memperoleh posisi kekuasaan di dalam negara dan membuka adanya kemungkinan partisipasi politik hanya dengan pembahasan bertingkat, selain tentunya juga melalui mekanisme pemilihan umum. Pandangannya mengenai keadilan distributif secara global juga dipaparkan secara sistematis, misalnya mengenai konsep bantuan luar negeri yang cukup menarik untuk disimak.

Walaupun Rawls mengakui bahwa bantuan harus diberikan kepada pemerintah di suatu negara yang tidak mampu melindungi hak asasi manusia karena alasan-alasan ekonomi, namun dirinya menekankan bahwa bantuan yang diberikan secara terus-menerus dan tanpa batas akan menimbulkan suatu permasalahan moral yang amat berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadi sangat tergantung karena merasa kebutuhannya akan selalu dijamin oleh negara-negara yang memberikan bantuan tersebut.

Selain pandangan-pandangan global sebagaimana diuraikan di atas, diskursus yang dikembangkan oleh Rawls juga termasuk namun tidak terbatas pada permasalahan seputar humaniter, imigrasi, dan pengayaan nuklir (nuclear proliferation). Dirinya juga memberikan lingkup dan ciri-ciri ideal seorang negarawan dan pemimpin politik di suatu negara yang harus mampu meneropong kebutuhan generasi selanjutnya, menciptakan dan memajukan keharmonisan hubungan internasional, serta menyelesaikan permasalahan domestik secara adil. Salah satu pendapatnya yang menimbulkan kontroversi yaitu mengenai pemberian legitimasi terhadap intervensi militer seandainya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Namun demikian, Rawls mensyaratkan agar antara negara dan masyarakat harus diusahakan terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan tersebut secara damai sebelum dibukanya kemungkinan intervensi militer.

Relevansi Konstitusi

Prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan oleh John Rawls pada umumnya sangat relevan bagi negara-negara dunia yang sedang berkembang, seperti Indonesia misalnya. Relevansi tersebut semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi dunia yang menetap di Indonesia masih tergolong sebagai masyarakat kaum lemah yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Akan tetapi, apabila dicermati jauh sebelum terbitnya karya-karya Rawls mengenai “keadilan sosial” (social justice), bangsa Indonesia sebenarnya telah menancapkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Dua kali istilah “keadilan sosial” disebutkan di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, keadilan sosial telah diletakkan menjadi salah satu landasan dasar dari tujuan dan cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai dasar filosofis bernegara (filosofische grondslag) yang termaktub pada sila kelima dari Pancasila. Artinya, memang sejak awal the founding parents mendirikan Indonesia atas pijakan untuk mewujudkan keadilan sosial baik untuk warga negaranya sendiri maupun masyarakat dunia.

Dalam konsepsi Rawls, keadilan sosial tersebut dapat ditegakkan melalui koreksi terhadap pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dari institusi-institusi sosial yang utama, seperti misalnya pengadilan, pasar, dan konstitusi negara.

Apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle) tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara (constitutional rights and freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, diantaranya yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk agama (freedom of religion), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani (freedom of conscience), serta kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat (freedom of assembly and speech).

Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip perbedaan (difference principle), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar penerapan affirmative action atau positive discrimination dapat dibenarkan secara konstitusional. Pengaturan demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang (backward class) di bidang pendidikan dan sosial berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV tentang “Directive Principles of State Policy” Konstitusi India.

Terhadap prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) sebagai prinsip kedua bagian kedua dari teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia secara tegas juga memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa, sebagaimana salah satunya termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata telah memasukan prinsip-prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam batang tubuh Konstitusi.

Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari, walaupun tidak selalu digunakan, eksistensi teori keadilan Rawls telah malang-melintang penggunaanya baik di muka persidangan maupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata Negara seringkali merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi keadilan yang terkandung di dalam Konstitusi, sebagaimana misalnya terekam dalam Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009.

Dalam konteks prinsip-prinsip keadilan, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada setiap orang. Menurut Mahkamah, keadilan haruslah diartikan dengan “memperlakukan sama terhadap hal-hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap hal-hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil. Pemaknaan yang demikian telah dituangkan dalam pelbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya yaitu Putusan Nomor 070/PUU-II/2004, Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 27/PUU-V/2007. Terakhir kali Mahkamah menggunakan teori Rawls dalam pertimbangan hukumnya yaitu dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 bertanggal 15 April 2009 pada paragraf [3.19] butir kedelapan.

Masih terkait dengan konstitusi, Rawls juga menggarisbawahi bahwa keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi (constitutional morality) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya sudah bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi.

Terhadap konsep demokrasi, John Rawls memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya dipilih melalui cara-cara yang adil. Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik. Akan tetapi pembatasan tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung (the least advantaged).

Post Scriptum

Masa lahirnya dua buku pertama karya John Rawls seringkali disebut sebagai zaman keemasan bagi pengembangan teori tentang keadilan, sebab keduanya telah memunculkan perdebatan intelektual terhangat sepanjang abad ke-20. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan oleh Tom Campbell, diskursus mengenai “keadilan” hingga kini terus memperoleh tempat utama dan pertama dalam perdebatan normatif di bidang filsafat politik dan moral.

Meskipun di kalangan masyarakat awam, politisi, dan filsafat telah terdapat kesamaan pandangan mengenai keutamaan keadilan sebagai nilai-nilai politik dan moral, namun hingga kini dapat dikatakan belum ada titik temu kesamaan mengenai makna dan lingkupnya. Dalam hal ini, teori keadilan sosial yang diusung oleh para Rawlsian selaku kaum liberal-egalitarian menempati posisi sentral apabila dibandingkan dengan pandangan keadilan berdasarkan persepktif liberal, utilitaris, libertarian, komunitarian, marxist, dan feminis.

