Selasa, 30 Oktober 2007

UUD 1945 dan Hukuman Mati

TAFSIR MK: HUKUMAN MATI TIDAK BERTENTANGAN DENGAN UUD 1945

Tafsir UUD 1945 oleh Mahkamah Konstusi terkait dengan konstitusionalitas "Hukuman Mati" yang telah ditunggu lama akhirnya tiba juga. Berikut merupakan kutipan berita resmi yang diturunkan oleh Mahkamah dari ruang persidangan sesaat setelah palu Majelis diketukkan sebagai tanda diputusnya perkara dengan sifat final dan binding.

Ketentuan Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika, sepanjang mengenai ancaman pidana mati, tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.

Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pembacaan putusan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) yang diajukan para Pemohon perkara 2/PUU-V/2007 (Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran, Andrew Chan) dan Pemohon perkara 3/PUU-V/2007 (Scott Anthony Rush), Selasa (30/10) di Ruang Sidang MK. Para Pemohon yang sebagian merupakan warga negara asing yang telah dipidana mati tersebut merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya ancaman pidana mati dalam UU Narkotika.

Dalam konklusinya, terkait dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon warga negara asing tersebut, MK menyatakan bahwa para Pemohon yang berkewarganegaraan asing tidaklah mempunyai kedudukan hukum, sehingga permohonan Myuran Sukumaran, Andrew Chan dan Scott Anthony Rush tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Menanggapi argumentasi pokok yang diajukan para Pemohon bahwa pidana mati bertentangan dengan hak untuk hidup (right to life) yang menurut rumusan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, MK mendasarkan pada original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi. Hal ini diperkuat pula dengan penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.

Ketidakmutlakan hak untuk hidup (right to life), baik yang berwujud ketentuan-ketentuan yang membolehkan diberlakukannya pidana mati dengan pembatasan-pembatasan tertentu ataupun ketentuan-ketentuan tentang penghilangan nyawa secara absah, dapat juga ditemukan dalam sejumlah instrumen hukum internasional yang mengatur tentang atau berkait dengan hak asasi manusia, di antaranya, International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict, Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict, Rome Statute of International Criminal Court, Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights), American Convention on Human Rights, Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.

Sebagai contoh, ICCPR yang digunakan para Pemohon untuk mendukung dalil-dalilnya, tidaklah melarang negara-negara pihak (state parties) untuk memberlakukan pidana mati, tetapi ada pembatasan diberlakukan hanya terhadap kejahatan-kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut (the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime..) [Pasal 6 ayat (2) ICCPR]. Artinya, dengan dimungkinkannya suatu negara memberlakukan pidana mati (meskipun dengan pembatasan-pembatasan), hal itu merupakan bukti bahwa hak untuk hidup tidaklah bersifat mutlak.

Terkait dengan itu, MK menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a; Pasal 81 ayat (3) huruf a; serta Pasal 82 ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a UU Narkotika tergolong ke dalam kelompok kejahatan yang paling serius baik menurut UU Narkotika maupun menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dengan demikian, kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal UU Narkotika di atas dapat disetarakan dengan “the most serious crime” menurut ketentuan Pasal 6 ICCPR.

MK juga memberikan beberapa catatan penting, sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan, salah satunya adalah ke depan, dalam rangka pembaruan hukum pidana nasional dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pidana mati, maka perumusan, penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati dalam sistem peradilan pidana di Indonesia hendaklah memperhatikan dengan sungguh-sungguh: bahwa pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif; pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun; pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa; eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh. Selain itu, demi kepastian hukum yang adil, MK juga menyarankan agar semua putusan pidana mati yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) segera dilaksanakan.

Terhadap putusan ini, empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Pendapat berbeda Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan Hakim Konstitusi H.M. Laica Marzuki dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.

Dalam salah satu hasil penelitiannya tentang Hukuman Mati berikut artikel yang telah dimuat di Jakarta Post pada bulan Mei lalu, Penulis juga telah menguraikan analisa yang sedikit banyak juga disampaikan dalam pertimbangan Putusan Majelis Hakim sebagaimana telah diuraikan secara ringkat di atas.