Kesepadanan antara prinsip-prinsip keadilan Rawls dengan karakteristik negara-negara berkembang, khususnya yang memiliki latar belakang masyarakat yang beranekaragam, menjadikan pengembangan prinsip tersebut merebak secara cepat dan luas bak cendawan di musim hujan. Namun demikian, adanya kelemahan-kelemahan konsepsi Rawls sebagaimana diutarakan oleh kelompok arus utama pemikir lainnya, selain harus dijadikan catatan penting dalam pengimplementasiannya, juga harus didudukkan secara proporsional dalam perdebatan akademisnya, sehingga pengembangan diskursus tentang keadilan tidak akan pernah pudar semata-mata untuk menyempurnakan konsepsi “keadilan sosial” yang seadil-adilnya. Terlebih lagi, Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah menempatkan keadilan sosial sebagai pilar utama untuk mewujudkan cita negara dalam membentuk negara kesejahteraan (welfare state). (*)


DAFTAR PUSTAKA
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUU-II/2004 bertanggal 12 April 2005.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 bertanggal 11 Desember 2007.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007 bertanggal 22 Februari 2008.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 bertanggal 15 April 2009.
  • Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008.
  • Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009.
  • Binawan, Al Andang L. dan A. Prose Tyantoko, Keadilan Sosial : Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, 2004.
  • Rawls, John, A Theory of Justice, edisi revisi, Belknap Press, Cambridge, 2005.
  • Rawls, John, Justice As Fairness: A Restatement, edisi ke-3, Harvard University Press, London, 2003.
  • Rawls, John, Political Liberalism, edisi ke-2, Columbia University Press, 2005.
  • Siregar, Bismar, Rasa Keadilan, Bina Ilmu, Surabaya, 1996.
  • Ujan, Andrea Ata, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik Rawls, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
  • Vasilescu, Cristian, Understanding Utopia and The Natural Rights in Robert Nozick’s Anarcy, State and Utopia, BookSurge Publishing, 2006.
  • Ensiklopedia tentang "John Rawls" dalam Website Harvard University, Stanford of Philosophy, Social Science Research Network (ISRN), Wikipedia, dan Britannica Online, dsb.

Senin, 27 April 2009

Bedah Buku "Bangkit Indonesia: Menaklukkan Tantangan, Meraih Harapan"

BUKU BUAH PEMIKIRAN UNTUK KEBANGKITAN INDONESIA
Karya Pan Mohamad Faiz

Solusikini.com - Buku berjudul “Bangkit Indonesia: Menaklukkan Tantangan, Meraih Harapan”, karya Pan Mohamad Faiz (PMF) dibedah di Ruang Prof. Padmo Wahyono, FHUI, Depok, Jawa Barat dengan dibuka melalui nyanyian Indonesia Raya, serta alunan biola dari dan puisi. Perjalanan konten buku ini dimulai sejak masa kuliah penulis hingga sekarang. Buku ini juga berusaha untuk menuangkan gagasan pemikiran yang terserak, dan dikumpulkan untuk membangkitkan Indonesia ditengah-tengah tantangan dan juga bagaimana untuk meraih harapan.

Keberadaan bedah buku Pan Muhamad Faiz ini didukung oleh tiga pembedah, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. yang dahulu juga merupakan pembimbing dari PMF ketika masih Mahasiswa, Rizal Fadli Buditomo sebagai pribadi yang dahulu juga merupakan senior penulis di FHUI, serta Manggala Putra Gonjeshenn selaku Ketua KSM Eka Prasetya periode 2009. Dari semua pembedah seluruhnya juga memaparkan kebanggan kepada penulis karena keberaniannya untuk menuliskan sebuah buku di usianya yang cukup muda. Karena pada hakikatnya, bangsa ini kita bisa memilih menjadi sel yang rapuh atau sel kokoh sebagai tulang punggung bangsa ini. Sebagai seorang pemuda yang baik, maka haruslah menuangkan pemikiran kepada bangsa ini yang salah satunya bisa dalam bentuk sebuah buku dan dengan demikian maka ia dapat digolongkan menjadi sel yang kokoh.

Pengalaman langsung PMF selama menempuh pendidikan di India juga ditorehkan di dalam bukunya. Sebagaimana Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang sama banyaknya dengan India, seharusnya bekerjasama untuk menjadi raksasa dunia. Sedangkan dalam hal ini menurut PMF dalam bukunya, dengan melihat keadaan Indonesia ketika berada di India, ia menginginkan kesejajaran dan persamaan antara Indonesia, India dan juga China (CINDONESIA). CINDONESIA yang diikat dalam satu regional benua yang sama menjadi tempat hunian dari hampir separuh umat manusia di muka bumi, sudah seyogyanya saling bekerjasama dan belajar satu sama lainnya.

Buku ini ternyata juga mendapatkan respons yang baik di semua tataran masyarakat yang dapat dilihat dalam blog penulis (http://jurnalhukum.blogspot.com/). Penulis yang bekerja cukup lama di Mahkamah Konstitusi ini dalam bukunya menyertakan beberapa pendapat mengenai beliau dan bukunya yang diantaranya adalah; Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Guru Besar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Adhyaksa Dault, M.Si., Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI, H.E. Mr. Biren Nanda, Duta Besar India untuk Indonesia.

Fenomena pelajar yang berada di Luar Indonesia, juga merupakan kejadian yang menarik yang dipaparkan di dalam buku ini. Ketika seseorang berada di luar Indonesia, acapkali terjadi permasalahan terkait dengan keinginannya untuk tetap tinggal dan tidak berkontribusi kepada Indonesia. Brain Drain, yang dialami oleh orang Indonesia dapat dilihat dengan tidak kalahnya orang Indonesia di tataran Internasional. Maka perlunya konsep refresh brain drain yakni menyadarkan orang Indonesia di luar wilayah Indonesia untuk hijrah menuangkan ilmu yang telah didapatkan di luar negri kepada Bangsa dan Negara.

Selamat bagi pemuda tulang punggung Negara untuk dapat menikmati buku buah karya perdana PMF.