Pertanyaannya sekarang, apakah rezim hukuman mati di Indonesia sudah pasti terus bertahan? Jawabannya adalah iya dan tidak. "Iya" karena hukuman mati dapat dijatuhkan dengan syarat-syarat khusus dan spesifik, dan "Tidak" karena Mahkamah hanya memutuskan konstitusionalitas Hukuman Mati pada UU Narkotika. Bagaimana dengan ketentuan hukuman mati pada UU lainnya, misalnya dalam KUHP atau UU Darurat? Mulai saat ini, pertimbangan hukum Mahkamah dapat dijadikan senjata pamungkas untuk memangkas berbagai ketentuan hukuman mati di berbagai UU yang tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah.

***

Tulisan terkait lainnya: Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati



Jumat, 26 Oktober 2007

Sumpah Pemuda

MEMBANGUN KEPEMIMPINAN PEMUDA LUAR NEGERI
Pan Mohamad Faiz *

Sebagai aktor sosial perubahan, pemuda bukan saja menyandang status sebagai pemimpin masa depan, tetapi juga sebagai tulang punggung bangsa dalam mengisi pembangunan. Hal ini sejalan dengan tema peringatan Hari Pemuda Internasional 2007 yaitu ”Youth Participation for Development”.

Pada tahun 1928, para pemuda Indonesia dari beragam latar belakang suku, agama dan bahasa membulatkan tekad demi menggalang persatuan bangsa guna berjuang melawan penindasan kaum kolonialis. Sejak saat itu pula, setiap tanggal 28 Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Manifesto yang tertanam sejak 79 tahun yang lalu ini telah berulang kali memberikan andil besar terhadap arah dan semangat pergerakan pemuda dalam menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran. Oleh sebab itu, goresan sejarah Indonesia tidak akan pernah luput dari lembaran sejarah kepemudaanya (Benedict Anderson, 1990).

Dalam tulisan berikut, penulis mengajak untuk melakukan refleksi sejenak terhadap signifikansi dan peran pemuda yang selama ini sangat jarang disoroti dan digarap secara serius oleh banyak pihak, yaitu terhadap aset intelektual muda yang terserak di luar negeri.

Berbeda dengan masa pra kemerdekaan, para pemuda Indonesia kini telah tersebar di lima benua dan puluhan negara yang terbentang dari timur-barat hingga utara-selatan dunia. Walaupun belum terdapat data empirik terhadap penyebarannya, berdasarkan hasil penelusuran penulis, setidaknya saat ini terdapat lebih dari 20.000 pemuda dan mahasiswa Indonesia di Australia, 26.000 di Malaysia, 5.000 di Mesir, 1.500 di Jepang, 13.000 di Amerika Serikat, 3.000 di Inggris, dan puluhan ribu lainnya di berbagai negara Eropa dan Afrika. Namun disayangkan, angka yang sangat menjanjikan ini belum dapat teroptimalkan dalam rangka mendukung pembangunan bangsa yang berkelanjutan

Kepemimpinan Internasional

Corak pergerakan pemuda setelah tahun 1928, khususnya pasca kemerdekaan, mempunyai tantangan yang berbeda dengan pergerakan yang diusung sebelum tahun 1928. Pergerakan pemuda pada era globalisasi ini menghadapi tantangan yang justru semakin kompleks.

Selain perjuangan untuk memberangus KKN dan menegakkan nilai-nilai demokrasi serta HAM, tidak kalah pentingnya yaitu menggalang kekuatan guna menghadapi persaingan ekonomi global, destruksi budaya dan moral generasi, intervensi kedaulatan bangsa, serta reposisi Indonesia di tengah-tengah realitas ekonomi dan politik internasional. Tantangan seperti tersebut diakhir inilah yang belum menjadi isu stategis dari kebanyakan gerakan pemuda di tingkat nasional.

Walaupun tantangan yang dihadapi oleh pergerakan pemuda di kedua zaman tersebut berbeda, akan tetapi berdasarkan sifatnya dapat kita tarik satu benang merah yang sama. Tantangan global seperti perdagangan bebas dan hadirnya organisasi keuangan internasional merupakan alat yang dapat mengusik kedaulatan bangsa yang berujung pada neo-colonialism. Oleh karenanya, meskipun tampak berbeda, namun apa yang sedang kita hadapi saat ini masihlah ”musuh” yang sama, yaitu penjajahan.

Dengan ketersediaan akses dan sumber informasi yang tidak terbatas, pemuda Indonesia di luar negeri sudah seyogyanya mengambil peran signifikan dengan menggalang kepemimpinan internasional guna menghadapi berbagai tantangan di atas.

Sebagai kaum intelektual, sudah seharusnya transfer informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui berbagai bentuk dan cara bagi mereka yang berada di Indonesia. Hal ini sama halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh para intelektual pendahulu kita yang menempuh pendidikan di Belanda pada masa pra kemerdekaan, bersama Moh. Hatta mereka dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia dengan tujuan membangun basis pendidikan ilmu pengetahuan kepada segenap rakyat Indonesia (Nicholas Tarling, 1999).

Setiap pemuda Indonesia di manapun ia berada harus mampu menjadi duta bangsa pada setiap aspek diplomasi kehidupan, baik itu di bidang politik, ekonomi, pendidikan, ataupun budaya.
Lebih dari itu, setiap pemuda Indonesia juga harus dapat merevitalisasi peran dan fungsinya sebagai bagian dari global village guna menghimpun terbentuknya soft power guna meningkatkan reputasi dan posisi tawar Indonesia di mata dunia sebagaimana telah dinikmati hasilnya oleh Cina, India, dan Brazil.

Relevansi Sumpah Pemuda

Hal utama yang dibutuhkan untuk membangun kekuatan pemuda di tingkat internasional adalah kesatuan. Tanpa adanya kesatuan, dalam konsep Antonio Gramsci, perjuangan menghadapi tantangan terkini akan kandas diterpa gelombang hegemoni negara-negara besar. Proses terjadinya Sumpah Pemuda sangatlah relevan untuk dapat kita gunakan sebagai cermin pembentukan kepemimpinan internasional pemuda Indonesia di masa yang akan datang.

Pertama, para pemuda dan pelajar Indonesia baik yang bersifat perorangan maupun yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) atau organisasi sejenis lainnya dalam satu kawasan dunia yang sama, dapat mengikatkan dirinya dalam satu jejaring koordinasi awal untuk tahapan konsolidasi. Hingga saat ini, baru beberapa kawasan saja yang memiliki jaringan koordinasi demikian, di antaranya yaitu Jejaring PPI se-Eropa, Badan Koordinasi PPI se-Timur Tengah dan sekitarnya, serta PPI Australia.

Kedua, jika telah terbentuk jejaring koordinasi awal di masing-masing kawasan, maka menyatukan seluruh jejaring kawasan yang ada guna pembentukan kepemimpinan pemuda internasional bukanlah suatu hal yang mustahil. Sebagai contoh, hampir setiap tahunnya negara Perancis mengadakan Temu Pemuda Internasional (Rencontres Internationales de Jeunes) secara resmi guna membahas arah dan kontribusi pergerakan mahasiswanya yang tengah berada di seluruh penjuru belahan dunia.

Ketiga, guna menyamakan arah dan gerakan pemuda Indonesia, maka koordinasi dan komunikasi yang intensif harus selalu dilakukan antara pemuda di dalam dan di luar negeri. Tanpa adanya koordinasi dan kerjasama yang harmonis, maka kekuatan pemuda Indonesia tidak akan terlalu berarti baik pada level nasional maupun internasional.

Keempat, dengan begitu besarnya aset pemuda di luar negeri, Pemerintah sudah sebaiknya memfasilitasi dan memberikan dukungan penuh demi terciptanya kepemimpinan pemuda luar negeri dengan sistem koordinasi triumvirat yang melibatkan Departemen Pemuda dan Olah Raga, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Pendidikan Nasional.

Tahun 2008 mendatang merupakan waktu yang sangat tepat untuk mencanangkan Kepemimpinan Pemuda Luar Negeri sekaligus menancapkan gelombang keenam Kebangkitan Indonesia. Pasalnya, selain akan memasuki usia ke-80 untuk peringatan Sumpah Pemuda, pada saat yang bersamaan bangsa Indonesia juga akan memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.

Apakah ini sebuah mimipi? Iya. Apakah ini mimpi yang tidak mungkin terjadi? Tidak, ini adalah mimpi yang sangat mungkin terwujud. Martin Luther pernah mengatakan, ”I have a dream today. I have a dream...”. Kemudian, berkat perjuangan dan komitmen bersama, akhirnya mimpi tersebut berhasil ia raih.

* Pan Mohamad Faiz adalah Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI-India), salah satu pendeklarator berdirinya Overseas Indonesian Student Association Alliance (OISAA)

Kamis, 11 Oktober 2007

India yang (Sengaja) Dilupakan?