Sumber: http://www.solusikini.com/?m=atl&no=30

Sabtu, 25 April 2009

Pestilence: A sign of our end times

In the Olivet Discourse, Jesus described the signs that would be observed by the last generation (that generation who would witness these "end times" events), leading into the Tribulation and the subsequent Second Coming of Christ Jesus. One of these signs given was the emergence of "pestilence" or, known today as infectious disease. When I was attending medical school in the late '70's (yes, that was a long time ago), there was hope that the development of new antibiotics and antiviral medicines would outpace emerging bacterial and vital infections. Unfortunately this optimism no longer exists.

During the last two decades alone, according to the World Health Organization, approximately 30 new diseases have been recognized by the scientific community (read here). Additionally, in 1996, infectious disease accounted for about 1/3 of the 52 million deaths that year. Because of global travel, genetic mutations (bacterial and viral), refugees, congested urban areas world-wide, and various "population shifts", even those infectious diseases once thought under control are reemerging, and appearing with complete resistence to therapy.

In fact, new and emerging infectious diseases are tracked by the Center for Disease Control (CDC) and the ongoing list is extensive (here).

One of the most concerning stories in infectious diseases has been MRSA, which stands for Methicillin-resistant Staphylococcus aureus. This particular bacteria causes "staph" infections that are serious and life-threatening and are resistant to treatment with antibiotics. For the CDC summary read here. The development of MRSA is another ominous "infectious disease scenario" that we have see in our generation.

In January 2002, the CDC released the following revealing statement:

"The bacterial infections which contribute most to human disease are also those in which emerging and microbial resistance is most evident. The consequences are severe...Most alarming of all diseases where resistance is developing for virtually all currently available drugs, thus raising the spectra of a post-antibiotic era. Current trends suggest that some diseases will have no effective therapies within the next ten years."

This intro takes us to the current story which is found in the headlines today:

"Mexico swine flu deaths spur global epidemic fears". According to this article (and many others), "A strain of flu never seen before has killed up to 60 people in Mexico and also appeared in the United States...It shut down schools and canceled major public events in Mexico City". Close analysis revealed that the disease is a mixture of swine, human and avian viruses, according to the CDC. Mexico has already reported that over 1,000 people have been infected. The dead were aged between 25 and 45, which is a particularly ominous sign, as one of the hallmarks of a pandemic is the ability to affect the young and healthy people - a hallmark of the deadly influenza virus of 1918 (also one of the first signs of this generation).

One of the most "interesting" quotes from the article above: "We are very very concerned," World Health Organization spokesman Thomas Abraham said,

"We have what appears to be a novel virus and it has spread from human to human...It's all hands on deck at the moment."

Also, according to Dr. Michael Osterholm, a prominent U.S. pandemic flu expert, said late friday, "Given how quickly flu can spread around the globe, if these are the first signs of a pandemic, then there are probably cases incubating around the world already...in Mexico City there are literally hundreds and thousands of travelers come in and out every day...you'd have to believe there's been more unrecognized transmission that's occured."

Additional articles:

"Travel advisory warns of severe respiratory illness in Mexico"
"Swine Flu. Mexico Lung Illness Heighten Pandemic Risk"
"Most Mexico fatal flu victims aged between 25-45"

In my medical opinion, I have the following general ideas:

- This outbreak has made the news quickly and seemingly has come out of nowhere. Its SO early in the process, its very very difficult to gauge how significant this will be. In several weeks this could end up being a complete "non-story".

- Based on the unusual rhetoric from WHO and the CDC, I have concerns. Typically, their rhetoric "downplays" various risks, etc., but with this outbreak, the rhetoric is atypically concerning. That alone raises my eyebrows. I'm not sure exactly what it means, but I can say that their rhetoric is unusually alarming.

- This current "outbreak" has several elements which are similar the recent "bird flu" which has been of great concern and the pandemic of 1918 which killed between 20-40 million people. Also known as the "Spanish Flu" it killed more than WWI and more deaths than the well-known "Black death" Bubonic plague of 1347-1351. The similarities are striking, and this is greatly concerning.

This certianly warrants close watching. We probably won't have much choice, as the news is already covering the story extensively.

Pestilences. Another sign of the times. I'll update this story as soon as anything new or interesting emerges. Keep watching. As mentioned in the last post, it appears (moreso now) that we are about to enter another strong "contraction" or also known biblically as a "birth pain".

More importantly, I believe that Jesus will soon fulfill the prophecies given in 1 Corinthians 15 and 1 Thessalonians 4. He will come to "gather up" or "catch up" His followers before the Tribulation begins. The final stages of birthing, (aka "Tribulation") are rapidly approaching. Every sign that we have been given, is not only present today, but all signs are progressing rapidly in both magnitude and frequency.

As Jesus said:

"When these things begin to take place, stand up and lift your heads, because your redemption is drawing near."

Rabu, 22 April 2009

Watching for the Kings

Daniel 2 and 7 both contain prophetic scriptures which inform us of the sequence of events which will occur as we watch end times prophecy unfold. According to both chapters, we will see a revival of the Roman Empire come together during the last generation, the same generation that will see all end times events conclude - before the Second Advent of Christ. We believe the European Union, which has now expanded and includes the Mediterranean Union, provides a perfect fit, both geographically and politically to fulfill that prophecy.

The next development, according to Daniel 2 and 7, will be the development (from the "Revived Roman Empire", aka the EU) of 10 Kings, which will represent a diverse "mixed" group of people:

"Just as you saw that the feet and toes were partly of baked clay and partly of iron, so this will be a divided kingdom...and just as you saw the iron mixed with baked clay, so the people will be a mixture and will not remain united any more than Iron mixes with clay." (Daniel 2:41-43).

Then, in chapter 7 we see the sequence of events in referring to the 10 kings (aka the "horns" of the beast) which will arise from the EU:

"The ten horns are the ten kings who will come from this kingdom. After them another king will arise, different from the earlier ones...He will speak against the Most High and oppress his saints...the saints will be handed over to him..." (Daniel 7;24).

In other words, the antichrist will come from these 10 kings, or stated differently - will arise out of these 10 Kings. The 10 Kings will appear first THEN the antichrist will arise.

The book of Revelation includes more details on these ten kings and how they will exist exclusively for the purpose of serving the antichrist.

"The 10 horns you saw are 10 kings who have not yet received a kingdom but...will receive authority as kings along with the beast. They will have one purpose and will give their power and authority to the beast." (Revelation 17:12).


For prophecy watchers, this is interesting, because we may see the development of 10 kings prior to the Rapture of the Church. At some point, we would also expect to see some sort of division of these 10 kings, into two "halves" since there are two feet on Daniel's statue described in chapter 2. Recall that the statue's two legs, representing the "original" Roman Empire ("iron") - revealed the east-west division of the Roman Empire, which is well known historically.

It is fascinating that the number "10" keeps appearing on the prophetic watch. For several years, the focus has been on a group within the EU, the "WEU" ("Western European Union") which contain 10 "Member States"(read here). The WEU houses the military infrastructure of the EU and contains the 10 most powerful members of the EU. Will this evolve into the "10 Kings" of Daniel and Revelation? Its anyone's guess at this point, but something worth watching.

Another possibility, as made popular by the "Left Behind" series, is to see the world evolve into 10 "regions" of power, or 10 Unions representing these regions. I find this fascinating because if one googles or searches by requesting information on "World Unions" you will quickly see how there are 10 "unions" currently forming or already formed in the world, all loosely based on the model developed by the EU. The 10th union and probably the last union formed would be the NAU, or the North Americal Union.

I find it even more interesting that the EU already envisions such a regional consolidation of countries into 10 unions:
(see here). If each of these regions were to have a representative leader (President? Prime Minister?), then it would be very very interesting for a prophecy watcher.

Perhaps even more interesting is to watch the growth of the EU as it controls the new Mediterranean Union, essentially an outgrowth of the EU. This is interesting because it appears to fit perfectly with Daniel 2's statue. Again, based on the prophecy given in Daniel 2, we would expect to see the EU grow into "10 Kings" before the rise of the antichrist. The antichrist will come FROM these 10 Kings. We see today that the Med Union is again meeting. Even more interesting is the fact that the Med Union has created 10 leadership countries (Spain, France, Italy, Malta, Portugal, Algeria, Libya, Morocco, Mauritania and Tunisia). Ten countries.

Again, the number 10 keeps appearing. Not only that, but these 10 countries have been divided into a northern half and a southern half. This was done to reflect the cultural and religious diversity between the northern half (predominately "old europe" and the Roman Catholic Church) and the southern half (predominately Muslim). Recall that Daniel 2 informed us that the EU's growth would be a diverse mixture of people who would not remain united.

The Med Union is calling the meeting of these 10 countries the "5+5 Forum"(read here).

Which of the above scenarios will evolve into the 10 kings? There is no way of knowing yet. Each of the above scenarios: The WEU, the 10 world "Unions" or regions, or perhaps even the Med Union's division into the "5+5" is worth watching. It is worth noting that neither of the above descriptions may evolve into the 10 Kings - as the 10 Kings of Daniel and Revelation may be completely different and unexpected. However, at this time, all are worth watching closely.

Also in the news - and something else worth watching - is Russian troop movement (again) in Georgia (here), in direct violation of the EU-brokered cease fire that ended the fighting last year. According to this article Russia now occupies new territory within Georgia. In addition to the obvious intent of Russia - to have complete control of oil in the region - I believe that Russia is attempting to create a pathway into Israel, from the north as described in Ezekiel 38-39. By moving further west into Georgia, such a pathway will be almost complete. Something else worth watching.

Additionally, the IMF is growing in power and influence in terms of a world economy, but thats a story for another day.

Keep watching - it looks like another birth pain could be approaching.

Sabtu, 18 April 2009

Israel prepares for war

Today's headline from Timesonline: "Israel stands ready to bomb Iran's nuclear sites" (article here).

Interesting quotes from this article:

"The Israeli military is preparing itself to launch a massive aerial assault on Iran's nuclear facilities within days of being given the go-ahead by its new government."

"Among the steps taken to ready Israeli forces for what would be a risky raid requiring pinpoint aerial strikes are the acquisition of there Airborn Warning and Control (AWAC) aircraft and regional missions to simulate the attack."

"Two nationwide civil defence drills will help to prepare the public for the retaliation that Israel could face."

"Israel wants to know that if its forces were given the green light they could strike at Iran in a matter of days, even hours."

The reason many of us are following this story - the story about Israel and Iran, is because it very well may trigger the final prophetic dominoes to fall. The reason I believe this includes:

- Russia has threatened to come to Iran's defense if such Israeli strikes occur. That will escalate retaliation many times over.
- The entire region in the Middle-East will be passionately inflamed, potentially setting the stage for fulfillment of Ezekiel 38-39 and the so-called invasion of "Gog-MaGog" which will be ended supernaturally by God, and God's actions will be visible and obvious to all.
- An Israeli strike against Iran could serve as an excuse for more of the predominately Islamic groups to enter the stage, again creating dramatic escalation in the region.
- Its too big to ignore.

In a related news (read here) Joel Rosenberg's site has an interview conducted by Glen Beck. In this interview, Joel Rosenberg explains WHY Iran is so obsessed with the complete destruction of both Israel and the U.S. In a nutshell, Iran's leadership believes that the Islamic "messiah", also known as the 12th Iman or the Mahdi, is coming imminently. They also believe that this "messiah" will only come in the midst of violence/bloodshed/war in the Middle-East. Therefore, to this group of Islamic radicals, widespread warafre in the Middle-East, specifically Israel is a good thing, as it will hasten the return of their "messiah". In this interview, Joel Rosenberg summarizes the situation.