MENANTI KEPALA PERWAKILAN YANG TAK KUNJUNG TIBA
Oleh: Pan Mohamad Faiz, New Delhi (India)*

Pentingnya kehadiran Perwakilan RI di seluruh dunia merupakan suatu keniscayaan. Selain sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Indonesia di luar negeri, Perwakilan RI juga dapat menjadi ujung tombak kerjasama antarnegara di berbagai bidang, mulai dari kerjasama perdagangan, politik, pendidikan, hingga sosial budaya.

Namun apa yang akan terjadi bilamana suatu Perwakilan RI tidak mempunyai Kepala Perwakilan (Duta Besar) yang memiliki fungsi penting sebagai pengambil kebijakan strategis di negara yang bersangkutan. Ibarat perahu layar tanpa nahkoda, tentunya berbagai kebijakan penting yang seharusnya dapat diambil seakan kehilangan arah dan tak menentu.

Kondisi inilah yang terjadi dalam institusi Perwakilan RI untuk India untuk saat ini. Sudah setahun lebih Perwakilan RI di New Delhi tidak memiliki ”Kepala Keluarga”. Padahal, posisi ini penting sekali untuk menjaga hubungan bilateral dan kerjasama kedua belah pihak. Terjadinya kekosongan posisi Duta Besar RI untuk India yang cukup lama tersebut telah menyebabkan kerugian materil maupun imaterial. Berbagai kegiatan multi-internasional yang seharusnya dapat kita pelihara dan tingkatkan, mulai dari kedatangan Wakil Presiden RI hingga berbagai penandatanganan kerjasama antara Indonesia-India, tidak ada satupun yang dihadiri oleh sang Duta Besar. Inilah yang menyebabkan terjadinya keprihatinan cukup mendalam dari segenap warga negara Indonesia di India, khususnya mereka yang kini sedang menempuh pendidikan di seluruh penjuru negeri India.

Memang benar saat ini kita mempunyai Kuasa Ad Interim (KUAI) sebagai pemangku jabatan sementara selama posisi Duta Besar belum diangkat. Namun yang perlu diingat di sini adalah bahwa kita sedang ”bermain” dengan negara sekaliber India. Dengan berbagai keunggulannya saat ini, India telah menjadi pemain global di berbagai sektor kehidupan dengan penguasaan teknik diplomasi tingkat tinggi. Hal ini terbukti dengan ”membanjirnya” kunjungan kenegaraan Kepala Pemerintahan maupun kerjasama dari negara-negara Super Power, seperti Amerika, Rusia, Cina, Perancis dan Jepang dalam satu tahun belakangan ini.

Berulang kali ketidakhadiran orang nomor satu Perwakilan RI dalam peringatan besar India juga telah menimbulkan sedikit keraguan akan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam membina hubungan kerjasama dengan India. Padahal, bersama-sama dengan Cina, India kini telah menjadi ”the Asian Tigers” dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan nilai investasi yang amat menjanjikan.

Bahkan jika kita rajut lebih mendalam, antara Indonesia dengan India sebenarnya telah mempunyai sejarah perjuangan dan jalinan kerjasama yang telah terbina sejak lama. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana para cendekiawan Indonesia di masa-masa perjuangan kemerdekaan belajar dan berguru bersama dengan para Gandhian di negeri India guna menolak terjadinya kolonialisasi negara-negara barat. Namun kini yang terjadi, sepertinya Indonesia seringkali membuang muka ketika mendengar kata ”India”, atau jika tidak mau kita katakan ”dengan sengaja” melupakan India.

Proses penyeleksian Duta Besar oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian diserahkan kepada Komisi I DPR-RI untuk dipilih, sudah seharusnya mulai diperhitungkan dan dijaring dari jauh-jauh hari sebelum selesainya masa kerja Dubes terdahulu. Hal ini tentunya berlaku bukan hanya pada kasus India, tetapi pada Perwakilan RI di seluruh dunia. Hasilnya, hingga saat ini pun belum juga muncul penyerahan nama-nama calon pengisi Duta Besar RI untuk India guna dipilih.