This situation is coming to a head. When it does, its possible that remaining, significant prophetic events will rapidly ensue (my speculation only, but I believe it is grounded well in the scriptures). The time to be prepared is now - prepared in the sense of being ready to meet with Jesus. Israel has a history of taking such actions when least expected; it could come at any day.

Just as Israel is preparing for war, we need to be prepared spiritually. From the words of Luke:

"Even so, when you see these things happening, you know that the Kingdom of God is near." (Luke 21:31)

"Be always on the watch and pray that you may be able to escape all that is about to happen, and that you may be able to stand before the Son of Man." (Luke 21:36).

Be always on the watch...By being "on the watch" we can have an awareness of the signs around us; but the reason for being watchful is so that we can use the information to prepare spiritually - to prepare for that glorious day in which we will "stand before the Son of Man".

I believe that day is coming soon. Now is the time to prepare. Jesus will come for His bride - its a promise.

Kamis, 16 April 2009

In the news...

Interesting news this week with potential prophetic implications:


Iran to launch new satellite into orbit

Tensions high in North Korea row

Egypt: Concern over bird flu cases

Iran at UN: Israel planning on striking our nuclear sites


Its kind of funny in a way; I've been thinking that this is a slow week, prophetically, yet we still see pertinent headlines, such as the above, appearing daily. Perhaps things have been moving SO rapidly over the past months, a relatively "normal" week seems "slow".

Jesus said that the signs would appear as birth pains - or - you might say that the signs would come in waves, with many signs clustered at one time. Over the past several weeks, we've seen major "contractions" as described on this site and now we see a slight lull in the action. I fully expect another "birth pain" or contraction to appear soon.

Jesus expects us to be continually watching for His return and specifically addressed those periods which would tempt us to relax or let our guard down:

"Therefore keep watch because you do not know on what day your Lord will come. But understand this: If the owner of the house had known at what time of night the thief was coming he would have kept watch and would not have let his house be broken into. So you must also be ready, because the Son of Man will come at an hour when you do not expect him." (Matthew 24:42-44).

Selasa, 14 April 2009

JFPP dan Pengelola Perbendaharaan yang Profesional

Banyak cara untuk menciptakan pegawai yang profesional di bidang perbendaharaan. Tulisan ini akan mencoba mengupas sejauhmana JFPP (Jabatan Fungsional Pengelola Perbendaharaan) akan mampu menjadi sarana yang efektif dalam rangka menciptakan pegawai pengelola perbendaharaan yang profesional.  Sebelum melakukan analisis, kita perlu mengetahui terlebih dahulu (1) apa itu JFPP dan (2) bagaimana ciri-ciri pengelola perbendaharaan yang profesional. Selanjutnya, kita akan melihat sejauhmana ciri dan persyaratan untuk menjadi pegawai pengelola perbendaharaan yang professional tersebut dapat dipenuhi oleh JFPP. Sebagai pembanding, kita juga akan melihat sejauhmana peran jabatan struktural dalam upaya meningkatkan profesionalitas kerja di bidang perbendaharaan.      

Apa itu JFPP?

Sebagaimana tersebut dalam dokumen Naskah Akademis JFPP, pembentukan JFPP dimaksudkan sebagai wadah pengembangan profesi dalam bentuk jabatan fungsional yang bertujuan untuk (1) untuk meningkatkan profesionalisme, motivasi, serta efektivitas dan efisiensi kerja dalam pelaksanaan tugas perbendaharaan, dan (2) menjadikan “manajemen keuangan pemerintah” sebagai spesialisasi.  JFPP diharapkan dapat memberikan “kesempatan karier yang lebih luas dan pasti melalui prestasi kerja yang diukur berdasarkan tingkat kompetensi, pengetahuan, dan pengalaman di bidang perbendaharaan”. Kegiatan-kegiatan JFPP meliputi fungsi ”pelaksanaan anggaran” (penyusunan, revisi, dan penarikan pagu DIPA), pengelolaan kas, pengelolaan utang, pengelolaan piutang, pengelolaan barang (aset kekayaan), dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran (akuntansi dan laporan keuangan). Sedangkan ruang lingkup kegiatannya meliputi instansi-instansi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Barang maupun sebagai Kuasa BUN/D. 

Untuk diketahui bahwa hingga saat ini JFPP, dalam pengertian sebuah jabatan fungsional di bidang perbendaharaan dengan cakupan kegiatan sebagaimana tersebut di atas, belum berhasil dibentuk. Berdasarkan hasil survei pembentukan JFPP, yang dilakukan oleh tim teknis yang melibatkan pegawai Kementerian PAN dan BKN, menunjukkan bahwa ruang lingkup kegiatan perbendaharaan yang mempunyai peluang paling besar untuk dibentuk jabatan fungsional adalah fungsi pelaksanaan anggaran dan fungsi akuntansi dan laporan keuangan pada instansi pemerintah pusat.  Berdasarkan hasil survei ulang pembentukan JFPP pada kedua fungsi tersebut yang dilakukan pada pertengahan akhir tahun 2007 menunjukkan bahwa ternyata hanya fungsi akuntansi dan laporan keuangan pada instansi Ditjen Perbendaharaan (selanjutnya disebut sebagai jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan) yang telah layak dan memenuhi syarat untuk dibentuk jabatan fungsional. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pengertian JFPP tidak harus jabatan fungsional yang meliputi keenam fungsi sebagaimana konsep awal JFPP, melainkan dapat hanya meliputi satu fungsi perbendaharaan secara parsial seperti halnya jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan.   
  
Untuk mengenal lebih jauh apa itu JFPP, kita perlu mengetahui ide dan konsep jabatan fungsional yang mulai diaplikasikan di Indonesia sekitar tahun 1980-an dan konon hanya diadopsi (oleh PNS) di Indonesia. Undang-undang kepegawaian yang berlaku di Indonesia (UU No.8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No.43/1999) menyebutkan bahwa tersedia dua jenis pilihan karier bagi seorang PNS, jenjang karier jabatan struktural dan jenjang karier jabatan fungsional.  Perbedaan antara kedua jenis jabatan karier tersebut dapat dilihat antara lain  pada (1) sifat pekerjaan, (2) pembagian tugas, (3) jenjang jabatan, dan (4) penilaian kinerjanya.  
  