Tujuh Kepala Perwakilan RI yang telah dilantik sebulan yang lalu, tidak ada satupun yang ditempatkan di India. Rasa-rasanya terlalu banyak kesempatan berharga yang terbuang sia-sia selama terjadinya kekosongan ini. Tentunya kita berharap, panjangnya proses pemilihan calon Duta Besar RI untuk India, merupakan suatu bentuk kepedulian dan keseriusan yang sungguh-sungguh dari Pemerintah untuk mendapatkan Duta Besar yang benar-benar tough and smart untuk diterjunkan di medan diplomasi sekelas India.

Bukan hanya kemampuan manajemen institusi kepemerintahan saja yang diperlukan, tetapi calon yang terpilih harus juga menampilkan kepiawaiannya dalam melakukan komunikasi aktif dan diplomasi total dengan para pejabat India selama penugasannya. Jika tidak, alih-alih keinginan agar terjadinya peningkatan kerjasama bilateral di multibidang antara Indonesia dan India, namun justru yang terjadi adalah India akan semakin meninggalkan Indonesia sebagai ”sahabat lama”-nya dalam konteks perjuangan negara-negara berkembang di dunia.

* Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia di India (PPI-India). Tulisan ini merupakan pendapat pribadi. Penulis dapat dihubungi melalui pan.mohamad.faiz@gmail.com.

Happy Eid ul-Fitr 1428 H

Assalamualaikum Wr. Wb.

Our holy friend and visitor Ramadan is packing his bags up now and doing farewell aforetime
Insya Allah it is being a wonderful and successful Ramadan again for all

On this special occasion I would like to wish you and your family

Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum,
Kullu 'amin wa antum bi khoir

Happy Eid ul-Fitr 1428 H

Minal aidin wal faidzin

Please accept my apologies and welcome the New Year with a saintly start
May Allah SWT always bless us, Amen.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Pan Mohamad Faiz

New Delhi ~ India

“I thank God for His abundant mercy, guidance and endless favors upon humanity and justice”

===

Pan Mohamad Faiz
President of Indonesian Student Association in India (PPI-India)
Master of Comparative Law Programme
Faculty of Law, University of Delhi
Mobile: +91 9818547489
Email: pm_faiz_kw@yahoo.com

Personal Law Blog (Blawg):
# http://faizlawjournal.blogspot.com/ (English Version)
# http://jurnalhukum.blogspot.com/ (Bahasa Version)


Rabu, 10 Oktober 2007

Terminologi Hukum (2)

TERMINOLOGI HUKUM


LEX INTENDIT VICINUM VICINI FACTA SCIRE

"Hukum bermaksud atau menganggap bahwa seseorang mengetahui apa yang dilakukan oleh orang lain dalam satu lingkungan"

AFFIRMATI, NON NEGANTI ICUMBIT PROBATIO

“Alat bukti terletak terhadap mereka yang membenarkan, bukan pada mereka yang menyangkal”

COMMUNE VINCULUM

"Dalam hukum Inggris lama berarti ikatan yang sama atau kebersamaan”

CAPITE MINUTUS

“Dalam hukum perdata common law yaitu seseorang yang telah menderita capitis diminution atau seseorang yang telah kehilangan status atau sifat-sifat hukumnya”
LEVITICAL DEGREES

”Derajat yang sama di mana seseorang tidak diperkankan untuk menikah. Hal ini diteruskan dalam Bab ke-18 dari Leviticus

Kamis, 04 Oktober 2007

Konstitusi, Constitutional Review, dan Perlindungan Kebebasan Beragama

CONSTITUTIONAL REVIEW DAN PERLINDUNGAN KEBEBASAN BERAGAMA


Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

Lahirnya Mahkamah Konstitusi pasca amandemen merupakan respons terhadap tuntutan penguatan mekanisme check and balances dalam sistem penyelenggaraan negara. Kehadirannya telah membawa ‘angin segar’ adanya perlindungan akan hak-hak konstitusional (constitutional rights) bagi warga negara.

Salah satu mekanisme yang dapat ditempuh oleh setiap warga negara terhadap pemenuhan hak konstitusional tersebut yaitu melalui jalur pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 atau dikenal dengan istilah constitutional review (staatsgerichtsbarkeit). Dalam hal ini, penulis sengaja menggunakan istilah constitutional review guna menghindari kekeliruan pemaknaan yang seringkali tumpang tindih terhadap istilah judicial review. Sebagaimana lazimnya dipraktikkan pada negara-negara common law system, judicial review memiliki pengertian yang lebih luas dan tidak terbatas hanya pada pengujian konstitusionalitas saja (Erick Barendt, 1998).

Peremajaan kehidupan bertatanegara pun semakin hari semakin berkembang pesat. Kini bangsa Indonesia, disadari atau tidak, telah memulai babak baru dalam hal praktik memperjuangkan hak-hak dasar (basic rights) dalam lingkup kebebasan beragama (freedom of religion). Hak-hak dasar ini telah diatur secara tegas dalam Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1), dan Pasal 29 UUD 1945 yang sejalan pula dengan instrumen HAM Internasional, khususnya Pasal 18 UDHR dan Pasal 18 ICCPR.

Selama ini, persoalan mendasar yang erat kaitannya dengan hak kebebasan beragama tidak pernah sekalipun memasuki ranah pengujian konstitusionalitas. Adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/PUU-V/2007 yang membuka pintu gerbang dimulainya aktivitas konstitusional (constitutional activism) terhadap permohonan perlindungan kebebasan menjalankan praktik keagamaan sebagai fundamental rights setiap warga negara Indonesia.

Putusan yang dikeluarkan pada tanggal 3 Oktober yang lalu merupakan permohonan pengujian konstitusionalitas terhadap ketentuan-ketentuan di dalam UU Perkawinan yang memberikan persyaratan khusus bagi warga negara yang ingin melakukan poligami. Dengan alasan menghambat kebebasan menjalankan ibadah yang didukung dengan dalil-dalil agama Islam dan argumentasi hukum serta jaminan Hak Asasi Manusia (HAM), Pemohon meminta kepada Mahkamah agar ketentuan dimaksud dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan tidak mengikat.

Untuk membuat putusan tersebut, tentunya Mahkamah tidak dapat mengelak dari pertimbangan yang berkaitan dengan dalil-dalil agama sebagaimana diajukan oleh Pemohon. Oleh karenanya, pertimbangan hukum Mahkamah pada bagian Pendirian kali ini lebih banyak mengupas argumentasi khusus dari perspektif agama Islam (hal 91-96) dibandingkan dengan argumentasi hukum positif terkait dengan Hak Asasi Manusia, nilai sosial kemasyarakatan, dan hak-hak konstitusional (hal 96-98).

Terlepas dari apapun isi putusan Mahkamah, di mana mempunyai sifat final dan binding, maka dapat kita simpulkan bahwa horizon praktik ketatanegaraan Indonesia kini mulai memasuki ranah yang amat erat hubungannya antara konsepsi konstitusi, kebebasan beragama, dan warga negara.

Konstitusi dan Kebebasan Beragama

Konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (supreme law of the land) merupakan fondasi dasar dari sistem ketatanegaraan suatu bangsa. Antara satu negara dengan negara lain tentunya mempunyai Konstitusi dengan ciri dan karakteristik berbeda-beda yang dapat mempengaruhi terbentuknya konsep negara. Dalam kaitannya dengan kebebasan beragama, maka kita seringkali mendengar pembedaan antara konsep negara agama, negara sekuler, dan lain sebagainya.

Hasil amandemen ke-46 Konstitusi India yang memasukan kata ”secular” dalam Pembukaan Konstitusinya semakin menegaskan bahwa negara India adalah negara sekuler dengan menitikberatkan pada nilai-nilai penghormatan terhadap kebebasan dan toleransi umat beragama.

Berbeda pula dengan hasil amandemen pertama Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama bagi setiap warga negara, namun tidak memberikan ruang kepada badan legislatifnya untuk membentuk UU yang mengatur tentang praktik keagamaan. Hal tersebut dipertegas dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Everson v. Board of Education (1947) dan Engel v. Vitale (1962) yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan konstitusi telah menciptakan dinding pemisah (wall separation) antara negara dan agama.

Dalam penelitiannya mengenai hubungan dan peran konstitusi terhadap kebebasan menjalankan agama, Tad Stahnke dan Robert C. Blitt (2005) membagi negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di dunia menjadi empat kategori. Keempat kategori negara tersebut yaitu: (1) negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam, misalnya Afganistan, Iran, dan Saudi Arabia; (2) negara yang menyatakan Islam sebagai agama resmi negara, misalnya Irak, Malaysia, dan Mesir; (3) negara yang mendeklarasikannya dirinya sebagai negara sekuler, misalnya Senegal, Tajikistan, dan Tuki; serta (4) mereka yang tidak memiliki deklarasi apapun di dalam Konstitusinya, seperti Indonesia, Sudan, dan Siria.