Dilihat dari sifat pekerjaannya, mereka yang menduduki jabatan struktural mempunyai tanggungjawab yang sifatnya kolektif/tim dan lebih berorientasi pada kepentingan tim/organisasi. Sementara itu mereka yang menduduki jabatan fungsional mempunyai tanggungjawab pekerjaan yang lebih bersifat individual (mandiri) dan lebih berorientasi pada penyelesaian pekerjaan perorangan. Pegawai dalam jabatan struktural dapat dikelompokkan kedalam pegawai yang menduduki jabatan eselon (manajerial) dan pegawai pelaksana. Kalau pembagian tugas para pelaksana pada jabatan struktural biasanya ditetapkan secara fleksibel tergantung pada kebutuhan unit kerja yang bersangkutan dan jumlah tenaga kerja yang tersedia, maka pembagian tugas/kegiatan untuk para pegawai dalam jabatan fungsional ditetapkan secara vertikal berdasarkan jenjang jabatannya, dimana masing-masing kegiatan tersebut mempunyai bobot nilai kredit yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan Menteri PAN.  
         
Berbeda dengan jenjang jabatan dalam jabatan struktural yang terdiri dari jabatan Pelaksana, Eselon V, Eselon IV, Eselon III, Eselon II dan Eselon I, jenjang jabatan dalam jabatan fungsional saat ini dapat dikelompokkan ke dalam jenjang jabatan tingkat Terampil (Pelaksana Pemula, Pelaksana, Pelaksana Lanjutan dan Penyelia) dan jenjang jabatan tingkat Ahli (Pertama, Muda, Madya dan Utama). Dalam jabatan struktural hanya mereka yang menduduki jabatan Eselon (VA sd IA) yang berhak mendapatkan tunjangan jabatan struktural yang jumlahnya ditetapkan sama untuk jenjang jabatan Eselon yang sama (lihat PP No. 26 Tahun 2007, terlampir). Sedangkan dalam jabatan fungsional semua pegawai berhak mendapatkan tunjangan jabatan fungsional yang jumlahnya bisa berbeda untuk masing-masing jenjang jabatan tergantung pada jenis jabatan fungsionalnya. Sebagai contoh, tunjangan jabatan fungsional bagi mereka yang berada pada jenjang Ahli Madya (golongan ruang IV/a sd IV/c) pada saat ini (Desember 2008) untuk Peneliti Rp. 1.200.000, Auditor Rp. 900.000, dan Penghulu Rp. 500.000.      

Perbedaan lainnya antara jabatan struktural dan jabatan fungsional dapat dilihat dari sisi penilaian kinerjanya. Sebagaimana kita ketahui, kinerja utama seorang pejabat fungsional dapat dilihat dari nilai akumulasi angka kredit yang telah berhasil dikumpulkannya. Seorang pejabat fungsional dapat diangkat ke jenjang jabatan setingkat lebih tinggi apabila, antara lain, ia telah mendapatkan jumlah angka kredit minimal yang dipersyaratkan untuk jenjang jabatan tersebut. Untuk kenaikan ke jenjang jabatan tingkat Ahli, selain harus mendapatkan jumlah angka kredit minimal yang dibutuhkan mereka juga harus mempunyai sertifikat lulus pendidikan strata satu (S1). 

Harus diakui bahwa penilaian kinerja dengan menggunakan angka kredit tersebut pada prinsipnya lebih baik dari penilaian kinerja yang hanya menggunakan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang hingga saat ini pada umumnya masih digunakan sebagai acuan dalam penilaian kinerja para pejabat struktural. Meskipun demikian, penilaian kinerja berdasarkan angka kredit tersebut memiliki kelemahan karena ia hanya menekankan pada aspek “aktivitas melaksanakan kegiatan (yang memiliki bobot nilai angka kredit)” dan mengabaikan (tidak memasukkan) unsur “kualitas pekerjaan” dalam penilaian kinerjanya. Selain itu, ia juga mengabaikan unsur “pencapaian target kinerja (organisasi)” dalam penilaian kinerjanya. Akibatnya, bukan tidak mungkin terjadi kinerja (nilai angka kredit) pejabat fungsional secara perorangan sangat baik tetapi tidak memberikan kontribusi secara berarti pada peningkatan kinerja organisasi.

Kelemahan lain yang sering dijumpai pada penilaian kinerja berdasarkan angka kredit adalah tingkat ketergantungannya yang sangat tinggi pada “stok pekerjaan” yang tersedia pada unit kerja dimana pejabat fungsional tersebut bekerja. Mereka yang ditugaskan pada unit kerja yang beban pekerjaannya sangat rendah, misalnya pada unit pelayanan yang berlokasi di daerah terpencil, pada umumnya merasa dirugikan karena mereka seringkali mengalami kesulitan untuk mengumpulkan jumlah angka kredit yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat normal (4 tahun) sebagaimana yang bisa dinikmati oleh mereka yang berada pada jenjang karir struktural. Sebaliknya, mereka yang ditugaskan pada unit kerja yang beban pekerjaannya sangat tinggi, misalnya pada unit kerja di kantor pusat, juga merasa dirugikan karena kebijakan instansi mereka (misal pembatasan kenaikan pangkat minimal 3 tahun) kadang menghalangi mereka untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang lebih cepat (misal 2 tahun) walaupun persyaratan jumlah angka kredit yang dibutuhkan sebenarnya telah dipenuhi.

Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah pegawai BPPK Depkeu beberapa waktu lalu, saya mendapatkan informasi tentang beberapa pejabat fungsional Widyaiswara tingkat Ahli Utama pada instansi BPPK Depkeu yang diberhentikan dari jabatan fungsional karena gagal mengumpulkan jumlah angka kredit minimal yang dibutuhkan untuk dapat bertahan dalam jabatan fungsional Widyaiswara.  Konon, menurut seorang pegawai BPPK Depkeu, kegagalan mereka untuk mengumpukan jumlah angka kredit yang dibutuhkan tersebut disebabkan oleh kelemahan sistem penilaian kinerja Widyaiswara yang ditetapkan oleh Menteri PAN yang tidak memberikan nilai angka kredit kepada Widyaiswara Ahli Utama yang melakukan kegiatan-kegiatan porsi Widyaiswara Ahli Muda dan porsi Widyaiswara untuk jenjang-jenjang dibawahnya.  Dengan kata lain, instansi BPPK Depkeu membutuhkan tenaga mereka dan menugaskan mereka untuk mengajar para mahasiswa program diploma 2/3, tetapi sistem penilaian kinerja Widyaiswara yang ditetapkan oleh Menteri PAN nampaknya tidak cukup “luwes” untuk mengakui kegiatan mereka tersebut sebagai prestasi kerja.  

Sebenarnya Kementerian PAN telah mengetahui beberapa kelemahan penilaian kinerja berdasarkan angka kredit sebagaimana yang telah disampaikan tersebut di atas. Sudah sejak lama Kementerian PAN berusaha menyusun konsep penilaian kinerja PNS yang baru, termasuk mencoba penggunaan Balanced Scorecard untuk keperluan manajemen kinerja di lingkungan PNS. Untuk diketahui bahwa beberapa negara maju, termasuk Korea Selatan, telah berhasil menerapkan penggunaan Balanced Scorecard di lingkungan PNS. Di Indonesia, KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) juga telah berhasil menggunakan Balanced Scorecard.  Meskipun demikian, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa apa yang berhasil dilaksanakan oleh KPK belum tentu berhasil dilaksanakan oleh instansi pemerintah lainnya.

Setelah mengetahui apa itu JFPP dan gambaran umum tentang jabatan fungsional, termasuk perbedaannya dibandingkan dengan jabatan struktural, sekarang mari kita lihat apa ciri-ciri utama pegawai yang profesional dan sejauhmana jabatan fungsional (JFPP) atau jabatan struktural dapat merupakan sarana yang efektif untuk mewujudkan pengelola perbendaharaan yang profesional.

Pengelola Perbendaharaan yang Profesional
        
Dari beberapa sumber referensi yang bisa diperoleh melalui internet, kita bisa mendapatkan informasi bahwa ciri-ciri utama pegawai yang profesional adalah (1) ahli atau kompeten dalam bidang tugasnya, (2) berorientasi pada pencapaian/peningkatan kinerja untuk kepentingan stakeholders (organisasi dan/atau masyarakat) yang dilayani, dan (3) berpedoman pada kode etik profesi yang antara lain mengatur tentang apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang pegawai pengelola perbendaharaan yang profesional ia harus mampu memperlihatkan/membuktikan kompetensinya di bidang perbendaharaan, komitmennya terhadap pencapaian kinerja di bidang perbendaharaan, dan kepatuhannya  pada  kode etik profesi yang berlaku bagi pengelola perbendaharaan.

Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa sesungguhnya tuntutan kerja secara profesional tersebut berlaku bagi semua PNS, baik mereka yang berada pada jabatan fungsional maupun mereka yang berada pada jabatan struktural.  Oleh karena itu, ketiga ciri utama pegawai yang profesional tersebut di atas harus dimiliki oleh kedua kelompok PNS tersebut.    

Kompetensi (Keterampilan dan Keahlian)

Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa tingkat profesionalisme kerja seorang pegawai dapat dilihat, antara lain, dari sejauhmana tingkat kompetensinya. Kompetensi dapat dibedakan antara kompetensi keras (hard competency) dan kompetensi lunak (soft competency). Kompetensi keras pada umumnya dibutuhkan pada pekerjaan atau jabatan yang bersifat teknis dan relatif mudah dipelajari, baik pada lembaga pendidikan formal (misal, manajemen kas) maupun non-formal (misal, kursus bahasa asing). Sedangkan kompetensi lunak pada umumnya dibutuhkan pada pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi dalam manajemen/organisasi (misal, jabatan manajerial dan jabatan staf ahli) dan biasanya dipelajari melalui program pendidikan dan pelatihan (misal, diklat kepemimpinan dan diklat berbasis kompetensi), workshop dan seminar.

Berdasarkan peta kompetensi pegawai yang dibutuhkan oleh organisasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, kompetensi lunak yang bersifat manajerial merupakan domain yang harus dimiliki oleh setiap pegawai yang menduduki jabatan eselon pada jabatan struktural. Kompetensi lunak yang bersifat non-manajerial (misal: kemampuan visioning, inovasi dan analisis penyelesaian masalah) sangat diperlukan oleh para pejabat eselon/struktural pada level atas (eselon III keatas) dan para staf ahli yang sebagian mungkin merupakan pejabat fungsional. Mengacu pada tiga kelompok kompetensi (Thinking, Working dan Relating) yang terdapat dalam kamus kompetensi Departemen Keuangan (terlampir), nampaknya kelompok kompetensi Working dan Relating lebih banyak dibutuhkan oleh para pejabat eselon/struktural dan kelompok kompetensi Thinking pada umumnya lebih dibutuhkan oleh staf ahli atau pejabat fungsional tingkat ahli.  Sedangkan kompetensi keras pada umumnya dibutuhkan oleh setiap pegawai, baik yang berada pada jabatan struktural maupun yang berada pada jabatan fungsional, sesuai dengan bidang tugasnya (misal: pengelolaan kas dan pembuatan program aplikasi).  
     