Jika Indonesia dimasukan dalam kategori negara yang tidak mendeklarasikan bentuk apapun dalam hal hubungan antara negara dengan agama di dalam Konstitusinya, maka menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah konsep yang sebenarnya diusung oleh para founding people negara kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, Mahfud M.D mencoba menjelaskannya melalui konsepsi prismatik dengan meminjam istilah dari Fred W. Riggs.

Indonesia merupakan negara Pancasila, artinya bukan sebagai negara agama karena negara agama hanya mendasarkan diri pada satu agama tertentu, tetapi negara Pancasila juga tidak dapat dikatakan sebagai negara sekuler karena negara sekuler sama sekali tidak mau terlibat dalam urusan agama. Menurutnya, negara Pancasila adalah sebuah religious nation state yakni sebuah negara kebangsaan yang religius yang melindungi dan memfasilitasi berkembangnya semua agama yang dipeluk oleh rakyatnya tanpa membedakan besarnya jumlah pemeluk masing-masing (Mahfud M.D., 2007).

Berangkat dari konsepsi tersebut, maka adalah suatu keniscayaan bahwa negara mempunyai kewajiban konstitusional (constitutional obligation) untuk melindungi kebebasan beragama bagi setiap warga negaranya. Mengutip asosiasi yang digunakan oleh Jimly Asshiddiqie, ketika Konstitusi berada di salah satu tangan kita, maka kitab suci agama selalu berada di satu tangan lainya. Artinya, kedua hal tersebut haruslah berjalan secara harmonis dan tidak dapat dipertentangkan satu sama lainnya.

Praktik Berkonstitusi

Melalui studi pendekatan perbandingan hukum, Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki sedikit jam terbang dalam hal upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama melalui mekanisme pengujian konstitusionalitas. Padahal mekanisme ini menjadi hal yang sangat penting manakala hak menjalankan kebebasan beragama terhalangi oleh berbagai ketentuan dan tindakan Pemerintah yang sewenang-wenang.

Di beberapa negara seperti India, Amerika Serikat, dan Jerman, praktik pengujian konstitusionalitas terkait dengan kebebasan bergama merupakan hal yang sangat lumrah. Sebut di antaranya, perkara Mudghal v. India (1995) mengenai rencana adanya unifikasi ketentuan hukum terkait maraknya praktik poligami di India, atau perkara Welsh v. United States (1970) mengenai penolakan keikutsertaan seseorang dalam suatu peperangan karena bertentangan dengan ajaran agamanya.

Terdapat juga dua perkara yang serupa yaitu perkara M.H. Qurahi v. The State of Bihar (1995) dikenal dengan kasus cow slaughter di India dan perkara BvR 1783/99 (2002) pada Mahkamah Konstitusi Jerman yang dikenal dengan kasus traditional slaughter. Seorang warga negara Muslim di kedua negara tersebut mengajukan pengujian konstitusionalitas terhadap UU tentang Perlindungan Hewan yang melarang adanya penyembelihan sapi yang menurut mereka dapat menghambat kebebasan menjalankan ibadah agama

Dengan semakin berkembangnya praktik pengujian konstitusionalitas, maka jaminan dan perlindungan akan hak kebebasan menjalankan ibadah akan menjadi semakin kuat. Sayangnya, mekanisme constitutional review di Indonesia pada saat ini hanya dapat dilakukan melalui pengujian undang-undang terhadap UUD saja, tidaktermasuk mekanisme gugatan konstitusional (constitutional complaint) sebagaimana menjadi wewenang terpenting dari Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht). Akibatnya, berbagai kinerja pemerintah terhadap masyarakat, seluruh peraturan perundang-undangan, ataupun putusan pengadilan yang dianggap melanggar ketentuan kebebasan beragama di dalam Konstitusi, pada saat ini belum secara sempurna dapat diuji konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Artinya, sistem ketatanegaraan dan praktik berkonstitusi di Indonesia masih harus dikembangkan sedemikian rupa. Dengan adanya kekosongan mekanisme perlindungan konstitusi, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi hambatan tersendiri di kemudian hari bagi terpenuhinya hak-hak dasar warga negara dalam mencapai kebebasan beragama yang hakiki.

* Pan Mohamad Faiz, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum pada Faculty of Law, University of Delhi.