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang bersifat spesialisasi (individual) maupun yang bersifat manajerial (kolaborasi tim), masing-masing diperlukan untuk peningkatan kinerja dan pengembangan organisasi. Kompetensi yang bersifat spesialisasi diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pengetahuan yang mendalam, analisis penyelesaian masalah, dan pemikiran ke arah perubahan. Sedangkan kompetensi yang bersifat manajerial diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam bentuk pemanfaatan SDM dan networking, termasuk kerjasama dengan para staf ahli yang mempunyai keahlian spesifik, untuk keperluan peningkatan kinerja dan pengembangan organisasi.  Hal lain yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberhasilan program pengembangan kompetensi (peningkatan profesionalitas) sama sekali tidak tergantung pada apakah program pengembangan kompetensi tersebut ditujukan kepada pejabat fungsional atau pejabat struktural, melainkan tergantung pada sejauhmana program tersebut mampu mengidentifikasi peta permasalahan kompetensi pegawai pada unit kerja tersebut dan sejauhmana ia mampu memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan kompetensi tersebut.

Orientasi pada Pencapaian dan Peningkatan Kinerja

Ciri utama pegawai profesional berikutnya adalah berorientasi pada pencapaian dan peningkatan kinerja untuk kepentingan organisasi dan masyarakat yang dilayaninya. Dalam beberapa kasus sikap yang berorientasi pada peningkatan kinerja tersebut lebih merupakan sifat bawaan dari pegawai yang bersangkutan. Namun sejalan dengan perkembangan manajemen SDM modern, pembentukan sikap pegawai yang berorientasi pada kinerja tersebut dapat dikondisikan atau dikembangkan melalui pengaturan manajemen kinerja yang dilengkapi, antara lain, dengan sistem penilaian kinerja yang obyektif, sistem pengawasan pegawai yang efektif, dan pelaksanaan mekanisme reward and punishment yang konsisten.

Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa salah satu keunggulan jabatan fungsional dibandingkan dengan jabatan struktural pada umumnya adalah tersedianya sistem penilaian kinerja berupa angka kredit yang digunakan sebagai acuan prestasi kerja dan sekaligus juga sebagai bahan pertimbangan untuk kenaikan pangkat/jabatan bagi pejabat fungsional. Penilaian kinerja berdasarkan angka kredit tersebut mampu memberikan motivasi kepada para pejabat fungsional untuk meningkatkan aktivitas kerjanya dalam rangka penyelesaian tugas. Bandingkan, misalnya, dengan para pegawai/pelaksana dalam jabatan struktural yang pada umumnya hanya mengandalkan penilaian kinerja berdasarkan DP3, yang setiap empat tahun sekali dinaikkan pangkatnya, dan yang secara sinis seringkali diplesetkan sebagai menganut azas PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama).     
Meskipun demikian, sebagaimana telah disebutkan dimuka, terdapat beberapa kelemahan pada sistem penilaian kinerja berdasarkan angka kredit yang berlaku pada jabatan fungsional, antara lain adalah (1) mengabaikan aspek kualitas pekerjaan (produk kegiatan), (2) tidak mengkaitkannya dengan pencapaian target kinerja organisasi, dan (3) aturan penilaian kinerjanya (kegiatan dan bobot angka kreditnya) ditetapkan oleh atau terlalu tergantung pada Kementerian PAN.  Sebagaimana telah kita ketahui, belakangan ini terdapat kecenderungan yang semakin meningkat untuk mengadopsi penggunaan Balanced Scorecard untuk keperluan manajemen kinerja di instansi pemerintah. Penggunaan Balanced Scorecard secara cerdas dalam manajemen kinerja organisasi memberikan peluang kepada kita untuk menutup beberapa kelemahan penilaian kinerja angka kredit pada jabatan fungsional sebagaimana tersebut di atas. Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa peran kepemimpinan yang kuat dalam mendukung kerjasama tim dan kolaborasi dengan kelompok lain, yang notabene berlaku dalam konteks jabatan struktural, sangat menentukan keberhasilan pencapaian dan peningkatan kinerja pegawai/organisasi.    
      
Menjunjung Tinggi Kode Etik Profesi

Pegawai yang profesional tidak cukup harus ahli dan berorientasi pada kinerja, tetapi ia juga harus berintegritas (jujur, bermoral baik). Untuk menjaga integritas/moralitas para pegawai maka dibuatlah kode etik pegawai, yakni pedoman untuk mengatur sikap dan perilaku pegawai (apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan) dalam melaksanakan tugasnya. Apabila pegawai tersebut merupakan anggota suatu profesi maka ia harus menjunjung tinggi kode etik profesi tersebut.  Pertanyaannya, sejauhmana lembaga atau mekanisme kerja dalam jabatan fungsional dan jabatan struktural dapat  menjamin integritas para pegawai?
  
Sebagian di antara kita mungkin berpendapat bahwa integritas atau moral merupakan sifat bawaan masing-masing individu yang sulit untuk diubah. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Meskipun demikian, banyak fakta memperlihatkan kepada kita bahwa integritas seorang pegawai dapat diubah melalui, atau dipengaruhi oleh, perpaduan antara program peningkatan remunerasi, sistem manajemen (pengawasan dan pembinaan) SDM yang efektif, dan penerapan law enforcement yang konsisten.  Faktor kepemimpinan juga mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembentukan integritas pegawai. Pemimpin yang tidak jujur (berintegritas rendah)  cenderung akan mempersulit upaya perbaikan integritas para pegawai yang berada dibawah kepemimpinannya.      

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa integritas pegawai, atau bahkan profesionalitas pegawai, tidak ditentukan oleh apakah pegawai tersebut berada dalam jabatan fungsional atau dalam jabatan struktural. Rhenald Kasali pernah mengatakan bahwa pada lembaga yang manajemennya kuat, orang-orang jahat dapat diperbaiki menjadi baik. Sebaliknya pada lembaga yang manajemennya lemah, orang-orang baik dapat berubah menjadi jahat (Kompas, 8 Oktober 2007). Saya sendiri yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Rhenald Khasali  tersebut tidak hanya berlaku dalam konteks baik atau buruknya integritas pegawai, tetapi juga berlaku dalam konteks baik atau buruknya profesionalitas pegawai.